Perlahan Pramesti membuka kemban yang membungkus punggung berkulit putih Larasati, lalu mengoleskan ramuan ke bagian yang memar. "Lukamu parah sekali, ayah menghukummu sangat berat," katanya.Akan tetapi, Larasati yang duduk dengan posisi bersila di depannya justru tersenyum menyikapi. "Tak perlu khawatir, aku baik-baik saja.”"Kakak hanya berharap kau tak 'kan, mengulangi kesalahan lagi." Pramesti mengembuskan napas. "Lihatlah dirimu! Sampai seperti ini kami tidak bisa melakukan sesuatu."Seakan-akan Larasati tidak peduli dan malah terdiam dengan mata berkaca-kaca, sampai-sampai membuat Sasanti yang berdiri jauh di sebelah kirinya makin tak mengerti."Apa kau tahu, kenapa ayah sangat marah padamu?" tanya Pramesti. Sembari meringis menahan sakit, Larasati menjawab, "Karena aku tidak patuh.""Bukan.” Pramesti menggeleng sebelum lanjut bicara."Ibu dan Empu Sedah terlibat skandal. Ayah melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa mereka berdua bertindak tidak sopan," kata gadis bersang
Silir angin berembus di pagi buta, sang surya belum menampakkan diri, sementara embun pagi masih suci membasahi dedaunan. Namun, Larasati yang telah mengenakan setelan hitam, sudah berdiri di teras pondok. Dengan wajah pucat, dia terus menatap hampa, walau tak lama kemudian, memutuskan melangkah ke kandang. Cepat-cepat gadis itu melepas seekor kuda putih, lantas menuntunnya menuju halaman. Di saat bersamaan, Jaya Amijaya yang baru meninggalkan pendapa memergokinya. "Sati, kau akan ke mana?" teriaknya.Seketika Larasati menoleh, tetapi tak menghiraukan sang kakak. Dia justru naik ke punggung kuda dan menggerakkan tali kekang. Demikian dengan Jaya Amijaya tak tidak tinggal diam. Dia segera berjalan ke kandang dan melepas seekor kuda hitam untuk mengejar Larasati. Walau dalam sekejap si adik mulai memasuki hutan."Larasati, berhenti!" teriak Jaya Amijaya yang berada tak jauh di belakang. Karena masih tidak didengarkan oleh Larasati, sang Pangeran mengangkat sebelah tangan, lantas meny
Sesampainya di dalam ruangan, Maulana Ngali segera berbalik dan menatap Jaka Lelana. Demikian Jaka Lelana yang menghentikan langkah sembari mengalihkan pandangan."Apa yang terjadi pada Laras Dewi?" tanya sang Guru."Waktu Guru memberi tau saya ...." Ingatan Jaka Lelana menerawang pada hari di mana Larasati diculik, begitu pun sang Ulama yang mendengarkan dengan saksama. Tiga hari yang lalu......... "Kakak Laras melarikan diri Guru, dia telah mengelabui saya!" sesal Sasanti. Di sampingnya, sang kakak Pramesti juga begitu cemas memikirkan Larasati. Berbeda dengan Maulana Ngali yang justru tersenyum menyikapi. Tentu saja karena dia bisa melihat lebih jauh dari apa yang manusia lihat menggunakan mata kepala mereka. Bayangan Larasati sewaktu diculik oleh Dyah Puspitasari dan orang-orang berpakaian hitam lain, tersaji dalam batinnya. Mereka membawa Larasati yang jatuh pingsan dalam bopongan menuju Karpala. Sesudah mendapat petunjuk, sang Ulama berkedip sehingga semua gambaran pun
....Bibir merah muda Dewa Mandala membentuk lengkungan saat mendengarkan cerita Larasati, sementara jemari tangannya yang lentik seolah-olah sedang menggapai awan-awan cantik di langit Agnicaya. Sembari menunggu Larasati melanjutkan kisah perjalanan hidupnya, dia menikmati pemandangan yang tersaji. Tak peduli jika bidadari di samping kirinya itu harus berduka sebab terpaksa membuka kembali luka di masa lalu untuk menghiburnya. "Kukira itu akhir dari segalanya, kami tak akan bertemu lagi, tapi ternyata ...." Lagi-lagi Ingatan Larasati menerawang ke tahun 1150 Saka.......Melihat Larasati yang dirundung pilu setelah kembali dari taman, Jaya Amijaya mengetahui bahwa sesuatu telah terjadi. Gadis tersebut terus menatap hampa, sampai kemudian menyadari jika sang kakak sedang memperhatikan dia dari tempatnya berdiri di teras. "Apa Lelana menyakitimu?" tanya Jaya Amijaya.Tak ada jawaban, Larasati justru berlinangan air mata sehingga Jaya Amijaya makin emosi. "Aku sudah memperinga
Suara cengkerik jangkrik mengisi suasana, sementara di langit, bulan sedang purnama. Pada waktu itu, Larasati yang berpakaian serba hitam lengkap dengan kain penutup mulut, mengintip dari atas tembok besar istana. Sejenak dia melirik ke sekitar, sebelum diam-diam memanjat bangunan lantas terjun. Sebelah tangannya menyentuh tanah untuk menahan diri. Kemudian, sembari terus bersikap waspada, dia berjalan mengendap-endap menuju penjara.Akan tetapi, belum terlalu jauh Larasati melangkah, dia sudah hampir berpapasan dengan empat orang prajurit yang sedang menyisir istana. Untung saja, gadis tersebut bergerak cepat merangsek ke sela-sela tembok. Baru setelah mereka lewat, dia keluar dan melanjutkan langkah. Jarak penjara bawah tanah makin dekat di hadapan Larasati. Ketika memasuki pintu utama, dia langsung diserang oleh dua orang penjaga. Namun, belum sempat menyentuhnya, mereka malah saling berjatuhan di tanah, sebab Larasati lebih dulu mengibaskan tangannya yang disertai serbuk bius. Pu
Dini hari saat masih petang, Raja Jayabhaya mengirim orang-orang khusus untuk membebaskan Sedah dari penjara bawah tanah. Pria tua berwajah lancap itu dimasukkan ke kereta, lalu dikirim ke luar kota. Setelah menempuh perjalanan lebih dari tiga hari, akhirnya dia turun dibantu oleh Panglima Tunggul Wulung yang bertugas mengawal. Mata tajam sang Empu berkeliling memperhatikan ke sekitar pada suasana pedesaan yang tersaji. Tempat di mana dia akan hidup sebagai rakyat biasa dan melepas status sebagai guru atau sastrawan kerajaan. "Maaf, Empu, kami hanya bisa mengantar sampai di sini," ucap Tunggul Wulung sembari menyatukan kedua telapak tangan. Pria tua berpakaian abu-abu di hadapannya tersebut mengangkat sebelah tangan. "Tak masalah." Tanpa menunggu lagi, sang Panglima segera undur diri dan naik ke punggung kuda. Dia menggerakkan sebelah tangan, sehingga orang-orang suruhan raja pun mengikutinya kembali ke Panjalu.Tak lama setelah menyaksikan kepergian mereka, Sedah sendiri mengayu
Pagi cukup cerah sewaktu Pramesti, Sasanti, dan Jaya Amijaya memijakkan kaki di pendapa, lantas duduk pada lantai untuk menempati bangku masing-masing.Tak lama kemudian, Maulana Ngali datang bersama Jaka Lelana di samping kanan. Sang Ulama tersenyum memperhatikan semua murid. Demikian dengan Jaka Lelana yang mencari keberadaan Larasati. Gadis tersebut masih belum terlihat walau sudah telat dari waktu kedatangan yang ditentukan.Di barisan murid paling depan, Jaya Amijaya menatap benci Jaka Lelana. Namun, pria tersebut tetap menjaga sikap karena tahu bahwa sang Guru pasti tidak akan menyukai jika dia terlalu urus campur pada hubungan si adik. "Silakan duduk, Lelana." Maulana Ngali mengarahkan sebelah tangan ke dua bangku paling depan yang menghadap para murid. Pun Jaka Lelana tersenyum sebelum duduk pada tempat yang dimaksud. Sementara itu, di sisi lain, Larasati yang bangun kesiangan, segera berganti pakaian hitam dan melangkah terburu-buru menuju pendapa. Karena lupa mengikat tal
Rasa gerah membuat Larasati harus berguling-guling di ranjang dengan keringat yang membasahi seluruh tubuh. Padahal gadis tersebut sudah sangat mengantuk, tetapi tetap tak bisa tidur tenang hingga akhirnya beralih ke posisi duduk. "Apa jangan-jangan ... Lelana mengerjaiku?" pikir Larasati yang lantas melirik ke kanan. "Aku ingin melukainya saat berlatih, jadi ... dia sengaja menaruh sesuatu saat mengobatiku." "Aiiiihhh!"Makin lama, panas dalam tubuhnya makin menguat. Larasati yang tahan segera berdiri lalu berlari keluar dari kamar. Tanpa ragu, gadis berambut terurai itu melompat ke dalam kolam ikan dan menenggelamkan seluruh tubuh untuk beberapa saat. Setelah merasa lebih baik, baru dia mengangkat kepala seraya mengusap air yang menetes di wajah. Namun, siapa sangka, Maulana yang sedang berjalan-jalan bersama Jaka Lelana memergokinya. Kedua pria berpakaian putih tersebut menatap keheranan, sebelum menghentikan langkah. Demikian Larasati sendiri yang seketika membelakan mata dengan