Para prajurit tersebut langsung melaporkan kejadian yang mereka alami kepada Prabu Rawinta—seorang penguasa tamak dan keji itu.
"Hanya menangkap seorang pendekar saja kalian tidak becus!" bentak Prabu Rawinta murka terhadap para prajuritnya.
Setelah itu, Prabu Rawinta langsung memerintahkan Jaya Menda yang menjabat sebagai panglima perang di kerajaan tersebut, untuk segera melakukan penyisiran ke setiap pelosok desa dan dusun-dusun yang ada di wilayah kerajaan Kuta Tandingan.
Jaya Menda bergerak cepat dalam melaksanakan titah rajanya itu. Ia mengumpulkan para prajurit dan langsung membagi tugas serta membentuk beberapa kelompok pasukan yang akan disebar ke seluruh wilayah kerajaan tersebut, dalam rangka melakukan pencarian Randu Aji yang sudah membuat kegaduhan dengan melakukan banyak teror membantai para prajurit kerajaan Kuta Tandingan.
Hal tersebut ternyata diketahui oleh Prabu Wanakerta penguasa alam jin dari alas gunung Sanggabuana, ia langsung memerintah Senapati Sulima untuk mengabarkan hal tersebut kepada Erlangga.
"Segera sampaikan kabar ini kepada
Pangeran Erlangga!" perintah Prabu Wanakerta kepada senapatinya."Baik, Gusti Prabu. Hamba akan segera berangkat untuk menemui Pangeran Erlangga," jawab Senapati Sulima menjura kepada rajanya.
"Berangkatlah!" ujar sang raja memberikan perintah.
Dengan demikian, Senapati Sulima langsung menghilang dari hadapan Prabu Wanakerta, Senapati Sulima langsung menemui Pangeran Erlangga di Padepokan Kumbang Hitam.
Malam itu, ketika Pangeran Erlangga sedang duduk santai di beranda barak. Ia dikagetkan dengan munculnya asap putih yang membumbung tinggi di sudut beranda rumah tersebut.
Perlahan asap tersebut menghilang dan muncullah sesosok makhluk tinggi besar berambut gimbal bertaring—sangat menyeramkan.
Jika orang yang ditemuinya tidak mengenali makhluk tersebut. Mungkin orang itu akan kabur karena merasa takut dengan kemunculan sosok menyeramkan itu.
Namun, tidak berlaku bagi sang pangeran. Ia tampak santai dan tidak bereaksi apa-apa. Karena sang pangeran sudah mengenal makhluk tersebut.
Sosok jin itu adalah Senapati Sulima, ia bersimpuh di hadapan Erlangga seraya memberi salam hormat kepada sang pangeran.
"Sampurasun, Pangeran," ucap Senapati Sulima bersikap ramah dan menjura hormat kepada Erlangga.
"Rampes, Senapati," jawab Erlangga lirih.
Senapati Sulima mengangkat wajah mengarah kepada sang pangeran yang ada di hadapannya. Kemudian, Sulima langsung berkata lirih memberitahukan tentang kemunculan pendekar bertopeng tengkorak yang membuat gaduh di istana kerajaan Kuta Tandingan.
"Apakah Senapati tahu siapa pendekar itu?" tanya Erlangga meluruskan pandangannya ke wajah Senapati Sulima.
"Hamba tidak tahu, Pangeran. Karena hamba belum menyelidiki asal usul pendekar bertopeng itu," jawab Senapati Sulima.
"Aku harap Senapati bisa mencari tahu sesegera mungkin! Siapakah pendekar itu? Ajaklah dia untuk bergabung dengan kita!" tandas Erlangga memberikan perintah kepada jin tersebut.
"Baik, Pangeran. Hamba pamit sekarang," pungkas Senapati Sulima menjura hormat. Kemudian langsung menghilang dari hadapan sang pangeran.
"Apa mungkin dia itu merupakan putra dari Paman Rumi yang dulu setia kepada ayahku?" desis Erlangga bertanya-tanya sendiri.
Erlangga mulai menduga-duga, bahwa Randu Aji itu merupakan putra dari panglima perang kerajaan Kuta Tandingan semasa masih dalam kekuasaan Prabu Sanjaya–ayahandanya.
Setelah itu, Erlangga langsung membangunkan Anggadita, dan ia memberitahukan kepada kawannya itu, terkait kabar yang sudah disampaikan oleh Senapati Sulima beberapa waktu lalu.
"Syukurlah, Pangeran. Semoga pendekar itu dapat membantu perjuangan kita," tandas Anggadita dalam perbincangannya dengan Erlangga.
"Ya, sudah. Kau tidur lagi! Besok kita harus menghadap guru, karena aku ingin mengatakan tentang hal ini kepada guru!" pungkas sang pangeran bangkit, lalu melangkah menuju ke arah kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Anggadita.
Anggadita hanya tersenyum, lantas ia pun bangkit melangkah masuk ke dalam kamarnya.
* * *Keesokan harinya, telah terjadi kegaduhan kembali di istana kerjaan Kuta Tandingan, ada sekitar tiga puluh orang prajurit yang sedang berjaga di keraton para selir Prabu Rawinta, ditemukan tewas mengenaskan.Hal tersebut menjadikan Prabu Rawinta naik pitam, sehingga ia mulai menaruh kecurigaan kuat kepada rakyatnya sendiri terutama kepada para pemimpin perguruan-perguruan silat yang ada di wilayah kerajaan tersebut.
Dengan tegasnya Prabu Rawinta menuduh para petinggi dari seluruh paguron silat yang ada di seluruh wilayah kerajaannya sebagai otak di balik teror tersebut.
Hal itu ia kemukakan dalam sidang terbatas bersama para senapati dan panglima perang dari kerajaannya tersebut. Prabu Rawinta juga mengundang seluruh patih dan adipati di tiap-tiap wilayah kepatihan serta wilayah kadipaten untuk segera menghadapnya, dan meminta mereka untuk menangkap semua pimpinan padepokan-padepokan silat yang ada di wilayah kerajaan tersebut.
Randu Aji tampak puas dengan kekacauan yang terjadi di wilayah kerajaan tersebut. Ia bersama dua rekannya saat itu sedang berada di sebuah gubuk di tengah hutan. Mereka sedang melakukan perbincangan dan memikirkan tentang siasat dan rencana baru untuk mengadu domba dua kerajaan besar yakni kerajaan Kuta Tandingan dan kerajaan Kuta Waluya.
Dua kerajaan tersebut merupakan kerajaan yang sudah lama berkoalisi dari zaman runtuhnya kekuasaan Prabu Sanjaya. Dua kerajaan tersebut sama-sama memiliki seorang raja yang jahat dan terkenal dengan kekejamannya terhadap rakyat mereka sendiri.
"Tujuh hari ke depan kita akan kembali melakukan teror kepada Rawinta, kalian berdua menyusup ke istana dengan cara memakai baju kebesaran para wadiya balad kerjaan Kuta Waluya!" kata Randu Aji mengarah kepada Sargeni dan Soarna.
Kedua pendekar itu merupakan orang kepercayaan Randu Aji. Mereka sudah dipercaya karena mempunyai ilmu tingkat tinggi yang dapat menghilang ketika dalam situasi genting saat terpojok oleh musuh.
"Baiklah, kami akan menjalankan tugas dengan baik." Kedua pendekar itu tampak bersemangat menjalankan tugas dari Randu Aji yang sudah berkawan lama dengan mereka.
Randu Aji hanya tersenyum dan berkata lirih, "Ya, sudah. Sekarang kita makan saja dulu! Aku sudah memasak nasi dan membakar dua ekor ayam hutan!" ajak Randu Aji.
Kedua pendekar itu hanya menganggukkan kepala, lalu bergegas bangkit dan masuk ke dalam gubuk bersama Randu Aji untuk segera makan bersama.
Tanpa Randu Aji sadari, Sulima saat itu sedang mengintai gerak-geriknya. Senapati ulima sengaja melakukan penyelidikan terhadap Randu Aji dan kedua rekannya itu, atas perintah dari Erlangga.
"Ternyata pendekar bertopeng itu, Randu Aji," bisik Senapati Sulima terus meluruskan pandangannya ke arah Randu Aji.
Randu Aji merupakan putra dari Panglima perang kerajaan Kuta Tandingan semasa pemerintahan Prabu Sanjaya, yakni Rumi Suliwang seorang punggawa yang setia kepada Prabu Sanjaya dan hingga pada akhirnya ia diangkat menjadi panglima perang di kerajaan tersebut.
"Aku harus menemuinya sekarang juga," desis Senapati Sulima.
Ia langsung meloncat dari pohon tempatnya berdiri dan langsung menghampiri Randu Aji dan kedua rekannya yang sedang berada di dalam gubuk itu.
"Sampurasun," ucap Senapati Sulima.
Randu Aji dan kedua rekannya terperanjat, mereka bangkit dan langsung keluar dari dalam gubuk tersebut.
"Rampes, siapa kamu?" tanya Randu Aji menatap wajah Senapati Sulima penuh kecurigaan.
"Maafkan aku, Raden." Senapati Sulima menjura kepada Randu Aji sambil membungkukkan badan.
Ia langsung memperkenalkan diri dan mengutarakan niatnya di hadapan Randu Aji dan kedua rekannya.
"Aku adalah Sulima, aku diutus oleh Pangeran Erlangga untuk menemuimu, Raden," ujar Senapati Sulima berkata lirih.
Randu Aji mengerutkan kening, lalu bertanya, "Pangeran Erlangga itu siapa?" Randu Aji menatap tajam wajah Senapati Sulima penuh rasa penasaran.
"Pangeran Erlangga merupakan putra dari Prabu Sanjaya, ia sedang menghimpun kekuatan untuk kembali merebut tahta kerajaan. Jika Raden bersedia, sudi kiranya untuk bergabung bersama kami!" ungkap Senapati Sulima menjawab pertanyaan dari pendekar tampan itu.
Randu Aji hanya tersenyum, dan mengangguk tanda menyetujui ajakan dari Senapati Sulima. Randu Aji menanyakan tentang keberadaan Erlangga kepada Sulima, karena ia akan segera menemui Erlangga secepat mungkin.
Dengan senang hati Sulima memberitahukan tentang keberadaan Erlangga kepada Randu Aji.
"Pangeran Erlangga berada di Padepokan Kumbang Hitam."
"Baiklah kalau seperti itu, secepat mungkin aku akan menemui Pangeran Erlangga," tandas Randu Aji.
"Baiklah, Raden. Aku pamit sekarang," pungkas Senapati Sulima langsung menghilang dari hadapan Randu Aji dan kedua rekannya itu.
"Sebenarnya makhluk tadi itu siapa, Raden?" tanya Soarna mengerutkan kening, ia tampak penasaran sekali, karena tidak mengenali sesosok makhluk tersebut.
"Dia itu jin," jawab Randu Aji singkat.
Setelah itu, Randu Aji kembali mengajak kedua rekannya untuk melanjutkan makan yang tadi sempat tertunda karena kedatangan Senapati Sulima.
* * *Setelah mengetahui identitas pendekar bertopeng itu, Senapati Sulima diperintahkan oleh Prabu Wanakerta untuk segera menyampaikan kabar tersebut kepada Erlangga. "Sebaiknya kau segera menyampaikan kabar ini kepada Pangeran Erlangga!" perintah Prabu Wanakerta mengarah kepada senapatinya. "Baik, Gusti Prabu. Hamba akan segera menemui Pangeran Erlangga sekarang," jawab Senapati Sulima. Senapati Sulima langsung pamit kepada Prabu Wanakerta dan berlalu dari hadapan sang raja. Senapati Sulima saat itu juga langsung menjumpai Erlangga di Padepokan Kumbang Hitam, hendak memberitahu Erlangga tentang kesiapan Randu Aji untuk bergabung dengan para pendekar yang ada di Padepokan Kumbang Hitam. "Dugaanku ternyata benar, pendekar bertopeng itu adalah putra Paman Rumi," kata Erlangga berbicara di hadapan Senapati Sulima. "Dia sangat kuat dan mempunyai ilmu mirip dengan ilmu yang dimil
Randu Aji dan kedua rekannya tertawa lepas melihat sikap Sugriwa berlari kencang karena merasa takut dengan gertakannya. "Aku kira nyalinya Sugriwa sebesar badannya," seloroh Soarna tak hentinya tertawa. Randu Aji sedikit menepuk pundak Soarna. "Kita sore ini langsung ke Padepokan Kumbang Hitam, kalian siapkan perbekalan untuk di jalan!" kata Randu Aji melangkah kembali menuju ke arah hutan. "Kira-kira tempatnya jauh tidak dari sini?" tanya Soarna sembari terus berjalan mengikuti langkah sahabatnya itu. "Lumayan jauh diperkirakan kita sampai ke sana menjelang senja," jawab Randu Aji mengarah kepada Soarna. "Kita akan hidup enak di sana tanpa harus seperti ini lagi," sambung Randu Aji terus melangkah menyusuri jalan setapak menuju tempat tinggal mereka yang berada di dalam hutan tersebut. Setibanya di sebuah gubuk yang berdiri kokoh di tengah hutan belantara, Randu Aji meminta kedua sahabatnya u
Ketika Sargeni mengeluarkan sebilah kujang pusaka dari dalam tubuhnya. Tiba-tiba saja Sulima datang dan meminta Sargeni untuk mengurungkan niatnya menyerang kedua jin itu. "Hentikan, Ki Sanak! Mereka adalah saudara sebangsa denganku!" cegah Senapati Sulima. Sargeni pun langsung mengurungkan niatnya, dan kembali memasukan kujang tersebut ke dalam tubuhnya. Sulima melangkah menghampiri Randu Aji yang sedang duduk santai sembari menikmati makanan. "Maafkan perbuatan mereka, Raden." Senapati Sulima berlutut dan memberi hormat kepada Randu Aji. "Aku yang seharusnya meminta maaf kepadamu, Senapati," jawab Randu Aji penuh kerendahan hati. Senapati Sulima bangkit, kemudian langsung memerintahkan Durgala dan Dargala untuk segera pergi dari tempat itu, "Kalian pergi dari tempat ini dan jangan pernah mengganggu lagi!" "Baik, Senapati." Durgala dan Dargala menjura kepada
Ratusan murid dari Paguron silat Elang Putih, tiba di Padepokan Kumbang Hitam disambut hangat oleh Anggadita dan rekan-rekannya. Mereka langsung dibawa menghadap pimpinan padepokan tersebut. "Selamat datang para pendekar muda, selamat bergabung dengan Padepokan Kumbang Hitam!" seru Ki Bayu Seta berdiri tegak di hadapan para pendekar yang baru tiba itu. "Apakah kalian sungguh-sungguh untuk bergabung dengan kami?" sambung Ki Bayu Seta mengarah kepada para pendekar itu. Serentak para pendekar muda itu menjawab pertanyaan dari sang pemimpin Padepokan Kumbang Hitam, "Siap, Guru!" Ki Bayu Seta tersenyum lebar, ia merasa senang dengan kesiapan para pendekar itu, karena akan menambah kekuatan untuk kerajaan baru yang akan segera didirikan di bukit tersebut. Setelah itu, Ki Bayu Seta langsung memerintahkan Anggadita dan para murid lainnya untuk menjamu para pendekar yang baru tiba itu. "Kau tugaskan kaw
Satu Minggu kemudian, Prabu Erlangga langsung membuat gebrakan dengan mengutus lima ribu prajuritnya untuk membangun kota yang di dalamnya terdapat pemukiman warga, pasar dan pusat transaksi perdagangan rakyat.Kota tersebut dibangun di atas tanah yang di sebuah hutan di sekitaran perbukitan tersebut, hal itu dimaksudkan untuk menghidupkan roda perekonomian dan mensejahterakan rakyat agar tidak terlalu susah dalam menjajakan hasil panen mereka.Kota tersebut nantinya akan dikawal ketat oleh wadiya balad yang dipimpin langsung oleh Gondang Manik, secara bergilir mereka akan menjaga kota tersebut siang dan malam."Anggadita!" panggil Prabu Erlangga."Iya, Gusti Prabu," jawab Anggadita segera melangkah menghampiri sang raja."Besok kau bawa para prajurit untuk memastikan keamanan di daerah selatan kerjaan ini! Pastikan untuk pembangunan barak wadiya balad di s
Arumbi menarik napas dalam-dalam, kemudian menjawab lirih pertanyaan dari Aryadana, "Prajurit kita yang gugur ada sekitar 54 orang," kata Arumbi memberitahukan kepada Aryadana."Kita harus memperketat pengawasan di daerah ini, Prabu Erlangga sudah melakukan penjajakan dengan kerajaan Cen Seung Tong terkait pengadaan meriam dan perlengkapan perang lainnya yang diperkirakan akan segera tiba dalam waktu dekat ini. Persenjataan itu semua akan menjadi pelengkap para prajurit kita di sini," tutur Aryadana.Prabu Erlangga sudah menjalin hubungan baik dengan beberapa kerajaan besar, seperti kerajaan Sirna Baya dan kerajaan Kuta Gandok serta kerajaan pemasok persenjataan dari daratan China yakni kerajaan Cen Seung Tong, yang mempunyai seorang kaisar bijaksana dan sangat menjalin hubungan baik dengan kerajaan Kuta Tandingan semasa hidupnya mendiang Prabu Sanjaya ayahanda Prabu Erlangga."Lantas, jika ada praju
Satu hari kemudian....Pertempuran pun pecah, para prajurit kerajaan Kuta Tandingan di bawah pimpinan Sugriwa menyerang barak prajurit kerajaan Kuta Waluya di sepanjang perbatasan kedua wilayah kerajaan tersebut. Ribuan korban pun berjatuhan di antara kedua belah pihak, hal ini memicu konflik baru bagi kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Rawinta.Prabu Rawinta terlalu bernafsu dan penuh amarah, pasukannya terus melakukan penyerangan terhadap kerajaan yang diduga kuat sebagai otak di balik teror yang selama ini terjadi.Tanpa ia sadari serangan-serangan yang ia lancarkan terhadap kerajaan Kuta Waluya, menimbulkan dampak buruk yang menyebabkan perekonomi kerajaan tersebut secara perlahan menurun.Namun berkat gagasan yang brilian dari Prabu Rawinta dan juga kelicikannya. Ia berhasil melakukan siasat barunya yakni berhasil menguasai sebagian wilayah kerajaan Kuta Waluya yang merupaka
Di tempat terpisah, Arumbi dan Anggadita sedang melakukan pertarungan melawan belasan gerombolan rampok yang menyatroni rumah-rumah penduduk yang ada di dekat barak prajurit kerajaan Sanggabuana. "Serahkan kembali harta benda penduduk yang kalian rampas!" gertak Anggadita mengarah kepada pimpinan gerombolan rampok itu. "Tidak semudah itu, Ki Sanak. Kau harus melangkahi mayat-mayat kami terlebih dahulu untuk bisa mengambil kembali ini semua!" ujar pria berjanggut tebal berdiri gagah di hadapan Anggadita dan Arumbi. "Bedebah kau!" bentak Arumbi. Tanpa pikir panjang lagi Arumbi langsung melakukan serangan terhadap para perompak itu. Demikian pula dengan Anggadita, ia segera membantu Arumbi dalam melakukan perlawanan terhadap para perampok tersebut. Arumbi tampak beringas dalam melakukan pertarungan itu. Dengan bermodalkan ilmu bela diri yang mumpuni, Arumbi mampu mengalahkan beberapa orang komplotan perampok tersebut. "Rasakan ini!" teriak Arumbi menyabetkan pedang ke arah pria berj
Sore hari, setelah berangkatnya Senopati Yurawida ke istana kerajaan Sanggabuana. Maha Patih Akilang kembali melakukan perbincangan dengan para prajurit senior. Kebrutalan para prajurit kerajaan Sirnabaya masih menjadi topik penting dalam perbincangan tersebut."Hidupku tidak akan pernah merasa tenang sebelum bisa membalas kematian para prajurit kita dan aku berjanzi akan menghancurkan kerajaan Sirnabaya yang sudah bertindak sewenang-wenang terhadap kerajaan kita!" kata Maha Patih Akilang berbicara dengan para prajuritnya di pendapa istana kepatihan."Aku pikir ini semua hanya sebuah kesalahpahaman saja, Gusti Patih?" tanya seorang prajurit senior mengerutkan kening."Itu hanya alasan dari Jaka Sena. Sebenarnya ia sudah merancang sedemikian rupa," jawab Maha Patih Akilang di antara deru napas yang bergejolak penuh dengan amarah yang sudah membumbung tinggi di dalam jiwa dan pikirannya kala itu."Saat masih menjabat sebagai panglima pasukan sejagat raya pun, ia sudah berusaha menekan pa
Dengan demikian, Darunda dan Panglima Janeka terus berbincang sambil mengamati pergerakan pasukan musuh. Mereka duduk santai di sebuah bangku panjang yang ada di atas tembok raksasa yang menjulang tinggi—pagar pembatas dan benteng pertahanan wilayah kerajaan Sanggabuana."Prabu Wihesa adalah murid Ki Buyut Dalem, dia dibesarkan di wilayah kepatihan Waluya Jaya semasa masih menjadi sebuah kadipaten sebelum bergabung dengan kerajaan Sanggabuana," terang Panglima Janeka."Aku baru tahu, ternyata Wihesa merupakan seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kanuragan yang sangat mumpuni," ujar Darunda.Panglima Janeka menghela napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan perlahan sambil tersenyum memandang cahaya obor yang tampak remang-remang di tengah hutan.Posisi Panglima Janeka dan Darunda kala itu berada di atas tembok raksasa, sehingga apa pun yang terjadi di dalam hutan akan terlihat, apalagi dengan kondisi hutan yang gundul seperti itu.Kala itu, hanya D
Di saung tersebut, sang raja langsung membicarakan sesuatu yang sangat penting kepada pendekar muda itu. Sejatinya, raja dan maha patih sangat tertarik kepada Kumba dan mereka berniat untuk merekrut pemuda itu untuk menjadi seorang prajurit kerajaan.Semua berdasarkan penilaian dari sang raja dan maha patih yang suka dengan kepiawaian pendekar tersebut dalam hal olah kanuragan."Seandainya kau mau dan siap. Aku akan menawarkan sesuatu buatmu," kata sang raja lirih, pandangannya lurus ke wajah Kumba.Kumba menghela napas sejenak. Ia berpikir, "Apakah aku layak menjadi prajurit di kerajaan? Sedangkan kemampuanku hanya terbatas?"Maha Patih Randu Aji mengerutkan kening dan mengamati Kumba yang hanya diam termangu. "Jawablah! Jika kau bersedia, kau akan mendapatkan kedudukan sebagai prajurit dan bisa mendapatkan pelatihan khusus dari para pelatih ilmu beladiri di Padepokan Kumbang Hitam!" timpal Maha Patih Randu Aji menatap tajam wajah Kumba–sang pendekar muda
Ketika fajar sudah menyingsing, para prajurit kerajaan Sanggabuana segera bergerak melewati perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana. Kemudian, ribuan pasukan tersebut memasuki hutan dengan maksud mengambil jalan pintas hendak menuju barak para prajurit kerajaan Sirnabaya—yang menjadi target utama serangan pagi itu.Beberapa meter hampir mendekati target, Senopati Yurawida segera menyeru kepada para prajuritnya untuk berhenti sejenak. Dengan demikian, pasukan yang berjalan di barisan terdepan pun segera menghentikan langkah mereka."Tugas utama kita adalah menghancurkan barak musuh dan mengusir mereka agar menjauh dari daerah ini!" kata Senopati Yurawida berkata kepada para panglimanya yang kala itu berada di barisan terdepan ribuan pasukan tersebut."Tapi ingat! Kalian harus berhati-hati, jangan sampai menimbulkan banyak korban dari prajurit kita!" pinta sang senopati menambahkan."Baik, Senopati. Kami akan melindungi pasukan di barisan depan dengan menggun
Namun, para prajurit tersebut berlari dengan begitu cepat. Sehingga para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak dapat mengejar mereka.Entah ke mana larinya mereka? Langkah dan pergerakan mereka sudah tidak dapat dideteksi ketika masuk ke wilayah kerajaan Sirnabaya.Akan tetapi, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah dapat mengetahui, bahwa para penyusup itu merupakan kelompok prajurit kerajaan Sirnabaya yang sengaja masuk ke wilayah kedaulatan Kundar yang kini sudah masuk dalam wilayah kerajaan utama Sanggabuana.Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak Panglima Amerya yang kala itu dipercaya sebagai pimpinan keamanan di wilayah tersebut. "Apa maksud mereka, hingga berani menyusup ke wilayah kita?" tanya Panglima Amerya mengarah kepada seorang prajurit yang baru kembali setelah mengejar para penyusup itu.Prajurit itu mengerutkan keningnya, tampak tidak memahami apa yang dikehendaki dan direncanakan oleh para penyusup tersebut."Entahlah, aku p
Sebulan kemudian, Prabu Erlangga langsung memanggil Dewangga, Dasamuka, dan segenap tokoh masyarakat Conada. Prabu Erlangga hendak membicarakan kesepakatan bersama tentang pembentukan kadipaten Conada sesuai keinginan rakyat di daerah tersebut.Prabu Erlangga dan para tokoh utama Conada segera menggelar pembicaraan penting yang membahas pembentukan pejabat pemerintahan untuk memimpin kadipaten Conada, musyawarah tersebut dihadiri pula oleh para petinggi istana dan juga Adipati Sargeni serta Adipati Soarna sebagai perwakilan dari daerah yang dulunya merupakan bagian dari induk daerah Conada yang sebagian besar wilayah tersebut masuk di dalam wilayah pemerintahan dua kadipaten itu."Apakah kalian akan menyetujui dan menerima keputusanku, jika aku sendiri yang memilih siapa yang layak menjadi seorang pemimpin yang akan menjadi adipati di kadipaten Conada?" tanya sang raja di sela perbincangannya dengan para tokoh masyarakat Conada.Dasamuka dan tokoh masyarakat Conada ya
Beberapa saat kemudian, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah berhasil mendekat ke arah lembah tempat keberadaan para pemberontak tersebut, Panglima Wanakarma dan Panglima Jaka Kelana segera membagi tugas."Kau dengan 150 prajurit segera naik ke bukit sana, aku dan yang lainnya tetap di sini!" bisik Panglima Jaka Kelana."Baik, Panglima." Panglima Wanakarma segera turun dari kudanya. Setelah mengikatkan tali kuda, ia langsung memerintahkan para prajuritnya untuk segera naik ke atas bukit yang berada tepat di atas lembah. Dengan penuh kehati-hatian dan terkesan senyap, Panglima Wanakarma dan para prajuritnya mulai bergerak perlahan naik ke atas bukit dengan maksud menyergap para prajurit musuh yang berada di beberapa saung yang mereka dirikan si atas bukit tersebut."Kalian langsung sergap mereka! Jika mereka tidak melakukan perlawanan jangan sakiti mereka!" perintah Panglima Wanakarma.Para prajurit itu pun segera melaksanakan tugas tersebut dan langsung
Ternyata semua rencana berjalan seperti yang telah diperhitungkan. Pasukan pemberontak akhirnya mundur tepat pada waktunya, meskipun para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak melakukan gangguan terhadap mereka.Pra prajurit kerajaan Sanggabuana yang baru tiba itu, sangat merasakan kenyamanan setelah melakukan perjalanan jauh, tiba di tempat tersebut tanpa ada halangan."Bersyukurlah, kita datang mereka sudah lebih dulu ketakutan dan menjauh dari tempat ini," ujar Wanakarma sang panglima perang yang baru saja pulang dari Kepatihan Waluya Jaya dan langsung ikut bersama Senopati Lintang ke Alas Conan."Aku harap, kalian bisa menikmati istirahat kalian malam ini," timpal Panglima Jaka Kelana.Dari kelima ratus prajurit yang dipimpinnya itu, yang bertugas jaga hanya sekitar seratus prajurit saja, itu pun secara bergiliran agar mereka tidak terlalu kelelahan ketika akan menggempur pertahanan musuh di dalam hutan tersebut."Kalian harus segera istirahat!" seru Pangl
Keesokan harinya tepat menjelang sore, Panglima Jaka Kelana dan Senopati Lintang serta ribuan pasukan dengan persenjataan lengkap sudah bersiap hendak melakukan perjalanan jauh menuju ke kadipaten Conan Selatan dan Conan Utara untuk mengamankan kedua kadipaten tersebut dari teror para pemberontak yang akhir-akhir ini kerap melakukan teror terhadap para penduduk.Tampak seribu prajurit khusus sudah bersiap untuk segera berangkat, ada sekitar 300 pasukan kuda dan 20 pedati yang ditarik oleh beberapa ekor sapi yang membawa peralatan kemah dan juga bahan makanan untuk perbekalan para prajurit selama bertugas di sana."Aku harap kalian berhati-hati dan waspada terhadap para pemberontak itu!" pesan Prabu Erlangga di sela pelepasan para prajurit kerajaan yang hendak bertugas menumpas para pemberontak yang berada di hutan Conan."Baik, Gusti Prabu," ucap Senopati Lintang.Selain dirinya, istrinya pun ikut dalam tugas tersebut. Winiresti bersama ratusan prajurit wanita dan pasuka