Home / Fantasi / Sang Pendekar / 1. Sebuah Kudeta

Share

Sang Pendekar
Sang Pendekar
Author: CahyaGumilar79

1. Sebuah Kudeta

last update Huling Na-update: 2021-04-19 22:38:27

Di sebuah kerajaan besar terletak di sebelah selatan pegunungan Sanggabuana, terjadi sebuah konflik berkecamuk. Kala itu, istana kerajaan tersebut digemparkan dengan sebuah kudeta yang dilakukan oleh seorang petinggi istana terhadap raja yang berkuasa.

Senapati Rawinta sudah menghimpun kekuatan selama bertahun-tahun mempengaruhi para prajurit dan para petinggi istana untuk melakukan kudeta terhadap Prabu Sanjaya yang merupakan penguasa resmi kerajaan Kuta Tandingan.

Peristiwa tersebut, menjadi sebuah sejarah yang sangat kelam bagi rakyat di kerajaan tersebut. Sang Raja yang mereka kagumi yang terkenal dengan kebaikan dan kebijaksanaannya terhadap rakyat, harus tewas di tangan senapatinya sendiri yang sudah melakukan pengkhianatan.

"Tangkap Prabu Sanjaya dan seret keluar!" seru seorang pria berperawakan tinggi dan bertubuh kekar mengarah kepada para prajurit.

Pria tersebut adalah Sugriwa, seorang prajurit senior yang secara terang-terangan ikut membelot dan mengkhianati kepercayaan Prabu Sanjaya sebagai penguasa kerajaan Kuta Tandingan.

"Sugriwa!" teriak Senapati Rawinta.

"Iya, Gusti Senapati," sahut Sugriwa langsung melangkah menghampiri sang senapati yang berdiri dengan menggenggam pedang berlumuran darah.

"Cari Pangeran Erlangga dan selir-selir sang raja!" titah Senapati Rawinta.

"Baik, Gusti Senapati," jawab Sugriwa bergegas melaksanakan tugas tersebut.

Kemudian, Senapati Rawinta memerintahkan para prajurit yang memihak kepadanya agar segera membunuh semua prajurit yang tidak patuh dan masih setia terhadap raja.

"Kumpulkan mereka dan tebas batang leher mereka jika bersikeras tidak mau memihak kepada kita!" titah Senapati Rawinta.

"Baik, Gusti Senapati," jawab mereka serempak.

Di halaman istana tampak seorang pria paruh baya dengan mengenakan jubah dan mahkota kebesaran sebagai seorang raja, berdiri dengan tubuh terbelenggu tali yang sangat kuat, menyatu dengan sebatang kayu berukuran besar yang menancap ke tanah.

Tampak darah segar mengalir di keningnya hampir menutupi semua bagian wajah pria paruh baya itu. Tubuhnya lemah, seakan-akan sendi-sendi dalam tubuhnya sudah rapuh akibat siksaan dari para prajuritnya sendiri yang sudah berkhianat.

"Ayahanda!" teriak seorang anak kecil duduk di atas batang pohon besar yang rimbun dengan dedaunan.

Anak kecil itu adalah Pangeran Erlangga, ia berhasil lolos dari kepungan para prajurit karena diselamatkan oleh seorang prajurit senior—ajudan pribadi sang raja.

"Diam, Pangeran! Mereka akan menangkap kita kalau mengetahui keberadaan kita di sini," bisik Landuji mendekap erat tubuh Erlangga.

"Lantas kalau kita diam, siapa yang akan menolong ayahandaku, Paman?"

"Aku harap, Pangeran turuti perkataanku! Jika Pangeran nekat turun, kelak yang akan membalaskan dendam ayahandamu siapa?" jawab Landuji terus memberikan nasihat dan berusaha menguatkan Erlangga agar bisa menerima kenyataan yang terjadi.

Kekejaman itu, tidak berhenti sampai di situ saja. Senapati Rawinta mengeksekusi para selir sang raja yang sudah berhasil ditangkap dan juga langsung menggantung sang ratu di halaman istana kerajaan tersebut.

Kekejaman Senapati Rawinta dan dan anak buahnya disaksikan langsung oleh sang raja. Bahkan Erlangga dan Landuji pun turut menyaksikan kekejaman Senapati Rawinta dan para pengikut setianya. Erlangga dan Landuji saat itu bersembunyi di atas pohon besar yang tumbuh di dekat pagar tembok istana.

Terasa pilu, sedih, dan emosi. Perasaan itu terus berkecamuk dalam jiwa dan pikiran Erlangga. Ia tak kuasa melihat kekejaman dari Senapati Rawinta terhadap ibunya dan para selir ayahnya.

"Kejam sekali, Paman Senapati Rawinta," desis Erlangga menyaksikan kekejaman Senapati Rawinta dan para pengikutnya.

"Harus kalian ketahui, mulai hari ini raja kalian adalah aku! Raja yang berkuasa di seluruh negri ini!" teriak Senapati Rawinta mendaulat dirinya menjadi seorang raja di hadapan para prajurit yang tunduk kepadanya.

"Kau boleh bangga dengan kemenanganmu. Tapi ingat! Kelak di masa yang akan datang, putraku akan membunuhmu dan akan membuatmu menderita, Senapati!" kata Prabu Sanjaya masih dalam posisi tubuh terikat di sebatang kayu yang tertancap ke tanah.

Lemah dan tidak berdaya, untuk bergerak pun ia sangat kesulitan. Tali yang melingkar di perutnya terlalu kuat mengikat tubuhnya. Sehingga, sang raja tampak kesulitan melepaskan diri dari tali yang membelenggu tubuhnya.

"Ayahanda tidak boleh mati, Paman," kata Erlangga. "Aku harus turun untuk menyelamatkannya," sambungnya sambil berurai air mata.

"Pangeran masih kecil, Pangeran tidak akan sanggup melawan mereka. Aku harap Pangeran turuti apa kataku, kelak aku akan mengajarkan Pangeran ilmu kanuragan, agar Pangeran bisa melakukan balas dendam terhadap Senapati Rawinta dan para pengikutnya!"

Erlangga terdiam menyimak perkataan Landuji, ia hanya menangis menyaksikan penderitaan yang dialami kedua orang tuanya. Tak hanya membunuh sang ratu saja, Senapati Rawinta pun akhirnya membunuh Prabu Sanjaya dengan cara yang sangat kejam, menggantungnya kemudian membakar tubuh Prabu Sanjaya dengan kobaran api.

Landuji terus mendekap tubuh sang pangeran, supaya tidak melakukan tindakan nekat yang sudah barang tentu akan mencelakai dirinya sendiri. 

Di saat para pengikut Senapati Rawinta tengah merayakan kemenangan, Landuji memanfaatkan kelengahan mereka. Perlahan ia turun dari pohon tersebut dengan menggendong tubuh sang pangeran yang kala itu masih berusia tujuh tahun. Landuji langsung membawa Erlangga berlari meninggalkan istana.

"Kita tidak boleh lari, Paman. Kita harus menolong mereka yang masih hidup!" Erlangga berontak mencoba melepaskan diri dari dekapan Landuji.

Namun, Landuji tidak mengindahkan teriakan Erlangga, ia terus berlari menuju ke tengah hutan mencari sebuah tempat untuk dijadikan perlindungan.

Singkat cerita ....

Landuji dan Erlangga sudah tinggal di sebuah gubuk di dekat lembah yang ada di tengah hutan. Setiap harinya, Landuji banyak mengajarkan ilmu bela diri kepada Erlangga. Ia berharap kelak Erlangga akan menjadi seorang pendekar yang tangguh yang dapat melawan kezaliman dan menumpas kejahatan.

"Paman sudah tua, Paman harap kau kelak mendatangi sebuah padepokan untuk mengasah ilmu kanuraganmu agar lebih mumpuni lagi!" kata Landuji di sela perbincangannya dengan Erlangga.

"Maksud, Paman?" tanya Erlangga menatap wajah Landuji penuh rasa penasaran.

"Kau temui Ki Bayu Seta di Padepokan Kumbang Hitam, dan bawa pedang ini sebagai senjata untuk berjaga diri. Ingat, bukan untuk membunuh tanpa sebab!"

Landuji menyerahkan sebilah pedang yang tersimpan dalam selongsongnya. Pedang tersebut ia dapatkan dari kamar Prabu Sanjaya ketika pemberontakan berkecamuk di istana, Landuji hanya bisa menyelamatkan Erlangga dan pedang tersebut saja.

"Bukankah ini pedang ayahanda?"

"Iya, Pangeran. Paman sengaja mengambilnya, karena menurut Paman ini adalah senjata penting untuk dirimu," jawab Landuji.

***

Beberapa bulan setelah itu, Landuji jatuh sakit. Erlangga berusaha mengobatinya. Namun, Sanghyang Widhi berkata lain, Landuji memang sudah waktunya meninggalkan Erlangga menuju ke alam baka. Ia mengembuskan napas terakhir dalam pangkuan Erlangga.

Hanya ada satu pesan yang Landuji sampaikan kepada Erlangga di akhir hayatnya.

'Berikan kedamaian untuk rakyat, dan kelak kau akan menjadi raja seperti ayahandamu!" Demikianlah pesan terakhir yang disampaikan oleh Landuji kepada Erlangga.

Setelah kematian Landuji, Erlangga mulai melakukan pengembaraan—mencari seorang guru yang linuwih yang mempunyai kesaktian tinggi sesuai saran Landuji.

Landuji semasa hidupnya pernah menyarankan kepada Erlangga agar mendatangi Padepokan Kumbang Hitam yang ada di sebuah bukit di bawah kaki Gunung Sanggabuana.

"Aku harus tiba di Padepokan Kumbang Hitam hari ini," desis Erlangga lirih sembari mengangkat wajah ke arah puncak bukit yang menjulang tinggi.

Ia sangat berharap bisa sampai di atas bukit tersebut, meski harus melewati jurang dan menaiki tebing yang sangat tinggi dan terdapat banyak rintangan yang akan menghadangnya.

"Untuk sampai ke Padepokan Kumbang Hitam, aku harus naik ke bukit itu."

Erlangga meluruskan pandangan ke arah bukit yang ada di hadapannya.

Kemudian ia melangkahkan kedua kakinya menyusuri jalan setapak, dari bagian samping kiri dan kanan jalan tersebut banyak ditumbuhi tanaman liar yang tumbuh secara subur yang sebagian dahannya menjulur ke tengah jalan, sehingga sedikit menutupi jalanan tersebut.

Baru beberapa langkah saja, Erlangga sudah dikejutkan oleh teriakan seorang pria dari arah belakang.

"Tunggu, Anak muda!"

Erlangga menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah belakang. "Kau siapa, Ki Sanak?" tanya Erlangga meluruskan pandangannya ke arah pria tersebut.

Rupanya pria tersebut adalah seorang pendekar, ia berdiri tegak sambil bertolak pinggang dengan sikap angkuhnya.

"Ternyata Andika masih anak ingusan yang masih bau kencur!" kata pria berjanggut tebal itu dengan sikap sinis. "Seharusnya aku yang bertanya kepadamu," sambungnya membusungkan dada dan membuang ludah di hadapan Erlangga.

"Baiklah kalau itu keinginanmu, silakan!" Erlangga berusaha untuk mengalah dan tidak mau meladeni keangkuhan pria itu.

"Tujuanmu hendak ke mana? Kenapa kau berada di tempat ini?" Pria tersebut bertanya dengan sorot mata tajam memandang wajah Erlangga.

"Mohon maaf sebelumnya, Ki Sanak. Aku Erlangga, aku jauh dari alas Cidoro sengaja datang ke sini karena aku ingin berjumpa dengan Ki Bayu Seta," jawab Erlangga bersikap ramah dan sopan.

Erlangga tidak membalas semua keangkuhan yang ditunjukkan oleh pendekar tersebut, ia tetap bersikap ramah dan tetap menunjukkan sikap sebagaimana mestinya.

Pria sombong itu tertawa lepas, "Hahaha ...!

Meski demikian, Erlangga tetap bersikap tenang dan tidak terpancing oleh sikap angkuh yang ditunjukkan oleh pria tersebut.

Lantas, pria itu berkata dengan perkataan yang sedikit menyinggung perasaan Erlangga, "Andika tidak akan pernah bisa naik ke sana tanpa seizinku. Untuk itu, bertarunglah denganku terlebih dahulu! Jika kau berhasil mengalahkan aku, maka kau boleh melanjutkan perjalananmu."

Sekasar apa pun kalimat yang terlontar dari mulut pria tersebut, Erlangga hanya tersenyum saja, ia tidak mengindahkan sikap sombong orang yang ada di hadapannya.

Namun, sikap Erlangga disalah artikan oleh pria tersebut. Ia beranggapan diamnya Erlangga itu sebagai tanda menyepelekannya, hingga amarahnya semakin memuncak. Tanpa basa-basi lagi, pria itu langsung bersiap hendak melakukan serangan terhadap Erlangga.

"Bedebah, kau sudah menyepelekan aku! Rasakan ini!" Pendekar itu mulai melancarkan pukulan ke arah wajah Erlangga.

Dengan sigap Erlangga dapat menghindari pukulan tersebut, sehingga tubuh pendekar sombong itu tersungkur akibat terbawa tenaganya sendiri.

"Aku harap Ki Sanak jangan melanjutkan pertarungan ini!" cegah Erlangga bersikap tenang. "Kedatanganku ke sini bukan untuk mencari musuh," sambungnya.

Namun, orang tersebut tetap bersikap sombong dan terus melancarkan serangan kepada Erlangga. Hingga pada akhirnya, Erlangga mulai terpancing emosi dan langsung melakukan perlawanan. Hanya dengan satu pukulan balasan, pria sombong itu kembali jatuh dan memuntahkan darah segar.

"Maafkan aku, Ki Sanak!" ucap Erlangga melangkah ke arah pendekar tersebut, lalu membantunya untuk bangkit. "Aku tidak bermaksud untuk menyakitimu."

'Ternyata aku salah menduga, pemuda ini memiliki sikap baik,' kata pendekar itu dalam hati. Ia tampak menyesali semua tindakannya.

"Maafkan aku, Anak muda. Silakan lanjutkan perjalananmu!"

"Tidak, Ki Sanak. Sebelum melanjutkan perjalanan aku harus mengobati lukamu dulu!" jawab Erlangga. "Aku bertanggung jawab atas apa yang sudah aku lakukan," sambungnya.

Kemudian, Erlangga pamit kepada pendekar itu untuk mencari air dan dedaunan yang bisa dijadikan obat.

"Ki Sanak tunggu di sini. Aku akan mencari air dan dedaunan yang bisa dijadikan obat untuk menyembuhkan luka dalam Ki Sanak!" kata Erlangga.

Pria itu hanya menganggukkan kepalanya, napasnya terasa sesak dan dadanya pun terasa sakit sekali. Pukulan Erlangga benar-benar sangat berbahaya, sehingga pria tersebut tak dapat berbuat apa-apa lagi. Ia hanya pasrah dengan kondisi tubuh yang lemah.

Erlangga langsung melangkah menuju ke arah sumber air yang banyak ditumbuhi tanaman obat untuk mengobati luka dalam yang diderita oleh orang yang sudah berusaha mencelakainya.

Dengan sikap baik yang ditunjukkan oleh Erlangga, pendekar berjanggut tebal itu merasa takjub dan kagum.

"Dari gaya bicara dan tutur sapanya, pemuda itu seperti berasal dari keluarga bangsawan?" gumamnya bersandar ke sebuah pohon besar.

Tidak lama kemudian, Erlangga sudah kembali dengan membawa air dan juga dedaunan yang hendak ia jadikan obat.

"Mohon maaf, Ki Sanak. Aku terlalu lama meninggalkanmu," kata Erlangga langsung duduk di samping pria tersebut.

Erlangga menyerahkan wadah air minum yang terbuat dari batang bambu kepada pria itu. Setelah itu, Erlangga langsung mengobati luka memar di bagian dada pria tersebut dengan menggunakan dedaunan yang sudah ia haluskan.

"Maafkan aku, Ki Sanak. Aku sudah melukaimu," ucap Erlangga menyesali perbuatan yang sudah ia lakukan terhadap pria tersebut.

Tidak ada tabib mana pun yang bisa mengobati luka dalam akibat pukulan tersebut, hanya pemilik pukulan itulah yang mampu mengobatinya. Sehingga menjadi alasan untuk Erlangga tidak meninggalkan pendekar tersebut dalam kondisi seperti itu.

Pendekar itu tersenyum dan bangkit, ia menatap tajam wajah Erlangga sembari mengulurkan tangannya.

"Namaku Anggadita."

Erlangga langsung meraih uluran tangan Anggadita. "Aku Erlangga."

Erlangga tampak semringah karena mempunyai kawan baru saat itu.

Ia berharap Anggadita tidak mengulangi perbuatan jahatnya kepada orang lain.

"Ki Sanak harus mengunyah daun ini. Mungkin rasanya sedikit pahit, tapi ini sangat berkhasiat untuk mengobati luka dalam Ki Sanak."

Anggadita hanya mengangguk dan langsung menuruti permintaan Erlangga mengunyah beberapa lembar daun yang dipercaya dapat mengobati luka dalam.

Setelah itu, mereka langsung berbincang-bincang, mereka bercerita tentang niat dan maksud mereka berada di tempat tersebut.

Anggadita pun bercerita kepada Erlangga bahwa dirinya sudah hampir 31 hari berusaha untuk mendatangi Padepokan Kumbang Hitam. Namun, usahanya selalu gagal karena dalam perjalanan selalu dihadang oleh sekelompok makhluk gaib penguasa alas tersebut. Hingga pada akhirnya ia menyerah dan merasa frustasi, hingga melakukan tindakan jahat terhadap orang-orang yang hendak mengunjungi Padepokan Kumbang Hitam.

"Hari ini aku tidak akan melanjutkan perjalananku," kata Erlangga lirih.

Anggadita bangkit sembari terus memegangi dadanya.

"Apa alasannya?" tanya Anggadita meluruskan pandangan ke wajah Erlangga.

Mga Comments (17)
goodnovel comment avatar
Akuna One
perasaan aku baca udah diperbaiki deh,
goodnovel comment avatar
Irma_Asma
novel bagus
goodnovel comment avatar
CahyaGumilar79
pewaris tahta kerajaan
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

  • Sang Pendekar   2. Sahabat Baru Erlangga

    Erlangga tersenyum dan menoleh ke arah pendekar berjanggut tebal itu. "Aku diajarkan oleh ayahku, untuk selalu menolong orang yang sedang kesusahan," ujar Erlangga. Anggadita tampak kagum dengan budi pekerti yang ditunjukkan oleh pendekar muda itu. Anggadita tersenyum dan langsung memeluk tubuh Erlangga seraya berkata lirih,"Hari ini, aku sudah menemukan pendekar muda sejati," desisnya. Setelah itu, Anggadita langsung mengajak Erlangga untuk singgah di gubuknya, sebelum Erlangga melanjutkan perjalanan menuju Padepokan Kumbang Hitam yang ada di puncak bukit tersebut. "Di hutan ini aku sudah membangun sebuah gubuk kecil sebagai tempat tinggalku. Sebaiknya kau ikut denganku!" Dengan senang hati, Erlangga pun mengikuti ajakan pendekar setengah baya itu. "Baiklah, aku akan beristirahat sejenak di gubukmu," kata Erlangga ambil tersenyum lebar. Erlangga langsung membantu Anggadita bangkit. Setelah itu, mereka langsung melangkah ke arah selatan dari tempat tersebut, menuju ke sebuah gubu

    Huling Na-update : 2021-04-19
  • Sang Pendekar   3. Erlangga dan Anggadita Ditangkap Para Pendekar Kumbang Hitam

    Anggadita menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab pertanyaan Erlangga, "Aku tahu dari pedang pusakamu, Pangeran." 'Siapa sebenarnya Anggadita ini? Mengapa dia mengetahui pedangku?' batin Erlangga bertanya-tanya. "Tak ada orang lain yang bisa memiliki pedang itu, kecuali orang-orang yang memiliki garis keturunan dengan sang raja," tandas Anggadita melanjutkan perkataannya. "Ya sudah, sekarang kau sudah tahu siapa aku sebenarnya. Aku harap kau bisa membantuku untuk merahasiakan identitasku ini!" pinta Erlangga tersenyum lebar menatap wajah Anggadita. "Baiklah, Pangeran." Anggadita tampak semringah setelah mendengar pengakuan Erlangga bahwa dirinya memang seorang putra mahkota kerajaan Kuta Tandingan seperti apa yang dia duga sebelumnya. Setelah itu, mereka langsung melakukan perjalanan menuju ke Padepokan Kumbang Hitam. Mereka tidak peduli dengan panasnya terik matahari yang menyengat, derasnya peluh terus bercucuran dari wajah kedua pendekar itu. Sepanjang perjalanan, Anggadita s

    Huling Na-update : 2021-04-19
  • Sang Pendekar   Arimbi dan Arumbi

    Para pendekar itu langsung menangkap Erlangga dan Anggadita tanpa perlawanan. Kemudian langsung mengikat tangan kedua pendekar itu dengan seutas tali. Setelah itu, mereka langsung membawa Erlangga dan Anggadita ke padepokan untuk dihadapkan langsung kepada Ki Bayu Seta—guru besar padepokan tersebut. Erlangga dan Anggadita sedikit pun tidak melakukan perlawanan, mereka hanya pasrah melangkah dengan tangan diikat dan digiring oleh belasan pendekar menuju ke arah padepokan. Setibanya di padepokan, salah seorang pendekar yang sudah ikut menangkap Erlangga dan Anggadita, langsung memberitahu guru mereka yang saat itu sedang berada di dalam padepokan tersebut. “Guru, kami telah berhasil menangkap dua orang pendekar yang diduga kuat sebagai mata-mata,” kata pendekar itu sambil menjura kepada sang guru. Pendekar tersebut adalah Aryadana, ia merupakan murid senior di Padepokan Kumbang Hitam, yang dipercaya sebagai pemimpin para murid padepokan tersebut. Ki Bayu Seta tertawa kecil menanggap

    Huling Na-update : 2021-04-19
  • Sang Pendekar   Bertemu Raja Jin

    Menjelang tengah hari, Aryadana dan Anggadita serta dua rekannya sudah tiba di saung padepokan, mereka membawa tiga ekor rusa hasil buruan mereka. Wajah Aryadana dan ketiga rekannya tampak semringah. Kedatangan mereka disambut hangat dengan penuh kegembiraan oleh para murid yang ada di padepokan itu."Anggadita!" panggil Erlangga. "Iya, Pangeran," sahut Anggadita, ia langsung menyerahkan busur panah kepada salah satu murid padepokan tersebut. "Tolong simpan ini, aku mau menghadap Pangeran Erlangga!" "Baik, Ki," jawab seorang murid padepokan langsung meraih panah dari tangan Anggadita. Setelah itu, Anggadita bergegas melangkah menghampiri Erlangga yang berdiri di depan saung aula padepokan yang tidak jauh dari kamarnya. "Ada apa, Pangeran?" tanya Anggadita meluruskan pandangannya ke wajah Erlangga. "Temani aku, ke tempat yang kemarin aku ceritakan!" jawab Erlan

    Huling Na-update : 2021-04-20
  • Sang Pendekar   Berkunjung ke Istana Jin

    Setibanya di dalam istana, Erlangga dan Anggadita dijamu meriah dengan berbagai makanan dan minuman. Mereka berdua diperlakukan layaknya tamu kehormatan kerajaan tersebut. Tak hanya itu, Erlangga dan Anggadita diberikan penghormatan khusus dari kerajaan dan didaulat sebagai tamu agung. "Pangeran jangan khawatir, buah-buahan dan makanan serta minuman yang aku hidangkan ini. Bukan makanan jin, melainkan makanan manusia khusus untuk Pangeran dan sahabat Pangeran!" tandas Prabu Wanakerta meyakinkan Erlangga yang tampak ragu menikmati hidangan yang sudah disuguhkan oleh para dayang istana kerajaan gaib itu. "Baiklah, Prabu. Aku percaya," sahut Erlangga tersenyum lebar. "Aku sudah tahu maksud dan niat Pangeran datang ke wilayah kerajaanku," ucap Wanakerta tersenyum lebar memandang wajah Erlangga. Erlangga menoleh ke arah Anggadita, mereka saling bertatapan. Sejatinya mereka merasa heran dengan pernyataan dar

    Huling Na-update : 2021-04-20
  • Sang Pendekar   Pendekar Bertopeng Tengkorak

    Kemudian ia langsung mengajak Anggadita untuk segera melangkah ke padepokan dan mengabarkan kejadian yang mereka alami kepada Ki Bayu Seta yang saat itu sedang dirundung kecemasan dan kekhawatiran terhadap mereka berdua yang sudah delapan hari menghilang tanpa jejak. Setibanya di gerbang padepokan, Erlangga dan Anggadita disambut riang gembira oleh para murid padepokan tersebut. "Lihatlah! Pangeran sudah kembali!" teriak salah seorang murid padepokan berlari masuk ke dalam padepokan hendak memberitahukan sang guru tentang kedatangan Erlangga dan Anggadita. "Guru, Pangeran dan Anggadita sudah kembali," kata salah seorang murid memberitahukan Ki Bayu Seta tentang kedatangan Erlangga dan Anggadita. Ki Bayu Seta tampak bahagia, kemudian bangkit dan langsung melangkah keluar menuju ke beranda padepokan. Di halaman padepokan Erlangga dan Anggadita sedang dikerumuni oleh para murid padepokan. Mereka tampak riang gembira menyambut hangat kembalinya Er

    Huling Na-update : 2021-04-20
  • Sang Pendekar   Putra Panglima Perang

    Para prajurit tersebut langsung melaporkan kejadian yang mereka alami kepada Prabu Rawinta—seorang penguasa tamak dan keji itu. "Hanya menangkap seorang pendekar saja kalian tidak becus!" bentak Prabu Rawinta murka terhadap para prajuritnya. Setelah itu, Prabu Rawinta langsung memerintahkan Jaya Menda yang menjabat sebagai panglima perang di kerajaan tersebut, untuk segera melakukan penyisiran ke setiap pelosok desa dan dusun-dusun yang ada di wilayah kerajaan Kuta Tandingan. Jaya Menda bergerak cepat dalam melaksanakan titah rajanya itu. Ia mengumpulkan para prajurit dan langsung membagi tugas serta membentuk beberapa kelompok pasukan yang akan disebar ke seluruh wilayah kerajaan tersebut, dalam rangka melakukan pencarian Randu Aji yang sudah membuat kegaduhan dengan melakukan banyak teror membantai para prajurit kerajaan Kuta Tandingan. Hal tersebut ternyata diketahui oleh Prabu Wanake

    Huling Na-update : 2021-04-20
  • Sang Pendekar   Kesaktian Randu Aji

    Setelah mengetahui identitas pendekar bertopeng itu, Senapati Sulima diperintahkan oleh Prabu Wanakerta untuk segera menyampaikan kabar tersebut kepada Erlangga. "Sebaiknya kau segera menyampaikan kabar ini kepada Pangeran Erlangga!" perintah Prabu Wanakerta mengarah kepada senapatinya. "Baik, Gusti Prabu. Hamba akan segera menemui Pangeran Erlangga sekarang," jawab Senapati Sulima. Senapati Sulima langsung pamit kepada Prabu Wanakerta dan berlalu dari hadapan sang raja. Senapati Sulima saat itu juga langsung menjumpai Erlangga di Padepokan Kumbang Hitam, hendak memberitahu Erlangga tentang kesiapan Randu Aji untuk bergabung dengan para pendekar yang ada di Padepokan Kumbang Hitam. "Dugaanku ternyata benar, pendekar bertopeng itu adalah putra Paman Rumi," kata Erlangga berbicara di hadapan Senapati Sulima. "Dia sangat kuat dan mempunyai ilmu mirip dengan ilmu yang dimil

    Huling Na-update : 2021-04-20

Pinakabagong kabanata

  • Sang Pendekar   Maha Patih Akilang (Bab terakhir)

    Sore hari, setelah berangkatnya Senopati Yurawida ke istana kerajaan Sanggabuana. Maha Patih Akilang kembali melakukan perbincangan dengan para prajurit senior. Kebrutalan para prajurit kerajaan Sirnabaya masih menjadi topik penting dalam perbincangan tersebut."Hidupku tidak akan pernah merasa tenang sebelum bisa membalas kematian para prajurit kita dan aku berjanzi akan menghancurkan kerajaan Sirnabaya yang sudah bertindak sewenang-wenang terhadap kerajaan kita!" kata Maha Patih Akilang berbicara dengan para prajuritnya di pendapa istana kepatihan."Aku pikir ini semua hanya sebuah kesalahpahaman saja, Gusti Patih?" tanya seorang prajurit senior mengerutkan kening."Itu hanya alasan dari Jaka Sena. Sebenarnya ia sudah merancang sedemikian rupa," jawab Maha Patih Akilang di antara deru napas yang bergejolak penuh dengan amarah yang sudah membumbung tinggi di dalam jiwa dan pikirannya kala itu."Saat masih menjabat sebagai panglima pasukan sejagat raya pun, ia sudah berusaha menekan pa

  • Sang Pendekar   Serangan Mendadak Dari Pasukan Kerajaan Sirnabaya

    Dengan demikian, Darunda dan Panglima Janeka terus berbincang sambil mengamati pergerakan pasukan musuh. Mereka duduk santai di sebuah bangku panjang yang ada di atas tembok raksasa yang menjulang tinggi—pagar pembatas dan benteng pertahanan wilayah kerajaan Sanggabuana."Prabu Wihesa adalah murid Ki Buyut Dalem, dia dibesarkan di wilayah kepatihan Waluya Jaya semasa masih menjadi sebuah kadipaten sebelum bergabung dengan kerajaan Sanggabuana," terang Panglima Janeka."Aku baru tahu, ternyata Wihesa merupakan seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kanuragan yang sangat mumpuni," ujar Darunda.Panglima Janeka menghela napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan perlahan sambil tersenyum memandang cahaya obor yang tampak remang-remang di tengah hutan.Posisi Panglima Janeka dan Darunda kala itu berada di atas tembok raksasa, sehingga apa pun yang terjadi di dalam hutan akan terlihat, apalagi dengan kondisi hutan yang gundul seperti itu.Kala itu, hanya D

  • Sang Pendekar   Pergerakan Dari Pasukan Kuta Waluya

    Di saung tersebut, sang raja langsung membicarakan sesuatu yang sangat penting kepada pendekar muda itu. Sejatinya, raja dan maha patih sangat tertarik kepada Kumba dan mereka berniat untuk merekrut pemuda itu untuk menjadi seorang prajurit kerajaan.Semua berdasarkan penilaian dari sang raja dan maha patih yang suka dengan kepiawaian pendekar tersebut dalam hal olah kanuragan."Seandainya kau mau dan siap. Aku akan menawarkan sesuatu buatmu," kata sang raja lirih, pandangannya lurus ke wajah Kumba.Kumba menghela napas sejenak. Ia berpikir, "Apakah aku layak menjadi prajurit di kerajaan? Sedangkan kemampuanku hanya terbatas?"Maha Patih Randu Aji mengerutkan kening dan mengamati Kumba yang hanya diam termangu. "Jawablah! Jika kau bersedia, kau akan mendapatkan kedudukan sebagai prajurit dan bisa mendapatkan pelatihan khusus dari para pelatih ilmu beladiri di Padepokan Kumbang Hitam!" timpal Maha Patih Randu Aji menatap tajam wajah Kumba–sang pendekar muda

  • Sang Pendekar   Kumba Sang Pendekar

    Ketika fajar sudah menyingsing, para prajurit kerajaan Sanggabuana segera bergerak melewati perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana. Kemudian, ribuan pasukan tersebut memasuki hutan dengan maksud mengambil jalan pintas hendak menuju barak para prajurit kerajaan Sirnabaya—yang menjadi target utama serangan pagi itu.Beberapa meter hampir mendekati target, Senopati Yurawida segera menyeru kepada para prajuritnya untuk berhenti sejenak. Dengan demikian, pasukan yang berjalan di barisan terdepan pun segera menghentikan langkah mereka."Tugas utama kita adalah menghancurkan barak musuh dan mengusir mereka agar menjauh dari daerah ini!" kata Senopati Yurawida berkata kepada para panglimanya yang kala itu berada di barisan terdepan ribuan pasukan tersebut."Tapi ingat! Kalian harus berhati-hati, jangan sampai menimbulkan banyak korban dari prajurit kita!" pinta sang senopati menambahkan."Baik, Senopati. Kami akan melindungi pasukan di barisan depan dengan menggun

  • Sang Pendekar   Menjelang Perang Di Batas Kerajaan

    Namun, para prajurit tersebut berlari dengan begitu cepat. Sehingga para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak dapat mengejar mereka.Entah ke mana larinya mereka? Langkah dan pergerakan mereka sudah tidak dapat dideteksi ketika masuk ke wilayah kerajaan Sirnabaya.Akan tetapi, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah dapat mengetahui, bahwa para penyusup itu merupakan kelompok prajurit kerajaan Sirnabaya yang sengaja masuk ke wilayah kedaulatan Kundar yang kini sudah masuk dalam wilayah kerajaan utama Sanggabuana.Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak Panglima Amerya yang kala itu dipercaya sebagai pimpinan keamanan di wilayah tersebut. "Apa maksud mereka, hingga berani menyusup ke wilayah kita?" tanya Panglima Amerya mengarah kepada seorang prajurit yang baru kembali setelah mengejar para penyusup itu.Prajurit itu mengerutkan keningnya, tampak tidak memahami apa yang dikehendaki dan direncanakan oleh para penyusup tersebut."Entahlah, aku p

  • Sang Pendekar   Terbentuknya Kadipaten Conada

    Sebulan kemudian, Prabu Erlangga langsung memanggil Dewangga, Dasamuka, dan segenap tokoh masyarakat Conada. Prabu Erlangga hendak membicarakan kesepakatan bersama tentang pembentukan kadipaten Conada sesuai keinginan rakyat di daerah tersebut.Prabu Erlangga dan para tokoh utama Conada segera menggelar pembicaraan penting yang membahas pembentukan pejabat pemerintahan untuk memimpin kadipaten Conada, musyawarah tersebut dihadiri pula oleh para petinggi istana dan juga Adipati Sargeni serta Adipati Soarna sebagai perwakilan dari daerah yang dulunya merupakan bagian dari induk daerah Conada yang sebagian besar wilayah tersebut masuk di dalam wilayah pemerintahan dua kadipaten itu."Apakah kalian akan menyetujui dan menerima keputusanku, jika aku sendiri yang memilih siapa yang layak menjadi seorang pemimpin yang akan menjadi adipati di kadipaten Conada?" tanya sang raja di sela perbincangannya dengan para tokoh masyarakat Conada.Dasamuka dan tokoh masyarakat Conada ya

  • Sang Pendekar   Tewasnya Pimpinan Pemberontak

    Beberapa saat kemudian, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah berhasil mendekat ke arah lembah tempat keberadaan para pemberontak tersebut, Panglima Wanakarma dan Panglima Jaka Kelana segera membagi tugas."Kau dengan 150 prajurit segera naik ke bukit sana, aku dan yang lainnya tetap di sini!" bisik Panglima Jaka Kelana."Baik, Panglima." Panglima Wanakarma segera turun dari kudanya. Setelah mengikatkan tali kuda, ia langsung memerintahkan para prajuritnya untuk segera naik ke atas bukit yang berada tepat di atas lembah. Dengan penuh kehati-hatian dan terkesan senyap, Panglima Wanakarma dan para prajuritnya mulai bergerak perlahan naik ke atas bukit dengan maksud menyergap para prajurit musuh yang berada di beberapa saung yang mereka dirikan si atas bukit tersebut."Kalian langsung sergap mereka! Jika mereka tidak melakukan perlawanan jangan sakiti mereka!" perintah Panglima Wanakarma.Para prajurit itu pun segera melaksanakan tugas tersebut dan langsung

  • Sang Pendekar   Persiapan Dalam menggempur Para Pemberontak

    Ternyata semua rencana berjalan seperti yang telah diperhitungkan. Pasukan pemberontak akhirnya mundur tepat pada waktunya, meskipun para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak melakukan gangguan terhadap mereka.Pra prajurit kerajaan Sanggabuana yang baru tiba itu, sangat merasakan kenyamanan setelah melakukan perjalanan jauh, tiba di tempat tersebut tanpa ada halangan."Bersyukurlah, kita datang mereka sudah lebih dulu ketakutan dan menjauh dari tempat ini," ujar Wanakarma sang panglima perang yang baru saja pulang dari Kepatihan Waluya Jaya dan langsung ikut bersama Senopati Lintang ke Alas Conan."Aku harap, kalian bisa menikmati istirahat kalian malam ini," timpal Panglima Jaka Kelana.Dari kelima ratus prajurit yang dipimpinnya itu, yang bertugas jaga hanya sekitar seratus prajurit saja, itu pun secara bergiliran agar mereka tidak terlalu kelelahan ketika akan menggempur pertahanan musuh di dalam hutan tersebut."Kalian harus segera istirahat!" seru Pangl

  • Sang Pendekar   Senopati Lintang Hendak Mengusir Pemberontak

    Keesokan harinya tepat menjelang sore, Panglima Jaka Kelana dan Senopati Lintang serta ribuan pasukan dengan persenjataan lengkap sudah bersiap hendak melakukan perjalanan jauh menuju ke kadipaten Conan Selatan dan Conan Utara untuk mengamankan kedua kadipaten tersebut dari teror para pemberontak yang akhir-akhir ini kerap melakukan teror terhadap para penduduk.Tampak seribu prajurit khusus sudah bersiap untuk segera berangkat, ada sekitar 300 pasukan kuda dan 20 pedati yang ditarik oleh beberapa ekor sapi yang membawa peralatan kemah dan juga bahan makanan untuk perbekalan para prajurit selama bertugas di sana."Aku harap kalian berhati-hati dan waspada terhadap para pemberontak itu!" pesan Prabu Erlangga di sela pelepasan para prajurit kerajaan yang hendak bertugas menumpas para pemberontak yang berada di hutan Conan."Baik, Gusti Prabu," ucap Senopati Lintang.Selain dirinya, istrinya pun ikut dalam tugas tersebut. Winiresti bersama ratusan prajurit wanita dan pasuka

DMCA.com Protection Status