Share

Bab 4

"Kamu pasti sudah gila, cepat pulang!"

Santo jelas tidak memercayai kata-kata Stella. Dia dengan marah berteriak di ujung telepon, lalu menutup teleponnya.

Mengetahui mereka pasti tidak akan percaya Stella menikah dalam satu hari, dia berencana untuk kembali besok dan menjelaskannya pada mereka.

Keesokan harinya, begitu Stella memasuki pintu, dia melihat dua orang duduk di sofa.

Seorang wanita paruh baya yang mengenakan pakaian mewah dan seorang pria muda berusia dua puluhan.

Tanpa menunggu Stella bereaksi, Dewi segera menghampirinya dengan penuh kasih sayang dan meraih lengannya, mengabaikan penolakannya, lalu berkata dengan simpati palsu, "Aduh, Stella akhirnya kamu pulang juga. Aku kira kamu pergi ke tempat temanmu dan akan pulang agak malam."

Kemudian Dewi menoleh ke arah wanita paruh baya kaya itu dan berkata, "Kak Warni, ini Stella. Gimana? Cantik, 'kan?"

Wanita paruh baya itu menatap Stella dari atas ke bawah sambil mengangguk puas.

"Lumayan."

Pria itu menatap Stella seperti menatap mangsa, membuat Stella merasa sangat tidak nyaman.

Seketika Stella mengerutkan alisnya dan berbisik pada Dewi, "Aku nggak peduli apa permainan yang kalian mainkan, tapi tolong jangan mempermainkanku."

Dewi mengalihkan pandangannya.

"Bukankah aku sedang memujimu. Cepat sapa tamunya!"

Stella tahu pemuda itu pasti pasangan kencan buta yang dikenalkan Dewi sebelumnya. Sebelum bertemu dengannya, Stella merasa dia pasti tidak bisa diandalkan. Setelah bertemu dengannya secara langsung, Stella semakin merasa keputusannya tidak salah.

Melihat ayahnya dan Dewi masih bersikeras, Stella tidak ingin memberikan kesan yang baik kepada orang-orang ini dan tidak menyapa mereka. Dia hanya berkata, "Aku agak nggak enak badan, aku kembali ke kamarku dulu."

Setelah mengatakan ini, dia langsung berjalan menuju kamarnya.

Ketika Santo melihatnya bersikap kasar, ekspresinya langsung menjadi muram.

Namun, karena sedang ada tamu, Santo tidak langsung membentaknya.

Begitu kedua tamu itu pergi, Santo masuk ke kamar dan berkata kepada Stella, "Aku sudah menetapkan pernikahan untukmu. Tadi kamu juga sudah melihat Leo, dia orang yang berbakat, dia juga berasal dari keluarga yang baik. Tadi mereka bilang mereka sangat puas denganmu. Kamu harus mengubah sikapmu, kamu harus menyapa waktu bertemu orang, untung saja mereka nggak peduli dengan hal ini."

Stella membeku sejenak, lalu mengangkat kepalanya dengan tidak percaya dan menatap mata ayahnya.

"Kalian membuat keputusan sendiri tanpa meminta pendapatku?"

"Apa yang bisa kamu katakan. Kamu nggak bisa menemukan pekerjaan yang baik, jadi lebih baik menikah lebih awal. Leo memiliki kepribadian yang baik dan kondisi keluarganya baik, kamu pasti akan hidup bahagia kalau menikah dengannya."

"Kalau gitu mungkin aku akan membuatmu kecewa, aku sudah menikah!"

"Memangnya kenapa kalau sudah menikah .... Apa kamu bilang?"

Santo terkejut.

"Kamu sudah menikah?"

Stella tersenyum datar. Dia mengeluarkan surat nikah dari tasnya dan meletakkannya di atas meja. Untuk mengidentifikasi keaslian surat nikah tersebut, Santo dengan sengaja melihat stempel baja dari Biro Urusan Sipil di atasnya.

"Kamu ... berani-beraninya!"

Mengetahui sertifikat itu asli, Santo terkejut dan wajahnya memucat, seolah-olah mengalami pukulan yang hebat.

Dia tak menyangka, Stella tidak berbohong kemarin.

Stella memasukkan surat nikah ke dalam tasnya dan dengan tenang berkata, "Hari ini aku pulang hanya untuk memberi tahu kalian kalau aku sudah menikah dan hidup bahagia."

Stella sengaja menekankan kata "bahagia". Hal ini membuat Santo sangat marah.

"Plak!"

Santo memukul meja dengan keras, menunjuk ke arah Stella dan mengumpat, "Dasar durhaka, kamu diam-diam menikah tanpa memberitahuku. Apa kamu masih menganggapku sebagai ayahmu?"

Mendengar pertengkaran mereka, Dewi yang awalnya hanya ingin menyaksikan kesenangan di depan pintu menjadi panik begitu mendengar Stella sudah menikah.

Mereka baru saja membicarakan pernikahan dengan dan Keluarga Nugroho. Selain mahar satu miliar, mereka tidak perlu mempersiapkan apa-apa lagi. Keluarga Nugroho juga bilang, kalau Stella melahirkan anak laki-laki, mereka akan memberikan satu miliar lagi.

Hal ini adalah hal yang sangat baik. Dewi sudah berencana menggunakan uang ini untuk rumah yang lebih besar, dia tidak menyangka Stella malah sudah menikah duluan.

Sekarang dia dalam masalah! Dewi tidak akan mengizinkan begitu banyak uang hilang dengan begitu saja.

Dewi segera masuk ke dalam ruangan.

"Stella, kenapa kamu begitu ceroboh. Apa kamu kenal orang yang kamu nikahi? Setidaknya ayahmu dan aku kenal orang yang kita jodohkan denganmu."

Stella menatap Dewi dengan acuh tak acuh dan tersenyum mengejek.

"Kamu nggak perlu khawatir, suamiku berkarakter baik dan tampan. Intinya aku menyukainya, jadi aku bersedia menikah dengannya."

"Terus apa kamu tahu latar belakang keluarganya? Apa kamu tahu apa statusmu setelah menikah dengannya? Apa kamu nggak mempertimbangkan semua ini?" Dewi bertanya dengan tergesa-gesa.

"Aku nggak perlu tahu!"

Nada tegas Stella membuat Santo sangat marah, dia mengangkat tangannya dan menampar Stella.

"Dasar anak nakal, aku akan memberimu pelajaran hari ini!"

Santo mengerahkan banyak kekuatan karena sedang marah dan tamparan ini langsung membuat Stella terjatuh.

Stella terjatuh ke lantai dan darah segar mengalir dari sudut mulutnya. Stella menatap dingin ke arah Santo.

"Stella, kamu keterlaluan, kamu bahkan menentang ayahmu demi seorang pria! Kamu sangat durhaka!" Dewi berteriak dengan simpati palsu, dia sangat ingin menginjak-nginjak Stella.

Stella dengan marah menyeka darah dari sudut mulutnya, berdiri dan berkata, "Aku cuma mau memberi tahu kalian kalau aku sudah menikah. Kalau nggak ada yang lain lagi, aku pergi dulu."

Stella berbalik dan baru berjalan dua langkah ketika lengannya ditarik dengan keras.

Santo meraih tangannya, menariknya kembali dan merampas ponselnya.

"Sialan! Siapa yang memberimu izin untuk pergi. Kalau kamu sepemberontak ini, nggak usah keluar lagi."

"Apa yang mau kalian lakukan?"

Stella menahan rasa sakitnya dan melihat mereka mencoba menutup pintu. Dia ingin mencoba menghalangi, tetapi Santo mendorongnya tanpa perasaan.

Pintu kamar Stella tertutup dengan suara keras, memutuskan semua koneksinya dengan dunia luar.

Di bawah cahaya redup di dalam kamar, Stella memegangi lengannya dan jatuh terduduk di tepi kasurnya, dahinya dipenuhi butiran-butiran keringat.

Air mata yang tidak bisa dia tahan pun mengalir. Meluapkan semua keluhan di hatinya selama ini.

Setelah melampiaskan emosinya, Stella ingin mencari cara untuk melarikan diri.

Dia berjalan ke jendela untuk melihat ke bawah, baginya yang punya fobia ketinggian, jarak dari lantai enam ke tanah membuatnya sangat takut.

Setelah mencoba sekian kali, Stella masih belum berani untuk turun dari jendela seperti di TV.

Pada malam hari, pintu kamarnya tiba-tiba dibuka dari luar.

Santo masuk dengan semangkuk mi telur dan berkata dengan tatapan sedih, "Stella, Ayah bukannya benar-benar mau memukulmu. Aku hanya terlalu marah, kamu bahkan nggak memberi tahu kami dan tiba-tiba menikah. Bagaimana aku bisa menerimanya, kalau ibumu masih hidup, dia pasti juga nggak akan menyetujuinya. Jadilah anak yang penurut dan dengarkan aku, cepatlah berpisah dengan pria itu!"

Stella mengangkat pandangannya untuk menatap Santo. Tatapannya dingin, tetapi nada bicaranya lebih dingin lagi.

"Kalau ibuku masih hidup, dia nggak akan memaksaku kencan buta, nggak akan menikahkanku demi maskawin dan nggak akan memukuliku karena masalah ini."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status