"Rumah sakit? Ngapain? Siapa yang sakit, Kak?" jantungku berdebar kencang mendengar suara Kak Reni."Mama sakit!""Hah? Apa?" aku terkejut. Aku langsung duduk, takut terjatuh karena shock mendengar kabar dari kakak iparku.Bu Amalia memperhatikan aku dan bertanya lewat sorot matanya. Aku menggeleng menjawabnya."Mama? Maksudnya Bu Ria?" ulangku memastikan."Iya. Siapa lagi?" suara Kak Reni terdengar sewot."Kenapa? Kok bisa, Kak?" tanyaku."Aku juga nggak tahu pastinya. Tapi mama jatuh di rumah. Sekarang ini udah di rumah sakit," jawab Kak Reni."Kapan kejadiannya, Kak?" tanyaku."Kemarin sore," jawab Kak Reni.Kejadiannya kemarin sore tapi aku baru diberitahu sekarang. Apakah aku memang nggak dianggap lagi di keluarga suamiku? Kalau memang nggak dianggap kenapa akhirnya diberitahu sekarang? "Tin?" suara Kak Reni mengembalikan aku dari pikiranku yang mengembara."Iya, Kak," jawabku."Kamu bisa datang ke sini nggak?" tanya Kak Reni membuatku mengernyitkan kening."Untuk apa, Kak? Mama
Dengan menguatkan hati aku menarik gagang pintu dan mendorongnya.Aku perlahan masuk dan serempak orang yang ada di dalam ruangan itu_Pak Joko, Bu Ria, Kak Reni, seorang dokter, dan seorang perawat_menoleh padaku. Aku mengangguk sebagai tanda permohonan maaf sekiranya aku mengganggu."Eh, Tina? Kamu datang, Nak?" Pak Joko berjalan menghampiriku."Apakah saya mengganggu, Pak? Kalau begitu saya keluar dulu," aku kembali meraih gagang pintu."Jangan, Tin. Kamu nggak mengganggu kok," kata Pak Joko."Ugh...augh..." terdengar suara aneh dari arah tempat tidur dan aku terbelalak melihat keadaan ibu mertuaku. Beliau menatapku sambil tangan kanannya menggapai-gapai ke arahku seakan memanggil aku mendekat.Aku pun mendekat dan menutup mulutku tak percaya. Bu Ria terbaring dengan mulut yang... ya, Tuhan, mulut ibu mertuaku miring ke kiri. Wajahnya sebelah kiri terlihat turun dan...jelek. Pantas saja beliau kesusahan bicara."Kenapa... kenapa mama bisa seperti ini?" tanyaku terbata-bata."Bu Ria
POV Bu RiaSepanjang hari aku uring-uringan. Bahkan guru-guru dan para siswa di sekolah kena getahnya. Apa pun yang mereka kerjakan kuanggap salah di mataku.Bagaimana aku tidak marah? Suamiku yang bodoh itu begitu perhatian kepada menantuku yang kurang ajar itu. Masa dia mentransfer uang 10 juta kepada Tina? Bahkan dia melebihkan 2 juta. Siapa yang tidak marah?"Bapak apa-apaan sih?" aku berusaha menarik ponsel suamiku ketika dia membuka aplikasi m-banking tadi malam."Mama yang apa-apaan?" suamiku malah membentakku dengan kasar. "Mama sudah bertindak kejam kepada Tina. Masak mama minta uang 10 juta dan masih menuntut Tina membayar dua kali lipat uang yang sama sekali tidak dipinjamnya? Mama punya otak nggak sih?"Aku tersinggung dimaki tak punya otak begitu. Awas kamu Tina. Amarahku kepada menantuku itu semakin besar."Mama sengaja minta uang itu untuk menyiksa dia. Mama nggak suka sama dia!" aku berteriak."Mama pikir Tina suka punya mertua seperti mama?" ejek suamiku. "Dia hanya t
POV Bu Ria"Bilang juga supaya Anton dan Lola tidak terlalu dekat begitu,"Tiba-tiba aku teringat perkataan suamiku tadi malam sebelum dia meninggalkan aku.Mungkinkah suamiku melihat sesuatu yang aneh dari perilaku Anton dan Lola? Kuakui mereka memang dekat, bahkan sangat akrab, tapi tak pernah kusangka mereka sampai berhubungan sejauh ini. Aku melihat kedekatan mereka masih wajar sebagai kakak dan adik. Tapi mereka melakukan hubungan intim layaknya suami istri? Sungguh di luar dugaan. Sudah berapa lamakah? Aku yakin itu bukan pertama kali mereka melakukan itu.Pantas saja Lola selalu bersemangat saat aku memarahi Tina. Dia bahkan ikut-ikutan menghina Tina dan mendukung mereka bercerai. Dulu saat Anton akan menikahi Tina, aku pernah melihat Lola menangis tersedu-sedu. Saat aku bertanya, dia bilang karena efek datang bulan. Aku percaya saja saat itu. Dan setelah kejadian tadi siang, aku baru sadar sekarang, mungkinkah mereka sudah lama menjalin hubungan di belakang kami? Tapi kan Anto
"Mama bikin repot aja!"Duarrr. Aku terhenyak mendengar kalimat Ana. Aku bagai mendengar bom meledak tepat di telingaku. Aku sungguh tak menyangka anak kandungku sendiri sanggup bicara seperti itu kepada ibu kandungnya? Apa katanya tadi? Aku bikin repot?Tenggorokanku tercekat dan air mataku berderai. Aku menangis dalam diam. Belum sehari aku sakit tapi Ana sudah memperlakukan aku begini?"Kenapa mama menangis? Udah tahu mama punya riwayat sakit gula, gendut lagi, kenapa masih mikir yang berat-berat? Apa sih yang mama pikirkan? Tina lagi? Biarin aja kenapa sih? Jadinya kan begini!"Ana masih menggerutu menambah sakit hatiku. Memangnya aku menginginkan ini? Dan tahukah dia apa yang membuatku begini? Kamu akan shock kalau tahu kejadian itu, batinku sedih.Pintu terbuka. Seorang perawat masuk dan tersenyum mendekati ranjangku."Lho, Mbak, kenapa liur ibu nggak dibersihkan?" tegur perawat itu melihat daguku belepotan cairan yang tak sanggup kutelan lagi. Bahkan aku merasakan lembab di leh
Sudah seminggu ibu mertuaku kembali ke rumah dan selama itu pula aku tinggal di sana. Itu bukan keinginanku tapi ayah mertuaku yang meminta. Aku tak kuasa menolak mengingat kebaikan beliau kepadaku.Dan ibu mertuaku sepertinya juga menginginkan aku tinggal di sana. Mungkin dia lebih nyaman saat aku mengurusnya. Aneh bukan? Dia punya dua anak perempuan tapi satu pun tidak bisa diandalkan. Dan aku sangat sebal kepada Lola. Apa dia tidak bisa berpura-pura baik sedikit untuk menolong Bu Ria? Biar bagaimana pun dia kan anak angkat di keluarga itu?Aku tak habis pikir. Apalagi dengan sikap Kak Ana. Dia putri kandung dan putri sulung keluarga itu tapi dia tak pernah merawat ibunya. Padahal sebelum ibunya sakit, mereka sangat kompak dalam segala hal, termasuk membenciku.Aku masih ingat bagaimana Pak Joko menamparnya di rumah sakit karena dengan terus terang dia mengatakan jijik menyeka liur ibunya. Tak tahukah dia bahwa waktu dia bayi sampai balita ibunya bahkan mencebok pantatnya dari kotor
Aku membalas pandangan mereka tanpa takut. Aku juga tidak berharap apa-apa di rumah ini. Aku hanya bersedia membantu karena Pak Joko dan aku ikhlas merawat ibu mertuaku yang galak itu. Hitung-hitung sebagai kenangan indah buat beliau sebelum aku resmi menjadi mantan menantunya."Jangan kamu pikir karena bapak ada di pihak kamu, membela-bela kamu, kamu diterima di rumah ini!" bentak Kak Ana. "Kamu beruntung mama lagi sakit sehingga kamu punya kesempatan lagi tinggal di sini."Aku tertawa terkekeh-kekeh mendengar kalimat menghina dari mulut kakak iparku."Udah gila dia kurasa," kata Lola sambil menuding wajahku. "Ketawa sendiri kayak orang sinting. Malang benar kamu, Ton, menikah dengan dia."Anton hanya diam saja. Lagian apa yang kuharapkan dari lelaki pengecut itu? Membela aku? Hahaha nggak mungkin! Dia malah senang aku dihina seperti itu."Aku udah bilang keberadaanku di sini hanya karena permintaan bapak mertuaku. Aku juga nggak sudi di sini. Lagian aku nggak merugikan siapa-siapa d
"Maaf, ya, Tin, aku tak pernah tahu keadaan kamu selama ini."Aku menatap Kak Reni. Selama aku menikah, baru kali ini aku berbicara sedekat ini dengan dia. Walaupun aku sempat tinggal di rumah ini di awal pernikahan dulu, tapi aku sangat jarang bertemu dengan Kak Reni. Dia tinggal di rumah kontrakan yang dekat ke sekolah tempat dia mengajar. Paling banyak kami bertemu 3 kali, itu pun hanya sekadar bertegur sapa."Aku nggak menyangka kalau Anton ternyata mengabaikan kamu," lanjut Kak Reni. "Jadi persiapan perlengkapan bayi dan kamu melahirkan udah beres?""Belum, Kak," aku menggeleng. "Aku baru membeli sebagian.""Kamu nggak usah beli banyak-banyak. Toh anak bayi sangat cepat pertumbuhannya. Kayak kain bedong dan popok, paling lama dipakai sebulan. Kamu mau nggak pakai yang bekas?" tanya Kak. Reni."Bekas?" aku mengernyitkan kening tanda tak mengerti."Maksudku, aku masih menyimpan punya anak-anak. Kamu masih bisa pakai itu," jelas Kak Reni."Boleh, Kak?" mataku berbinar. "Aku maulah,