"Anakku nggak mungkin salah!"Dengan angkuh dan penuh percaya diri Bu Ria membela Anton. Aku semakin membenci mereka."Anton memukul aku, Ma." kataku. Bahkan rasa perih di mulutku masih terasa setiap kali aku membuka mulut. Apa mereka nggak melihat biru lebam di wajahku?"Kamu pantas dipukul. Istri pembangkang!" sahut Anton.Aku tersenyum mengejeknya."Kamu bisanya memukul aku tapi tetap berlindung di bawah ketiak ibumu? Pengecut!""Tutup mulutmu!" Anton mengangkat tangannya."Mau pukul lagi?" seru Wina. "Ayo lanjutkan. Aku udah siap merekam ini."Kami semua menoleh. Tangan Anton langsung turun melihat Wina mengarahkan ponselnya ke arah kami."Kenapa berhenti?" tantangku. "Ayo, pukul lagi. Itu bisa menambah bukti KDRT yang kamu lakukan dan mempermudah aku menggugat cerai kamu.""Cerai?" ulang Bu Ria. "Apa maksud kamu dengan cerai?""Iya, bercerai. Mengakhiri pernikahan neraka ini!" sahutku ketus.Tiba-tiba mereka berempat tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang lucu. Aku dan Wina berpa
POV Bu RiaSungguh hatiku panas mendidih saat Anton menceritakan pertengkarannya dengan istrinya. Apalagi saat dia bilang bahwa Tina menginginkan perceraian. Kesambet apa sih anak itu? Aku memang tidak menyukainya tapi untuk bercerai jangan dulu deh. Pernikahan mereka juga baru dua bulanan, kok tiba-tiba sudah bercerai saja? Mau ditaruh dimana mukaku? Tina juga belum memberikan uang yang kusebut sebagai hutangnya. Lumayan nanti untuk menambah membeli emas model baru yang sudah kuincar sejak beberapa bulan yang lalu.Hatiku sedikit lega saat Anton bilang dia menampar Tina. Istri pembangkang memang harus dihajar supaya menurut. Aku juga harus memberi peringatan kepadanya.Maka di sinilah kami sore itu. Aku, Ana, Lola dan Anton datang ke rumah kontrakan Tina. Kami juga mendapati Wina ada di sana.Senyumku merekah melihat wajah dan sudut bibir Tina yang membiru memar. Matanya juga bengkak. Mungkin dia menangis semalaman. Rasakan, makanya jangan belagu, batinku.Saat aku marah dan memaki-m
"Saya mantap bercerai, Bu!"Sungguh seperti sebuah pencerahan saat Bu Umar mengatakan bahwa di memiliki saudara yang berprofesi sebagai pengacara. Hal yang paling berat kurasakan memang tentang kuasa hukum yang akan mempermudah aku mengurus perceraianku.Bu Ria menatapku dengan sorot mata penuh amarah. Biji matanya hampir keluar. Dan saat mataku beralih kepada Anton, dia juga melihatku dengan pandangan membunuh. Aku tidak gentar sama sekali."Kamu jangan mempermainkan pernikahan, Tina!" kecam Bu Ria. "Kamu akan berdosa!""Aku sama sekali tidak mempermainkan pernikahan ini, Ma. Aku tahu Tuhan sangat membenci dan tidak mengizinkan perceraian. Tapi aku sungguh tak sanggup lagi melanjutkan pernikahan ini," jawabku dengan suara bergetar."Kamu akan menyesal!" bentak Bu Ria lagi."Tidak akan, Ma. Satu-satunya hal yang kusesali adalah pernikahan ini," jawabku."Aku tidak mau bercerai!" tiba-tiba Anton meradang dan berteriak."Kita bertemu di pengadilan nanti." kataku cuek. "Bu, aku mohon ibu
"Sekarang aku kembalikan anakmu itu dengan tidak hormat!" seruku tajam."Saya setuju..."Sebuah suara yang sangat kukenal dengan baik menyahut dari pintu. Refleks kami semua menoleh. Aku, Bu Ria, Anton, Kak Ana, dan Lola terkejut melihat Pak Joko berdiri dengan muka merah padam di ambang pintu."Bapak?" kami berlima berseru bersamaan."Kenapa bapak datang kemari?" Bu Ria menyongsong kedatangan suaminya dengan bergegas bangkit dari duduknya.Pak Joko tidak menjawab. Beliau masuk dan berjalan menuju tempat Anton duduk.Buk...buk... Tanpa kami duga tiba-tiba dua kali jotosan melayang ke dagu dan wajah Anton membuat lelaki itu terjengkang. "Pak..." jerit Bu Ria sambil meraih tangan suaminya yang masih mengambang di udara sebelum jatuh ke wajah Anton lagi."Benar-benar anak kurang ajar, bikin malu keluarga!" seru Pak Joko.Darah segar mengalir dari hidung Anton. Aku menatap ngeri wajah lelaki yang menamparku kemarin malam. "Pak Joko... tenang, Pak," Pak Umar berdiri diikuti oleh semua ya
Seminggu sudah berlalu sejak kejadian pertengkaran hebat di rumahku. Anton tak pernah datang lagi sejak malam itu. Bahkan komunikasi kami tidak ada sama sekali. Apakah dia benar-benar sudah setuju dengan perceraian yang kubicarakan? Terus terang masih ada perasaan yang mengganjal di hatiku karena sikap baik ayah mertuaku. Secara gamblang beliau memang tidak melarang aku untuk mengajukan perceraian itu. Tapi kebaikan hatinya seakan menahan niatku. Apalagi saat kuingat perkataan Pak Joko sebelum meninggalkan rumahku malam itu."Mengenai utang Tina yang kata mama sepuluh juta," Pak Joko memandang marah istrinya. "Tina tidak berutang apa pun! Kitalah yang berutang sama Tina. Besok kembalikan uang Tina, Ma! Jangan bikin malu!""Tapi, Pak..." Bu Ria masih berusaha membantah."Bapak kecewa sama mama," suara Pak Joko bergetar. "Bapak pikir selama ini mama cuma sekadar nggak suka sama Tina, ternyata perbuatan mama sudah sampai sejauh ini.""Tina, tenang aja. Uangmu pasti akan kembali."Aku me
"Rumah sakit? Ngapain? Siapa yang sakit, Kak?" jantungku berdebar kencang mendengar suara Kak Reni."Mama sakit!""Hah? Apa?" aku terkejut. Aku langsung duduk, takut terjatuh karena shock mendengar kabar dari kakak iparku.Bu Amalia memperhatikan aku dan bertanya lewat sorot matanya. Aku menggeleng menjawabnya."Mama? Maksudnya Bu Ria?" ulangku memastikan."Iya. Siapa lagi?" suara Kak Reni terdengar sewot."Kenapa? Kok bisa, Kak?" tanyaku."Aku juga nggak tahu pastinya. Tapi mama jatuh di rumah. Sekarang ini udah di rumah sakit," jawab Kak Reni."Kapan kejadiannya, Kak?" tanyaku."Kemarin sore," jawab Kak Reni.Kejadiannya kemarin sore tapi aku baru diberitahu sekarang. Apakah aku memang nggak dianggap lagi di keluarga suamiku? Kalau memang nggak dianggap kenapa akhirnya diberitahu sekarang? "Tin?" suara Kak Reni mengembalikan aku dari pikiranku yang mengembara."Iya, Kak," jawabku."Kamu bisa datang ke sini nggak?" tanya Kak Reni membuatku mengernyitkan kening."Untuk apa, Kak? Mama
Dengan menguatkan hati aku menarik gagang pintu dan mendorongnya.Aku perlahan masuk dan serempak orang yang ada di dalam ruangan itu_Pak Joko, Bu Ria, Kak Reni, seorang dokter, dan seorang perawat_menoleh padaku. Aku mengangguk sebagai tanda permohonan maaf sekiranya aku mengganggu."Eh, Tina? Kamu datang, Nak?" Pak Joko berjalan menghampiriku."Apakah saya mengganggu, Pak? Kalau begitu saya keluar dulu," aku kembali meraih gagang pintu."Jangan, Tin. Kamu nggak mengganggu kok," kata Pak Joko."Ugh...augh..." terdengar suara aneh dari arah tempat tidur dan aku terbelalak melihat keadaan ibu mertuaku. Beliau menatapku sambil tangan kanannya menggapai-gapai ke arahku seakan memanggil aku mendekat.Aku pun mendekat dan menutup mulutku tak percaya. Bu Ria terbaring dengan mulut yang... ya, Tuhan, mulut ibu mertuaku miring ke kiri. Wajahnya sebelah kiri terlihat turun dan...jelek. Pantas saja beliau kesusahan bicara."Kenapa... kenapa mama bisa seperti ini?" tanyaku terbata-bata."Bu Ria
POV Bu RiaSepanjang hari aku uring-uringan. Bahkan guru-guru dan para siswa di sekolah kena getahnya. Apa pun yang mereka kerjakan kuanggap salah di mataku.Bagaimana aku tidak marah? Suamiku yang bodoh itu begitu perhatian kepada menantuku yang kurang ajar itu. Masa dia mentransfer uang 10 juta kepada Tina? Bahkan dia melebihkan 2 juta. Siapa yang tidak marah?"Bapak apa-apaan sih?" aku berusaha menarik ponsel suamiku ketika dia membuka aplikasi m-banking tadi malam."Mama yang apa-apaan?" suamiku malah membentakku dengan kasar. "Mama sudah bertindak kejam kepada Tina. Masak mama minta uang 10 juta dan masih menuntut Tina membayar dua kali lipat uang yang sama sekali tidak dipinjamnya? Mama punya otak nggak sih?"Aku tersinggung dimaki tak punya otak begitu. Awas kamu Tina. Amarahku kepada menantuku itu semakin besar."Mama sengaja minta uang itu untuk menyiksa dia. Mama nggak suka sama dia!" aku berteriak."Mama pikir Tina suka punya mertua seperti mama?" ejek suamiku. "Dia hanya t