Anggadita menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab pertanyaan Erlangga, "Aku tahu dari pedang pusakamu, Pangeran."
'Siapa sebenarnya Anggadita ini? Mengapa dia mengetahui pedangku?' batin Erlangga bertanya-tanya.
"Tak ada orang lain yang bisa memiliki pedang itu, kecuali orang-orang yang memiliki garis keturunan dengan sang raja," tandas Anggadita melanjutkan perkataannya.
"Ya sudah, sekarang kau sudah tahu siapa aku sebenarnya. Aku harap kau bisa membantuku untuk merahasiakan identitasku ini!" pinta Erlangga tersenyum lebar menatap wajah Anggadita.
"Baiklah, Pangeran." Anggadita tampak semringah setelah mendengar pengakuan Erlangga bahwa dirinya memang seorang putra mahkota kerajaan Kuta Tandingan seperti apa yang dia duga sebelumnya.
Setelah itu, mereka langsung melakukan perjalanan menuju ke Padepokan Kumbang Hitam. Mereka tidak peduli dengan panasnya terik matahari yang menyengat, derasnya peluh terus bercucuran dari wajah kedua pendekar itu.
Sepanjang perjalanan, Anggadita sangat mengeluhkan jalanan yang sukar untuk dilewati dengan banyaknya tanaman liar berduri yang menghalangi jalan, membuat Anggadita kelelahan. Bahkan, kaki dan tangannya pun sudah dipenuhi luka goresan kecil karena seringnya menyentuh tanaman-tanaman liar tersebut.
Dalam perjalanan itu, Anggadita harus berjibaku menebas pepohonan yang menghalangi jalan yang hendak dilaluinya. Sementara Erlangga hanya tersenyum-senyum saja dari belakang melihat sikap kawan barunya itu.
"Kalau kau sudah lelah, alangkah baiknya kita istirahat saja dulu!" ajak Erlangga lirih. Erlangga mengerti dengan kondisi Anggadita yang sudah kelelahan.
Mendengar ajakan Erlangga, Anggadita tampak senang dan menyambut baik saran dari kawannya itu. "Ya sudah, kita istirahat di sana saja!" jawab Anggadita menunjuk salah satu tempat di bawah pohon besar di bahu jalan tersebut.
"Baiklah." Erlangga mengangguk dan langsung melangkah ke tempat yang ditunjukkan oleh kawannya itu.
Anggadita berjalan terseok-seok, dia mulai merasa lelah berjalan mengikuti langkah Erlangga dari belakang, pandangannya mulai redup tertutup peluh yang terus mengalir dari keningnya.
Setelah sampai di tempat yang dituju, Erlangga langsung duduk bersandar di pohon yang rindang. Bukan hanya Anggadita saja yang merasa kelelahan, Erlangga pun sudah tampak lemas dan sudah terkuras tenaganya.
"Persediaan air minum kita sudah habis," desis Anggadita sembari bersandar ke sebuah pohon.
Anggadita duduk lemah di hadapan Erlangga, tampak dari keningnya bercucuran peluh membasahi wajahnya.
Erlangga bangkit, kemudian meraih batang bambu berukuran sekitar dua jengkal telapak tangannya. Batang bambu tersebut, biasa ia gunakan sebagai wadah untuk air minum.
"Kau mau ke mana, Pangeran?" tanya Anggadita dengan napas terengah-engah.
"Aku mau mencari air minum, kau tunggu di sini saja, jangan kemana-mana!" jawab Erlangga bergegas melangkah untuk mencari sumber air terdekat di hutan tersebut.
"Hati-hati, Pangeran!" teriak Anggadita.
"Iya," sahut Erlangga tanpa menoleh.
Erlangga turun menyusuri lebatnya hutan sembari menebas pepohonan yang menghalangi jalan.
Setibanya di bawah, tampak sebuah sungai dengan air jernih mengalir dari pegunungan yang tidak jauh dari perbukitan itu.
"Syukurlah masih ada sumber air yang dapat aku temukan di tempat ini," desis Erlangga melangkah mendekati sungai tersebut.
Ketika dirinya mulai berjongkok untuk meraih air. Tiba-tiba, terdengar suara tertawa dari arah belakang.
"Hahaha ...!" Suaranya terdengar menggema parau dan membuat gaduh telinga.
Setelah mengambil air, Erlangga bangkit dan langsung membalikkan badan ke arah belakang. Dilihatnya sesosok makhluk berambut gimbal dan mempunyai gigi bertaring sedang berdiri tegak di atas dahan pohon besar yang ada di pinggiran sungai itu.
"Siapa kau ini?" tanya Erlangga tetap bersikap santai dalam menghadapi makhluk menyeramkan itu.
Tanpa menjawab, makhluk itu meloncat dan mendarat tepat di hadapan Erlangga.
Berkatalah ia dengan nada tinggi, "Aku adalah Sulima jin penguasa tempat ini," jawab makhluk itu, "kau telah melanggar ketentuan di tempat ini," tambahnya dengan sorot mata tajam memandang wajah Erlangga.
Erlangga hanya tersenyum tidak mengindahkan sikap makhluk tersebut yang sudah bersiap akan menyerang dirinya.
"Hai, anak muda! Apakah kau tuli?" seru Sulima dengan sombongnya.
Sulima geram dengan sikap Erlangga yang hanya diam saja, ia menganggap bahwa Erlangga sudah menyepelekan dirinya.
"Aku tidak ada kepentingan denganmu. Menyingkirlah!" Erlangga mulai melangkahkan kedua kakinya untuk kembali naik ke atas menghampiri Anggadita yang berada di atas sana.
Perkataan Erlangga membuat Sulima semakin geram, ia tampak marah terhadap Erlangga. Kemudian langsung menyerang Erlangga.
Dengan sigap, Erlangga menangkis pukulan dari Sulima dan balas menghajar makhluk mengerikan itu dengan beberapa pukulan beruntun yang menjadi ketika bertarung dengan musuh.
Sulima terjungkal dan jatuh terpuruk di hadapan Erlangga, ia tak kuasa menahan gempuran jurus tenaga dalam yang dikerahkan oleh Erlangga.
"Maafkan aku, Sulima!" ucap Erlangga kembali melanjutkan langkahnya.
Hal tersebut tidak membuat Sulima jera, meski sekujur tubuhnya terasa sakit, namun ia bangkit lagi dan kembali melakukan serangan untuk kedua kalinya.
Sulima melancarkan pukulan keras tepat mengenai bagian pundak Erlangga, pukulan keras dari Sulima membuat Erlangga hilang keseimbangan dan terjungkal.
"Hahaha ...." Sulima tampak senang merayakan keberhasilannya yang sudah menjatuhkan Erlangga.
Dengan demikian, Erlangga mulai tersulut emosi, ia bangkit dan langsung meloncat dengan gerakan salto sembari melancarkan tendangan keras mengenai kepala makhluk itu.
Sulima pun akhirnya jatuh bergelimpangan, darah segar pun keluar dari mulut dan hidungnya. Seketika Sulima menghilang dan memberi pesan terakhir untuk Erlangga.
"Tunggu pembalasanku, Manusia!"
Erlangga tidak menghiraukan ancaman makhluk tersebut, ia langsung kembali melanjutkan langkah kembali menghampiri Anggadita.
Setibanya di hadapan Anggadita, Erlangga langsung menyerahkan air minum kepada kawannya itu.
"Kau minum dulu!"
Anggadita terus memandang wajah Erlangga. "Bibir Pangeran kenapa berdarah?" tanya Anggadita mengerutkan kening, terus mengamati darah yang mengalir dari bibir Erlangga.
"Tidak apa-apa, tadi aku hanya terpeleset di sungai," jawab Erlangga berkelit sambil menyeka darah dari ujung bibirnya.
"Hahaha ...." Anggadita tertawa lepas, "pendekar masih saja terpeleset," sambungnya meraih wadah air minum dari tangan Erlangga.
Setelah itu, keduanya langsung membuka perbekalan. Anggadita membawa beberapa potong singkong dan pisang rebus sebagai persediaan mereka makan selama dalam perjalanan.
Setelah hampir satu jam beristirahat, kedua pendekar itu kembali melanjutkan perjalanan mereka agar segera tiba di Padepokan Kumbang Hitam yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat peristirahatan mereka saat itu.
Hanya saja, jalan yang akan mereka lewati cukup banyak rintangan dan halangan, di sepanjang jalan tersebut dipenuhi oleh tanaman liar yang dahan dan tangkainya penuh duri menjulur menghalangi jalan tersebut.
Anggadita dan Erlangga terus melangkah dengan menebas-nebaskan pedang membabat tanaman yang jadi penghalang.
Beberapa jam kemudian ....
Keduanya sudah sampai di ujung bukit tersebut, dari kejauhan sudah terlihat sebuah bangunan sederhana berdiri kokoh di tengah perbukitan itu.
"Itu, Pangeran!" kata Anggadita tampak semringah meluruskan jari telunjuknya ke arah bangunan sederhana yang ada di depan sana.
Erlangga pun tersenyum dan kembali mengajak kawannya itu untuk melanjutkan perjalanan mereka.
"Di sini tempatnya sungguh indah, namun dibutuhkan perjuangan yang keras untuk sampai ke tempat ini," ujar Erlangga sembari terus melangkah menuju Padepokan Kumbang Hitam yang hanya tinggal beberapa meter lagi.
"Aku dulu pernah sampai di sini, namun aku diusir oleh murid-murid Padepokan Kumbang Hitam. Mereka curiga dan menganggapku sebagai mata-mata dari pihak musuh," terang Anggadita berkata lirih sembari mengikuti langkah Erlangga.
Tanpa disadari oleh Erlangga dan Anggadita, dari arah belakang ada beberapa pendekar sudah bersiap hendak menangkap mereka. Para pendekar itu menganggap bahwa Erlangga dan Anggadita sebagai mata-mata dari pihak musuh yang sudah menyusup ke dalam wilayah mereka.
"Berhentilah kalian!" seru salah seorang di antara mereka.
Mereka merupakan para pendekar murid Bayu Seta—sang pemimpin Padepokan Kumbang Hitam.
Erlangga dan Anggadita menghentikan langkah sejenak dan berbalik arah ke belakang.
Tampak belasan pendekar muda sudah bersiap melakukan penyerangan terhadap Erlangga dan Anggadita yang mereka anggap sebagai ancaman, karena sudah memasuki wilayah mereka.
"Kau tenang saja, kita jangan melawan!" bisik Erlangga kepada Anggadita yang sudah siapa siaga untuk menghadang serangan dari para pendekar itu, "aku yakin, kalau kita menyerahkan diri. Mereka tidak akan mencelakai kita," sambung Erlangga.
"Baik, Pangeran." Anggadita kembali bersikap biasa-biasa saja dan tidak melakukan reaksi apa pun.
"Tangkap mereka, dan langsung bawa kehadapan guru!" titah salah satu pemimpin dari kelompok pendekar itu.
Dengan cepat para pendekar lainnya menghampiri Erlangga dan Anggadita yang sudah pasrah, mereka menudingkan senjata masing-masing, menjulur ke arah berdirinya kedua pendekar yang mereka anggap sebagai musuh itu.
Berbagai senjata sudah terarah kepada Erlangga dan Anggadita. Namun, Erlangga dan Anggadita tetap bersikap tenang menghadapi ancaman tersebut.
"Silakan tangkap kami!" kata Erlangga penuh kepasrahan.
"Tangkap kedua orang asing ini dan ikat mereka!" titah pria bertubuh kekar mengarah kepada rekan-rekannya.
Para pendekar itu langsung menangkap Erlangga dan Anggadita, kemudian mengikat tangan kedua pendekar itu dengan seutas tali dan membawanya ke padepokan untuk dihadapkan langsung kepada guru mereka.
Erlangga dan Anggadita sedikit pun tidak melakukan perlawanan, mereka hanya pasrah melangkah dengan tangan diikat dan digiring untuk menghadap guru besar di padepokan tersebut.
"Diam saja, kita jangan melakukan perlawanan!" bisik Erlangga.
Para pendekar itu langsung menangkap Erlangga dan Anggadita tanpa perlawanan. Kemudian langsung mengikat tangan kedua pendekar itu dengan seutas tali. Setelah itu, mereka langsung membawa Erlangga dan Anggadita ke padepokan untuk dihadapkan langsung kepada Ki Bayu Seta—guru besar padepokan tersebut. Erlangga dan Anggadita sedikit pun tidak melakukan perlawanan, mereka hanya pasrah melangkah dengan tangan diikat dan digiring oleh belasan pendekar menuju ke arah padepokan. Setibanya di padepokan, salah seorang pendekar yang sudah ikut menangkap Erlangga dan Anggadita, langsung memberitahu guru mereka yang saat itu sedang berada di dalam padepokan tersebut. “Guru, kami telah berhasil menangkap dua orang pendekar yang diduga kuat sebagai mata-mata,” kata pendekar itu sambil menjura kepada sang guru. Pendekar tersebut adalah Aryadana, ia merupakan murid senior di Padepokan Kumbang Hitam, yang dipercaya sebagai pemimpin para murid padepokan tersebut. Ki Bayu Seta tertawa kecil menanggap
Menjelang tengah hari, Aryadana dan Anggadita serta dua rekannya sudah tiba di saung padepokan, mereka membawa tiga ekor rusa hasil buruan mereka. Wajah Aryadana dan ketiga rekannya tampak semringah. Kedatangan mereka disambut hangat dengan penuh kegembiraan oleh para murid yang ada di padepokan itu."Anggadita!" panggil Erlangga. "Iya, Pangeran," sahut Anggadita, ia langsung menyerahkan busur panah kepada salah satu murid padepokan tersebut. "Tolong simpan ini, aku mau menghadap Pangeran Erlangga!" "Baik, Ki," jawab seorang murid padepokan langsung meraih panah dari tangan Anggadita. Setelah itu, Anggadita bergegas melangkah menghampiri Erlangga yang berdiri di depan saung aula padepokan yang tidak jauh dari kamarnya. "Ada apa, Pangeran?" tanya Anggadita meluruskan pandangannya ke wajah Erlangga. "Temani aku, ke tempat yang kemarin aku ceritakan!" jawab Erlan
Setibanya di dalam istana, Erlangga dan Anggadita dijamu meriah dengan berbagai makanan dan minuman. Mereka berdua diperlakukan layaknya tamu kehormatan kerajaan tersebut. Tak hanya itu, Erlangga dan Anggadita diberikan penghormatan khusus dari kerajaan dan didaulat sebagai tamu agung. "Pangeran jangan khawatir, buah-buahan dan makanan serta minuman yang aku hidangkan ini. Bukan makanan jin, melainkan makanan manusia khusus untuk Pangeran dan sahabat Pangeran!" tandas Prabu Wanakerta meyakinkan Erlangga yang tampak ragu menikmati hidangan yang sudah disuguhkan oleh para dayang istana kerajaan gaib itu. "Baiklah, Prabu. Aku percaya," sahut Erlangga tersenyum lebar. "Aku sudah tahu maksud dan niat Pangeran datang ke wilayah kerajaanku," ucap Wanakerta tersenyum lebar memandang wajah Erlangga. Erlangga menoleh ke arah Anggadita, mereka saling bertatapan. Sejatinya mereka merasa heran dengan pernyataan dar
Kemudian ia langsung mengajak Anggadita untuk segera melangkah ke padepokan dan mengabarkan kejadian yang mereka alami kepada Ki Bayu Seta yang saat itu sedang dirundung kecemasan dan kekhawatiran terhadap mereka berdua yang sudah delapan hari menghilang tanpa jejak. Setibanya di gerbang padepokan, Erlangga dan Anggadita disambut riang gembira oleh para murid padepokan tersebut. "Lihatlah! Pangeran sudah kembali!" teriak salah seorang murid padepokan berlari masuk ke dalam padepokan hendak memberitahukan sang guru tentang kedatangan Erlangga dan Anggadita. "Guru, Pangeran dan Anggadita sudah kembali," kata salah seorang murid memberitahukan Ki Bayu Seta tentang kedatangan Erlangga dan Anggadita. Ki Bayu Seta tampak bahagia, kemudian bangkit dan langsung melangkah keluar menuju ke beranda padepokan. Di halaman padepokan Erlangga dan Anggadita sedang dikerumuni oleh para murid padepokan. Mereka tampak riang gembira menyambut hangat kembalinya Er
Para prajurit tersebut langsung melaporkan kejadian yang mereka alami kepada Prabu Rawinta—seorang penguasa tamak dan keji itu. "Hanya menangkap seorang pendekar saja kalian tidak becus!" bentak Prabu Rawinta murka terhadap para prajuritnya. Setelah itu, Prabu Rawinta langsung memerintahkan Jaya Menda yang menjabat sebagai panglima perang di kerajaan tersebut, untuk segera melakukan penyisiran ke setiap pelosok desa dan dusun-dusun yang ada di wilayah kerajaan Kuta Tandingan. Jaya Menda bergerak cepat dalam melaksanakan titah rajanya itu. Ia mengumpulkan para prajurit dan langsung membagi tugas serta membentuk beberapa kelompok pasukan yang akan disebar ke seluruh wilayah kerajaan tersebut, dalam rangka melakukan pencarian Randu Aji yang sudah membuat kegaduhan dengan melakukan banyak teror membantai para prajurit kerajaan Kuta Tandingan. Hal tersebut ternyata diketahui oleh Prabu Wanake
Setelah mengetahui identitas pendekar bertopeng itu, Senapati Sulima diperintahkan oleh Prabu Wanakerta untuk segera menyampaikan kabar tersebut kepada Erlangga. "Sebaiknya kau segera menyampaikan kabar ini kepada Pangeran Erlangga!" perintah Prabu Wanakerta mengarah kepada senapatinya. "Baik, Gusti Prabu. Hamba akan segera menemui Pangeran Erlangga sekarang," jawab Senapati Sulima. Senapati Sulima langsung pamit kepada Prabu Wanakerta dan berlalu dari hadapan sang raja. Senapati Sulima saat itu juga langsung menjumpai Erlangga di Padepokan Kumbang Hitam, hendak memberitahu Erlangga tentang kesiapan Randu Aji untuk bergabung dengan para pendekar yang ada di Padepokan Kumbang Hitam. "Dugaanku ternyata benar, pendekar bertopeng itu adalah putra Paman Rumi," kata Erlangga berbicara di hadapan Senapati Sulima. "Dia sangat kuat dan mempunyai ilmu mirip dengan ilmu yang dimil
Randu Aji dan kedua rekannya tertawa lepas melihat sikap Sugriwa berlari kencang karena merasa takut dengan gertakannya. "Aku kira nyalinya Sugriwa sebesar badannya," seloroh Soarna tak hentinya tertawa. Randu Aji sedikit menepuk pundak Soarna. "Kita sore ini langsung ke Padepokan Kumbang Hitam, kalian siapkan perbekalan untuk di jalan!" kata Randu Aji melangkah kembali menuju ke arah hutan. "Kira-kira tempatnya jauh tidak dari sini?" tanya Soarna sembari terus berjalan mengikuti langkah sahabatnya itu. "Lumayan jauh diperkirakan kita sampai ke sana menjelang senja," jawab Randu Aji mengarah kepada Soarna. "Kita akan hidup enak di sana tanpa harus seperti ini lagi," sambung Randu Aji terus melangkah menyusuri jalan setapak menuju tempat tinggal mereka yang berada di dalam hutan tersebut. Setibanya di sebuah gubuk yang berdiri kokoh di tengah hutan belantara, Randu Aji meminta kedua sahabatnya u
Ketika Sargeni mengeluarkan sebilah kujang pusaka dari dalam tubuhnya. Tiba-tiba saja Sulima datang dan meminta Sargeni untuk mengurungkan niatnya menyerang kedua jin itu. "Hentikan, Ki Sanak! Mereka adalah saudara sebangsa denganku!" cegah Senapati Sulima. Sargeni pun langsung mengurungkan niatnya, dan kembali memasukan kujang tersebut ke dalam tubuhnya. Sulima melangkah menghampiri Randu Aji yang sedang duduk santai sembari menikmati makanan. "Maafkan perbuatan mereka, Raden." Senapati Sulima berlutut dan memberi hormat kepada Randu Aji. "Aku yang seharusnya meminta maaf kepadamu, Senapati," jawab Randu Aji penuh kerendahan hati. Senapati Sulima bangkit, kemudian langsung memerintahkan Durgala dan Dargala untuk segera pergi dari tempat itu, "Kalian pergi dari tempat ini dan jangan pernah mengganggu lagi!" "Baik, Senapati." Durgala dan Dargala menjura kepada
Sore hari, setelah berangkatnya Senopati Yurawida ke istana kerajaan Sanggabuana. Maha Patih Akilang kembali melakukan perbincangan dengan para prajurit senior. Kebrutalan para prajurit kerajaan Sirnabaya masih menjadi topik penting dalam perbincangan tersebut."Hidupku tidak akan pernah merasa tenang sebelum bisa membalas kematian para prajurit kita dan aku berjanzi akan menghancurkan kerajaan Sirnabaya yang sudah bertindak sewenang-wenang terhadap kerajaan kita!" kata Maha Patih Akilang berbicara dengan para prajuritnya di pendapa istana kepatihan."Aku pikir ini semua hanya sebuah kesalahpahaman saja, Gusti Patih?" tanya seorang prajurit senior mengerutkan kening."Itu hanya alasan dari Jaka Sena. Sebenarnya ia sudah merancang sedemikian rupa," jawab Maha Patih Akilang di antara deru napas yang bergejolak penuh dengan amarah yang sudah membumbung tinggi di dalam jiwa dan pikirannya kala itu."Saat masih menjabat sebagai panglima pasukan sejagat raya pun, ia sudah berusaha menekan pa
Dengan demikian, Darunda dan Panglima Janeka terus berbincang sambil mengamati pergerakan pasukan musuh. Mereka duduk santai di sebuah bangku panjang yang ada di atas tembok raksasa yang menjulang tinggi—pagar pembatas dan benteng pertahanan wilayah kerajaan Sanggabuana."Prabu Wihesa adalah murid Ki Buyut Dalem, dia dibesarkan di wilayah kepatihan Waluya Jaya semasa masih menjadi sebuah kadipaten sebelum bergabung dengan kerajaan Sanggabuana," terang Panglima Janeka."Aku baru tahu, ternyata Wihesa merupakan seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kanuragan yang sangat mumpuni," ujar Darunda.Panglima Janeka menghela napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan perlahan sambil tersenyum memandang cahaya obor yang tampak remang-remang di tengah hutan.Posisi Panglima Janeka dan Darunda kala itu berada di atas tembok raksasa, sehingga apa pun yang terjadi di dalam hutan akan terlihat, apalagi dengan kondisi hutan yang gundul seperti itu.Kala itu, hanya D
Di saung tersebut, sang raja langsung membicarakan sesuatu yang sangat penting kepada pendekar muda itu. Sejatinya, raja dan maha patih sangat tertarik kepada Kumba dan mereka berniat untuk merekrut pemuda itu untuk menjadi seorang prajurit kerajaan.Semua berdasarkan penilaian dari sang raja dan maha patih yang suka dengan kepiawaian pendekar tersebut dalam hal olah kanuragan."Seandainya kau mau dan siap. Aku akan menawarkan sesuatu buatmu," kata sang raja lirih, pandangannya lurus ke wajah Kumba.Kumba menghela napas sejenak. Ia berpikir, "Apakah aku layak menjadi prajurit di kerajaan? Sedangkan kemampuanku hanya terbatas?"Maha Patih Randu Aji mengerutkan kening dan mengamati Kumba yang hanya diam termangu. "Jawablah! Jika kau bersedia, kau akan mendapatkan kedudukan sebagai prajurit dan bisa mendapatkan pelatihan khusus dari para pelatih ilmu beladiri di Padepokan Kumbang Hitam!" timpal Maha Patih Randu Aji menatap tajam wajah Kumba–sang pendekar muda
Ketika fajar sudah menyingsing, para prajurit kerajaan Sanggabuana segera bergerak melewati perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana. Kemudian, ribuan pasukan tersebut memasuki hutan dengan maksud mengambil jalan pintas hendak menuju barak para prajurit kerajaan Sirnabaya—yang menjadi target utama serangan pagi itu.Beberapa meter hampir mendekati target, Senopati Yurawida segera menyeru kepada para prajuritnya untuk berhenti sejenak. Dengan demikian, pasukan yang berjalan di barisan terdepan pun segera menghentikan langkah mereka."Tugas utama kita adalah menghancurkan barak musuh dan mengusir mereka agar menjauh dari daerah ini!" kata Senopati Yurawida berkata kepada para panglimanya yang kala itu berada di barisan terdepan ribuan pasukan tersebut."Tapi ingat! Kalian harus berhati-hati, jangan sampai menimbulkan banyak korban dari prajurit kita!" pinta sang senopati menambahkan."Baik, Senopati. Kami akan melindungi pasukan di barisan depan dengan menggun
Namun, para prajurit tersebut berlari dengan begitu cepat. Sehingga para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak dapat mengejar mereka.Entah ke mana larinya mereka? Langkah dan pergerakan mereka sudah tidak dapat dideteksi ketika masuk ke wilayah kerajaan Sirnabaya.Akan tetapi, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah dapat mengetahui, bahwa para penyusup itu merupakan kelompok prajurit kerajaan Sirnabaya yang sengaja masuk ke wilayah kedaulatan Kundar yang kini sudah masuk dalam wilayah kerajaan utama Sanggabuana.Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak Panglima Amerya yang kala itu dipercaya sebagai pimpinan keamanan di wilayah tersebut. "Apa maksud mereka, hingga berani menyusup ke wilayah kita?" tanya Panglima Amerya mengarah kepada seorang prajurit yang baru kembali setelah mengejar para penyusup itu.Prajurit itu mengerutkan keningnya, tampak tidak memahami apa yang dikehendaki dan direncanakan oleh para penyusup tersebut."Entahlah, aku p
Sebulan kemudian, Prabu Erlangga langsung memanggil Dewangga, Dasamuka, dan segenap tokoh masyarakat Conada. Prabu Erlangga hendak membicarakan kesepakatan bersama tentang pembentukan kadipaten Conada sesuai keinginan rakyat di daerah tersebut.Prabu Erlangga dan para tokoh utama Conada segera menggelar pembicaraan penting yang membahas pembentukan pejabat pemerintahan untuk memimpin kadipaten Conada, musyawarah tersebut dihadiri pula oleh para petinggi istana dan juga Adipati Sargeni serta Adipati Soarna sebagai perwakilan dari daerah yang dulunya merupakan bagian dari induk daerah Conada yang sebagian besar wilayah tersebut masuk di dalam wilayah pemerintahan dua kadipaten itu."Apakah kalian akan menyetujui dan menerima keputusanku, jika aku sendiri yang memilih siapa yang layak menjadi seorang pemimpin yang akan menjadi adipati di kadipaten Conada?" tanya sang raja di sela perbincangannya dengan para tokoh masyarakat Conada.Dasamuka dan tokoh masyarakat Conada ya
Beberapa saat kemudian, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah berhasil mendekat ke arah lembah tempat keberadaan para pemberontak tersebut, Panglima Wanakarma dan Panglima Jaka Kelana segera membagi tugas."Kau dengan 150 prajurit segera naik ke bukit sana, aku dan yang lainnya tetap di sini!" bisik Panglima Jaka Kelana."Baik, Panglima." Panglima Wanakarma segera turun dari kudanya. Setelah mengikatkan tali kuda, ia langsung memerintahkan para prajuritnya untuk segera naik ke atas bukit yang berada tepat di atas lembah. Dengan penuh kehati-hatian dan terkesan senyap, Panglima Wanakarma dan para prajuritnya mulai bergerak perlahan naik ke atas bukit dengan maksud menyergap para prajurit musuh yang berada di beberapa saung yang mereka dirikan si atas bukit tersebut."Kalian langsung sergap mereka! Jika mereka tidak melakukan perlawanan jangan sakiti mereka!" perintah Panglima Wanakarma.Para prajurit itu pun segera melaksanakan tugas tersebut dan langsung
Ternyata semua rencana berjalan seperti yang telah diperhitungkan. Pasukan pemberontak akhirnya mundur tepat pada waktunya, meskipun para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak melakukan gangguan terhadap mereka.Pra prajurit kerajaan Sanggabuana yang baru tiba itu, sangat merasakan kenyamanan setelah melakukan perjalanan jauh, tiba di tempat tersebut tanpa ada halangan."Bersyukurlah, kita datang mereka sudah lebih dulu ketakutan dan menjauh dari tempat ini," ujar Wanakarma sang panglima perang yang baru saja pulang dari Kepatihan Waluya Jaya dan langsung ikut bersama Senopati Lintang ke Alas Conan."Aku harap, kalian bisa menikmati istirahat kalian malam ini," timpal Panglima Jaka Kelana.Dari kelima ratus prajurit yang dipimpinnya itu, yang bertugas jaga hanya sekitar seratus prajurit saja, itu pun secara bergiliran agar mereka tidak terlalu kelelahan ketika akan menggempur pertahanan musuh di dalam hutan tersebut."Kalian harus segera istirahat!" seru Pangl
Keesokan harinya tepat menjelang sore, Panglima Jaka Kelana dan Senopati Lintang serta ribuan pasukan dengan persenjataan lengkap sudah bersiap hendak melakukan perjalanan jauh menuju ke kadipaten Conan Selatan dan Conan Utara untuk mengamankan kedua kadipaten tersebut dari teror para pemberontak yang akhir-akhir ini kerap melakukan teror terhadap para penduduk.Tampak seribu prajurit khusus sudah bersiap untuk segera berangkat, ada sekitar 300 pasukan kuda dan 20 pedati yang ditarik oleh beberapa ekor sapi yang membawa peralatan kemah dan juga bahan makanan untuk perbekalan para prajurit selama bertugas di sana."Aku harap kalian berhati-hati dan waspada terhadap para pemberontak itu!" pesan Prabu Erlangga di sela pelepasan para prajurit kerajaan yang hendak bertugas menumpas para pemberontak yang berada di hutan Conan."Baik, Gusti Prabu," ucap Senopati Lintang.Selain dirinya, istrinya pun ikut dalam tugas tersebut. Winiresti bersama ratusan prajurit wanita dan pasuka