POV WinaSetelah mandi, aku membuka media sosialku. Melihat aneka macam gaun yang dipromosikan lewat siaran langsung oleh salah seorang pedagang online langgananku. Entah kenapa tidak ada yang menarik hatiku. Padahal namaku sudah disebut-sebut sang empunya akun. Untuk keluar rasanya kurang sopan karena aku mengenal baik si mbak pemilik dagangan itu.Tiba-tiba notifikasi pesan masuk terlihat dari beranda ponselku. Aku segera membukanya tanpa menutup akun siaran langsung itu.Ada beberapa pesan gambar dari Edwin, tetanggaku di kota, yang kebetulan juga tetangga kontrakan Tina.Aku segera membukanya dan terkejut setengah mati saat melihat foto wajah Tina yang merah dan agak bengkak. Di sudut bibirnya ada warna kemerahan. Mungkin darah. Aku yang sedang dalam posisi telungkup, bergegas duduk.Aku mencari nomor Tina dan segera memanggilnya. Dia baru mengangkat ponselnya di dering terakhir."Kamu nggak apa-apa, kan?" aku langsung bertanya sebelum dia bicara."Aku nggak apa-apa," jawab Tina.
Aku masih menonton drama korea di laptopku saat kudengar suara-suara berisik dari kamar Tina. Awalnya kupikir laptopku yang bermasalah, tapi saat aku mencabut headset dari telingaku, suara itu masih terdengar samar. Suara seperti menangis tertahan dengan menutup wajah. Kulirik jam, sudah hampir jam dua belas malam. Aku mengusap mataku yang mulai perih. Tentu saja perih karena aku menonton sejak tadi sore. Begitulah kalau sudah menonton drama korea, kecanduan. Saat ingin mengakhiri satu episode, eh episode berikutnya malah bikin penasaran. Akhirnya mulai lagi menonton satu episode lagi dengan janji ini yang terakhir. Tapi janji tinggal janji. Episode tetap berjalan hahaha...Tapi kali ini aku harus menyudahinya kalau tidak mau minus mataku semakin bertambah. Kumatikan laptop dan bersiap untuk tidur saat kudengar suara Tina. Mungkin dia sedang bicara lewat ponsel. Kebiasaannya sejak pacaran dengan Anton."Aku hamil."Darahku tersirap mendengar suara Tina. Walaupun diucapkan dengan nad
Aku menatap wajahku di cermin dan terkejut melihat kondisiku yang menyedihkan. Aku seperti tidak mengenali diriku. Pipiku biru lebam dan agak bengkak sementara mataku juga merah dan sembab karena menangis semalaman mendengar penuturan Wina. Sakit di wajahku tak seberapa dibandingkan dengan sakit hatiku. Ternyata benar aku adalah korban balas dendam dan sakit hati Anton karena Wina menolaknya.Dan aku baru tahu kalau Anton menikahiku atas desakan Wina. Kalau bukan dipaksa Wina, entah bagaimana keadaanku sekarang. Apakah aku hamil tanpa dinikahi? Atau kuturuti perkataan Anton untuk menggugurkan janinku? Sungguh aku berharap bisa kembali ke keadaan sebelum Anton menikahiku. Kalau harus begini, lebih baik aku tidak menikah saja dengannya. Lebih baik kugugurkan saja kandunganku waktu itu.Tapi kenapa Anton bisa menuruti perkataan Wina untuk menikahiku? Ancaman apa yang dipakai Wina? Aku tahu dan menyadari bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Wina. Dia tidak menceritakan seluruh cerita deng
Aku sudah membuka dan membaca bolak-balik semua sumber di media online bagaimana cara mengurus perceraian. Baik perceraian di pengadilan agama bagi agama Islam maupun perceraian di pengadilan negeri bagi agama lain. Semuanya membutuhkan waktu antara empat sampai enam bulan, tergantung bagaimana kasusnya.Dan alasan perceraian juga bermacam-macam, tapi ada dua poin yang bisa kuajukan sebagai alasan perceraianku nanti, yaitu salah satu pihak melakukan kekejaman yang dapat membahayakan keselamatan pihak lain, dan salah satu pihak melakukan zinah, pemabuk, penjudi, pemadat dan sifat lain yang tidak dapat disembuhkan.Kedua alasan itu sudah cukup menurutku untuk melayangkan gugatan cerai. Untung aku sudah menyimpan foto-foto penganiayaan Anton kemarin yang dikirimkan Meta kepadaku. Dan poin kedua, Anton memang suka minum sampai mabuk dan juga suka berjudi. Bahkan selama menjadi istrinya, dia tidak pernah sekali pun menafkahiku.Yang membuat sulit adalah apakah Anton setuju bercerai? Kalau
"Anakku nggak mungkin salah!"Dengan angkuh dan penuh percaya diri Bu Ria membela Anton. Aku semakin membenci mereka."Anton memukul aku, Ma." kataku. Bahkan rasa perih di mulutku masih terasa setiap kali aku membuka mulut. Apa mereka nggak melihat biru lebam di wajahku?"Kamu pantas dipukul. Istri pembangkang!" sahut Anton.Aku tersenyum mengejeknya."Kamu bisanya memukul aku tapi tetap berlindung di bawah ketiak ibumu? Pengecut!""Tutup mulutmu!" Anton mengangkat tangannya."Mau pukul lagi?" seru Wina. "Ayo lanjutkan. Aku udah siap merekam ini."Kami semua menoleh. Tangan Anton langsung turun melihat Wina mengarahkan ponselnya ke arah kami."Kenapa berhenti?" tantangku. "Ayo, pukul lagi. Itu bisa menambah bukti KDRT yang kamu lakukan dan mempermudah aku menggugat cerai kamu.""Cerai?" ulang Bu Ria. "Apa maksud kamu dengan cerai?""Iya, bercerai. Mengakhiri pernikahan neraka ini!" sahutku ketus.Tiba-tiba mereka berempat tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang lucu. Aku dan Wina berpa
POV Bu RiaSungguh hatiku panas mendidih saat Anton menceritakan pertengkarannya dengan istrinya. Apalagi saat dia bilang bahwa Tina menginginkan perceraian. Kesambet apa sih anak itu? Aku memang tidak menyukainya tapi untuk bercerai jangan dulu deh. Pernikahan mereka juga baru dua bulanan, kok tiba-tiba sudah bercerai saja? Mau ditaruh dimana mukaku? Tina juga belum memberikan uang yang kusebut sebagai hutangnya. Lumayan nanti untuk menambah membeli emas model baru yang sudah kuincar sejak beberapa bulan yang lalu.Hatiku sedikit lega saat Anton bilang dia menampar Tina. Istri pembangkang memang harus dihajar supaya menurut. Aku juga harus memberi peringatan kepadanya.Maka di sinilah kami sore itu. Aku, Ana, Lola dan Anton datang ke rumah kontrakan Tina. Kami juga mendapati Wina ada di sana.Senyumku merekah melihat wajah dan sudut bibir Tina yang membiru memar. Matanya juga bengkak. Mungkin dia menangis semalaman. Rasakan, makanya jangan belagu, batinku.Saat aku marah dan memaki-m
"Saya mantap bercerai, Bu!"Sungguh seperti sebuah pencerahan saat Bu Umar mengatakan bahwa di memiliki saudara yang berprofesi sebagai pengacara. Hal yang paling berat kurasakan memang tentang kuasa hukum yang akan mempermudah aku mengurus perceraianku.Bu Ria menatapku dengan sorot mata penuh amarah. Biji matanya hampir keluar. Dan saat mataku beralih kepada Anton, dia juga melihatku dengan pandangan membunuh. Aku tidak gentar sama sekali."Kamu jangan mempermainkan pernikahan, Tina!" kecam Bu Ria. "Kamu akan berdosa!""Aku sama sekali tidak mempermainkan pernikahan ini, Ma. Aku tahu Tuhan sangat membenci dan tidak mengizinkan perceraian. Tapi aku sungguh tak sanggup lagi melanjutkan pernikahan ini," jawabku dengan suara bergetar."Kamu akan menyesal!" bentak Bu Ria lagi."Tidak akan, Ma. Satu-satunya hal yang kusesali adalah pernikahan ini," jawabku."Aku tidak mau bercerai!" tiba-tiba Anton meradang dan berteriak."Kita bertemu di pengadilan nanti." kataku cuek. "Bu, aku mohon ibu
"Sekarang aku kembalikan anakmu itu dengan tidak hormat!" seruku tajam."Saya setuju..."Sebuah suara yang sangat kukenal dengan baik menyahut dari pintu. Refleks kami semua menoleh. Aku, Bu Ria, Anton, Kak Ana, dan Lola terkejut melihat Pak Joko berdiri dengan muka merah padam di ambang pintu."Bapak?" kami berlima berseru bersamaan."Kenapa bapak datang kemari?" Bu Ria menyongsong kedatangan suaminya dengan bergegas bangkit dari duduknya.Pak Joko tidak menjawab. Beliau masuk dan berjalan menuju tempat Anton duduk.Buk...buk... Tanpa kami duga tiba-tiba dua kali jotosan melayang ke dagu dan wajah Anton membuat lelaki itu terjengkang. "Pak..." jerit Bu Ria sambil meraih tangan suaminya yang masih mengambang di udara sebelum jatuh ke wajah Anton lagi."Benar-benar anak kurang ajar, bikin malu keluarga!" seru Pak Joko.Darah segar mengalir dari hidung Anton. Aku menatap ngeri wajah lelaki yang menamparku kemarin malam. "Pak Joko... tenang, Pak," Pak Umar berdiri diikuti oleh semua ya