Sudah seminggu ibu mertuaku kembali ke rumah dan selama itu pula aku tinggal di sana. Itu bukan keinginanku tapi ayah mertuaku yang meminta. Aku tak kuasa menolak mengingat kebaikan beliau kepadaku.Dan ibu mertuaku sepertinya juga menginginkan aku tinggal di sana. Mungkin dia lebih nyaman saat aku mengurusnya. Aneh bukan? Dia punya dua anak perempuan tapi satu pun tidak bisa diandalkan. Dan aku sangat sebal kepada Lola. Apa dia tidak bisa berpura-pura baik sedikit untuk menolong Bu Ria? Biar bagaimana pun dia kan anak angkat di keluarga itu?Aku tak habis pikir. Apalagi dengan sikap Kak Ana. Dia putri kandung dan putri sulung keluarga itu tapi dia tak pernah merawat ibunya. Padahal sebelum ibunya sakit, mereka sangat kompak dalam segala hal, termasuk membenciku.Aku masih ingat bagaimana Pak Joko menamparnya di rumah sakit karena dengan terus terang dia mengatakan jijik menyeka liur ibunya. Tak tahukah dia bahwa waktu dia bayi sampai balita ibunya bahkan mencebok pantatnya dari kotor
Aku membalas pandangan mereka tanpa takut. Aku juga tidak berharap apa-apa di rumah ini. Aku hanya bersedia membantu karena Pak Joko dan aku ikhlas merawat ibu mertuaku yang galak itu. Hitung-hitung sebagai kenangan indah buat beliau sebelum aku resmi menjadi mantan menantunya."Jangan kamu pikir karena bapak ada di pihak kamu, membela-bela kamu, kamu diterima di rumah ini!" bentak Kak Ana. "Kamu beruntung mama lagi sakit sehingga kamu punya kesempatan lagi tinggal di sini."Aku tertawa terkekeh-kekeh mendengar kalimat menghina dari mulut kakak iparku."Udah gila dia kurasa," kata Lola sambil menuding wajahku. "Ketawa sendiri kayak orang sinting. Malang benar kamu, Ton, menikah dengan dia."Anton hanya diam saja. Lagian apa yang kuharapkan dari lelaki pengecut itu? Membela aku? Hahaha nggak mungkin! Dia malah senang aku dihina seperti itu."Aku udah bilang keberadaanku di sini hanya karena permintaan bapak mertuaku. Aku juga nggak sudi di sini. Lagian aku nggak merugikan siapa-siapa d
"Maaf, ya, Tin, aku tak pernah tahu keadaan kamu selama ini."Aku menatap Kak Reni. Selama aku menikah, baru kali ini aku berbicara sedekat ini dengan dia. Walaupun aku sempat tinggal di rumah ini di awal pernikahan dulu, tapi aku sangat jarang bertemu dengan Kak Reni. Dia tinggal di rumah kontrakan yang dekat ke sekolah tempat dia mengajar. Paling banyak kami bertemu 3 kali, itu pun hanya sekadar bertegur sapa."Aku nggak menyangka kalau Anton ternyata mengabaikan kamu," lanjut Kak Reni. "Jadi persiapan perlengkapan bayi dan kamu melahirkan udah beres?""Belum, Kak," aku menggeleng. "Aku baru membeli sebagian.""Kamu nggak usah beli banyak-banyak. Toh anak bayi sangat cepat pertumbuhannya. Kayak kain bedong dan popok, paling lama dipakai sebulan. Kamu mau nggak pakai yang bekas?" tanya Kak. Reni."Bekas?" aku mengernyitkan kening tanda tak mengerti."Maksudku, aku masih menyimpan punya anak-anak. Kamu masih bisa pakai itu," jelas Kak Reni."Boleh, Kak?" mataku berbinar. "Aku maulah,
"Lebih baik jadi janda daripada hidup dengan orang jahat. Untuk apa punya suami kalau aku harus hidup sendiri dan berjuang sendiri," kataku sambil menatap Anton telak.Anton menatapku tidak suka sementara Lola juga mendelik dari belakangnya. Pak Joko menghela nafas berat. Sesekali beliau menatap ke arah tempat tidur di mana istrinya terbaring."Tin, bapak tahu ini sangat berat dan perbuatan Anton memang tidak bisa ditolerir," kata Pak Joko. "Tapi maukah kamu mempertimbangkannya setidaknya biarlah sampai cucu bapak lahir."Aku tersentak mendengar permintaan mertuaku itu. Aku memandangi Anton. Sejak pertengkaran itu bahkan sejak aku tinggal lagi di rumah mertuaku, dia sama sekali tak ada usaha untuk berdamai denganku. Dia malah semakin hari semakin kompak dengan Lola. Terlebih dalam hal menghina aku. Lihatlah, harusnya dia yang mengatakan apa yang dikatakan mertuaku tapi dia malah sikut-sikutan dengan Lola. Mungkin mereka ingin aku segera mengurus perceraian itu sehingga mereka keberata
POV AntonAku berdiri di ambang pintu kamar mama dan melihat semua yang dikerjakan oleh Tina, istriku, di sana. Dia dengan telaten dan sabar menyuapi mama makan. Dia sabar menunggu sampai mama benar-benar menelan buburnya. Sisa-sisa makanan yang belepotan di mulut mama, dibersihkannya dengan tisu. Mama begitu sumringah menerima perlakuan Tina. Wajahnya berbinar dan matanya selalu menatap wajah Tina seolah-olah dia baru pertama kali mengenal Tina.Aku heran. Mama hanya mau dirawat oleh Tina. Sudah seminggu ini memang ada perawat untuk mama. Dia bekerja mulai dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore. Tugasnya adalah memandikan, menyuapi, pokoknya mengurus segala keperluan mama selama rentang waktu tersebut. Tapi kalau sore sudah tiba, saat Ratih, perawat itu, pulang, mama hanya mau dirawat oleh Tina. Terkadang aku kasihan melihat dia bergerak dengan lamban karena perutnya yang semakin besar.Aku berusaha membantu tapi mama selalu menolakku. Seperti tadi, Tina terlambat datang. Aku tidak tahu d
POV Anton"Ton, kamu di mana?"Terdengar suara manja mendayu dari arah depan. Kulirik jam. Sudah jam 6 sore. Wajah ceria Lola muncul dari balik gorden pembatas ruang depan dan ruang tamu."Kok lama amat pulangnya?" tegurku kesal."Kangen, ya?" dengan manja Lola bergelayut di lenganku tapi segera kutepis. Dia cemberut. "Kok gitu sih?""Kamu jangan macam-macam. Ini di rumah, ada Tina juga," kataku sambil melihat ke depan, siapa tahu mereka sudah kembali dari jalan-jalan."Mereka masih di luar. Tadi aku lewati di ujung jalan mereka ngobrol dengan Pak Johan," kata Lola. "Ana belum pulang kan?""Dia kan lagi dinas luar," jawabku."Berarti kita bebas dong," Lola mengedipkan sebelah mata kepadaku dan memelukku erat."Jaga sikapmu!" kataku setengah membentak."Apaan sih, Ton?" Lola duduk menjauh dengan muka ditekuk. "Toh kita akan bersama juga kan? Biar aja mereka tahu!""Iya, tapi nggak sekarang juga. Mama masih sakit," bentakku."Awas kalau kamu ingkar. Habis kamu!" ancam Lola sebelum beran
Dari jauh aku melihat Tina mendorong kursi roda yang diduduki oleh ibu angkatku. Sebenarnya aku malas berpapasan dengan mereka tapi mau tidak mau aku harus bertemu dengan mereka karena aku sudah terlanjur ada di gang menuju rumah. Aku menghentikan motorku di sisi jalan dan memandang mereka. Bu Ria menatapku tajam dengan mulut komat kamit."Lagi jalan-jalan?" tanyaku basa-basi."Nggak bisa lihat?" Tina balas bertanya dengan sengit."Biasa aja kali," kataku. "Ditanya baik-baik malah ngajak berantem kamu.""Harusnya kamu bisa pulang tepat waktu supaya bisa bawa mama jalan-jalan atau memandikan mama," kata Tina sambil melihat jam tangannya. "Ini udah jam berapa baru kamu pulang?""Heh jangan rese kamu, suka- suka akulah mau pulang jam berapa atau nggak pulang sekalian," semprotku kesal. "Kamu calon janda aja belagu. Cih! Kamu pikir aku nggak tahu kamu sok baik sama mama karena berharap Anton nggak jadi menceraikan kamu?"Wajah Tina memerah. Rasain kamu. Lagian siapa suruh melawan Lola? Ak
"Kami pulang dulu, Pak," aku pamit kepada Pak Johan setelah berbincang lama. "Udah mulai gelap.""Silakan, Nak," Pak Johan tersenyum lalu memutar kursi roda ibu mertuaku menghadap ke arah jalan menuju rumah. "Cepat sembuh, ya, Bu. Hati-hati, Tin. Harusnya jangan kamu lagi yang mendorong mertuamu. Kasihan kamu juga lagi hamil."Aku dan ibu mertuaku tersenyum menanggapi. Aku kembali mendorong kursi roda tersebut menuju rumah. Kami tidak berbicara lagi sepanjang perjalanan. Denny menyambut kedatangan kami di halaman."Kamu dari mana, Den?" tanyaku dengan nafas sedikit ngos-ngosan."Baru pulang les, Kak," jawab Denny sambil mengambil alih kursi roda dari tanganku."Kalau lesnya udah selesai, kamu langsung pulang, Den. Mama kan perlu juga sama kamu. Aku nggak kuat kalau tiap sore bawa mama jalan padahal aku udah memandikan dan menyuapi mama," kataku. "Nggak usah kamu meniru kakak abangmu. Mereka memang nggak peduli."Denny mengangguk saja.Bu Ria melirikku. Biar saja dia menyangka yang buk