Beranda / Fantasi / Sang Penakluk Kiamat / Saran dari masa depan

Share

Saran dari masa depan

Pengalaman bertarung selama lima tahun masih melekat dalam benak, yang hilang hanyalah stamina dan kekuatan untuk mengeluarkan potensi sejatinya. Daya serang dan kecepatan...,

“Kuhh! Rasanya aku seperti terjebak di dalam lumpur, pukulan juga tendanganku menjadi lambat.”

Pasti karena tubuh yang sama sekali belum terlatih ini. Saat kiamat terjadi, berlari adalah hal yang harus di lakukan demi mempertahankan hidup secara naluriah, tanpa sadar hal itu seperti memupuk kekuatan diri.

“Tanpa di sadari staminaku mulai meningkat, ketahanan tubuhku pun sama. Di dunia yang kesulitan untuk beradaptasi itu, aku di tempa untuk menjadi kuat.”

“Sekarang aku memiliki kesempatan yang lebih baik, aku tidak boleh menyia-nyiakannya. Aku akan berlatih untuk melampaui batasanku di kehidupan yang sebelumnya.”

“Baiklah! Itulah rencananya. Sebaiknya kita mulai dengan pergi ke Gym.”

Muscle Gymnasium, tempat itu cukup besar dan letaknya juga tidak terlalu jauh dari rumahku. Dulu aku tidak pernah mengunjunginya, melihat bentuk tubuhku sekarang..., tidak heran jika seseorang menganggap ini menyedihkan.

‘Bag! Bug! Dass!!’

Pukulan demi pukulan yang kulayangkan pada samsak tinju mengeluarkan suara yang cukup keras, tapi jelas ini sama sekali belum cukup.

“Kawan, aku melihat kemampuanmu. Kau cukup baik, mau sparring?”

Aku memutar leher ke kiri untuk melihat asal suara itu, yang ku temui adalah sosok pria kekar yang nampak menggilai pertarungan.

“Hehe..., apa aku membuatmu terkejut?”

Pria itu menyeringai sambil menunjukkan jempol ke arah wajahnya, Pria yang cukup percaya diri.

“Demian, kau tidak bisa seperti itu, mau ngajak sparring juga harus lihat lawan. Bobot tubuh kalian tidak sebanding,” ujar orang lain yang berdiri di belakangnya, mungkin teman orang yang mengundangku Sparring.

“lihat kaosnya..., bahkan otot di tubuhnya tidak menonjolkan bentuk sama sekali, dan lihat dirimu, kau itu sudah seperti maniak otot.”

Demian, jadi itu namanya. Benar yang di katakan oleh kawan yang berdiri di sampingnya, menyebut Demian sebagai seorang maniak otot tidaklah salah.

Tubuh Demian sudah sangat terlatih, ototnya keras sampai membentuk lekuk yang jelas, perbedaan bobot tubuh kami mungkin berkilo-kilo.

Tapi..., bukan berarti aku tidak bisa mengalahkannya, kan?

“Mau sparring? Boleh saja.”

Keduanya terkesiap menatap ke arahku dengan wajah kebingungan. Apa karena tubuh ini terlihat kurus di mata mereka? Mau bagaimanapun, kurus atau tidak, singa tetaplah singa.

“Kau..., menarik. Namaku Demian, bisakah aku tau namamu, kawan?”

Dia tersenyum, tak tampak raut meremehkan dari wajahnya. Kebanyakan orang yang percaya diri selalu meremehkan lawan yang ada di hadapannya, Demian berbeda, dia bijak. Aku bisa merasakan niat tulus dari senyumnya.

“Vin.”

“Baiklah Vin, melihatmu tidak gentar dengan ajakanku untuk sparring, nampaknya kau bangga akan kemampuanmu, kalau begitu aku ingin melihatnya sekali lagi, teknik bertarung yang kau latih itu.”

Teknik bertarung, kah? Tidak ada sesuatu seperti itu. Di kehidupan sebelumnya tidak ada orang yang mengajari caranya. Baik itu karate, judo, k****u, boxing, atau teknik lainnya.

Yang ku asah selama ini adalah teknik untuk bertahan hidup, yaitu dengan menjatuhkan, mengunci, dan mengakhiri.

Sesuatu yang ku gunakan untuk memastikan mayat berjalan itu tidak merangkak lagi. Tapi..., beberapa dari gerakan itu ampuh untuk melawan manusia.

“Gunakan ini, Vin! Aku takut bertindak berlebihan dan tanpa sengaja mencederaimu. Ini cuma sebuah sparring biasa,” ujar Demian melemparkan sebuah helm pengaman untuk ku pakai.

Memang sih tidak seperti dia sedang meremehkan, tapi rasanya.., di kasihani seperti ini cukup membuat urat di leherku mengencang.

“Kau juga harus mengenakannya, Demian.”

Matanya terbuka lebih lebar, kemudian dia tersenyum.

“Aku mengerti jika kau percaya akan dirimu, namun.., aku hanya ingin sparring ini terasa adil, jika kau tidak menggunakan helm itu. Aku pun tidak akan memakainya,” kataku.

“Hahaha, aku benar-benar tertarik padamu, Vin. Aku menghormati sikapmu.”

Setelah pengaman yang di pasang sudah cukup kencang, demian berdiri di hadapanku menunjukkan kuda-kudanya, dengan tubuh agak membungkuk, kedua tangan bersiap untuk menyerang sembari melindungi di waktu yang bersamaan.

“Kau melatih Boxing? Itu bagus,” pujiku.

“Ahaha, tidak sejauh itu juga,” balasnya.

Kawan Demian bersorak kesal untuk Demian, “Maniak otot bajingan, kau bukan hanya melatih boxing. Bukankah kau juga juara nasional?!”

“Sobat..., jangan dengarkan dia. Aku tidak sehebat itu juga.”

Juara Nasional? Sial..., itu sedikit membuatku gentar akan dirinya. Namun.., jika alasan seperti itu membuatku mundur, rasanya tidak ada gunanya memiliki kesempatan kedua.

“Aku suka tatapan itu, sepertinya kau sudah terbiasa di hadapkan dalam situasi ini.”

Setelah mengernyitkan bibirnya Demian langsung menerjang tanpa keraguan, dia cepat! Itulah yang kupikirkan ketika angin dari pukulannya terasa begitu dekat.

“Uhh! Kau bisa menghindari itu? Penglihatanmu baik sekali Vin!”

Jab beruntun?! Dia mahir, seorang yang baik dalam boxing dapat memberikan pukulan tiada henti, ritmenya teratur dan begitu cepat.

“Ohh.., tidak buruk. Kupikir pukulan pertama yang kau hindari hanya sebuah kebetulan. Tidak kusangka kau cukup ahli, sobat.”

“Terimakasih atas pujianmu,” sahutku.

Susah sekali untuk menangkap tangan seorang petinju, karena setelah pukulan itu melesat akan segera di tarik kembali agar mereka bisa memukul lagi.

“Hei Demian, kelihatannya kau cukup berlebihan, bukan? Kau tidak membiarkan si Vin maju sama sekali.”

Maju? Tidak, itu bukan sebuah pilihan bijak, menangkis serangan itu pun bukan pilihan bagus, dengan otot yang belum terlatih ini, rasanya hanya akan memar jika aku harus menangkisnya.

“Menghindari semua pukulanku? Apa hanya ini yang kau bisa, Vin? Yah..., tapi aku memujimu karena mampu melakukannya.”

“Di bandingkan semua orang yang pernah sparring denganku, kau yang tercepat,” imbuh Demian.

Terimakasih, tapi yang cepat bukanlah tubuh ini melainkan otaknya. Selama otak dapat mengira kemana arah pukulan itu akan pergi, aku cukup menghindari titik pukul sesaat sebelum kau melayangkannya.

“Maniak otot itu memojokkannya, dia benar-benar tidak pandang bulu memilih lawan.”

Sudah mundur sejauh ini, satu langkah lagi maka tali di ring akan menyalami pinggang. Terlebih, tidak menyangka bergerak seperti ini saja membuat nafas menguap.

“Kau sudah mencapai batasmu, sobat?”

Ya, ini adalah kali pertama aku terengah-engah setelah lima tahun, sebelumnya aku tidak pernah merasa seperti ini.

Sudah kuduga, banyak yang harus di perbaiki mengenai tubuh ini.

“Berhentilah mengelak dan tunjukkan padaku seni beladiri apa yang kau pahami, Vin!”

Ah..., serius kau ingin tau? Kau mungkin akan kesal Demian. Akan ku tunjukkan setelah menghindar dari satu seranganmu.

Setelah menghindar berkali-kali, memahami pola serangannya bukanlah hal yang sulit, celahnya terlihat meskipun hanya dalam waktu sepersekian detik. Di situlah kesempatan untuk melancarkan serangan balik.

Masalahnya, apakah aku cukup percaya diri dengan kecepatan tubuh saat ini?

“Sepertinya kau tidak punya cara untuk menang, Vin.”

Pria ini besar, bahkan jika mengerahkan seluruh tenaga dalam satu pukulan hasilnya akan tetap meragukan. Seperti dia tidak akan bergeming oleh lengan yang masih kurus ini.

Tapi manusia mempunyai cara memberikan rasa sakit walaupun hanya dengan menggunakan sentuhan kecil.

“Bersiaplah, Demian!”

Tenaga dalam. Tidak, bukan sesuatu seperti itu, pukulan lembut yang dapat menghancurkan batu hanya ada di dalam novel, dalam kehidupan nyata..., mata dan kepala ini masih belum pernah melihatnya.

Sentuhan kecil yang dapat menyakiti orang lain, sabetan tepat ke arah mata. Baik melakukan secara sengaja atau tidak sengaja, sentuhan kecil saja akan membuat bagian itu merasa perih, bagaimana jika menambahkan beberapa tenaga pada sentuhan kecil itu?

“Arrgh! Mataku!!”

Benar, itu cukup membuat pria yang bahkan hampir sebesar beruang ini berteriak seperti wanita.

“Hei, melakukan tindakan seperti itu adalah curang. Bagaimana bisa kau tidak malu sama sekali?” ujar kawan Demian yang berada di luar Ring, raut wajahnya begitu kesal.

Aku mengerti, curang? Itu di perlukan dalam waktu dua bulan dari sekarang, malu? Perasaan itu harus di buang, bahkan jika dua detik mulai saat ini.

Melihat Demian mundur sembari menutupi wajahnya, bukankah ini kesempatan? Di ingat lagi, sebelumnya dia bilang soal menunjukkan seni bela diri yang ku pelajari. Bukan di pelajari, ini lebih seperti teknik yang di kembangkan sendiri.

Teknik menghabisi zombie, aliran tangan kosong. Apalagi? Tentu saja dua pukulan bersamaan secara langsung tepat di atas telinga.

“Demian!!!” suara teriakan pria di luar Ring terdengar serentak dengan suara pukulan yang ku layangkan.

Wajah Demian memucat, matanya memutih seolah bagian hitam pada matanya itu terbalik ke atas.

Pria yang bersemangat menunjukkan gerakan-gerakan memukaunya, kini tidak bergerak lagi, dirinya berlutut sebelum akhirnya pingsan di atas ring. Teknik yang ku kembangkan selama lima tahun untuk menghadapi krisis itu sebenarnya cukup untuk memecahkan kepala zombie.

Untungnya aku membiarkan dia menggunakan helm pengamannya, jika tidak..., mungkin Demian tidak hanya akan berakhir pingsan, melainkan mengeluarkan darah di sekitar telinganya.

“Demian! Sadarlah bung. Serius kau pingsan oleh pukulan pria ini?”

Ugh..., pria ini? Itu menyakiti harga diriku, kawan. Pria yang tampak lemah memang sukar di hormati, baik sekarang, atau di masa depan nanti.

“Argh! Dimana aku? Apa yang terjadi, Reinhard?”

“Kau pingsan bodoh, kau tidak sadar?”

“Benarkah? Mana mungkin aku pingsan?”

“Aku menamparmu berkali-kali sebelum akhirnya kau bangun. Kau ingin mengelak?”

Dengan tangan memegang kepala dan juga gelengan kuat berkali-kali, bagaimana kau bisa mengatakan bahwa dirimu tidak pingsan. Tapi dapat bangun secepat itu membuktikan kalau tubuhmu bukan hanya besar belaka.

“Apa mungkin pukulanku belum cukup kuat?”

“Vin, sebelumnya kau menggunakan jarimu untuk menyakiti mataku, aku ingat itu. Bagaimana bisa kau melakukan gerakan selicik itu?” ujar Demian mengerutkan dahinya ke arahku.

“Tidak ada peraturan sebelumnya, dan aku tidak menganggap itu sebagai sebuah kelicikan, melainkan sebuah strategi. Lagipula apa yang membuatmu berpikir kalau yang barusan itu adalah pertarungan tinju.”

“Ingat ini Demian, berhentilah berpikir untuk mengikuti sebuah peraturan, karena dalam sebuah pertarungan, menang adalah segalanya. Jika kau menang, kau hidup, dan jika kau kalah, kau mati.”

Demian dan juga pria yang sebelumnya ia panggil Reinhard itu terheran, wajah mereka berkeringat hanya karena kalimat yang baru aku katakan.

“Hei, Vin. Kenapa omonganmu jadi begitu serius? Mengatakan sesuatu tentang hidup mati, sesuatu seperti atlit tewas dalam sebuah pertandingan itu sangat jarang. Aku bukan orang yang akan membunuh lawanku jika aku menang,” jawab Demian.

“Kau punya kekuatan untuk bertahan hidup, Demian. Berhentilah berlatih tinju dan mulai dengan sesuatu seperti senjata. Untuk bertahan hidup, kemahiran dalam tinju saja tidak cukup.”

“Haah?”

“Jika suatu saat kau menemui lawan yang memegang senjata, bagi mereka kau hanya sebuah daging mati. Lagipula, tinju saja tidak akan cukup bagimu untuk menerobos gerombolan itu.”

“Gerombolan apa?” celetup Reinhard.

“Vin..., kau terdengar seperti seorang mafia, kawan.”

“Ingat yang ku katakan hari ini, Demian.”

Aku akhiri pertemuan dengan Demian melalui sebuah tepukan pada pundaknya. Dia orang yang jujur dan berpikiran terbuka, orang yang masih berpikir tentang bertindak dengan adil, orang sepertinya akan sangat langka ketika krisis itu terjadi.

Hanya berharap dia bisa bertahan, jika dia mengikuti saran itu tentunya dia akan sangat terbantu. Demian layak, dia layak menerima sebuah saran dariku. Saran dari orang yang pernah hidup dari masa depan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status