Menjelang tengah hari, Aryadana dan Anggadita serta dua rekannya sudah tiba di saung padepokan, mereka membawa tiga ekor rusa hasil buruan mereka.
Wajah Aryadana dan ketiga rekannya tampak semringah. Kedatangan mereka disambut hangat dengan penuh kegembiraan oleh para murid yang ada di padepokan itu.
"Anggadita!" panggil Erlangga."Iya, Pangeran," sahut Anggadita, ia langsung menyerahkan busur panah kepada salah satu murid padepokan tersebut. "Tolong simpan ini, aku mau menghadap Pangeran Erlangga!"
"Baik, Ki," jawab seorang murid padepokan langsung meraih panah dari tangan Anggadita.
Setelah itu, Anggadita bergegas melangkah menghampiri Erlangga yang berdiri di depan saung aula padepokan yang tidak jauh dari kamarnya.
"Ada apa, Pangeran?" tanya Anggadita meluruskan pandangannya ke wajah Erlangga.
"Temani aku, ke tempat yang kemarin aku ceritakan!" jawab Erlangga lirih.
"Maksud Pangeran ke tempat siluman itu?" tanya Anggadita mengangkat alis tinggi.
"Iya," jawab Erlangga tersenyum balas menatap wajah sahabatnya itu.
Anggadita tampak ragu dan seperti enggan untuk ikut dengan Erlangga. Erlangga faham akan kekhawatiran yang dirasakan oleh Anggadita.
"Kamu jangan khawatir, kita ke sana bukan untuk bertarung dengan siluman itu. Aku hanya ingin berdamai dengan mereka dan meminta bantuan kepada mereka untuk memata-matai paman senapati!" kata Erlangga seperti sudah mengetahui apa yang ada dalam pikirkan pria paruh baya itu.
"Kamu yakin, Pangeran? Mereka tidak akan mencelakai kita?" Anggadita masih tampak ragu.
"Ya, sudah ... kalau kamu tidak mau ikut. Aku berangkat sendiri saja!" Erlangga langsung melangkah berlalu dari hadapan Anggadita yang masih dalam keadaan ragu dan penuh kekhawatiran.
"Tunggu, Pangeran!" Anggadita berlari mengejar Erlangga.
Meskipun dalam dirinya diselimuti rasa takut, ia tetap memutuskan untuk ikut dengan Erlangga. Anggadita banyak berhutang budi kepada Erlangga. Sehingga ia tidak peduli dengan risiko yang akan terjadi menimpa dirinya setelah bertemu dengan para siluman ganas itu.
Erlangga terus melangkah dan pura-pura tidak mendengar teriakan dari sahabatnya.
"Pangeran!" teriak Anggadita berlari kencang mengejar Erlangga yang terus berjalan tidak mengindahkan teriaknya.
Erlangga sengaja berjalan dengan mengeluarkan ajian Langkah Tereh yang memiliki kecepatan tinggi. Setibanya di ujung perbukitan, Erlangga baru menghentikan langkahnya.
Sementara Anggadita jauh tertinggal dan masih terus berlari menuju ke arah Erlangga.
Setibanya di hadapan Erlangga, pendekar paruh baya itu tampak kelelahan dengan napas terengah-engah.
"Pangeran, kau membawa air minum tidak?" tanya Anggadita dengan napas tak beraturan, peluh di kening bercucuran membasahi wajahnya.
Erlangga hanya tersenyum, kemudian menyerahkan batang bambu yang berisi air minum kepada pria paruh baya itu.
Anggadita tampak kehausan hampir menghabiskan air dalam batang bambu yang dibuat khusus untuk tempat air minum.
"Istirahat dulu, Pangeran!" pinta Anggadita duduk di antara rerumputan hijau yang tumbuh subur di ujung perbukitan itu.
Erlangga hanya tersenyum dan duduk di sebelah kiri Anggadita. "Tadi katanya tidak mau ikut?" tanya Erlangga lirih.
"Aku ini adalah sahabatmu, tidak mungkin aku membiarkan kau berjalan sendirian," jawab Anggadita.
Beberapa saat kemudian, cuaca berubah seketika. Langit yang tadinya cerah berubah menjadi gelap dengan gumpalan awan hitam beriringan menutup sinar matahari, angin berhembus kencang membawa dedaunan kering dari pohon-pohon yang berdiri tegak di pinggiran bukit tersebut.
Anggadita dan Erlangga terperanjat, mereka merasa kaget dengan pemandangan seperti itu.
"Ada apa, Pangeran?" tanya Anggadita bangkit dan berusaha menguatkan posisi berdirinya dari hempasan angin yang tiba-tiba berhembus kencang.
"Kau tenang saja, jangan panik!" pinta Erlangga berdiri di hadapan Anggadita.
Tidak lama kemudian, keadaan berangsur membaik dan kembali seperti semula. Seketika angin pun berhenti dan langit pun kembali cerah.
Tanpa disadari oleh kedua pendekar itu, ternyata mereka sudah berada di suatu tempat yang asing yang sama sekali belum pernah mereka kunjungi sebelumnya.
"Ya, Dewata agung! Kita berada di mana ini, Pangeran?" tanya Anggadita mengerutkan kening.
Erlangga pun baru menyadari kalau dirinya saat itu, sudah berada di suatu tempat yang tidak ia kenali.
"Kamu jangan panik!" jawab Erlangga.
Tampak sebuah istana besar berdiri kokoh di antara padang rumput yang menghijau yang dikelilingi pohon-pohon besar, di sepanjang jalan yang mengarah ke istana tersebut di samping kiri dan kanan ditumbuhi tanaman bunga-bunga beraneka ragam warna yang mengeluarkan aroma wangi.
"Itu bangunan apa, Pangeran?" tanya Anggadita meluruskan dua bola matanya ke arah istana megah itu.
"Sepertinya itu istana gaib," terang Erlangga menjawab lirih pertanyaan dari sahabatnya itu. "Kita harus ke sana!" sambung Erlangga mengajak Anggadita untuk segera mendekati istana megah itu.
"Tapi, Pangeran—"
"Sudahlah, kau jangan khawatir!" potong Erlangga melangkahkan kedua kakinya untuk segera mendekati bangunan yang berdiri megah di sekitar padang rumput yang membentang luas itu.
Anggadita tidak banyak bicara lagi, ia pun segera melangkah mengikuti Erlangga. Meskipun dalam pikirannya diselimuti berbagai pertanyaan dan kecemasan.
Setibanya di depan pintu gerbang istana tersebut, Erlangga disambut dengan keagresifan para pengawal istana itu. Mereka serentak menyerang Erlangga dan Anggadita, pertarungan pun tak dapat terelakan. Dengan terpaksa Erlangga dan Anggadita melayani keagresifan dari para pengawal istana itu.
Mereka tampak berpenampilan mengerikan, wajahnya seperti hantu berambut gimbal dan bertaring serta mempunyai warna kulit merah kehitam-hitaman.
Anggadita sedikit kewalahan meladeni para prajurit jin itu, Anggadita terjatuh dan mengalami luka di pergelangan tangan karena tertusuk sebuah tombak dari para prajurit jin yang menyerangnya itu.
Erlangga langsung meloncat menghampiri Anggadita sembari terus melakukan pertarungan menangkis serangan para prajurit jin tersebut.
"Bangun, Anggadita!" teriak Erlangga.
Dengan cepat, Anggadita pun bangkit dan kembali melakukan perlawanan.
Dengan kemampuan ilmu bela diri yang dimilikinya, Erlangga berhasil mengalahkan para prajurit tersebut. Seketika para prajurit jin itu menghilang entah ke mana?
"Kamu tidak apa-apa, Anggadita?" tanya Erlangga menatap wajah kawannya.
"Tidak apa-apa, Pangeran. Hanya sedikit luka di pergelangan tanganku," jawab Anggadita melangkah mendekati Erlangga.
Tiba-tiba, pintu gerbang berderit kencang seiring dengan terbukanya pintu gerbang istana tersebut. Tampak beberapa prajurit sudah bersiap siaga dengan memegang berbagai persenjataan di tangan mereka.
Berdiri sesosok pria bertubuh besar dengan bermahkotakan emas dan mengenakan jubah kebesaran dari kerajaan tersebut. Dari penampilannya, sosok tersebut diduga kuat sebagai pimpinan para prajurit jin tersebut.
"Sampurasun!" ucap Erlangga bersikap ajrih di hadapan makhluk yang diduga kuat sebagai raja di istana gaib itu.
"Rampes," jawab makhluk yang mengenakan mahkota tersenyum lebar memandang wajah Erlangga.
"Mereka ini orang jahat, Baginda!" seru salah seorang punggawa istana. Ia melangkah mendekati sang raja. "Dia itu yang dulu menghajarku," sambungnya.
"Tunggu dulu! Jangan gegabah, dia menghajarmu mungkin karena tindakanmu yang ceroboh!" cegah sang raja tampak bijaksana.
"Daulat, Baginda," pria itu mundur beberapa langkah ke belakang.
"Silahkan masuk, Pangeran!" sambut raja itu tersenyum manis menatap wajah Erlangga.
Erlangga terkejut mendengar ucapan raja jin itu. Ia merasa heran kenapa raja jin itu mengetahui jati dirinya sebagai pangeran.
"Dia mengenali Pangeran," bisik Anggadita.
"Diam saja, kita ikuti ajakan mereka!" Erlangga balas berbisik kepada Anggadita.
"Terima kasih, Baginda," jawab Erlangga tersenyum ramah dan langsung melangkah masuk ke dalam halaman istana yang tampak megah dihiasi berbagai pernak-pernik yang terbuat dari emas.
Raja tersebut adalah Wanakerta, ia merupakan penguasa kerajaan gaib yang ada di sekitar perbukitan tersebut, dan punggawa yang tadi menuduh Erlangga dan Anggadita sebagai penjahat, itu adalah Sulima seorang senapati dari kerajaan gaib tersebut.
Erlangga dan Anggadita terus berjalan mengikuti langkah Wanakerta dan Sulima menuju ke dalam istana.
* * *Setibanya di dalam istana, Erlangga dan Anggadita dijamu meriah dengan berbagai makanan dan minuman. Mereka berdua diperlakukan layaknya tamu kehormatan kerajaan tersebut. Tak hanya itu, Erlangga dan Anggadita diberikan penghormatan khusus dari kerajaan dan didaulat sebagai tamu agung. "Pangeran jangan khawatir, buah-buahan dan makanan serta minuman yang aku hidangkan ini. Bukan makanan jin, melainkan makanan manusia khusus untuk Pangeran dan sahabat Pangeran!" tandas Prabu Wanakerta meyakinkan Erlangga yang tampak ragu menikmati hidangan yang sudah disuguhkan oleh para dayang istana kerajaan gaib itu. "Baiklah, Prabu. Aku percaya," sahut Erlangga tersenyum lebar. "Aku sudah tahu maksud dan niat Pangeran datang ke wilayah kerajaanku," ucap Wanakerta tersenyum lebar memandang wajah Erlangga. Erlangga menoleh ke arah Anggadita, mereka saling bertatapan. Sejatinya mereka merasa heran dengan pernyataan dar
Kemudian ia langsung mengajak Anggadita untuk segera melangkah ke padepokan dan mengabarkan kejadian yang mereka alami kepada Ki Bayu Seta yang saat itu sedang dirundung kecemasan dan kekhawatiran terhadap mereka berdua yang sudah delapan hari menghilang tanpa jejak. Setibanya di gerbang padepokan, Erlangga dan Anggadita disambut riang gembira oleh para murid padepokan tersebut. "Lihatlah! Pangeran sudah kembali!" teriak salah seorang murid padepokan berlari masuk ke dalam padepokan hendak memberitahukan sang guru tentang kedatangan Erlangga dan Anggadita. "Guru, Pangeran dan Anggadita sudah kembali," kata salah seorang murid memberitahukan Ki Bayu Seta tentang kedatangan Erlangga dan Anggadita. Ki Bayu Seta tampak bahagia, kemudian bangkit dan langsung melangkah keluar menuju ke beranda padepokan. Di halaman padepokan Erlangga dan Anggadita sedang dikerumuni oleh para murid padepokan. Mereka tampak riang gembira menyambut hangat kembalinya Er
Para prajurit tersebut langsung melaporkan kejadian yang mereka alami kepada Prabu Rawinta—seorang penguasa tamak dan keji itu. "Hanya menangkap seorang pendekar saja kalian tidak becus!" bentak Prabu Rawinta murka terhadap para prajuritnya. Setelah itu, Prabu Rawinta langsung memerintahkan Jaya Menda yang menjabat sebagai panglima perang di kerajaan tersebut, untuk segera melakukan penyisiran ke setiap pelosok desa dan dusun-dusun yang ada di wilayah kerajaan Kuta Tandingan. Jaya Menda bergerak cepat dalam melaksanakan titah rajanya itu. Ia mengumpulkan para prajurit dan langsung membagi tugas serta membentuk beberapa kelompok pasukan yang akan disebar ke seluruh wilayah kerajaan tersebut, dalam rangka melakukan pencarian Randu Aji yang sudah membuat kegaduhan dengan melakukan banyak teror membantai para prajurit kerajaan Kuta Tandingan. Hal tersebut ternyata diketahui oleh Prabu Wanake
Setelah mengetahui identitas pendekar bertopeng itu, Senapati Sulima diperintahkan oleh Prabu Wanakerta untuk segera menyampaikan kabar tersebut kepada Erlangga. "Sebaiknya kau segera menyampaikan kabar ini kepada Pangeran Erlangga!" perintah Prabu Wanakerta mengarah kepada senapatinya. "Baik, Gusti Prabu. Hamba akan segera menemui Pangeran Erlangga sekarang," jawab Senapati Sulima. Senapati Sulima langsung pamit kepada Prabu Wanakerta dan berlalu dari hadapan sang raja. Senapati Sulima saat itu juga langsung menjumpai Erlangga di Padepokan Kumbang Hitam, hendak memberitahu Erlangga tentang kesiapan Randu Aji untuk bergabung dengan para pendekar yang ada di Padepokan Kumbang Hitam. "Dugaanku ternyata benar, pendekar bertopeng itu adalah putra Paman Rumi," kata Erlangga berbicara di hadapan Senapati Sulima. "Dia sangat kuat dan mempunyai ilmu mirip dengan ilmu yang dimil
Randu Aji dan kedua rekannya tertawa lepas melihat sikap Sugriwa berlari kencang karena merasa takut dengan gertakannya. "Aku kira nyalinya Sugriwa sebesar badannya," seloroh Soarna tak hentinya tertawa. Randu Aji sedikit menepuk pundak Soarna. "Kita sore ini langsung ke Padepokan Kumbang Hitam, kalian siapkan perbekalan untuk di jalan!" kata Randu Aji melangkah kembali menuju ke arah hutan. "Kira-kira tempatnya jauh tidak dari sini?" tanya Soarna sembari terus berjalan mengikuti langkah sahabatnya itu. "Lumayan jauh diperkirakan kita sampai ke sana menjelang senja," jawab Randu Aji mengarah kepada Soarna. "Kita akan hidup enak di sana tanpa harus seperti ini lagi," sambung Randu Aji terus melangkah menyusuri jalan setapak menuju tempat tinggal mereka yang berada di dalam hutan tersebut. Setibanya di sebuah gubuk yang berdiri kokoh di tengah hutan belantara, Randu Aji meminta kedua sahabatnya u
Ketika Sargeni mengeluarkan sebilah kujang pusaka dari dalam tubuhnya. Tiba-tiba saja Sulima datang dan meminta Sargeni untuk mengurungkan niatnya menyerang kedua jin itu. "Hentikan, Ki Sanak! Mereka adalah saudara sebangsa denganku!" cegah Senapati Sulima. Sargeni pun langsung mengurungkan niatnya, dan kembali memasukan kujang tersebut ke dalam tubuhnya. Sulima melangkah menghampiri Randu Aji yang sedang duduk santai sembari menikmati makanan. "Maafkan perbuatan mereka, Raden." Senapati Sulima berlutut dan memberi hormat kepada Randu Aji. "Aku yang seharusnya meminta maaf kepadamu, Senapati," jawab Randu Aji penuh kerendahan hati. Senapati Sulima bangkit, kemudian langsung memerintahkan Durgala dan Dargala untuk segera pergi dari tempat itu, "Kalian pergi dari tempat ini dan jangan pernah mengganggu lagi!" "Baik, Senapati." Durgala dan Dargala menjura kepada
Ratusan murid dari Paguron silat Elang Putih, tiba di Padepokan Kumbang Hitam disambut hangat oleh Anggadita dan rekan-rekannya. Mereka langsung dibawa menghadap pimpinan padepokan tersebut. "Selamat datang para pendekar muda, selamat bergabung dengan Padepokan Kumbang Hitam!" seru Ki Bayu Seta berdiri tegak di hadapan para pendekar yang baru tiba itu. "Apakah kalian sungguh-sungguh untuk bergabung dengan kami?" sambung Ki Bayu Seta mengarah kepada para pendekar itu. Serentak para pendekar muda itu menjawab pertanyaan dari sang pemimpin Padepokan Kumbang Hitam, "Siap, Guru!" Ki Bayu Seta tersenyum lebar, ia merasa senang dengan kesiapan para pendekar itu, karena akan menambah kekuatan untuk kerajaan baru yang akan segera didirikan di bukit tersebut. Setelah itu, Ki Bayu Seta langsung memerintahkan Anggadita dan para murid lainnya untuk menjamu para pendekar yang baru tiba itu. "Kau tugaskan kaw
Satu Minggu kemudian, Prabu Erlangga langsung membuat gebrakan dengan mengutus lima ribu prajuritnya untuk membangun kota yang di dalamnya terdapat pemukiman warga, pasar dan pusat transaksi perdagangan rakyat.Kota tersebut dibangun di atas tanah yang di sebuah hutan di sekitaran perbukitan tersebut, hal itu dimaksudkan untuk menghidupkan roda perekonomian dan mensejahterakan rakyat agar tidak terlalu susah dalam menjajakan hasil panen mereka.Kota tersebut nantinya akan dikawal ketat oleh wadiya balad yang dipimpin langsung oleh Gondang Manik, secara bergilir mereka akan menjaga kota tersebut siang dan malam."Anggadita!" panggil Prabu Erlangga."Iya, Gusti Prabu," jawab Anggadita segera melangkah menghampiri sang raja."Besok kau bawa para prajurit untuk memastikan keamanan di daerah selatan kerjaan ini! Pastikan untuk pembangunan barak wadiya balad di s
Sore hari, setelah berangkatnya Senopati Yurawida ke istana kerajaan Sanggabuana. Maha Patih Akilang kembali melakukan perbincangan dengan para prajurit senior. Kebrutalan para prajurit kerajaan Sirnabaya masih menjadi topik penting dalam perbincangan tersebut."Hidupku tidak akan pernah merasa tenang sebelum bisa membalas kematian para prajurit kita dan aku berjanzi akan menghancurkan kerajaan Sirnabaya yang sudah bertindak sewenang-wenang terhadap kerajaan kita!" kata Maha Patih Akilang berbicara dengan para prajuritnya di pendapa istana kepatihan."Aku pikir ini semua hanya sebuah kesalahpahaman saja, Gusti Patih?" tanya seorang prajurit senior mengerutkan kening."Itu hanya alasan dari Jaka Sena. Sebenarnya ia sudah merancang sedemikian rupa," jawab Maha Patih Akilang di antara deru napas yang bergejolak penuh dengan amarah yang sudah membumbung tinggi di dalam jiwa dan pikirannya kala itu."Saat masih menjabat sebagai panglima pasukan sejagat raya pun, ia sudah berusaha menekan pa
Dengan demikian, Darunda dan Panglima Janeka terus berbincang sambil mengamati pergerakan pasukan musuh. Mereka duduk santai di sebuah bangku panjang yang ada di atas tembok raksasa yang menjulang tinggi—pagar pembatas dan benteng pertahanan wilayah kerajaan Sanggabuana."Prabu Wihesa adalah murid Ki Buyut Dalem, dia dibesarkan di wilayah kepatihan Waluya Jaya semasa masih menjadi sebuah kadipaten sebelum bergabung dengan kerajaan Sanggabuana," terang Panglima Janeka."Aku baru tahu, ternyata Wihesa merupakan seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kanuragan yang sangat mumpuni," ujar Darunda.Panglima Janeka menghela napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan perlahan sambil tersenyum memandang cahaya obor yang tampak remang-remang di tengah hutan.Posisi Panglima Janeka dan Darunda kala itu berada di atas tembok raksasa, sehingga apa pun yang terjadi di dalam hutan akan terlihat, apalagi dengan kondisi hutan yang gundul seperti itu.Kala itu, hanya D
Di saung tersebut, sang raja langsung membicarakan sesuatu yang sangat penting kepada pendekar muda itu. Sejatinya, raja dan maha patih sangat tertarik kepada Kumba dan mereka berniat untuk merekrut pemuda itu untuk menjadi seorang prajurit kerajaan.Semua berdasarkan penilaian dari sang raja dan maha patih yang suka dengan kepiawaian pendekar tersebut dalam hal olah kanuragan."Seandainya kau mau dan siap. Aku akan menawarkan sesuatu buatmu," kata sang raja lirih, pandangannya lurus ke wajah Kumba.Kumba menghela napas sejenak. Ia berpikir, "Apakah aku layak menjadi prajurit di kerajaan? Sedangkan kemampuanku hanya terbatas?"Maha Patih Randu Aji mengerutkan kening dan mengamati Kumba yang hanya diam termangu. "Jawablah! Jika kau bersedia, kau akan mendapatkan kedudukan sebagai prajurit dan bisa mendapatkan pelatihan khusus dari para pelatih ilmu beladiri di Padepokan Kumbang Hitam!" timpal Maha Patih Randu Aji menatap tajam wajah Kumba–sang pendekar muda
Ketika fajar sudah menyingsing, para prajurit kerajaan Sanggabuana segera bergerak melewati perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana. Kemudian, ribuan pasukan tersebut memasuki hutan dengan maksud mengambil jalan pintas hendak menuju barak para prajurit kerajaan Sirnabaya—yang menjadi target utama serangan pagi itu.Beberapa meter hampir mendekati target, Senopati Yurawida segera menyeru kepada para prajuritnya untuk berhenti sejenak. Dengan demikian, pasukan yang berjalan di barisan terdepan pun segera menghentikan langkah mereka."Tugas utama kita adalah menghancurkan barak musuh dan mengusir mereka agar menjauh dari daerah ini!" kata Senopati Yurawida berkata kepada para panglimanya yang kala itu berada di barisan terdepan ribuan pasukan tersebut."Tapi ingat! Kalian harus berhati-hati, jangan sampai menimbulkan banyak korban dari prajurit kita!" pinta sang senopati menambahkan."Baik, Senopati. Kami akan melindungi pasukan di barisan depan dengan menggun
Namun, para prajurit tersebut berlari dengan begitu cepat. Sehingga para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak dapat mengejar mereka.Entah ke mana larinya mereka? Langkah dan pergerakan mereka sudah tidak dapat dideteksi ketika masuk ke wilayah kerajaan Sirnabaya.Akan tetapi, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah dapat mengetahui, bahwa para penyusup itu merupakan kelompok prajurit kerajaan Sirnabaya yang sengaja masuk ke wilayah kedaulatan Kundar yang kini sudah masuk dalam wilayah kerajaan utama Sanggabuana.Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak Panglima Amerya yang kala itu dipercaya sebagai pimpinan keamanan di wilayah tersebut. "Apa maksud mereka, hingga berani menyusup ke wilayah kita?" tanya Panglima Amerya mengarah kepada seorang prajurit yang baru kembali setelah mengejar para penyusup itu.Prajurit itu mengerutkan keningnya, tampak tidak memahami apa yang dikehendaki dan direncanakan oleh para penyusup tersebut."Entahlah, aku p
Sebulan kemudian, Prabu Erlangga langsung memanggil Dewangga, Dasamuka, dan segenap tokoh masyarakat Conada. Prabu Erlangga hendak membicarakan kesepakatan bersama tentang pembentukan kadipaten Conada sesuai keinginan rakyat di daerah tersebut.Prabu Erlangga dan para tokoh utama Conada segera menggelar pembicaraan penting yang membahas pembentukan pejabat pemerintahan untuk memimpin kadipaten Conada, musyawarah tersebut dihadiri pula oleh para petinggi istana dan juga Adipati Sargeni serta Adipati Soarna sebagai perwakilan dari daerah yang dulunya merupakan bagian dari induk daerah Conada yang sebagian besar wilayah tersebut masuk di dalam wilayah pemerintahan dua kadipaten itu."Apakah kalian akan menyetujui dan menerima keputusanku, jika aku sendiri yang memilih siapa yang layak menjadi seorang pemimpin yang akan menjadi adipati di kadipaten Conada?" tanya sang raja di sela perbincangannya dengan para tokoh masyarakat Conada.Dasamuka dan tokoh masyarakat Conada ya
Beberapa saat kemudian, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah berhasil mendekat ke arah lembah tempat keberadaan para pemberontak tersebut, Panglima Wanakarma dan Panglima Jaka Kelana segera membagi tugas."Kau dengan 150 prajurit segera naik ke bukit sana, aku dan yang lainnya tetap di sini!" bisik Panglima Jaka Kelana."Baik, Panglima." Panglima Wanakarma segera turun dari kudanya. Setelah mengikatkan tali kuda, ia langsung memerintahkan para prajuritnya untuk segera naik ke atas bukit yang berada tepat di atas lembah. Dengan penuh kehati-hatian dan terkesan senyap, Panglima Wanakarma dan para prajuritnya mulai bergerak perlahan naik ke atas bukit dengan maksud menyergap para prajurit musuh yang berada di beberapa saung yang mereka dirikan si atas bukit tersebut."Kalian langsung sergap mereka! Jika mereka tidak melakukan perlawanan jangan sakiti mereka!" perintah Panglima Wanakarma.Para prajurit itu pun segera melaksanakan tugas tersebut dan langsung
Ternyata semua rencana berjalan seperti yang telah diperhitungkan. Pasukan pemberontak akhirnya mundur tepat pada waktunya, meskipun para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak melakukan gangguan terhadap mereka.Pra prajurit kerajaan Sanggabuana yang baru tiba itu, sangat merasakan kenyamanan setelah melakukan perjalanan jauh, tiba di tempat tersebut tanpa ada halangan."Bersyukurlah, kita datang mereka sudah lebih dulu ketakutan dan menjauh dari tempat ini," ujar Wanakarma sang panglima perang yang baru saja pulang dari Kepatihan Waluya Jaya dan langsung ikut bersama Senopati Lintang ke Alas Conan."Aku harap, kalian bisa menikmati istirahat kalian malam ini," timpal Panglima Jaka Kelana.Dari kelima ratus prajurit yang dipimpinnya itu, yang bertugas jaga hanya sekitar seratus prajurit saja, itu pun secara bergiliran agar mereka tidak terlalu kelelahan ketika akan menggempur pertahanan musuh di dalam hutan tersebut."Kalian harus segera istirahat!" seru Pangl
Keesokan harinya tepat menjelang sore, Panglima Jaka Kelana dan Senopati Lintang serta ribuan pasukan dengan persenjataan lengkap sudah bersiap hendak melakukan perjalanan jauh menuju ke kadipaten Conan Selatan dan Conan Utara untuk mengamankan kedua kadipaten tersebut dari teror para pemberontak yang akhir-akhir ini kerap melakukan teror terhadap para penduduk.Tampak seribu prajurit khusus sudah bersiap untuk segera berangkat, ada sekitar 300 pasukan kuda dan 20 pedati yang ditarik oleh beberapa ekor sapi yang membawa peralatan kemah dan juga bahan makanan untuk perbekalan para prajurit selama bertugas di sana."Aku harap kalian berhati-hati dan waspada terhadap para pemberontak itu!" pesan Prabu Erlangga di sela pelepasan para prajurit kerajaan yang hendak bertugas menumpas para pemberontak yang berada di hutan Conan."Baik, Gusti Prabu," ucap Senopati Lintang.Selain dirinya, istrinya pun ikut dalam tugas tersebut. Winiresti bersama ratusan prajurit wanita dan pasuka