Setelah mengetahui identitas pendekar bertopeng itu, Senapati Sulima diperintahkan oleh Prabu Wanakerta untuk segera menyampaikan kabar tersebut kepada Erlangga.
"Sebaiknya kau segera menyampaikan kabar ini kepada Pangeran Erlangga!" perintah Prabu Wanakerta mengarah kepada senapatinya.
"Baik, Gusti Prabu. Hamba akan segera menemui Pangeran Erlangga sekarang," jawab Senapati Sulima.
Senapati Sulima langsung pamit kepada Prabu Wanakerta dan berlalu dari hadapan sang raja. Senapati Sulima saat itu juga langsung menjumpai Erlangga di Padepokan Kumbang Hitam, hendak memberitahu Erlangga tentang kesiapan Randu Aji untuk bergabung dengan para pendekar yang ada di Padepokan Kumbang Hitam.
"Dugaanku ternyata benar, pendekar bertopeng itu adalah putra Paman Rumi," kata Erlangga berbicara di hadapan Senapati Sulima.
"Dia sangat kuat dan mempunyai ilmu mirip dengan ilmu yang dimiliki oleh mendiang Gusti Prabu Sanjaya," terang Senapati Sulima berdecak kagum.
"Memang benar. Ayahanda dan Paman Rumi merupakan sahabat satu paguron, dan mereka juga pernah berlatih ilmu kanuragan di Padepokan Wereng Ireng di alas Purba," tandas sang pangeran.
Perbincangan tersebut tidak berlangsung lama, Senapati Sulima pun langsung pamit kepada Erlangga untuk kembali ke alamnya. Dengan penuh rasa hormat Senapati Sulima meminta izin untuk segera pulang.
"Aku izin untuk pulang sekarang, Pangeran," ucap Sulima menundukkan kepala di hadapan Erlangga.
"Iya, Senapati. Terima kasih banyak sudah membantuku," jawab Erlangga.
Saat itu juga, Senapati Sulima langsung menghilang dari hadapan Erlangga.
"Aku harus menemui guru sekarang," bisik Erlangga bangkit dan melangkah keluar, hendak menemui sang guru.
Ia bergegas menemui Ki Bayu Seta yang saat itu sedang bercengkrama dengan Anggadita dan juga Aryadana di dalam padepokan.
"Sampurasun," ucap Erlangga menjura hormat kepada sang guru.
"Rampes," jawab Ki Bayu Seta dan kedua muridnya yang saat itu tengah bersamanya. "Silahkan duduk, Pangeran!" sambung Ki Bayu Seta tersenyum hangat menyambut kedatangan Erlangga.
"Hatur nuhun, Guru. (Terima kasih, Guru)." Erlangga langsung duduk di hadapan sang guru dengan sikap ajrih.
"Ada apa, Pangeran?" tanya Ki Bayu Seta meluruskan pandangannya ke wajah Erlangga yang duduk di hadapannya.
"Mohon maaf sebelumnya, Guru. Aku ingin mengatakan hal penting kepada Guru," jawab Erlangga lirih.
"Tentang apa, Pangeran?" KI Bayu Seta mengerutkan kening tampak penasaran dengan apa yang hendak diutarakan oleh muridnya itu.
Erlangga menarik napas sejenak. Lalu menjawab pertanyaan dari gurunya, "Aku sudah mengetahui siapa itu pendekar topeng tengkorak." Erlangga mengungkapkan apa yang ia ketahui berdasarkan informasi dari Senapati Sulima. "Aku pun sudah mengutus Senapati Sulima untuk meminta pendekar itu bergabung dengan kita," sambungnya lirih.
"Lantas, apakah pendekar itu setuju untuk datang dan bergabung dengan kita?" tanya Ki Bayu Seta, bola matanya terus terarah ke wajah muridnya itu.
"Dia setuju, Guru. Dan akan secepatnya datang ke padepokan ini," tandas Erlangga menjawab pertanyaan sang guru.
Selain membicarakan tentang Randu Aji sang pendekar bertopeng tengkorak, Erlangga juga sedikit mengusulkan kepada sang guru untuk membentuk tim khusus yang akan diberi tugas mendatangi paguron-paguron yang ada di sekitaran dusun-dusun di bawah kaki gunung Sanggabuana. Dengan maksud mengajak mereka untuk bergabung dengan Padepokan Kumbang Hitam demi mempersiapkan diri untuk membentuk pasukan yang kuat sebagai persiapan menyerang kerajaan Kuta Tandingan yang masih dalam kekuasaan Senapati Rawinta yang mendaulat dirinya sendiri sebagai raja di kerajaan tersebut.
Ki Bayu Seta pun setuju dengan apa yang diusulkan oleh Erlangga kepadanya. Saat itu juga Ki Bayu Seta langsung mengumpulkan 15 pendekar senior yang ada di padepokan tersebut termasuk Erlangga, Aryadana, dan Anggadita. Kemudian langsung dibentuk tim untuk menjalankan misi menyebar ke seluruh paguron-paguron persilatan yang ada di sekitaran daerah tersebut, dengan maksud mengajak para pimpinan paguron tersebut untuk bergabung dengan Padepokan Kumbang Hitam.
* * *Di tempat terpisah, Randu Aji dan kedua rekannya sedang melancarkan aksi. Mereka tengah menghadang para prajurit kerajaan Kuta Tandingan yang saat itu sedang melakukan perjalanan menuju salah satu dusun yang ada di wilayah tersebut, dengan niat hendak menangkap salah seorang pimpinan padepokan yang ada di dusun tersebut.Randu Aji meminta kepada Soarna dan Sargeni untuk mendekati iring-iringan para tentara itu dan menyamar sebagai petani biasa. Kedua pendekar itu setuju dan langsung melaksanakan tugas yang diemban oleh Randu Aji kepada mereka.
"Berhentilah!" seru salah seorang pimpinan prajurit kerajaan Kuta Tandingan mengarah kepada para prajuritnya.
"Ada apa, Panglima?" tanya salah seorang wadiya balad merasa heran dengan sikap panglimanya yang secara tiba-tiba memerintahkan mereka untuk berhenti.
"Di depan sana ada dua petani! Kita hampiri mereka dan cari informasi tentang keberadaan padepokan silat yang ada di daerah ini. Kalau mereka enggan untuk memberitahu, bunuh saja mereka!" tegas sang panglima menjawab pertanyaan dari prajuritnya.
"Baik, Panglima." Prajurit itu menyahut penuh kesiapan.
Dengan demikian, rombongan para prajurit itu langsung melangkah menghampiri Sargeni dan Soarna yang saat itu sedang menyamar sebagai dua orang petani.
Mereka sedang duduk santai di pinggiran ladang di tempat itu, Sargeni dan Soarna bersikap seperti orang ketakutan, ketika para prajurit itu tiba di hadapannya.
"Hai, Petani! Apa kalian tahu tempat Padepokan Elang putih?" tanya Sugriwa menatap tajam ke arah Sargeni dan Soarna yang saat itu berpura-pura sebagai petani.
"Kami tidak tahu, Den," jawab mereka serentak.
"Jangan bohong kalian! Kalian akan tahu akibatnya jika berdusta!" gertak Sugriwa tampak geram mendengar jawaban dari Sargeni dan Soarna.
"Sumpah, Raden. Kami tidak tahu apa-apa tentang paguron itu," tandas Soarna bersimpuh di hadapan para prajurit yang berperawakan tinggi besar dan gagah itu.
Sugriwa dengan segenap kegagahan yang ia miliki melangkah penuh keangkuhan, dan langsung menghunus pedangnya, kemudian ujung pedangnya yang tampak tajam ia arahkan ke leher Soarna.
Seketika para prajuritnya pun mengikuti langkah pimpinannya itu mereka melangkah, merapat dan berdiri mengitari dua pemuda itu.
Randu Aji hanya mengamati dari atas dahan pohon besar yang tidak jauh dari tempat dikepungnya Sargeni dan Soarna oleh para prajurit itu.
"Kami tidak tahu, Den."
"Bedebah, bunuh mereka!" teriak Sugriwa memerintah kepada para prajuritnya yang berjumlah belasan orang itu, agar segera membinasakan dua orang yang tengah menyamar menjadi petani.
Mendengar titah dari Sugriwa para prajurit itu tampak bersemangat seakan-akan mereka haus darah dan rindu dengan pertarungan. Belasan prajurit itu langsung melancarkan serangan, dan menggulung Sargeni dan Soarna.
Namun ada keanehan yang mereka alami, mereka justru saling menancapkan pedang kepada rekannya sendiri, sehingga menyebabkan sebagian di antara mereka gugur berjatuhan karena terkena tusukan pedang dan tombak dari rekannya sendiri, hingga hanya tersisa dua orang prajurit saja.
"Hentikan!" teriak Sugriwa, ia tampak terheran-heran ketika tahu dua orang yang sedang dikepung oleh para prajuritnya sudah tidak ada di tempat tersebut.
"Ke mana larinya dua orang petani itu?" Sugriwa tampak geram dan merasakan ada hal yang aneh tidak masuk dalam akal pikirannya.
"Niscaya ini semua bisa terjadi, Panglima," ucap salah seorang prajurit yang masih hidup itu. "Apakah mereka bangsa lelembut yang menguasai tempat ini?" sambungnya mengerutkan kening.
"Ya, aku lelembut yang akan menghancurkan tubuh kalian dan memotong leher kalian!" seru Randu Aji.
Ia langsung meloncat dari dahan pohon tersebut, dan mendarat sempurna di hadapan ketiga prajurit yang masih hidup itu.
Kemudian disusul oleh Sargeni dan Soarna yang bangkit di antara mayat-mayat para prajurit yang sudah tewas.
Sugriwa terperanjat dan merasa aneh dengan pemandangan yang menghias penglihatannya kala itu.
"Tidak masuk akal ... kenapa dua orang itu bangkit di antara mayat-mayat prajuritku? Padahal tadi jelas di antara tumpukkan mayat prajurit, dua orang itu tidak ada di sana?!" desis Sugriwa tampak bingung.
"Aku sarankan kalian pulang ke istana. Sebelum nasib sial menimpa kalian!" tegas Randu Aji.
Tanpa menjawab pertanyaan dari Randu Aji, Sugriwa langsung membalikan badan, kemudian berlari kencang menjauh dari Randu Aji dan meninggalkan kedua prajuritnya.
"Tunggu, Panglima!" teriak dua prajurit itu, mereka langsung berlari mengejar Sugriwa yang sudah kabur lebih dulu.
* * *Randu Aji dan kedua rekannya tertawa lepas melihat sikap Sugriwa berlari kencang karena merasa takut dengan gertakannya. "Aku kira nyalinya Sugriwa sebesar badannya," seloroh Soarna tak hentinya tertawa. Randu Aji sedikit menepuk pundak Soarna. "Kita sore ini langsung ke Padepokan Kumbang Hitam, kalian siapkan perbekalan untuk di jalan!" kata Randu Aji melangkah kembali menuju ke arah hutan. "Kira-kira tempatnya jauh tidak dari sini?" tanya Soarna sembari terus berjalan mengikuti langkah sahabatnya itu. "Lumayan jauh diperkirakan kita sampai ke sana menjelang senja," jawab Randu Aji mengarah kepada Soarna. "Kita akan hidup enak di sana tanpa harus seperti ini lagi," sambung Randu Aji terus melangkah menyusuri jalan setapak menuju tempat tinggal mereka yang berada di dalam hutan tersebut. Setibanya di sebuah gubuk yang berdiri kokoh di tengah hutan belantara, Randu Aji meminta kedua sahabatnya u
Ketika Sargeni mengeluarkan sebilah kujang pusaka dari dalam tubuhnya. Tiba-tiba saja Sulima datang dan meminta Sargeni untuk mengurungkan niatnya menyerang kedua jin itu. "Hentikan, Ki Sanak! Mereka adalah saudara sebangsa denganku!" cegah Senapati Sulima. Sargeni pun langsung mengurungkan niatnya, dan kembali memasukan kujang tersebut ke dalam tubuhnya. Sulima melangkah menghampiri Randu Aji yang sedang duduk santai sembari menikmati makanan. "Maafkan perbuatan mereka, Raden." Senapati Sulima berlutut dan memberi hormat kepada Randu Aji. "Aku yang seharusnya meminta maaf kepadamu, Senapati," jawab Randu Aji penuh kerendahan hati. Senapati Sulima bangkit, kemudian langsung memerintahkan Durgala dan Dargala untuk segera pergi dari tempat itu, "Kalian pergi dari tempat ini dan jangan pernah mengganggu lagi!" "Baik, Senapati." Durgala dan Dargala menjura kepada
Ratusan murid dari Paguron silat Elang Putih, tiba di Padepokan Kumbang Hitam disambut hangat oleh Anggadita dan rekan-rekannya. Mereka langsung dibawa menghadap pimpinan padepokan tersebut. "Selamat datang para pendekar muda, selamat bergabung dengan Padepokan Kumbang Hitam!" seru Ki Bayu Seta berdiri tegak di hadapan para pendekar yang baru tiba itu. "Apakah kalian sungguh-sungguh untuk bergabung dengan kami?" sambung Ki Bayu Seta mengarah kepada para pendekar itu. Serentak para pendekar muda itu menjawab pertanyaan dari sang pemimpin Padepokan Kumbang Hitam, "Siap, Guru!" Ki Bayu Seta tersenyum lebar, ia merasa senang dengan kesiapan para pendekar itu, karena akan menambah kekuatan untuk kerajaan baru yang akan segera didirikan di bukit tersebut. Setelah itu, Ki Bayu Seta langsung memerintahkan Anggadita dan para murid lainnya untuk menjamu para pendekar yang baru tiba itu. "Kau tugaskan kaw
Satu Minggu kemudian, Prabu Erlangga langsung membuat gebrakan dengan mengutus lima ribu prajuritnya untuk membangun kota yang di dalamnya terdapat pemukiman warga, pasar dan pusat transaksi perdagangan rakyat.Kota tersebut dibangun di atas tanah yang di sebuah hutan di sekitaran perbukitan tersebut, hal itu dimaksudkan untuk menghidupkan roda perekonomian dan mensejahterakan rakyat agar tidak terlalu susah dalam menjajakan hasil panen mereka.Kota tersebut nantinya akan dikawal ketat oleh wadiya balad yang dipimpin langsung oleh Gondang Manik, secara bergilir mereka akan menjaga kota tersebut siang dan malam."Anggadita!" panggil Prabu Erlangga."Iya, Gusti Prabu," jawab Anggadita segera melangkah menghampiri sang raja."Besok kau bawa para prajurit untuk memastikan keamanan di daerah selatan kerjaan ini! Pastikan untuk pembangunan barak wadiya balad di s
Arumbi menarik napas dalam-dalam, kemudian menjawab lirih pertanyaan dari Aryadana, "Prajurit kita yang gugur ada sekitar 54 orang," kata Arumbi memberitahukan kepada Aryadana."Kita harus memperketat pengawasan di daerah ini, Prabu Erlangga sudah melakukan penjajakan dengan kerajaan Cen Seung Tong terkait pengadaan meriam dan perlengkapan perang lainnya yang diperkirakan akan segera tiba dalam waktu dekat ini. Persenjataan itu semua akan menjadi pelengkap para prajurit kita di sini," tutur Aryadana.Prabu Erlangga sudah menjalin hubungan baik dengan beberapa kerajaan besar, seperti kerajaan Sirna Baya dan kerajaan Kuta Gandok serta kerajaan pemasok persenjataan dari daratan China yakni kerajaan Cen Seung Tong, yang mempunyai seorang kaisar bijaksana dan sangat menjalin hubungan baik dengan kerajaan Kuta Tandingan semasa hidupnya mendiang Prabu Sanjaya ayahanda Prabu Erlangga."Lantas, jika ada praju
Satu hari kemudian....Pertempuran pun pecah, para prajurit kerajaan Kuta Tandingan di bawah pimpinan Sugriwa menyerang barak prajurit kerajaan Kuta Waluya di sepanjang perbatasan kedua wilayah kerajaan tersebut. Ribuan korban pun berjatuhan di antara kedua belah pihak, hal ini memicu konflik baru bagi kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Rawinta.Prabu Rawinta terlalu bernafsu dan penuh amarah, pasukannya terus melakukan penyerangan terhadap kerajaan yang diduga kuat sebagai otak di balik teror yang selama ini terjadi.Tanpa ia sadari serangan-serangan yang ia lancarkan terhadap kerajaan Kuta Waluya, menimbulkan dampak buruk yang menyebabkan perekonomi kerajaan tersebut secara perlahan menurun.Namun berkat gagasan yang brilian dari Prabu Rawinta dan juga kelicikannya. Ia berhasil melakukan siasat barunya yakni berhasil menguasai sebagian wilayah kerajaan Kuta Waluya yang merupaka
Di tempat terpisah, Arumbi dan Anggadita sedang melakukan pertarungan melawan belasan gerombolan rampok yang menyatroni rumah-rumah penduduk yang ada di dekat barak prajurit kerajaan Sanggabuana. "Serahkan kembali harta benda penduduk yang kalian rampas!" gertak Anggadita mengarah kepada pimpinan gerombolan rampok itu. "Tidak semudah itu, Ki Sanak. Kau harus melangkahi mayat-mayat kami terlebih dahulu untuk bisa mengambil kembali ini semua!" ujar pria berjanggut tebal berdiri gagah di hadapan Anggadita dan Arumbi. "Bedebah kau!" bentak Arumbi. Tanpa pikir panjang lagi Arumbi langsung melakukan serangan terhadap para perompak itu. Demikian pula dengan Anggadita, ia segera membantu Arumbi dalam melakukan perlawanan terhadap para perampok tersebut. Arumbi tampak beringas dalam melakukan pertarungan itu. Dengan bermodalkan ilmu bela diri yang mumpuni, Arumbi mampu mengalahkan beberapa orang komplotan perampok tersebut. "Rasakan ini!" teriak Arumbi menyabetkan pedang ke arah pria berj
Pagi itu, Prabu Erlangga mengajak Arimbi dan beberapa prajurit wanita pengawal pribadinya dan juga beberapa prajurit pria untuk ikut berangkat ke hutan. Hari itu Prabu Erlangga hendak melakukan perburuan rusa untuk melepas penat setelah hampir beberapa bulan semenjak berdirinya kerajaan yang ia pimpin itu, Erlangga belum sempat beristirahat dan hari itu ia manfaatkan untuk melepas lelah dengan acar berkemah dan berburu di hutan yang tidak jauh dari istananya.Aryadana dan Soarna pun ikut serta dengan membawa perlengkapan berburu dan juga tenda untuk berkemah, Prabu Erlangga berencana berada di dalam hutan tersebut sekitar tiga hari tiga malam, dan untuk pemerintahan di istana sementara waktu ia serahkan sepenuhnya kepada Senopati Randu Aji dan Bayu Seta sebagai penasehat istana kerajaan. "Bawa kuda dan perlengkapan yang sudah disiapkan!" perintah Aryadana mengarah kepada dua prajuritnya."Baik, Gusti." Prajurit itu bergegas melaksanakan tugas dari panglimanya.Setelah siap,
Sore hari, setelah berangkatnya Senopati Yurawida ke istana kerajaan Sanggabuana. Maha Patih Akilang kembali melakukan perbincangan dengan para prajurit senior. Kebrutalan para prajurit kerajaan Sirnabaya masih menjadi topik penting dalam perbincangan tersebut."Hidupku tidak akan pernah merasa tenang sebelum bisa membalas kematian para prajurit kita dan aku berjanzi akan menghancurkan kerajaan Sirnabaya yang sudah bertindak sewenang-wenang terhadap kerajaan kita!" kata Maha Patih Akilang berbicara dengan para prajuritnya di pendapa istana kepatihan."Aku pikir ini semua hanya sebuah kesalahpahaman saja, Gusti Patih?" tanya seorang prajurit senior mengerutkan kening."Itu hanya alasan dari Jaka Sena. Sebenarnya ia sudah merancang sedemikian rupa," jawab Maha Patih Akilang di antara deru napas yang bergejolak penuh dengan amarah yang sudah membumbung tinggi di dalam jiwa dan pikirannya kala itu."Saat masih menjabat sebagai panglima pasukan sejagat raya pun, ia sudah berusaha menekan pa
Dengan demikian, Darunda dan Panglima Janeka terus berbincang sambil mengamati pergerakan pasukan musuh. Mereka duduk santai di sebuah bangku panjang yang ada di atas tembok raksasa yang menjulang tinggi—pagar pembatas dan benteng pertahanan wilayah kerajaan Sanggabuana."Prabu Wihesa adalah murid Ki Buyut Dalem, dia dibesarkan di wilayah kepatihan Waluya Jaya semasa masih menjadi sebuah kadipaten sebelum bergabung dengan kerajaan Sanggabuana," terang Panglima Janeka."Aku baru tahu, ternyata Wihesa merupakan seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kanuragan yang sangat mumpuni," ujar Darunda.Panglima Janeka menghela napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan perlahan sambil tersenyum memandang cahaya obor yang tampak remang-remang di tengah hutan.Posisi Panglima Janeka dan Darunda kala itu berada di atas tembok raksasa, sehingga apa pun yang terjadi di dalam hutan akan terlihat, apalagi dengan kondisi hutan yang gundul seperti itu.Kala itu, hanya D
Di saung tersebut, sang raja langsung membicarakan sesuatu yang sangat penting kepada pendekar muda itu. Sejatinya, raja dan maha patih sangat tertarik kepada Kumba dan mereka berniat untuk merekrut pemuda itu untuk menjadi seorang prajurit kerajaan.Semua berdasarkan penilaian dari sang raja dan maha patih yang suka dengan kepiawaian pendekar tersebut dalam hal olah kanuragan."Seandainya kau mau dan siap. Aku akan menawarkan sesuatu buatmu," kata sang raja lirih, pandangannya lurus ke wajah Kumba.Kumba menghela napas sejenak. Ia berpikir, "Apakah aku layak menjadi prajurit di kerajaan? Sedangkan kemampuanku hanya terbatas?"Maha Patih Randu Aji mengerutkan kening dan mengamati Kumba yang hanya diam termangu. "Jawablah! Jika kau bersedia, kau akan mendapatkan kedudukan sebagai prajurit dan bisa mendapatkan pelatihan khusus dari para pelatih ilmu beladiri di Padepokan Kumbang Hitam!" timpal Maha Patih Randu Aji menatap tajam wajah Kumba–sang pendekar muda
Ketika fajar sudah menyingsing, para prajurit kerajaan Sanggabuana segera bergerak melewati perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana. Kemudian, ribuan pasukan tersebut memasuki hutan dengan maksud mengambil jalan pintas hendak menuju barak para prajurit kerajaan Sirnabaya—yang menjadi target utama serangan pagi itu.Beberapa meter hampir mendekati target, Senopati Yurawida segera menyeru kepada para prajuritnya untuk berhenti sejenak. Dengan demikian, pasukan yang berjalan di barisan terdepan pun segera menghentikan langkah mereka."Tugas utama kita adalah menghancurkan barak musuh dan mengusir mereka agar menjauh dari daerah ini!" kata Senopati Yurawida berkata kepada para panglimanya yang kala itu berada di barisan terdepan ribuan pasukan tersebut."Tapi ingat! Kalian harus berhati-hati, jangan sampai menimbulkan banyak korban dari prajurit kita!" pinta sang senopati menambahkan."Baik, Senopati. Kami akan melindungi pasukan di barisan depan dengan menggun
Namun, para prajurit tersebut berlari dengan begitu cepat. Sehingga para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak dapat mengejar mereka.Entah ke mana larinya mereka? Langkah dan pergerakan mereka sudah tidak dapat dideteksi ketika masuk ke wilayah kerajaan Sirnabaya.Akan tetapi, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah dapat mengetahui, bahwa para penyusup itu merupakan kelompok prajurit kerajaan Sirnabaya yang sengaja masuk ke wilayah kedaulatan Kundar yang kini sudah masuk dalam wilayah kerajaan utama Sanggabuana.Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak Panglima Amerya yang kala itu dipercaya sebagai pimpinan keamanan di wilayah tersebut. "Apa maksud mereka, hingga berani menyusup ke wilayah kita?" tanya Panglima Amerya mengarah kepada seorang prajurit yang baru kembali setelah mengejar para penyusup itu.Prajurit itu mengerutkan keningnya, tampak tidak memahami apa yang dikehendaki dan direncanakan oleh para penyusup tersebut."Entahlah, aku p
Sebulan kemudian, Prabu Erlangga langsung memanggil Dewangga, Dasamuka, dan segenap tokoh masyarakat Conada. Prabu Erlangga hendak membicarakan kesepakatan bersama tentang pembentukan kadipaten Conada sesuai keinginan rakyat di daerah tersebut.Prabu Erlangga dan para tokoh utama Conada segera menggelar pembicaraan penting yang membahas pembentukan pejabat pemerintahan untuk memimpin kadipaten Conada, musyawarah tersebut dihadiri pula oleh para petinggi istana dan juga Adipati Sargeni serta Adipati Soarna sebagai perwakilan dari daerah yang dulunya merupakan bagian dari induk daerah Conada yang sebagian besar wilayah tersebut masuk di dalam wilayah pemerintahan dua kadipaten itu."Apakah kalian akan menyetujui dan menerima keputusanku, jika aku sendiri yang memilih siapa yang layak menjadi seorang pemimpin yang akan menjadi adipati di kadipaten Conada?" tanya sang raja di sela perbincangannya dengan para tokoh masyarakat Conada.Dasamuka dan tokoh masyarakat Conada ya
Beberapa saat kemudian, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah berhasil mendekat ke arah lembah tempat keberadaan para pemberontak tersebut, Panglima Wanakarma dan Panglima Jaka Kelana segera membagi tugas."Kau dengan 150 prajurit segera naik ke bukit sana, aku dan yang lainnya tetap di sini!" bisik Panglima Jaka Kelana."Baik, Panglima." Panglima Wanakarma segera turun dari kudanya. Setelah mengikatkan tali kuda, ia langsung memerintahkan para prajuritnya untuk segera naik ke atas bukit yang berada tepat di atas lembah. Dengan penuh kehati-hatian dan terkesan senyap, Panglima Wanakarma dan para prajuritnya mulai bergerak perlahan naik ke atas bukit dengan maksud menyergap para prajurit musuh yang berada di beberapa saung yang mereka dirikan si atas bukit tersebut."Kalian langsung sergap mereka! Jika mereka tidak melakukan perlawanan jangan sakiti mereka!" perintah Panglima Wanakarma.Para prajurit itu pun segera melaksanakan tugas tersebut dan langsung
Ternyata semua rencana berjalan seperti yang telah diperhitungkan. Pasukan pemberontak akhirnya mundur tepat pada waktunya, meskipun para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak melakukan gangguan terhadap mereka.Pra prajurit kerajaan Sanggabuana yang baru tiba itu, sangat merasakan kenyamanan setelah melakukan perjalanan jauh, tiba di tempat tersebut tanpa ada halangan."Bersyukurlah, kita datang mereka sudah lebih dulu ketakutan dan menjauh dari tempat ini," ujar Wanakarma sang panglima perang yang baru saja pulang dari Kepatihan Waluya Jaya dan langsung ikut bersama Senopati Lintang ke Alas Conan."Aku harap, kalian bisa menikmati istirahat kalian malam ini," timpal Panglima Jaka Kelana.Dari kelima ratus prajurit yang dipimpinnya itu, yang bertugas jaga hanya sekitar seratus prajurit saja, itu pun secara bergiliran agar mereka tidak terlalu kelelahan ketika akan menggempur pertahanan musuh di dalam hutan tersebut."Kalian harus segera istirahat!" seru Pangl
Keesokan harinya tepat menjelang sore, Panglima Jaka Kelana dan Senopati Lintang serta ribuan pasukan dengan persenjataan lengkap sudah bersiap hendak melakukan perjalanan jauh menuju ke kadipaten Conan Selatan dan Conan Utara untuk mengamankan kedua kadipaten tersebut dari teror para pemberontak yang akhir-akhir ini kerap melakukan teror terhadap para penduduk.Tampak seribu prajurit khusus sudah bersiap untuk segera berangkat, ada sekitar 300 pasukan kuda dan 20 pedati yang ditarik oleh beberapa ekor sapi yang membawa peralatan kemah dan juga bahan makanan untuk perbekalan para prajurit selama bertugas di sana."Aku harap kalian berhati-hati dan waspada terhadap para pemberontak itu!" pesan Prabu Erlangga di sela pelepasan para prajurit kerajaan yang hendak bertugas menumpas para pemberontak yang berada di hutan Conan."Baik, Gusti Prabu," ucap Senopati Lintang.Selain dirinya, istrinya pun ikut dalam tugas tersebut. Winiresti bersama ratusan prajurit wanita dan pasuka