Home / Fantasi / Sang Pendekar / Arimbi dan Arumbi

Share

Arimbi dan Arumbi

Author: CahyaGumilar79
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Para pendekar itu langsung menangkap Erlangga dan Anggadita tanpa perlawanan. Kemudian langsung mengikat tangan kedua pendekar itu dengan seutas tali. Setelah itu, mereka langsung membawa Erlangga dan Anggadita ke padepokan untuk dihadapkan langsung kepada Ki Bayu Seta—guru besar padepokan tersebut.

Erlangga dan Anggadita sedikit pun tidak melakukan perlawanan, mereka hanya pasrah melangkah dengan tangan diikat dan digiring oleh belasan pendekar menuju ke arah padepokan.

Setibanya di padepokan, salah seorang pendekar yang sudah ikut menangkap Erlangga dan Anggadita, langsung memberitahu guru mereka yang saat itu sedang berada di dalam padepokan tersebut.

“Guru, kami telah berhasil menangkap dua orang pendekar yang diduga kuat sebagai mata-mata,” kata pendekar itu sambil menjura kepada sang guru.

Pendekar tersebut adalah Aryadana, ia merupakan murid senior di Padepokan Kumbang Hitam, yang dipercaya sebagai pemimpin para murid padepokan tersebut.

Ki Bayu Seta tertawa kecil menanggapi laporan dari murid terbaiknya itu, “Hahaha ... apa kau yakin bahwa mereka adalah mata-mata?” Pria senja itu balas bertanya kepada Aryadana.

Aryadana terdiam sejenak, kemudian berpaling ke arah kawannya. Setelah itu, ia menjawab pertanyaan dari sang guru, “Mohon maaf, Guru. Kami baru menduga, dan belum bertanya kepada dua pendekar itu.”

“Kalian sudah gegabah dalam mengambil tindakan!” hardik Ki Bayu Seta sedikit marah dengan kecerobohan murid seniornya itu.

Setelah itu, Ki Bayu Seta memerintahkan Aryadana segera membawa Erlangga dan Anggadita masuk ke dalam untuk menghadapnya.

“Bawa mereka ke sini!”

“Baik, Guru,” jawab Aryadana menjura hormat.

Ia bangkit dan langsung melangkah keluar melaksanakan perintah gurunya. Ia langsung membawa Erlangga dan Anggadita masuk ke dalam padepokan.

Setelah berada di dalam padepokan, Ki Bayu Seta meminta Aryadana untuk melepaskan tali yang mengikat tangan kedua pendekar yang dicurigai sebagai mata-mata.

“Bertindaklah dengan sikap yang cermat dan gunakan pikiran cerdas kalian! Lihat wajah mereka!” kata Ki Bayu Seta tampak kesal dengan kecerobohan para muridnya yang bersikap gegabah tanpa bertanya terlebih dahulu kepada orang yang mereka anggap sebagai penyusup itu.

“Mohon maaf, Guru. Kami memang gegabah.” Aryadana tampak merasa bersalah dengan apa yang sudah ia lakukan bersama pendekar lainnya terhadap Erlangga dan Anggadita.

“Harus kalian ketahui, ini adalah Pangeran Erlangga yang sudah dititipkan beberapa tahun lalu oleh Landuji kepadaku!” ucap Ki Bayu Seta mengarah kepada para muridnya.

Erlangga terkejut dan merasa heran mendengar kalimat yang diucapkan oleh pria senja itu.

“Dari mana orang tua ini mengenalku?” kata Erlangga dalam hati.

Ia merasa bingung karena Ki Bayu Seta mengenali dirinya. Padahal, Ki Bayu Seta belum pernah sekalipun berjumpa dengannya.

Ki Bayu Seta bangkit dan melangkah menghampiri Erlangga dan juga Anggadita yang saat itu sedang duduk di hadapannya.

“Maafkan atas kecerobohan murid-muridku, Pangeran!” kata Ki Bayu Seta lirih. “Pangeran jangan bingung. Kenapa aku bisa mengenali wajah Pangeran!” sambung Ki Bayu Seta tersenyum lebar memandang wajah Erlangga.

“Tidak apa-apa, Guru! Aku sengaja datang ke sini sesuai titah Paman Landuji sewaktu masih hidup. Ia memintaku untuk mendatangi padepokan ini,” tutur Erlangga bersikap ramah dan penuh rasa hormat terhadap Ki Bayu Seta.

“Aku sudah tahu semua, Pangeran tidak perlu menceritakannya. Mulai hari ini, kalian berdua aku terima menjadi murid di padepokan ini!” tandas Ki Bayu Seta tersenyum memandang wajah Erlangga dan juga Anggadita. “Kita himpun kekuatan di padepokan ini, untuk kembali merebut tahtamu yang hilang!” sambungnya.

Erlangga sedikit mengajukan pertanyaan kepada Ki Bayu Seta, ia bertanya tentang kedekatan Ki Bayu Seta dengan mendiang ayahandanya.

“Mohon maaf, Guru. Apa hubungan Guru dengan Ayahandaku?”

“Aku adalah putra Mpu Surya Wisesa dari kerajaan Randakala, yang sudah membuatkan pedang yang kau bawa itu, Pangeran,” jawab Ki Bayu Seta. “Ayahku merupakan orang kepercayaan Aki Lamujeng yang tewas di negri Mongol ketika melakukan kunjungan ke sana,” sambungnya menerangkan tentang jatidirinya.

“Lantas, siapakah Aki Lamujeng itu?” Erlangga semakin penasaran dan semakin tertarik berbincang dengan guru besar padepokan tersebut.

Ki Bayu Seta menarik napas dalam-dalam, kemudian menjawab pertanyaan pendekar muda yang duduk di hadapannya, “Aki Lamujeng adalah kakek buyutmu dari mendiang ayahandamu!” terang Ki Bayu Seta.

“Terima kasih, Guru. Kau telah memberi tahukan tentang hal ini kepadaku,” kata Erlangga sambil menjura.

Setelah itu, Ki Bayu Seta meminta kepada para muridnya untuk menjamu Erlangga dan Anggadita.

“Ajak makan Pangeran dan sahabatnya ini! Jangan lupa kalian siapkan juga kamar untuk mereka berdua!” titah sang guru mengarah kepada Aryadana dan rekan-rekannya.

“Baik, Guru.” Aryadana bangkit dan langsung mempersiapkan jamuan makan untuk Erlangga dan Anggadita.

“Benar apa yang Pangeran katakan. Ternyata pemimpin padepokan ini sangat menghormati Pangeran,” bisik Anggadita. “Jadi, aku tidak perlu lagi menyembunyikan identitas Pangeran, karena mereka sudah mengetahuinya,” sambungnya lirih.

* * *

Keesokan harinya, Erlangga dan Anggadita sudah mulai mengikuti latihan bersama dengan para pendekar lainnya yang secara rutin digelar setiap pagi untuk mengasah kemampuan ilmu bela diri mereka dalam persiapan untuk melakukan gerakan pemberontakan terhadap pihak kerajaan.

Ki Bayu Seta amat terkesan dan kagum melihat gerakan-gerakan yang diperagakan oleh Erlangga ketika melakukan latihan bersama murid-muridnya.

“Aku tidak akan mengajarkanmu silat, karena semua gerakan silat sudah kau kuasai dengan baik. Di malam Jumat legi di saat bulan purnama, aku akan mengajarimu ilmu tenaga dalam yang belum bisa dikuasai oleh para murid-muridku di sini!” kata Ki Bayu Seta berdiri di hadapan Erlangga yang baru saja selesai melaksanakan latihan ilmu bela diri bersama para pendekar lainnya.

“Terima kasih, Guru,” ucap Erlangga penuh hormat.

Siang harinya ....

Aryadana berangkat bersama Anggadita dan dua orang rekannya untuk berburu rusa di hutan yang ada di bawah kaki gunung Sanggabuana yang jaraknya berada di sebelah selatan padepokan itu.

Sebelum berangkat, mereka meminta ijin terlebih dahulu kepada Ki Bayu Seta selaku guru besar mereka.

“Mohon maaf, Guru. Izinkan kami untuk berangkat berburu!” ucap Aryadana bersikap ajrih terhadap sang guru.

“Silakan, Aryadana! Tapi ingat, pulangnya jangan terlalu sore, banyak pekerjaan yang harus kita selesaikan hari ini!” jawab Ki Bayu Seta memberikan ijin kepada para muridnya itu.

“Terima kasih, Guru. Aku pamit sekarang.”

Setelah itu, Aryadana dan Anggadita beserta kedua rekannya langsung melangkah berlalu dari hadapan guru mereka.

Keempat pendekar itu langsung berangkat untuk berburu dengan berbekal makanan dan peralatan berburu. Masing-masing membawa panah dan sebilah pedang, mereka berjalan menyusuri jalanan terjal mengarah ke sebelah selatan dari padepokan itu.

Sementara itu, Erlangga sedang berbincang santai di aula padepokan dengan dua gadis cantik yang merupakan putri angkatnya Ki Bayu Seta.

Kedua gadis tersebut merupakan saudara kembar, yang sedari kecil dirawat oleh Ki Bayu Seta dan mendiang istrinya. Mereka tumbuh besar di lingkungan padepokan, sehingga kedua gadis itu mempunyai kemampuan khusus di bidang ilmu bela diri, tidak kalah oleh para murid-murid ayah angkatnya.

“Sebenarnya, Pangeran ini sudah mempunyai kekasih belum, sih?” tanya Arimbi yang merupakan kakak dari Arumbi tersenyum simpul memandang wajah Erlangga.

Mendengar pertanyaan polos dari sang kakak, Arumbi tertawa lepas dan memukul pelan pundak kakaknya. Erlangga hanya diam sambil tersenyum-senyum melihat sikap kedua gadis kembar itu.

“Kenapa kamu tertawa? Memangnya ada yang lucu dengan ucapanku?” hardik Arimbi mendelik ke arah adiknya.

“Habisnya, Kakak bicaranya terlalu polos,” sahut Arumbi tersenyum menahan tawa.

“Yang harusnya menjawab itu, pangeran tampan. Bukan kamu!” Arimbi ketus dan membalikan tubuh mengarah kepada Erlangga.

Arimbi memegang tangan Erlangga kemudian mengulang pertanyaan yang tadi ia lontarkan kepada sang pangeran tampan itu.

Erlangga tersenyum dan menjawab singkat apa yang dipertanyakan oleh Arimbi, “Aku belum punya kekasih,” kata Erlangga lirih.

“Wajah Pangeran, ‘kan tampan? Aku tidak percaya kalau Pangeran belum punya kekasih,” desak Arimbi.

“Sudah dijawab tapi penasaran dan tidak percaya,” gerutu Arumbi.

“Diam anak kecil! Ini urusan orang dewasa,” hardik Arimbi mendelik ke arah Arumbi.

“Apa? Kau bilang aku anak kecil? Lahirnya saja bareng. Iya, ‘kan?” protes Arumbi tidak mau kalah.

“Sudah ... jangan ribut!” lerai Erlangga, kemudian Erlangga bangkit dan sedikit menggerak-gerakkan tubuhnya.

“Pangeran mau ke mana?” tanya dua gadis kembar itu secara bersamaan.

“Ayo, kalau mau ikut!” ajak Erlangga melangkah kedua kakinya menuju ke arah barat dari tempat tersebut.

“Tunggu, Pangeran!” teriak keduanya kompak.

Erlangga menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah dua gadis kembar itu.

“Ayo!” ajak Erlangga lirih.

Arimbi dan Arumbi langsung berlari kecil menghampiri sang pangeran tampan itu.

“Sebenarnya, Pangeran hendak ke mana sih?” tanya Arimbi terengah-engah.

“Ikut saja! Aku mau mencari Sulima.”

“Jangan, Pangeran!” cegah Arimbi.

Erlangga kembali menghentikan langkah dan menoleh ke arah Arimbi. “Memangnya kenapa?” tanya Erlangga penasaran, keningnya mengerenyit.

“Bahaya, Pangeran. Dia itu siluman ganas dan bukan siluman biasa!” jawab Arimbi tampak cemas.

“Ya, aku tahu ... Suliman itu penguasa alam gaib yang ada di bukit ini ‘kan?” tanya Erlangga tersenyum memandang wajah cantik kedua gadis kembar itu.

* * *

Related chapters

  • Sang Pendekar   Bertemu Raja Jin

    Menjelang tengah hari, Aryadana dan Anggadita serta dua rekannya sudah tiba di saung padepokan, mereka membawa tiga ekor rusa hasil buruan mereka. Wajah Aryadana dan ketiga rekannya tampak semringah. Kedatangan mereka disambut hangat dengan penuh kegembiraan oleh para murid yang ada di padepokan itu."Anggadita!" panggil Erlangga. "Iya, Pangeran," sahut Anggadita, ia langsung menyerahkan busur panah kepada salah satu murid padepokan tersebut. "Tolong simpan ini, aku mau menghadap Pangeran Erlangga!" "Baik, Ki," jawab seorang murid padepokan langsung meraih panah dari tangan Anggadita. Setelah itu, Anggadita bergegas melangkah menghampiri Erlangga yang berdiri di depan saung aula padepokan yang tidak jauh dari kamarnya. "Ada apa, Pangeran?" tanya Anggadita meluruskan pandangannya ke wajah Erlangga. "Temani aku, ke tempat yang kemarin aku ceritakan!" jawab Erlan

  • Sang Pendekar   Berkunjung ke Istana Jin

    Setibanya di dalam istana, Erlangga dan Anggadita dijamu meriah dengan berbagai makanan dan minuman. Mereka berdua diperlakukan layaknya tamu kehormatan kerajaan tersebut. Tak hanya itu, Erlangga dan Anggadita diberikan penghormatan khusus dari kerajaan dan didaulat sebagai tamu agung. "Pangeran jangan khawatir, buah-buahan dan makanan serta minuman yang aku hidangkan ini. Bukan makanan jin, melainkan makanan manusia khusus untuk Pangeran dan sahabat Pangeran!" tandas Prabu Wanakerta meyakinkan Erlangga yang tampak ragu menikmati hidangan yang sudah disuguhkan oleh para dayang istana kerajaan gaib itu. "Baiklah, Prabu. Aku percaya," sahut Erlangga tersenyum lebar. "Aku sudah tahu maksud dan niat Pangeran datang ke wilayah kerajaanku," ucap Wanakerta tersenyum lebar memandang wajah Erlangga. Erlangga menoleh ke arah Anggadita, mereka saling bertatapan. Sejatinya mereka merasa heran dengan pernyataan dar

  • Sang Pendekar   Pendekar Bertopeng Tengkorak

    Kemudian ia langsung mengajak Anggadita untuk segera melangkah ke padepokan dan mengabarkan kejadian yang mereka alami kepada Ki Bayu Seta yang saat itu sedang dirundung kecemasan dan kekhawatiran terhadap mereka berdua yang sudah delapan hari menghilang tanpa jejak. Setibanya di gerbang padepokan, Erlangga dan Anggadita disambut riang gembira oleh para murid padepokan tersebut. "Lihatlah! Pangeran sudah kembali!" teriak salah seorang murid padepokan berlari masuk ke dalam padepokan hendak memberitahukan sang guru tentang kedatangan Erlangga dan Anggadita. "Guru, Pangeran dan Anggadita sudah kembali," kata salah seorang murid memberitahukan Ki Bayu Seta tentang kedatangan Erlangga dan Anggadita. Ki Bayu Seta tampak bahagia, kemudian bangkit dan langsung melangkah keluar menuju ke beranda padepokan. Di halaman padepokan Erlangga dan Anggadita sedang dikerumuni oleh para murid padepokan. Mereka tampak riang gembira menyambut hangat kembalinya Er

  • Sang Pendekar   Putra Panglima Perang

    Para prajurit tersebut langsung melaporkan kejadian yang mereka alami kepada Prabu Rawinta—seorang penguasa tamak dan keji itu. "Hanya menangkap seorang pendekar saja kalian tidak becus!" bentak Prabu Rawinta murka terhadap para prajuritnya. Setelah itu, Prabu Rawinta langsung memerintahkan Jaya Menda yang menjabat sebagai panglima perang di kerajaan tersebut, untuk segera melakukan penyisiran ke setiap pelosok desa dan dusun-dusun yang ada di wilayah kerajaan Kuta Tandingan. Jaya Menda bergerak cepat dalam melaksanakan titah rajanya itu. Ia mengumpulkan para prajurit dan langsung membagi tugas serta membentuk beberapa kelompok pasukan yang akan disebar ke seluruh wilayah kerajaan tersebut, dalam rangka melakukan pencarian Randu Aji yang sudah membuat kegaduhan dengan melakukan banyak teror membantai para prajurit kerajaan Kuta Tandingan. Hal tersebut ternyata diketahui oleh Prabu Wanake

  • Sang Pendekar   Kesaktian Randu Aji

    Setelah mengetahui identitas pendekar bertopeng itu, Senapati Sulima diperintahkan oleh Prabu Wanakerta untuk segera menyampaikan kabar tersebut kepada Erlangga. "Sebaiknya kau segera menyampaikan kabar ini kepada Pangeran Erlangga!" perintah Prabu Wanakerta mengarah kepada senapatinya. "Baik, Gusti Prabu. Hamba akan segera menemui Pangeran Erlangga sekarang," jawab Senapati Sulima. Senapati Sulima langsung pamit kepada Prabu Wanakerta dan berlalu dari hadapan sang raja. Senapati Sulima saat itu juga langsung menjumpai Erlangga di Padepokan Kumbang Hitam, hendak memberitahu Erlangga tentang kesiapan Randu Aji untuk bergabung dengan para pendekar yang ada di Padepokan Kumbang Hitam. "Dugaanku ternyata benar, pendekar bertopeng itu adalah putra Paman Rumi," kata Erlangga berbicara di hadapan Senapati Sulima. "Dia sangat kuat dan mempunyai ilmu mirip dengan ilmu yang dimil

  • Sang Pendekar   Perjalanan Tiga Pendekar

    Randu Aji dan kedua rekannya tertawa lepas melihat sikap Sugriwa berlari kencang karena merasa takut dengan gertakannya. "Aku kira nyalinya Sugriwa sebesar badannya," seloroh Soarna tak hentinya tertawa. Randu Aji sedikit menepuk pundak Soarna. "Kita sore ini langsung ke Padepokan Kumbang Hitam, kalian siapkan perbekalan untuk di jalan!" kata Randu Aji melangkah kembali menuju ke arah hutan. "Kira-kira tempatnya jauh tidak dari sini?" tanya Soarna sembari terus berjalan mengikuti langkah sahabatnya itu. "Lumayan jauh diperkirakan kita sampai ke sana menjelang senja," jawab Randu Aji mengarah kepada Soarna. "Kita akan hidup enak di sana tanpa harus seperti ini lagi," sambung Randu Aji terus melangkah menyusuri jalan setapak menuju tempat tinggal mereka yang berada di dalam hutan tersebut. Setibanya di sebuah gubuk yang berdiri kokoh di tengah hutan belantara, Randu Aji meminta kedua sahabatnya u

  • Sang Pendekar   Hari Pembantaian

    Ketika Sargeni mengeluarkan sebilah kujang pusaka dari dalam tubuhnya. Tiba-tiba saja Sulima datang dan meminta Sargeni untuk mengurungkan niatnya menyerang kedua jin itu. "Hentikan, Ki Sanak! Mereka adalah saudara sebangsa denganku!" cegah Senapati Sulima. Sargeni pun langsung mengurungkan niatnya, dan kembali memasukan kujang tersebut ke dalam tubuhnya. Sulima melangkah menghampiri Randu Aji yang sedang duduk santai sembari menikmati makanan. "Maafkan perbuatan mereka, Raden." Senapati Sulima berlutut dan memberi hormat kepada Randu Aji. "Aku yang seharusnya meminta maaf kepadamu, Senapati," jawab Randu Aji penuh kerendahan hati. Senapati Sulima bangkit, kemudian langsung memerintahkan Durgala dan Dargala untuk segera pergi dari tempat itu, "Kalian pergi dari tempat ini dan jangan pernah mengganggu lagi!" "Baik, Senapati." Durgala dan Dargala menjura kepada

  • Sang Pendekar   Berdirinya Kerajaan Baru

    Ratusan murid dari Paguron silat Elang Putih, tiba di Padepokan Kumbang Hitam disambut hangat oleh Anggadita dan rekan-rekannya. Mereka langsung dibawa menghadap pimpinan padepokan tersebut. "Selamat datang para pendekar muda, selamat bergabung dengan Padepokan Kumbang Hitam!" seru Ki Bayu Seta berdiri tegak di hadapan para pendekar yang baru tiba itu. "Apakah kalian sungguh-sungguh untuk bergabung dengan kami?" sambung Ki Bayu Seta mengarah kepada para pendekar itu. Serentak para pendekar muda itu menjawab pertanyaan dari sang pemimpin Padepokan Kumbang Hitam, "Siap, Guru!" Ki Bayu Seta tersenyum lebar, ia merasa senang dengan kesiapan para pendekar itu, karena akan menambah kekuatan untuk kerajaan baru yang akan segera didirikan di bukit tersebut. Setelah itu, Ki Bayu Seta langsung memerintahkan Anggadita dan para murid lainnya untuk menjamu para pendekar yang baru tiba itu. "Kau tugaskan kaw

Latest chapter

  • Sang Pendekar   Maha Patih Akilang (Bab terakhir)

    Sore hari, setelah berangkatnya Senopati Yurawida ke istana kerajaan Sanggabuana. Maha Patih Akilang kembali melakukan perbincangan dengan para prajurit senior. Kebrutalan para prajurit kerajaan Sirnabaya masih menjadi topik penting dalam perbincangan tersebut."Hidupku tidak akan pernah merasa tenang sebelum bisa membalas kematian para prajurit kita dan aku berjanzi akan menghancurkan kerajaan Sirnabaya yang sudah bertindak sewenang-wenang terhadap kerajaan kita!" kata Maha Patih Akilang berbicara dengan para prajuritnya di pendapa istana kepatihan."Aku pikir ini semua hanya sebuah kesalahpahaman saja, Gusti Patih?" tanya seorang prajurit senior mengerutkan kening."Itu hanya alasan dari Jaka Sena. Sebenarnya ia sudah merancang sedemikian rupa," jawab Maha Patih Akilang di antara deru napas yang bergejolak penuh dengan amarah yang sudah membumbung tinggi di dalam jiwa dan pikirannya kala itu."Saat masih menjabat sebagai panglima pasukan sejagat raya pun, ia sudah berusaha menekan pa

  • Sang Pendekar   Serangan Mendadak Dari Pasukan Kerajaan Sirnabaya

    Dengan demikian, Darunda dan Panglima Janeka terus berbincang sambil mengamati pergerakan pasukan musuh. Mereka duduk santai di sebuah bangku panjang yang ada di atas tembok raksasa yang menjulang tinggi—pagar pembatas dan benteng pertahanan wilayah kerajaan Sanggabuana."Prabu Wihesa adalah murid Ki Buyut Dalem, dia dibesarkan di wilayah kepatihan Waluya Jaya semasa masih menjadi sebuah kadipaten sebelum bergabung dengan kerajaan Sanggabuana," terang Panglima Janeka."Aku baru tahu, ternyata Wihesa merupakan seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kanuragan yang sangat mumpuni," ujar Darunda.Panglima Janeka menghela napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan perlahan sambil tersenyum memandang cahaya obor yang tampak remang-remang di tengah hutan.Posisi Panglima Janeka dan Darunda kala itu berada di atas tembok raksasa, sehingga apa pun yang terjadi di dalam hutan akan terlihat, apalagi dengan kondisi hutan yang gundul seperti itu.Kala itu, hanya D

  • Sang Pendekar   Pergerakan Dari Pasukan Kuta Waluya

    Di saung tersebut, sang raja langsung membicarakan sesuatu yang sangat penting kepada pendekar muda itu. Sejatinya, raja dan maha patih sangat tertarik kepada Kumba dan mereka berniat untuk merekrut pemuda itu untuk menjadi seorang prajurit kerajaan.Semua berdasarkan penilaian dari sang raja dan maha patih yang suka dengan kepiawaian pendekar tersebut dalam hal olah kanuragan."Seandainya kau mau dan siap. Aku akan menawarkan sesuatu buatmu," kata sang raja lirih, pandangannya lurus ke wajah Kumba.Kumba menghela napas sejenak. Ia berpikir, "Apakah aku layak menjadi prajurit di kerajaan? Sedangkan kemampuanku hanya terbatas?"Maha Patih Randu Aji mengerutkan kening dan mengamati Kumba yang hanya diam termangu. "Jawablah! Jika kau bersedia, kau akan mendapatkan kedudukan sebagai prajurit dan bisa mendapatkan pelatihan khusus dari para pelatih ilmu beladiri di Padepokan Kumbang Hitam!" timpal Maha Patih Randu Aji menatap tajam wajah Kumba–sang pendekar muda

  • Sang Pendekar   Kumba Sang Pendekar

    Ketika fajar sudah menyingsing, para prajurit kerajaan Sanggabuana segera bergerak melewati perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana. Kemudian, ribuan pasukan tersebut memasuki hutan dengan maksud mengambil jalan pintas hendak menuju barak para prajurit kerajaan Sirnabaya—yang menjadi target utama serangan pagi itu.Beberapa meter hampir mendekati target, Senopati Yurawida segera menyeru kepada para prajuritnya untuk berhenti sejenak. Dengan demikian, pasukan yang berjalan di barisan terdepan pun segera menghentikan langkah mereka."Tugas utama kita adalah menghancurkan barak musuh dan mengusir mereka agar menjauh dari daerah ini!" kata Senopati Yurawida berkata kepada para panglimanya yang kala itu berada di barisan terdepan ribuan pasukan tersebut."Tapi ingat! Kalian harus berhati-hati, jangan sampai menimbulkan banyak korban dari prajurit kita!" pinta sang senopati menambahkan."Baik, Senopati. Kami akan melindungi pasukan di barisan depan dengan menggun

  • Sang Pendekar   Menjelang Perang Di Batas Kerajaan

    Namun, para prajurit tersebut berlari dengan begitu cepat. Sehingga para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak dapat mengejar mereka.Entah ke mana larinya mereka? Langkah dan pergerakan mereka sudah tidak dapat dideteksi ketika masuk ke wilayah kerajaan Sirnabaya.Akan tetapi, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah dapat mengetahui, bahwa para penyusup itu merupakan kelompok prajurit kerajaan Sirnabaya yang sengaja masuk ke wilayah kedaulatan Kundar yang kini sudah masuk dalam wilayah kerajaan utama Sanggabuana.Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak Panglima Amerya yang kala itu dipercaya sebagai pimpinan keamanan di wilayah tersebut. "Apa maksud mereka, hingga berani menyusup ke wilayah kita?" tanya Panglima Amerya mengarah kepada seorang prajurit yang baru kembali setelah mengejar para penyusup itu.Prajurit itu mengerutkan keningnya, tampak tidak memahami apa yang dikehendaki dan direncanakan oleh para penyusup tersebut."Entahlah, aku p

  • Sang Pendekar   Terbentuknya Kadipaten Conada

    Sebulan kemudian, Prabu Erlangga langsung memanggil Dewangga, Dasamuka, dan segenap tokoh masyarakat Conada. Prabu Erlangga hendak membicarakan kesepakatan bersama tentang pembentukan kadipaten Conada sesuai keinginan rakyat di daerah tersebut.Prabu Erlangga dan para tokoh utama Conada segera menggelar pembicaraan penting yang membahas pembentukan pejabat pemerintahan untuk memimpin kadipaten Conada, musyawarah tersebut dihadiri pula oleh para petinggi istana dan juga Adipati Sargeni serta Adipati Soarna sebagai perwakilan dari daerah yang dulunya merupakan bagian dari induk daerah Conada yang sebagian besar wilayah tersebut masuk di dalam wilayah pemerintahan dua kadipaten itu."Apakah kalian akan menyetujui dan menerima keputusanku, jika aku sendiri yang memilih siapa yang layak menjadi seorang pemimpin yang akan menjadi adipati di kadipaten Conada?" tanya sang raja di sela perbincangannya dengan para tokoh masyarakat Conada.Dasamuka dan tokoh masyarakat Conada ya

  • Sang Pendekar   Tewasnya Pimpinan Pemberontak

    Beberapa saat kemudian, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah berhasil mendekat ke arah lembah tempat keberadaan para pemberontak tersebut, Panglima Wanakarma dan Panglima Jaka Kelana segera membagi tugas."Kau dengan 150 prajurit segera naik ke bukit sana, aku dan yang lainnya tetap di sini!" bisik Panglima Jaka Kelana."Baik, Panglima." Panglima Wanakarma segera turun dari kudanya. Setelah mengikatkan tali kuda, ia langsung memerintahkan para prajuritnya untuk segera naik ke atas bukit yang berada tepat di atas lembah. Dengan penuh kehati-hatian dan terkesan senyap, Panglima Wanakarma dan para prajuritnya mulai bergerak perlahan naik ke atas bukit dengan maksud menyergap para prajurit musuh yang berada di beberapa saung yang mereka dirikan si atas bukit tersebut."Kalian langsung sergap mereka! Jika mereka tidak melakukan perlawanan jangan sakiti mereka!" perintah Panglima Wanakarma.Para prajurit itu pun segera melaksanakan tugas tersebut dan langsung

  • Sang Pendekar   Persiapan Dalam menggempur Para Pemberontak

    Ternyata semua rencana berjalan seperti yang telah diperhitungkan. Pasukan pemberontak akhirnya mundur tepat pada waktunya, meskipun para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak melakukan gangguan terhadap mereka.Pra prajurit kerajaan Sanggabuana yang baru tiba itu, sangat merasakan kenyamanan setelah melakukan perjalanan jauh, tiba di tempat tersebut tanpa ada halangan."Bersyukurlah, kita datang mereka sudah lebih dulu ketakutan dan menjauh dari tempat ini," ujar Wanakarma sang panglima perang yang baru saja pulang dari Kepatihan Waluya Jaya dan langsung ikut bersama Senopati Lintang ke Alas Conan."Aku harap, kalian bisa menikmati istirahat kalian malam ini," timpal Panglima Jaka Kelana.Dari kelima ratus prajurit yang dipimpinnya itu, yang bertugas jaga hanya sekitar seratus prajurit saja, itu pun secara bergiliran agar mereka tidak terlalu kelelahan ketika akan menggempur pertahanan musuh di dalam hutan tersebut."Kalian harus segera istirahat!" seru Pangl

  • Sang Pendekar   Senopati Lintang Hendak Mengusir Pemberontak

    Keesokan harinya tepat menjelang sore, Panglima Jaka Kelana dan Senopati Lintang serta ribuan pasukan dengan persenjataan lengkap sudah bersiap hendak melakukan perjalanan jauh menuju ke kadipaten Conan Selatan dan Conan Utara untuk mengamankan kedua kadipaten tersebut dari teror para pemberontak yang akhir-akhir ini kerap melakukan teror terhadap para penduduk.Tampak seribu prajurit khusus sudah bersiap untuk segera berangkat, ada sekitar 300 pasukan kuda dan 20 pedati yang ditarik oleh beberapa ekor sapi yang membawa peralatan kemah dan juga bahan makanan untuk perbekalan para prajurit selama bertugas di sana."Aku harap kalian berhati-hati dan waspada terhadap para pemberontak itu!" pesan Prabu Erlangga di sela pelepasan para prajurit kerajaan yang hendak bertugas menumpas para pemberontak yang berada di hutan Conan."Baik, Gusti Prabu," ucap Senopati Lintang.Selain dirinya, istrinya pun ikut dalam tugas tersebut. Winiresti bersama ratusan prajurit wanita dan pasuka

DMCA.com Protection Status