"Sekarang aku kembalikan anakmu itu dengan tidak hormat!" seruku tajam."Saya setuju..."Sebuah suara yang sangat kukenal dengan baik menyahut dari pintu. Refleks kami semua menoleh. Aku, Bu Ria, Anton, Kak Ana, dan Lola terkejut melihat Pak Joko berdiri dengan muka merah padam di ambang pintu."Bapak?" kami berlima berseru bersamaan."Kenapa bapak datang kemari?" Bu Ria menyongsong kedatangan suaminya dengan bergegas bangkit dari duduknya.Pak Joko tidak menjawab. Beliau masuk dan berjalan menuju tempat Anton duduk.Buk...buk... Tanpa kami duga tiba-tiba dua kali jotosan melayang ke dagu dan wajah Anton membuat lelaki itu terjengkang. "Pak..." jerit Bu Ria sambil meraih tangan suaminya yang masih mengambang di udara sebelum jatuh ke wajah Anton lagi."Benar-benar anak kurang ajar, bikin malu keluarga!" seru Pak Joko.Darah segar mengalir dari hidung Anton. Aku menatap ngeri wajah lelaki yang menamparku kemarin malam. "Pak Joko... tenang, Pak," Pak Umar berdiri diikuti oleh semua ya
Seminggu sudah berlalu sejak kejadian pertengkaran hebat di rumahku. Anton tak pernah datang lagi sejak malam itu. Bahkan komunikasi kami tidak ada sama sekali. Apakah dia benar-benar sudah setuju dengan perceraian yang kubicarakan? Terus terang masih ada perasaan yang mengganjal di hatiku karena sikap baik ayah mertuaku. Secara gamblang beliau memang tidak melarang aku untuk mengajukan perceraian itu. Tapi kebaikan hatinya seakan menahan niatku. Apalagi saat kuingat perkataan Pak Joko sebelum meninggalkan rumahku malam itu."Mengenai utang Tina yang kata mama sepuluh juta," Pak Joko memandang marah istrinya. "Tina tidak berutang apa pun! Kitalah yang berutang sama Tina. Besok kembalikan uang Tina, Ma! Jangan bikin malu!""Tapi, Pak..." Bu Ria masih berusaha membantah."Bapak kecewa sama mama," suara Pak Joko bergetar. "Bapak pikir selama ini mama cuma sekadar nggak suka sama Tina, ternyata perbuatan mama sudah sampai sejauh ini.""Tina, tenang aja. Uangmu pasti akan kembali."Aku me
"Rumah sakit? Ngapain? Siapa yang sakit, Kak?" jantungku berdebar kencang mendengar suara Kak Reni."Mama sakit!""Hah? Apa?" aku terkejut. Aku langsung duduk, takut terjatuh karena shock mendengar kabar dari kakak iparku.Bu Amalia memperhatikan aku dan bertanya lewat sorot matanya. Aku menggeleng menjawabnya."Mama? Maksudnya Bu Ria?" ulangku memastikan."Iya. Siapa lagi?" suara Kak Reni terdengar sewot."Kenapa? Kok bisa, Kak?" tanyaku."Aku juga nggak tahu pastinya. Tapi mama jatuh di rumah. Sekarang ini udah di rumah sakit," jawab Kak Reni."Kapan kejadiannya, Kak?" tanyaku."Kemarin sore," jawab Kak Reni.Kejadiannya kemarin sore tapi aku baru diberitahu sekarang. Apakah aku memang nggak dianggap lagi di keluarga suamiku? Kalau memang nggak dianggap kenapa akhirnya diberitahu sekarang? "Tin?" suara Kak Reni mengembalikan aku dari pikiranku yang mengembara."Iya, Kak," jawabku."Kamu bisa datang ke sini nggak?" tanya Kak Reni membuatku mengernyitkan kening."Untuk apa, Kak? Mama
Dengan menguatkan hati aku menarik gagang pintu dan mendorongnya.Aku perlahan masuk dan serempak orang yang ada di dalam ruangan itu_Pak Joko, Bu Ria, Kak Reni, seorang dokter, dan seorang perawat_menoleh padaku. Aku mengangguk sebagai tanda permohonan maaf sekiranya aku mengganggu."Eh, Tina? Kamu datang, Nak?" Pak Joko berjalan menghampiriku."Apakah saya mengganggu, Pak? Kalau begitu saya keluar dulu," aku kembali meraih gagang pintu."Jangan, Tin. Kamu nggak mengganggu kok," kata Pak Joko."Ugh...augh..." terdengar suara aneh dari arah tempat tidur dan aku terbelalak melihat keadaan ibu mertuaku. Beliau menatapku sambil tangan kanannya menggapai-gapai ke arahku seakan memanggil aku mendekat.Aku pun mendekat dan menutup mulutku tak percaya. Bu Ria terbaring dengan mulut yang... ya, Tuhan, mulut ibu mertuaku miring ke kiri. Wajahnya sebelah kiri terlihat turun dan...jelek. Pantas saja beliau kesusahan bicara."Kenapa... kenapa mama bisa seperti ini?" tanyaku terbata-bata."Bu Ria
POV Bu RiaSepanjang hari aku uring-uringan. Bahkan guru-guru dan para siswa di sekolah kena getahnya. Apa pun yang mereka kerjakan kuanggap salah di mataku.Bagaimana aku tidak marah? Suamiku yang bodoh itu begitu perhatian kepada menantuku yang kurang ajar itu. Masa dia mentransfer uang 10 juta kepada Tina? Bahkan dia melebihkan 2 juta. Siapa yang tidak marah?"Bapak apa-apaan sih?" aku berusaha menarik ponsel suamiku ketika dia membuka aplikasi m-banking tadi malam."Mama yang apa-apaan?" suamiku malah membentakku dengan kasar. "Mama sudah bertindak kejam kepada Tina. Masak mama minta uang 10 juta dan masih menuntut Tina membayar dua kali lipat uang yang sama sekali tidak dipinjamnya? Mama punya otak nggak sih?"Aku tersinggung dimaki tak punya otak begitu. Awas kamu Tina. Amarahku kepada menantuku itu semakin besar."Mama sengaja minta uang itu untuk menyiksa dia. Mama nggak suka sama dia!" aku berteriak."Mama pikir Tina suka punya mertua seperti mama?" ejek suamiku. "Dia hanya t
POV Bu Ria"Bilang juga supaya Anton dan Lola tidak terlalu dekat begitu,"Tiba-tiba aku teringat perkataan suamiku tadi malam sebelum dia meninggalkan aku.Mungkinkah suamiku melihat sesuatu yang aneh dari perilaku Anton dan Lola? Kuakui mereka memang dekat, bahkan sangat akrab, tapi tak pernah kusangka mereka sampai berhubungan sejauh ini. Aku melihat kedekatan mereka masih wajar sebagai kakak dan adik. Tapi mereka melakukan hubungan intim layaknya suami istri? Sungguh di luar dugaan. Sudah berapa lamakah? Aku yakin itu bukan pertama kali mereka melakukan itu.Pantas saja Lola selalu bersemangat saat aku memarahi Tina. Dia bahkan ikut-ikutan menghina Tina dan mendukung mereka bercerai. Dulu saat Anton akan menikahi Tina, aku pernah melihat Lola menangis tersedu-sedu. Saat aku bertanya, dia bilang karena efek datang bulan. Aku percaya saja saat itu. Dan setelah kejadian tadi siang, aku baru sadar sekarang, mungkinkah mereka sudah lama menjalin hubungan di belakang kami? Tapi kan Anto
"Mama bikin repot aja!"Duarrr. Aku terhenyak mendengar kalimat Ana. Aku bagai mendengar bom meledak tepat di telingaku. Aku sungguh tak menyangka anak kandungku sendiri sanggup bicara seperti itu kepada ibu kandungnya? Apa katanya tadi? Aku bikin repot?Tenggorokanku tercekat dan air mataku berderai. Aku menangis dalam diam. Belum sehari aku sakit tapi Ana sudah memperlakukan aku begini?"Kenapa mama menangis? Udah tahu mama punya riwayat sakit gula, gendut lagi, kenapa masih mikir yang berat-berat? Apa sih yang mama pikirkan? Tina lagi? Biarin aja kenapa sih? Jadinya kan begini!"Ana masih menggerutu menambah sakit hatiku. Memangnya aku menginginkan ini? Dan tahukah dia apa yang membuatku begini? Kamu akan shock kalau tahu kejadian itu, batinku sedih.Pintu terbuka. Seorang perawat masuk dan tersenyum mendekati ranjangku."Lho, Mbak, kenapa liur ibu nggak dibersihkan?" tegur perawat itu melihat daguku belepotan cairan yang tak sanggup kutelan lagi. Bahkan aku merasakan lembab di leh
Sudah seminggu ibu mertuaku kembali ke rumah dan selama itu pula aku tinggal di sana. Itu bukan keinginanku tapi ayah mertuaku yang meminta. Aku tak kuasa menolak mengingat kebaikan beliau kepadaku.Dan ibu mertuaku sepertinya juga menginginkan aku tinggal di sana. Mungkin dia lebih nyaman saat aku mengurusnya. Aneh bukan? Dia punya dua anak perempuan tapi satu pun tidak bisa diandalkan. Dan aku sangat sebal kepada Lola. Apa dia tidak bisa berpura-pura baik sedikit untuk menolong Bu Ria? Biar bagaimana pun dia kan anak angkat di keluarga itu?Aku tak habis pikir. Apalagi dengan sikap Kak Ana. Dia putri kandung dan putri sulung keluarga itu tapi dia tak pernah merawat ibunya. Padahal sebelum ibunya sakit, mereka sangat kompak dalam segala hal, termasuk membenciku.Aku masih ingat bagaimana Pak Joko menamparnya di rumah sakit karena dengan terus terang dia mengatakan jijik menyeka liur ibunya. Tak tahukah dia bahwa waktu dia bayi sampai balita ibunya bahkan mencebok pantatnya dari kotor