Share

Bab 10

Fano bertanya, "Apa kalian akan makan hot pot?"

Stella mengangguk. "Hmm."

Fano mengundang mereka, "Kalau gitu kebetulan sama, apa mau makan bersama?"

Tanpa menunggu Stella menjawab, Ariana langsung berkata, "Kak Fano sudah mengundang, Stella pasti menerimanya dengan senang hati."

Awalnya Stella takut Ariana merasa tidak nyaman. Stella tidak menyangka Ariana akan begitu bersemangat dan menyetujuinya terlebih dahulu.

Ariana menarik Stella ke dalam, tidak memberinya kesempatan untuk menolak.

Fano tersenyum tipis dan mengikuti langkah mereka.

Pelayan mengantar mereka ke tempat duduk yang sudah dipesan dan kemudian meninggalkan ruangan itu.

Fano mengambil menu dan menyerahkannya pada Stella. "Pesanlah apa yang kamu suka."

Stella mengambil menu, membolak-balik beberapa halaman dan menyerahkannya kembali ke Fano. "Hari ini, Kak Fano sudah membantuku, jadi aku akan mentraktirmu."

Fano dengan lembut menolaknya, tetapi pada akhirnya tidak bisa menolak Stella dan menyerah.

Makanan segera disajikan. Mereka bertiga makan sambil mengobrol.

Namun, Fano lebih banyak mendengarkan mereka berdua.

"Kak Fano sangat hebat, pasti sudah punya pacar, 'kan?" Ariana tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya setelah menyeruput minumannya.

Mendengar ini, gerakan Stella untuk mengambil makanan berhenti sejenak.

Sebenarnya, dia sudah menebak kehidupan cinta Fano. Lagi pula, ketika Fano masih di sekolah menengah, dia menjadi fokus banyak gadis. Hanya saja dia memiliki karakter yang lembut dan rendah hati. Tidak peduli siapa yang menyatakan cinta padanya, dia menolak dengan acuh tak acuh.

Sikapnya yang seperti ini membuat gadis-gadis itu merasa terluka dan tidak berani menunjukkan perasaan mereka kepadanya lagi, lambat laun, dia menjadi sosok yang dipandang oleh banyak orang, tetapi tidak berani didekati.

"Nggak," kata Fano dengan suara hangat.

Mata Ariana berbinar, "Benarkah? Itu bagus, Kak Fano sangat tampan dan hebat, kamu pasti akan menemukan gadis yang baik."

Fano berkata sambil tersenyum tipis, "Aku akan mendengar ucapan baikmu." Dia mengarahkan pandangannya ke arah Stella, nadanya lembut, "Bagaimana dengan Stella?"

Ariana segera menjawab, "Stella juga belum punya pacar!"

Dia hanya memiliki suami palsu.

Fano tersenyum lembut. "Nggak perlu terburu-buru."

Senyumnya bersih dan murni, seolah-olah bisa menerangi dataran es di malam yang gelap dan menghangatkan hati.

Stella hanya bisa menahan diri agar tetap tenang.

Ariana mendekatkan diri ke telinga Stella dan berbisik, "Stella, ini adalah kesempatan yang langka dan bagus, kamu harus menangkapnya dengan baik!"

Ariana menyikut Stella dan berkata sambil tersenyum, "Jangan mengecewakanku!"

Stella kembali ke akal sehatnya dan berbisik, "Kamu berpikir berlebihan, statusku saat ini sudah menikah."

Ariana berbisik, "Yang itu 'kan palsu!"

Fano memandang keduanya berbisik-bisik dan sedikit tersenyum.

Setelah makan, Ariana mencari alasan untuk menyelinap pergi.

Fano berinisiatif untuk mengantar Stella pulang.

Setelah ragu untuk beberapa saat, Stella mengangguk setuju. "Maaf sudah merepotkan Kak Fano."

"Nggak apa-apa."

Fano menyetir dan mengantar Stella pergi dari jalanan yang sibuk.

Setelah beberapa saat, Fano memecah keheningan, "Kamu seharusnya baru saja lulus, di mana kamu bekerja sekarang?"

Stella menggigit bibir bawahnya. "Aku belum menemukan pekerjaan yang cocok."

"Begitu ya ...." Fano terus mengemudi, setelah sekian lama, dia berkata, "Perusahaan temanku sedang merekrut, apa kamu mau mencoba?"

"Bolehkah aku?"

"Seingatku kamu juga di jurusan keuangan, 'kan?"

Stella mengangguk.

Nilai Stella sebenarnya tidak pernah buruk, meskipun tidak sebagus murid unggulan seperti Fano, nilainya masih moderat.

Namun, ketika mencari pekerjaan, persaingan di perusahaan besar sangatlah ketat dan butuh pengalaman kerja beberapa tahun. Sedangkan perusahaan kecil tidak terlalu menuntut, tetapi begitu mereka pergi ke sana, tugas mereka adalah melakukan panggilan penjualan kepada pelanggan atau terlibat dalam penipuan.

"Kalau gitu, kamu pasti nggak akan kesulitan. Kalau mau, kamu bisa wawancara minggu depan."

"Benarkah? Terima kasih banyak!"

Stella dengan tulus mengucapkan terima kasih.

Fano tersenyum lembut dan terus fokus mengemudi. "Nggak perlu terlalu sungkan padaku."

Tak lama kemudian, mereka tiba di bawah gedung apartemen tempat Stella tinggal.

Fano membukakan pintu mobil untuk Stella dan bertanya, "Kamu tinggal di sini juga?"

"Kenapa? Apa Kak Fano juga tinggal di sini?"

"Nggak, ada seorang teman tinggal di sini dulu."

"Oh, gitu ya. Sekarang aku tinggal sementara di rumah teman."

Fano mengangguk mengerti. "Apa aku boleh minta nomor teleponmu? Nanti kalau kamu butuh bantuan kamu bisa mencariku."

Stella berkata dengan agak kurang nyaman. "Ponselku hilang dan belum membeli yang baru."

Fano tersenyum hangat dan berkata dengan lembut, "Nggak apa-apa, aku akan memberi nomorku dulu, nanti ingatlah untuk menambahkan akun Whatsapp-ku."

Fano mengeluarkan pulpen dan kertas dari mobil, lalu menuliskan nomornya.

Stella mengambil catatan yang Fano serahkan dan melihatnya, "Oke Kak, terima kasih."

"Kalau gitu aku pergi dulu ya."

"Sampai jumpa, Kak," ucap Stella sambil melambaikan tangannya.

"Sampai jumpa."

Fano pun melaju pergi.

Melihat bagian belakang mobil menghilang, Stella berbalik dan berjalan ke dalam gedung.

Saat membuka pintu dan memasuki rumah, Stella menemukan Billy duduk di sofa.

Stella terdiam sejenak dan berkata, "Pak Billy, kenapa kamu ada di sini?"

Billy berbalik dan menatapnya dengan pandangan yang dalam, "Ini rumahku."

Artinya, dia bisa datang kapan pun dia mau.

Stella memanyunkan bibirnya. "Oh."

Billy berjalan ke sisi Stella dengan kaki panjangnya dan menatapnya dengan mata membara. "Kenapa kamu masih berani keluar, kamu nggak takut diculik lagi?"

"Aku pergi dengan teman-temanku, mereka seharusnya nggak akan seterang-terangan itu, 'kan?

"Ada pengecualian untuk segala sesuatu, terutama untuk orang yang punya hati."

Stella terdiam dan tidak mengatakan apa-apa.

Awalnya keduanya masih agak asing. Setelah kejadian semalam, hubungan mereka mengalami sedikit perubahan, komunikasi di antara mereka tidak seformal dan sejauhan sebelumnya.

"Nanti, aku akan pergi ke tempat Nenek, kamu berkemas sedikit, mungkin kita akan menginap."

"Oke."

Stella buru-buru masuk ke dalam untuk mengganti pakaiannya. Ketika pergi, dia sengaja memakai gelang yang Sandra berikan padanya.

Setibanya di tempat tujuan.

Mereka berdua turun dari mobil dan sebelum memasuki pintu, Billy berkata kepada Stella, "Habis masuk nanti, cobalah bertindak sedekat mungkin dan jangan sampai ketahuan Nenek."

"Pak Billy, jangan khawatir, aku berjanji akan menyelesaikan tugas dengan baik." Stella mengingat baru-baru ini, Billy sudah banyak membantunya. Jadi, untuk membalas kebaikannya, Stella harus memainkan perannya dengan baik.

Sandra yang sedang duduk di kursi roda tampak sedikit lesu. Setelah melihat mereka berdua, suasana hatinya langsung membaik.

Apalagi saat dia melihat Stella memakai gelang yang dia berikan, senyumannya menjadi semakin dalam.

"Kenapa kalian datang ke sini. Pasangan muda yang baru menikah harusnya pergi berbulan madu dan menikmati dunia berdua!"

Billy setengah berjongkok di depan Sandra, memegangi tangannya dan berkata, "Nenek, nggak usah mengkhawatirkan kita, hari ini aku mendengar Dokter Cedrick bilang kamu nggak banyak makan dalam dua hari terakhir, apa Nenek merasa nggak nyaman?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status