Rasa gerah membuat Larasati harus berguling-guling di ranjang dengan keringat yang membasahi seluruh tubuh. Padahal gadis tersebut sudah sangat mengantuk, tetapi tetap tak bisa tidur tenang hingga akhirnya beralih ke posisi duduk. "Apa jangan-jangan ... Lelana mengerjaiku?" pikir Larasati yang lantas melirik ke kanan. "Aku ingin melukainya saat berlatih, jadi ... dia sengaja menaruh sesuatu saat mengobatiku." "Aiiiihhh!"Makin lama, panas dalam tubuhnya makin menguat. Larasati yang tahan segera berdiri lalu berlari keluar dari kamar. Tanpa ragu, gadis berambut terurai itu melompat ke dalam kolam ikan dan menenggelamkan seluruh tubuh untuk beberapa saat. Setelah merasa lebih baik, baru dia mengangkat kepala seraya mengusap air yang menetes di wajah. Namun, siapa sangka, Maulana yang sedang berjalan-jalan bersama Jaka Lelana memergokinya. Kedua pria berpakaian putih tersebut menatap keheranan, sebelum menghentikan langkah. Demikian Larasati sendiri yang seketika membelakan mata dengan
Sore itu juga, Jaka Lelana berpamitan pada Maulana Ngali untuk kembali ke Karpala. Dia menyatukan kedua telapak tangan serta menundukkan kepala. Demikian dengan sang Ulama yang segera mengangkat sebelah tangan, sementara di belakangnya para murid Pondok Setana lain mengantar sampai pintu gerbang, tak terkecuali Pramesti dan Sansati. Di salah satu ruang tamu di antara bangunan yang berjajar, Larasati duduk membelakangi seolah-olah tak peduli pada Jaka Lelana. Dia tak sendiri, ada Jaya Amijaya yang menemaninya tak jauh di samping kanan. Sembari bersandar pada pilar saka guru, pria berpakaian hitam tersebut menoleh si adik."Kau benar-benar tak ingin mengantarnya?" tanyanya.Sikap Larasati begitu angkuh saat menjawab. “Tidak.”Pun Jaya Amijaya mengalihkan pandangan, lantas dengan sedikit mengangkat dagu mengembuskan napas panjang. "Baiklah."Mereka berdua saling berdiam diri untuk waktu yang cukup lama, bahkan walau Larasati sangat ingin melihat Jaka Lelana, tetapi tak mampu melawan kek
Seraya mengelap keringat yang membasahi kening dengan sebelah tangan, Larasati mengembuskan napas sengal dan melangkah menuju pemandian putri. Di sana ada tujuh bidadari sedang berendam di sendang. Canda tawa mereka terdengar begitu renyah ketika saling memercikkan air ke satu sama lain. Larasati menjadi agak kesal hingga tersenyum sinis menyikapi. "Jadi ini yang kalian lakukan selama aku tidak ada?" Tentu saja ke tujuh bidadari segera terkejut saat menoleh. Satu per satu dari mereka naik ke tepi lalu menyatukan kedua telapak tangan serta menundukkan kepala. "Putri!" "Putri!" "Putri!" Mata Larasati masih tak beralih dari sendang. "Jadi kotor, kan?" "Saya akan membersihkannya," sahut salah seorang bidadari bergaun biru.Bagai sihir, kibasan dari sebelah tangannya menyulap air kolam menjadi jernih kembali dengan kekuatan adikodrati."Sudahlah, cepat mandikan aku!" perintah Larasati yang lalu merentangkan tangan. Para bidadari pun mendekat. Mereka bergerak melepas pakaian yang
Di Karpala, Jaka Lelana sendiri sedang duduk di tepi sungai. Rindang pohon asam Jawa menghujaninya dengan bunga-bunga yang berguguran, sementara pemandangan air terjun tersaji indah dari kejauhan. Airnya begitu jernih, mengalir hingga menghasilkan suara gemercik yang seolah-seolah menyatu dengan alunan irama seruling dalam genggaman tangan sang Pangeran. Sejenak Jaka Lelana menghentikan tiupan. Lantas seraya menatap hampa air yang melompat-lompat, dia menurunkan bambu kuning berlubang tujuh di tangan. Ingatannya kembali pada hari di mana dia menggigit ibu jari serta mengoleskan darah ke luka di bagian pundak Larasati, bahkah wajah cantik sang pujaan hatinya tersebut masih melekat dalam memori, walau perlahan lenyap ketika Jaka Lelana mengedipkan mata dan menyadari bagaimana menyakitkannya hubungan yang telah mereka berdua jalin selama ini.Seandainya kita dari ras yang sama, mungkin aku akan memilikimu seutuhnya. Tapi kita ditakdirkan berbeda, aku tak mungkin menentang langit. Jika
Fajar mulai menyingsing, meski begitu, para pelayan di Istana Panjalu sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara dan pesta pernikahan Pramesti. Canda serta obrolan renyah mereka ketika membahas kedua calon pengantin, membuktikan bahwa semua orang turut bahagia. Di taman putri, Larasati duduk bersimpuh untuk memperhatikan busana yang akan dikenakan Pramesti pada pernikahan yang tinggal tujuh hari lagi. Seserahan tersebut dikirim oleh Yawastina seusai melamar ke Panjalu beberapa waktu lalu. "Ini sangat bagus!" puji Larasati seraya mengelus kain sutra berwarna putih di tangan. "Motifnya cantik, bunga melati!"Sejenak dia memperlihatkan pada Pramesti yang duduk di samping kiri. "Ah, benar sekali," sahut Pramesti yang tersenyum. Tak lupa dia juga menoleh Sasanti yang duduk bersimpuh di samping kanan.Sementara itu, para pelayan datang dengan membawa seperangkat perhiasan, alas kaki, dan juga perias wajah. Semua barang tersebut dikirim Yawastina menyertai busana yang sebelum
Semalaman sudah Jaka Lelana tak sadarkan diri. Paginya, ketika membuka mata, dia telah menemukan diri berada di ranjang bersama Dyah Puspitasari hingga sontak terkejut, lantas beralih dari merebah ke posisi duduk."Apa yang terjadi?" tanyanya.Sewaktu mengedarkan pandangan ke sekitar, dia melihat pakaiannya berserakan di lantai, begitu juga dengan kemban serta kain jarik milik Dyah Puspitasari. Namun, meski begitu sang Pangeran tidak percaya jika dia telah melakukan sesuatu yang hina apa lagi kepada panglima wanita tersebut."Tak mungkin!"Seketika dia menoleh Dyah Puspitasari. Pada saat yang sama, wanita tersebut terbangun dari tidur, bahkan berpura-pura syok karena melihat kondisinya yang hampir telanjang bulat. Bergegas, dia menyilangkan tangan di dada sembari memasang wajah bersedih seakan-akan Jaka Lelanalah yang paling berdosa. Akan tetapi, sang Pangeran justru menatapnya benci. "Apa yang kau lakukan di kamarku?" Tanpa diduga, Dyah Puspitasari kembali berdrama. Kali ini matan
Kabar tentang Jaka Lelana begitu cepat menyebar ke berbagai penjuru negeri, Istana Panjalu pun telah mendengar rumor tersebut sehingga Larasati serius dalam memikirkannya. Bagaimana pun gadis itu masih mencintai Jaka Lelana, tetapi yang dia tidak percaya, sang Pangeran telah melakukan perbuatan tidak senonoh dengan Panglima Perang Dyah Puspitasari. Di kala hati Larasati hancur akibat prasangka sendiri, Maulana Ngali datang dan menghentikan langkah tak jauh di belakangnya. "Apa Dewi Putri yakin yang Dewi Putri dengar benar?" tanyanya.Bukannya menjawab, Larasati malah terdiam, dan berusaha menyembunyikan kegalauan dari sang Ulama. Walau semua sia-sia, sebab gurunya itu telah mengetahui permasalahan yang ada."Sejauh mata memandang, Dewi tak akan menemukan apa pun,” tutur Maulana Ngali. “Cobalah gunakan batinmu.”Pun sang Ulama mengayunkan tungkai lebih dekat pada Larasati, lalu mengarahkan sebelah telapak tangan ke kepala gadis itu hingga seketika cahaya silau membuka penglihatannya.
Hampir satu purnama sudah Jaka Lelana tidak pulang ke Istana Karpala. Pria berpakaian cokelat itu lebih memilih tidur di tengah hutan belantara, pada perut Naga Cemani yang sedang melingkarkan diri. Makhluk gaib bersisik hitam keemasan tersebut merupakan peliharaan kesayangan sang Pangeran yang amat setia. Meski tak selalu bersama, ikatan yang terjalin di antara mereka berdua begitu dekat.Riuh suara bertiup dari pepohonan sehingga Cemani terbangun dengan bola mata bergerak melirik ke sekitar, sementara si tuan masih terlelap dan sama sekali tak terusik. ***Sang Dewi***Siang itu, Larasati yang telah koma selama enam hari, akhirnya membuka mata. Gadis berkemban putih tersebut segera beralih dari merebah ke posisi duduk sembari menyentuh kening. Pun seorang guru pengobatan segera datang menghampirinya, sedangkan tabib yang lain bergegas pergi untuk melapor pada sang Raja."Putri, Putri sudah sadar.” Pria tua berpakaian abu itu merasa sangat lega, lantas segera memeriksa denyut nadi di
Kembalinya sang Atmajaya Wimala ke Agnicaya dengan membawa Shima Dahyang cukup mengejutkan para dewa, tak terkecuali Randita. Bagaimana tidak, Mandala mengumumkan jika dia akan menikahi Dewi Agung dari Candracaya tersebut sesuai tanggal yang telah ditentukan, padahal mereka berdua tak pernah terlihat menjalin hubungan. Kekecewaan seketika tersirat dari mata Randita yang berdiri di antara para bidadari. Selain luka karena patah hati, dia juga tak menyangka bahwa Hastapati, ayahnya, berada di belakang Mandala dan Shima Dahyang untuk memberi dukungan penuh. Randita benar-benar tak bisa menahan air matanya agar tak terjatuh sehingga lekas berbalik. Masalah kehadiran Rara Kinasih masih tak bisa dia terima, kini sudah bertambah kenyataan pahit lagi. Kini, langkah wanita itu makin berat oleh beban kebencian dalam hati. Hanya Shima Dahyanglah satu-satunya yang menyadari ekspresi wajah Randita. Meski demikian, sang Dewi Agung tetap menebar senyum pada semua para makhluk abadi langit di aul
Pagi itu, Shima Dahyang keluar dari kediaman dan langsung disuguhkan dengan pemandangan sang Atmajaya Wimala yang sedang mengelus-elus tubuh harimau putih di bawah pohon cempaka. Meski semula masih merasa canggung, wanita yang mengenakan kemban berwarna gading serta bawahan sutra bermotif batik tersebut mengayunkan tungkai menghampiri mereka berdua."Lukamu sudah baik-baik saja?" tanyanya.Mandala yang tak bergeming tersenyum menyikapi. "Menyerap sebagian intisari dari dewi berusia ribuan tahun, membuatku merasa lebih bugar," jawabnya.Embusan napas lelah keluar dari hidung Shima Dahyang. "Kau tak pernah berubah, entah sebagai Atmajaya Wimala atau Jaka Lelana selalu mempermainkanku.""Aku tidak bermaksud mempermainkamu," sahut sang Dewa. "Situasilah yang membuatku terpaksa melakukan semua.""Apa ini sebuah penjelasan?" Sebelah alis Shima Dahyang meninggi.Mandala sendiri segera berdiri, kemudian berbalik untuk menatap lawan bicaranya itu. Tentu saja, dia tahu bahwa Shima Dahyang menye
Pada waktu Shima Dahyang masih sibuk membicarakan sesuatu dengan Randita, Rara Kinasih palsu memijakkan kaki di kediaman Dewi Agung yang masih berada di sekitar Taman Arutala. Pemandangan tirai-tirai berwarna merah jambu yang berkibaran tertiup angin menyambut sang Atmajaya Wimala. Beberapa aksesori bebatuan kristal berbentuk padma serta perabotan dari emas putih juga menghiasi ruangan tersebut. Walau begitu perhatian Mandala hanya terfokus pada cermin ukir di atas meja. Tanpa menunggu lagi, dia pun memegang gagang benda pusaka itu untuk melihat bayangan diri sendiri. Seketika cermin mengeluarkan cahaya silau, lantas menampilkan wujud sepasang kekasih dari alam berbeda yang memiliki paras serupa dengan Mandala dan Shima Dahyang. Pria di cermin memeluk wanita yang tengah terluka parah penuh sayatan, seakan-akan menegaskan bahwa cinta mereka tak terpisahkan hingga akhir. Namun, sayang sebelum semua menjadi lebih jelas, terdengar langkah kaki Shima Dahyang memasuki ruangan sehingga Ra
Atas undangan Shima Dahyang, Rara Kinasih datang ke Candracaya. Dia langsung diarahkan memasuki Taman Arutala oleh Sekar Langit, meski selanjutnya harus berjalan sendiri untuk menemui sang Dewi Agung. Sebelumnya, putri dari istri pertama Hastapati tersebut telah mengantongi informasi seputar si adik yang tinggal di sana sebagai pelayan, bahkan pada kesempatan kali ini, dia berharap bertemu Rara Kinasih guna memberi pelajaran karena telah berani naik ke kayangan. Benar saja, Randita berpapasan dengan sesosok peri yang membawa nampan berisi daging mentah sewaktu melewati pohon bunga cempaka putih. Tanpa basa-basi, lantas bidadari bergaun biru tersebut menarik lengan kanan wanita dari arah berlawanan sampai-sampai berbalik menatap dirinya, sementara nampan pelayan tersebut langsung jatuh ke tanah. "Rara Kinasih!" gerutunya, tetapi setelah diamati ternyata sosok di hadapan memiliki wajah berbeda dari si adik. "Kau bukan Rara Kinasih?" "Randita!" Demikian, sang Atmajaya Wimala ya
Dua hari sudah sang Atmajaya Wimala tinggal di Candracaya dalam wujud Rara Kinasih, walau masih sulit mendapatkan kepercayaan Shima Dahyang, setidaknya kini dia selalu berada dekat dengan wanita yang telah membuat hatinya galau itu. Bagi Mandala, hal ini sudah cukup membuatnya merasa tenang daripada hanya berdiam diri di Taman Asmaradahana untuk menikmati kegelisahan. Karena semenjak kebangkitan Larasati, perasaan cinta kian hari justru kian menyiksa batin sehingga mau tak mau sang Dewa harus menghalalkan segala cara agar bisa bertemu. Layaknya pelayan, sore ini Rara Kinasih berjalan menghampiri Shima Dahyang yang sedang duduk sembari mengelus manja harimau putih di Taman Arutala. Tak lupa pria tersebut juga membawa cawan berisi ramuan, yang setelah bersimpuh, dia letakkan ke meja batu ukir. "Ternyata Sang Dewi sangat menyukai kucing besar," celetuknya. Keangkuhan terlihat jelas saat Shima Dahyang tersenyum menyikapi. "Kalau kau setia, aku juga akan menyukaimu." Sebab tak tahu har
Sesuai titah Shima Dahyang, Sekar Langit menemui sesosok peri, lalu bersama-sama mengantar Rara Kinasih menuju Taman Arutala. Di sana terdapat sebuah bangunan berornamen emas. Pun sesaat setelah mereka bertiga memasuki salah satu ruangan kamar di dalamnya, Sekar Langit berbalik untuk berhadapan dengan Rara Kinasih di belakang, sementara si peri segera undur diri. "Di sinilah Dewi akan tinggal," jelas wanita berambut panjang bergelombang itu. "Di sebelah, merupakan kamar milik Dewi Agung. Sang Dewi sangat membenci kebisingan, jadi mohon agar Anda selalu menjaga sikap." Senyum menghiasi wajah Rara Kinasih yang lantas mengangguk. "Saya mengerti." Akan tetapi, kemudian mata tajam Sekar Langit beralih fokus ke arah luar dari tirai. "Kumbang Lanang biasanya berkeliaran di sekitar sini," katanya. "Rara Dewi harus lebih berhati-hati karena mungkin dia akan agresif pada penghuni baru." "Tak perlu khawatir, saya bisa bisa melindungi diri sendiri," balas Rara Kinasih. Sekar Langit percaya
Sembari duduk pada sebuah batu kristal, Shima Dahyang mengelus puncak kepala harimau putih yang sedang menunjukkan sikap manja. Matanya begitu teduh ketika beralih memperhatikan sekitar, di mana banyak pantulan cahaya putih menembus Taman Arutala. Meski meski sekian lama tak dapat singgah untuk menenangkan diri seperti sekarang, dia seakan-akan tak merasakan adanya perubahan. Perlahan, sang Dewi Agung berdiri, lantas berjalan ke tengah-tengah sehingga bayangan dirinya tergambar jelas pada lantai sebening air. Pandangannya memang tertuju pada langit-langit, tetapi ingatannya menerawang ke masa-masa sulit kala hidup sebagai manusia fana. Kutukan raja asura berkepala kambing memang menjadi kenyataan, Shima Dahyang mengalami penderitaan sewaktu menjalani kehidupan Larasati yang jatuh cinta kepada Jaka Lelana, bahkan hingga berstatus abadi pun masih dipermainkan oleh sang Atmajaya Wimala. Itulah alasan mengapa wanita tersebut tak mengambil sikap setelah kembali menemukan kesejatian dir
Begitu menyakitkannya hidup yang Larasati alami, cinta telah membuatnya terluka hingga begitu dalam. Walau terpuruk, kali kini, dia sudah mengikhlas apa yang terjadi, bahkan berniat melepas segala keterikatan duniawi. Setiap langkah pada perbukitan terjal menuju puncak gunung kian pasti, hatinya mantap untuk menyerahkan semua masalah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tak ada takdir yang bisa ditolak, tetapi yoga brata bisa membawa siapa saja menuju kedamaian, meski harus lenyap dari semesta alam. Dari kejauhan, Li Jing menatap kepergian bidadari itu untuk selamanya. Memang berat jika dia harus melepas si sahabat, sayangnya Larasati kukuh pada pendirian sehingga pria tersebut tak mampu menghentikannya. Maylano demikian, anak itu sungguh tidak menginginkan nyonyanya pergi secepat ini. Namun, bagaimanapun dia mengerti bahwa penderitaan cinta Larasati begitu dalam, mau tak mau Maylano harus membiarkannya memutuskan jalan demi menemukan kebahagiaan. "Hei, bocah, pergilah denganku ke China, a
Seakan-akan seperti mengulang masa lalu, sang Atmajaya Wimala duduk di samping Larasati yang telah direbahkan pada kasur awan. Dengan kekuatan adikodrati, pria tersebut mengarahkan tangan kanan sehingga perlahan darah merah Sujatmika tertarik keluar melalui mulut Larasati, lantas melayang di udara. Namun, setelah membuangnya ke sembarang arah, Mandala justru terbatuk-batuk sampai percikan cairan berwarna putih melekat pada telapak tangannya. Selain menahan nyeri di dada, pandangan Mandala sedikit kabur, walau begitu tetap memutuskan berdiri dan melangkah pergi. Sesaat kemudian, Larasati membuka mata sampai-sampaiterkejut ketika menemukan diri sedang berada di Taman Asmaradahana. Bergegas bidadari itu beralih ke posisi duduk. Saat bola matanya bergerak memindai ke sekitar, dia melihat darah merah yang membekas pada lantai awan. Sejenak pikirannya dipenuhi tanda tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi sewaktu diculik Sujatmika, sebelum mengalihkan perhatian dan malah menemukan berca