Setibanya di dalam istana, Erlangga dan Anggadita dijamu meriah dengan berbagai makanan dan minuman. Mereka berdua diperlakukan layaknya tamu kehormatan kerajaan tersebut. Tak hanya itu, Erlangga dan Anggadita diberikan penghormatan khusus dari kerajaan dan didaulat sebagai tamu agung.
"Pangeran jangan khawatir, buah-buahan dan makanan serta minuman yang aku hidangkan ini. Bukan makanan jin, melainkan makanan manusia khusus untuk Pangeran dan sahabat Pangeran!" tandas Prabu Wanakerta meyakinkan Erlangga yang tampak ragu menikmati hidangan yang sudah disuguhkan oleh para dayang istana kerajaan gaib itu.
"Baiklah, Prabu. Aku percaya," sahut Erlangga tersenyum lebar.
"Aku sudah tahu maksud dan niat Pangeran datang ke wilayah kerajaanku," ucap Wanakerta tersenyum lebar memandang wajah Erlangga.
Erlangga menoleh ke arah Anggadita, mereka saling bertatapan. Sejatinya mereka merasa heran dengan pernyataan dari raja jin itu, yang sudah mengetahui maksud kedatangan mereka.
"Sepenuh hati kami akan membantu, untuk merebut kembali istana milik Pangeran!" tegas Wanakerta penuh dukungan.
Erlangga tampak semringah mendengar kalimat yang diucapkan oleh sang penguasa kerajaan gaib itu.
Kemudian Wanakerta bertanya kepada senopatinya, mengenai koalisi dari bangsa jin yang berpihak kepada kerajaan Kuta Tandingan yang saat itu dipimpin oleh Rawinta—seorang raja yang tidak disukai oleh rakyatnya.
Karena, Rawinta menduduki tahta kerajaan tersebut dengan cara paksa dengan melakukan sebuah kudeta atas pemerintahan sah kerajaan tersebut.
"Daulat, Gusti Prabu!" timpal Senapati Sulima. "Ada beberapa kerajaan jin yang masuk dalam koalisi kerajaan tersebut. Mereka semua ikut bergabung karena paksaan dan merasa takut dengan ancaman Prabu Rawinta yang mempunyai pangaweruh tinggi yang dapat menghancurkan kerajaan gaib tersebut, jika mereka tidak patuh dan taat kepada Raja Rawinta!" sambung Senapati Sulima.
"Baiklah, kita susun siasat terlebih dahulu, dan lakukan penyelidikan sesenyap mungkin. Agar dapat mengetahui gerak-gerik mereka!" titah Prabu Wanakerta kepada Senapati Sulima.
"Baik, Gusti Prabu," tandas Senapati Sulima penuh semangat, siap melaksanakan titah sang raja.
Setelah itu, Prabu Wanakerta langsung melakukan perbincangan tertutup dengan Erlangga di sebuah ruangan khusus di dalam istananya.
Sementara Anggadita saat itu diajak berkeliling istana oleh Senapati Sulima dan para punggawa lainnya, untuk sekadar menikmati pemandangan yang ada di sekeliling istana tersebut.
* * *
Di Padepokan Kumbang Hitam, suasananya tampak gaduh dengan kepergian Erlangga dan Anggadita yang secara mendadak, karena kepergian mereka tidak izin terlebih dahulu kepada Ki Bayu Seta selaku pimpinan tertinggi di padepokan itu.
"Kita harus mencari Pangeran Erlangga dan Anggadita ke mana lagi, Guru?" tanya Aryadana tampak kebingungan setelah hampir satu pekan mencari keberadaan dua orang tersebut tanpa menemukan hasil.
Ki Bayu Seta menghela napas dalam-dalam, raut wajahnya tampak dipenuhi beban dan kekhawatiran tinggi atas hilangnya Erlangga dan Anggadita.
"Untuk sementara hentikan dulu pencarian. Aku akan meminta bantuan kepada Babad untuk mencari tahu tentang keberadaan Pangeran Erlangga dan Anggadita!" jawab Ki Bayu Seta.
"Baiklah, Guru. Aku akan segera menghentikan pencarian ini," ucap Aryadana ajrih di hadapan sang guru.
Kecemasan dan kegundahan dengan menghilangnya Erlangga dirasakan pula oleh dua gadis kembar yang merupakan putri angkat Ki Bayu Seta. Mereka merasa cemas dan khawatir takut terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki menimpa Erlangga dan juga Anggadita.
"Tidak ada pangeran tampan, padepokan ini kembali sepi seperti dulu semasa pangeran belum datang ke sini," ujar Arimbi, dua bola matanya tampak berkaca-kaca. Sejatinya ia merasa bersedih dan sangat terpukul dengan hilangnya Erlangga.
"Itu tandanya Kakak sudah mulai ada rasa terhadap Pangeran Erlangga," sahut Arumbi.
"Ah, kamu. Aku itu cemas karena Pangeran Erlangga sudah aku anggap sebagai kakakku sendiri," kelit Arimbi enggan mengatakan hal yang sebenarnya.
Arumbi hanya tersenyum mendengar pernyataan dari sang kakak. "Nah, berarti aku punya kesempatan dong?" seloroh Arumbi.
Arimbi mengangkat alis tinggi dan mengerutkan kening, ia tidak paham dengan ucapan adiknya. "Maksudmu?" tanya Arimbi menatap wajah Arumbi.
"Aku punya kesempatan lebih besar lagi untuk menjadikan Pangeran Erlangga sebagai kekasihku," jawab Arumbi mencoba untuk menggoda sang kakak.
Arumbi paham dengan perasaan kakaknya yang saat itu sudah mulai jatuh hati kepada Erlangga. Arumbi berkata seperti itu karena hanya ingin menggoda Arimbi saja, dan ingin memancing kakaknya itu, agar berterus terang tentang perasaan yang sesungguhnya ia rasakan.
"Tidak boleh. Kita tidak boleh jatuh cinta kepada pangeran!" hardik Arimbi ketus.
"Kita?" Arumbi menatap tajam wajah Arimbi sembari tersenyum-senyum.
"Iya, Kita. Khususnya kamu!" tegas Arimbi bangkit dan berlalu dari hadapan Arumbi.
"Kakak itu munafik!" teriak Arumbi tertawa lepas mengarah kepada kakaknya yang saat itu sudah melangkah keluar dari kamarnya.
"Hati-hati kamu kalau bicara!" balas Arimbi tampak kesal mendengar ucapan adiknya.
Arumbi tertawa lepas bangkit dan mengejar kakaknya.
* * *
Hilangnya Erlangga dan Anggadita sudah hampir delapan hari, itu yang dirasakan oleh para penghuni Padepokan Kumbang Hitam.
Namun berbeda dengan apa yang dirasakan oleh Erlangga dan juga Anggadita, mereka merasa berada di alam gaib belum sampai satu hari dan masih melakukan perbincangan dengan sang penguasa kerajaan tersebut.
"Di alam nyata, saat ini sudah geger," ungkap Prabu Wanakerta menatap wajah Erlangga yang sangat ia hormati itu.
"Maksud, Prabu?" tanya Erlangga balas menatap wajah Prabu Wanakerta.
"Di sini, Pangeran baru beberapa jam saja. Sementara di alam nyata, Pangeran sudah hilang selama delapan hari," terang Prabu Wanakerta tersenyum menjawab pertanyaan dari Erlangga.
Erlangga tampak penasaran, kemudian bertanya mengenai perbedaan waktu antara alam manusia dengan alam jin kepada sang penguasa istana gaib itu.
Dengan senang hati, Prabu Wanakerta menjawab apa yang ditanyakan oleh Erlangga kepadanya.
"Ya, Dewata agung! Ternyata keberadaanku di sini membuat kegaduhan di padepokan," desis Erlangga. "Ya sudah kalau seperti itu, aku pamit sekarang. Aku khawatir guruku dan para murid padepokan mencemaskan aku dan Anggadita," sambung Erlangga pamit kepada sang penguasa kerajaan gaib tersebut.
"Baiklah, Pangeran. Prajuritku akan mengantar kalian ke gerbang kerajaan untuk segera kembali ke alam kalian," jawab Prabu Wanakerta.
Prabu Wanakerta langsung meminta para prajuritnya untuk mengantarkan Erlangga dan Anggadaita ke pintu gerbang kerajaan, dan mengembalikan mereka ke alam manusia.
Setelah itu, Erlangga dan Anggadita langsung melangkah pulang berlalu dari hadapan sang raja jin dengan diantar oleh para punggawa jin kerajaan tersebut.
Setibanya di depan pintu gerbang, para penjaga istana tersebut langsung membuka lebar pintu gerbang istana dan mempersilahkan Erlangga dan Anggadita untuk keluar, "Silahkan, Pangeran! Pejamkan mata kalian!" pinta Senapati Sulima.
"Baiklah," jawab Erlangga.
Keduanya langsung melangkah keluar dari istana megah itu, Erlangga dan Anggadita berdiri tegak dengan menutup mata. Beberapa saat kemudian, Erlangga dan Anggadita sudah kembali berada di alam manusia tepatnya di tempat kemarin mereka menghilang.
Terdengar suara kicau burung bersahutan dan desiran angin semilir terasa sejuk menyentuh kulit mereka.
"Buka matamu, Anggadita!" pinta Erlangga.
Anggadita menuruti perintah sahabatnya itu, membuka mata perlahan. Tampak hamparan hijau padang rumput membentang di hadapan tempat mereka berdiri.
"Apakah ini tempat kemarin kita masuk ke alam gaib?" tanya Anggadita mengerutkan kening menatap wajah sang pangeran.
"Iya, Anggadita. Dan ini masih pagi," jawab Erlangga tersenyum.
* * *
Kemudian ia langsung mengajak Anggadita untuk segera melangkah ke padepokan dan mengabarkan kejadian yang mereka alami kepada Ki Bayu Seta yang saat itu sedang dirundung kecemasan dan kekhawatiran terhadap mereka berdua yang sudah delapan hari menghilang tanpa jejak. Setibanya di gerbang padepokan, Erlangga dan Anggadita disambut riang gembira oleh para murid padepokan tersebut. "Lihatlah! Pangeran sudah kembali!" teriak salah seorang murid padepokan berlari masuk ke dalam padepokan hendak memberitahukan sang guru tentang kedatangan Erlangga dan Anggadita. "Guru, Pangeran dan Anggadita sudah kembali," kata salah seorang murid memberitahukan Ki Bayu Seta tentang kedatangan Erlangga dan Anggadita. Ki Bayu Seta tampak bahagia, kemudian bangkit dan langsung melangkah keluar menuju ke beranda padepokan. Di halaman padepokan Erlangga dan Anggadita sedang dikerumuni oleh para murid padepokan. Mereka tampak riang gembira menyambut hangat kembalinya Er
Para prajurit tersebut langsung melaporkan kejadian yang mereka alami kepada Prabu Rawinta—seorang penguasa tamak dan keji itu. "Hanya menangkap seorang pendekar saja kalian tidak becus!" bentak Prabu Rawinta murka terhadap para prajuritnya. Setelah itu, Prabu Rawinta langsung memerintahkan Jaya Menda yang menjabat sebagai panglima perang di kerajaan tersebut, untuk segera melakukan penyisiran ke setiap pelosok desa dan dusun-dusun yang ada di wilayah kerajaan Kuta Tandingan. Jaya Menda bergerak cepat dalam melaksanakan titah rajanya itu. Ia mengumpulkan para prajurit dan langsung membagi tugas serta membentuk beberapa kelompok pasukan yang akan disebar ke seluruh wilayah kerajaan tersebut, dalam rangka melakukan pencarian Randu Aji yang sudah membuat kegaduhan dengan melakukan banyak teror membantai para prajurit kerajaan Kuta Tandingan. Hal tersebut ternyata diketahui oleh Prabu Wanake
Setelah mengetahui identitas pendekar bertopeng itu, Senapati Sulima diperintahkan oleh Prabu Wanakerta untuk segera menyampaikan kabar tersebut kepada Erlangga. "Sebaiknya kau segera menyampaikan kabar ini kepada Pangeran Erlangga!" perintah Prabu Wanakerta mengarah kepada senapatinya. "Baik, Gusti Prabu. Hamba akan segera menemui Pangeran Erlangga sekarang," jawab Senapati Sulima. Senapati Sulima langsung pamit kepada Prabu Wanakerta dan berlalu dari hadapan sang raja. Senapati Sulima saat itu juga langsung menjumpai Erlangga di Padepokan Kumbang Hitam, hendak memberitahu Erlangga tentang kesiapan Randu Aji untuk bergabung dengan para pendekar yang ada di Padepokan Kumbang Hitam. "Dugaanku ternyata benar, pendekar bertopeng itu adalah putra Paman Rumi," kata Erlangga berbicara di hadapan Senapati Sulima. "Dia sangat kuat dan mempunyai ilmu mirip dengan ilmu yang dimil
Randu Aji dan kedua rekannya tertawa lepas melihat sikap Sugriwa berlari kencang karena merasa takut dengan gertakannya. "Aku kira nyalinya Sugriwa sebesar badannya," seloroh Soarna tak hentinya tertawa. Randu Aji sedikit menepuk pundak Soarna. "Kita sore ini langsung ke Padepokan Kumbang Hitam, kalian siapkan perbekalan untuk di jalan!" kata Randu Aji melangkah kembali menuju ke arah hutan. "Kira-kira tempatnya jauh tidak dari sini?" tanya Soarna sembari terus berjalan mengikuti langkah sahabatnya itu. "Lumayan jauh diperkirakan kita sampai ke sana menjelang senja," jawab Randu Aji mengarah kepada Soarna. "Kita akan hidup enak di sana tanpa harus seperti ini lagi," sambung Randu Aji terus melangkah menyusuri jalan setapak menuju tempat tinggal mereka yang berada di dalam hutan tersebut. Setibanya di sebuah gubuk yang berdiri kokoh di tengah hutan belantara, Randu Aji meminta kedua sahabatnya u
Ketika Sargeni mengeluarkan sebilah kujang pusaka dari dalam tubuhnya. Tiba-tiba saja Sulima datang dan meminta Sargeni untuk mengurungkan niatnya menyerang kedua jin itu. "Hentikan, Ki Sanak! Mereka adalah saudara sebangsa denganku!" cegah Senapati Sulima. Sargeni pun langsung mengurungkan niatnya, dan kembali memasukan kujang tersebut ke dalam tubuhnya. Sulima melangkah menghampiri Randu Aji yang sedang duduk santai sembari menikmati makanan. "Maafkan perbuatan mereka, Raden." Senapati Sulima berlutut dan memberi hormat kepada Randu Aji. "Aku yang seharusnya meminta maaf kepadamu, Senapati," jawab Randu Aji penuh kerendahan hati. Senapati Sulima bangkit, kemudian langsung memerintahkan Durgala dan Dargala untuk segera pergi dari tempat itu, "Kalian pergi dari tempat ini dan jangan pernah mengganggu lagi!" "Baik, Senapati." Durgala dan Dargala menjura kepada
Ratusan murid dari Paguron silat Elang Putih, tiba di Padepokan Kumbang Hitam disambut hangat oleh Anggadita dan rekan-rekannya. Mereka langsung dibawa menghadap pimpinan padepokan tersebut. "Selamat datang para pendekar muda, selamat bergabung dengan Padepokan Kumbang Hitam!" seru Ki Bayu Seta berdiri tegak di hadapan para pendekar yang baru tiba itu. "Apakah kalian sungguh-sungguh untuk bergabung dengan kami?" sambung Ki Bayu Seta mengarah kepada para pendekar itu. Serentak para pendekar muda itu menjawab pertanyaan dari sang pemimpin Padepokan Kumbang Hitam, "Siap, Guru!" Ki Bayu Seta tersenyum lebar, ia merasa senang dengan kesiapan para pendekar itu, karena akan menambah kekuatan untuk kerajaan baru yang akan segera didirikan di bukit tersebut. Setelah itu, Ki Bayu Seta langsung memerintahkan Anggadita dan para murid lainnya untuk menjamu para pendekar yang baru tiba itu. "Kau tugaskan kaw
Satu Minggu kemudian, Prabu Erlangga langsung membuat gebrakan dengan mengutus lima ribu prajuritnya untuk membangun kota yang di dalamnya terdapat pemukiman warga, pasar dan pusat transaksi perdagangan rakyat.Kota tersebut dibangun di atas tanah yang di sebuah hutan di sekitaran perbukitan tersebut, hal itu dimaksudkan untuk menghidupkan roda perekonomian dan mensejahterakan rakyat agar tidak terlalu susah dalam menjajakan hasil panen mereka.Kota tersebut nantinya akan dikawal ketat oleh wadiya balad yang dipimpin langsung oleh Gondang Manik, secara bergilir mereka akan menjaga kota tersebut siang dan malam."Anggadita!" panggil Prabu Erlangga."Iya, Gusti Prabu," jawab Anggadita segera melangkah menghampiri sang raja."Besok kau bawa para prajurit untuk memastikan keamanan di daerah selatan kerjaan ini! Pastikan untuk pembangunan barak wadiya balad di s
Arumbi menarik napas dalam-dalam, kemudian menjawab lirih pertanyaan dari Aryadana, "Prajurit kita yang gugur ada sekitar 54 orang," kata Arumbi memberitahukan kepada Aryadana."Kita harus memperketat pengawasan di daerah ini, Prabu Erlangga sudah melakukan penjajakan dengan kerajaan Cen Seung Tong terkait pengadaan meriam dan perlengkapan perang lainnya yang diperkirakan akan segera tiba dalam waktu dekat ini. Persenjataan itu semua akan menjadi pelengkap para prajurit kita di sini," tutur Aryadana.Prabu Erlangga sudah menjalin hubungan baik dengan beberapa kerajaan besar, seperti kerajaan Sirna Baya dan kerajaan Kuta Gandok serta kerajaan pemasok persenjataan dari daratan China yakni kerajaan Cen Seung Tong, yang mempunyai seorang kaisar bijaksana dan sangat menjalin hubungan baik dengan kerajaan Kuta Tandingan semasa hidupnya mendiang Prabu Sanjaya ayahanda Prabu Erlangga."Lantas, jika ada praju
Sore hari, setelah berangkatnya Senopati Yurawida ke istana kerajaan Sanggabuana. Maha Patih Akilang kembali melakukan perbincangan dengan para prajurit senior. Kebrutalan para prajurit kerajaan Sirnabaya masih menjadi topik penting dalam perbincangan tersebut."Hidupku tidak akan pernah merasa tenang sebelum bisa membalas kematian para prajurit kita dan aku berjanzi akan menghancurkan kerajaan Sirnabaya yang sudah bertindak sewenang-wenang terhadap kerajaan kita!" kata Maha Patih Akilang berbicara dengan para prajuritnya di pendapa istana kepatihan."Aku pikir ini semua hanya sebuah kesalahpahaman saja, Gusti Patih?" tanya seorang prajurit senior mengerutkan kening."Itu hanya alasan dari Jaka Sena. Sebenarnya ia sudah merancang sedemikian rupa," jawab Maha Patih Akilang di antara deru napas yang bergejolak penuh dengan amarah yang sudah membumbung tinggi di dalam jiwa dan pikirannya kala itu."Saat masih menjabat sebagai panglima pasukan sejagat raya pun, ia sudah berusaha menekan pa
Dengan demikian, Darunda dan Panglima Janeka terus berbincang sambil mengamati pergerakan pasukan musuh. Mereka duduk santai di sebuah bangku panjang yang ada di atas tembok raksasa yang menjulang tinggi—pagar pembatas dan benteng pertahanan wilayah kerajaan Sanggabuana."Prabu Wihesa adalah murid Ki Buyut Dalem, dia dibesarkan di wilayah kepatihan Waluya Jaya semasa masih menjadi sebuah kadipaten sebelum bergabung dengan kerajaan Sanggabuana," terang Panglima Janeka."Aku baru tahu, ternyata Wihesa merupakan seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kanuragan yang sangat mumpuni," ujar Darunda.Panglima Janeka menghela napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan perlahan sambil tersenyum memandang cahaya obor yang tampak remang-remang di tengah hutan.Posisi Panglima Janeka dan Darunda kala itu berada di atas tembok raksasa, sehingga apa pun yang terjadi di dalam hutan akan terlihat, apalagi dengan kondisi hutan yang gundul seperti itu.Kala itu, hanya D
Di saung tersebut, sang raja langsung membicarakan sesuatu yang sangat penting kepada pendekar muda itu. Sejatinya, raja dan maha patih sangat tertarik kepada Kumba dan mereka berniat untuk merekrut pemuda itu untuk menjadi seorang prajurit kerajaan.Semua berdasarkan penilaian dari sang raja dan maha patih yang suka dengan kepiawaian pendekar tersebut dalam hal olah kanuragan."Seandainya kau mau dan siap. Aku akan menawarkan sesuatu buatmu," kata sang raja lirih, pandangannya lurus ke wajah Kumba.Kumba menghela napas sejenak. Ia berpikir, "Apakah aku layak menjadi prajurit di kerajaan? Sedangkan kemampuanku hanya terbatas?"Maha Patih Randu Aji mengerutkan kening dan mengamati Kumba yang hanya diam termangu. "Jawablah! Jika kau bersedia, kau akan mendapatkan kedudukan sebagai prajurit dan bisa mendapatkan pelatihan khusus dari para pelatih ilmu beladiri di Padepokan Kumbang Hitam!" timpal Maha Patih Randu Aji menatap tajam wajah Kumba–sang pendekar muda
Ketika fajar sudah menyingsing, para prajurit kerajaan Sanggabuana segera bergerak melewati perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana. Kemudian, ribuan pasukan tersebut memasuki hutan dengan maksud mengambil jalan pintas hendak menuju barak para prajurit kerajaan Sirnabaya—yang menjadi target utama serangan pagi itu.Beberapa meter hampir mendekati target, Senopati Yurawida segera menyeru kepada para prajuritnya untuk berhenti sejenak. Dengan demikian, pasukan yang berjalan di barisan terdepan pun segera menghentikan langkah mereka."Tugas utama kita adalah menghancurkan barak musuh dan mengusir mereka agar menjauh dari daerah ini!" kata Senopati Yurawida berkata kepada para panglimanya yang kala itu berada di barisan terdepan ribuan pasukan tersebut."Tapi ingat! Kalian harus berhati-hati, jangan sampai menimbulkan banyak korban dari prajurit kita!" pinta sang senopati menambahkan."Baik, Senopati. Kami akan melindungi pasukan di barisan depan dengan menggun
Namun, para prajurit tersebut berlari dengan begitu cepat. Sehingga para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak dapat mengejar mereka.Entah ke mana larinya mereka? Langkah dan pergerakan mereka sudah tidak dapat dideteksi ketika masuk ke wilayah kerajaan Sirnabaya.Akan tetapi, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah dapat mengetahui, bahwa para penyusup itu merupakan kelompok prajurit kerajaan Sirnabaya yang sengaja masuk ke wilayah kedaulatan Kundar yang kini sudah masuk dalam wilayah kerajaan utama Sanggabuana.Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak Panglima Amerya yang kala itu dipercaya sebagai pimpinan keamanan di wilayah tersebut. "Apa maksud mereka, hingga berani menyusup ke wilayah kita?" tanya Panglima Amerya mengarah kepada seorang prajurit yang baru kembali setelah mengejar para penyusup itu.Prajurit itu mengerutkan keningnya, tampak tidak memahami apa yang dikehendaki dan direncanakan oleh para penyusup tersebut."Entahlah, aku p
Sebulan kemudian, Prabu Erlangga langsung memanggil Dewangga, Dasamuka, dan segenap tokoh masyarakat Conada. Prabu Erlangga hendak membicarakan kesepakatan bersama tentang pembentukan kadipaten Conada sesuai keinginan rakyat di daerah tersebut.Prabu Erlangga dan para tokoh utama Conada segera menggelar pembicaraan penting yang membahas pembentukan pejabat pemerintahan untuk memimpin kadipaten Conada, musyawarah tersebut dihadiri pula oleh para petinggi istana dan juga Adipati Sargeni serta Adipati Soarna sebagai perwakilan dari daerah yang dulunya merupakan bagian dari induk daerah Conada yang sebagian besar wilayah tersebut masuk di dalam wilayah pemerintahan dua kadipaten itu."Apakah kalian akan menyetujui dan menerima keputusanku, jika aku sendiri yang memilih siapa yang layak menjadi seorang pemimpin yang akan menjadi adipati di kadipaten Conada?" tanya sang raja di sela perbincangannya dengan para tokoh masyarakat Conada.Dasamuka dan tokoh masyarakat Conada ya
Beberapa saat kemudian, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah berhasil mendekat ke arah lembah tempat keberadaan para pemberontak tersebut, Panglima Wanakarma dan Panglima Jaka Kelana segera membagi tugas."Kau dengan 150 prajurit segera naik ke bukit sana, aku dan yang lainnya tetap di sini!" bisik Panglima Jaka Kelana."Baik, Panglima." Panglima Wanakarma segera turun dari kudanya. Setelah mengikatkan tali kuda, ia langsung memerintahkan para prajuritnya untuk segera naik ke atas bukit yang berada tepat di atas lembah. Dengan penuh kehati-hatian dan terkesan senyap, Panglima Wanakarma dan para prajuritnya mulai bergerak perlahan naik ke atas bukit dengan maksud menyergap para prajurit musuh yang berada di beberapa saung yang mereka dirikan si atas bukit tersebut."Kalian langsung sergap mereka! Jika mereka tidak melakukan perlawanan jangan sakiti mereka!" perintah Panglima Wanakarma.Para prajurit itu pun segera melaksanakan tugas tersebut dan langsung
Ternyata semua rencana berjalan seperti yang telah diperhitungkan. Pasukan pemberontak akhirnya mundur tepat pada waktunya, meskipun para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak melakukan gangguan terhadap mereka.Pra prajurit kerajaan Sanggabuana yang baru tiba itu, sangat merasakan kenyamanan setelah melakukan perjalanan jauh, tiba di tempat tersebut tanpa ada halangan."Bersyukurlah, kita datang mereka sudah lebih dulu ketakutan dan menjauh dari tempat ini," ujar Wanakarma sang panglima perang yang baru saja pulang dari Kepatihan Waluya Jaya dan langsung ikut bersama Senopati Lintang ke Alas Conan."Aku harap, kalian bisa menikmati istirahat kalian malam ini," timpal Panglima Jaka Kelana.Dari kelima ratus prajurit yang dipimpinnya itu, yang bertugas jaga hanya sekitar seratus prajurit saja, itu pun secara bergiliran agar mereka tidak terlalu kelelahan ketika akan menggempur pertahanan musuh di dalam hutan tersebut."Kalian harus segera istirahat!" seru Pangl
Keesokan harinya tepat menjelang sore, Panglima Jaka Kelana dan Senopati Lintang serta ribuan pasukan dengan persenjataan lengkap sudah bersiap hendak melakukan perjalanan jauh menuju ke kadipaten Conan Selatan dan Conan Utara untuk mengamankan kedua kadipaten tersebut dari teror para pemberontak yang akhir-akhir ini kerap melakukan teror terhadap para penduduk.Tampak seribu prajurit khusus sudah bersiap untuk segera berangkat, ada sekitar 300 pasukan kuda dan 20 pedati yang ditarik oleh beberapa ekor sapi yang membawa peralatan kemah dan juga bahan makanan untuk perbekalan para prajurit selama bertugas di sana."Aku harap kalian berhati-hati dan waspada terhadap para pemberontak itu!" pesan Prabu Erlangga di sela pelepasan para prajurit kerajaan yang hendak bertugas menumpas para pemberontak yang berada di hutan Conan."Baik, Gusti Prabu," ucap Senopati Lintang.Selain dirinya, istrinya pun ikut dalam tugas tersebut. Winiresti bersama ratusan prajurit wanita dan pasuka