Share

Bab 14

Sekarang Leo bukannya mendapat keuntungan malah mendapatkan kerugian.

Nando tidak peduli alasan apa yang Leo miliki untuk menganiaya Stella.

"Menyentuh istri direktur utama kami berarti kamu sudah nggak menginginkan tanganmu."

Nando juga terkejut ketika menerima perintah itu. Dia tidak menyangka bosnya sendiri diam-diam sudah menikah, dia sangat senang sekaligus penasaran ketika mengetahuinya. Dia sangat penasaran siapa yang bisa mencairkan gunung es ini.

Nando bergegas ke sini secepat mungkin.

Dia tidak menyangka akan ada orang tidak tahu diri yang berani menggertak Stella, jadi Nando pasti tidak akan melepaskannya.

Pada akhirnya, kedua tangan Leo patah dan dia diancam kalau masalah ini tersebar, dia akan mati dengan cara yang menyedihkan.

...

Stella benar-benar ketakutan kali ini. Dia duduk di dalam mobil, terbungkus pakaian Billy dan tubuhnya gemetar.

Melihat ini, Billy mengerutkan keningnya, mengulurkan jari telunjuknya untuk merapikan anak rambut di dahi Stella ke belakang telinganya. Dia berbicara dengan suara yang sangat lembut, "Nggak apa-apa."

"Pak Billy .... Hu ...."

Billy menghela napas tanpa daya dan langsung membawa Stella kembali ke rumah besar di tengah gunung tempat dia tinggal.

Setelah memarkir mobil, Billy membawa Stella masuk ke dalam rumah.

Setelah menyuruh Stella mengganti pakaiannya, Billy memanggil dokter keluarga untuk memeriksa tubuhnya. Untungnya tidak ada masalah besar selain sedikit syok.

Stella duduk di sofa dengan wajah pucat, Billy mengambil salep dan pergi untuk mengoleskannya ke sisi kiri wajah Stella yang sudah ditampar oleh Leo, gerakannya lembut seolah-olah takut itu akan melukainya.

"Stt ...." Stella meringis kesakitan.

Pria itu menghentikan gerakannya dan mengerutkan alis tajamnya.

"Masih sakit?"

"Mm ...." Stella menggertakkan gigi dan menjawab.

Billy menunduk dan terus menggosok area yang terluka.

Stella meliriknya dan tiba-tiba bertanya, "Pak Billy, bagaimana kamu tahu aku ada di tempat itu?"

Waktu Stella dibawa pergi oleh orang-orang berbaju hitam hari ini, dia berada di kursi belakang mobil dan tidak berani bersuara untuk memanggil polisi, jadi dia menghubungi nomor Billy.

Billy mengangkat matanya untuk menatap Stella ketika dia mendengar ini, bibirnya tersenyum tipis. "Aku menebaknya."

Setelah mendengar ini, Stella membeku sejenak, kemudian tidak bisa menahan senyumannya, arus hangat melintasi hatinya.

Meskipun Billy biasanya dingin, tetapi pada saat-saat kritis, dia sangat bisa diandalkan dan bisa menyelamatkannya di saat-saat kritis setiap saat.

Billy selesai memberikan obatnya dan pergi.

Sebelum pergi, dia menginstruksikan para pelayan untuk merawat Stella.

Segera setelah Billy pergi, Stella berbaring di kamar tamu dan tertidur.

Ketika dia bangun, hari sudah malam.

"Nona, kamu akhirnya bangun, saatnya makan malam."

Pelayan yang sudah lama menunggu di luar pintu segera berbicara ketika dia bangun.

Stella duduk dan melihat sekeliling kamar-kamar mewah di sekelilingnya sebelum mengingat bahwa tempat yang dia tempati sekarang adalah rumah Billy.

Stella mengusap pelipisnya dan berdiri, "Emm ... Di mana Pak Billy?"

Pelayan itu dengan hormat memberitahunya, "Bapak ada di ruang kerja."

Stella menganggukkan kepalanya sambil melangkah menuju ruang kerja Billy, ingin mengucapkan terima kasih secara pribadi.

"Tok tok tok ..." Stella mengetuk pintu ruang kerja.

"Masuk!" Sebuah suara rendah dan magnetis terdengar.

Stella mendorong pintu dan melihat seorang pria yang mengenakan setelan jas abu-abu, dengan punggung tegak, kaki terlipat, postur tubuhnya tenang dan elegan.

Pada saat ini, Billy sedang melihat-lihat dokumen dengan saksama, garis dagunya sangat indah dan dalam, konturnya jelas dan bersudut.

Stella masuk dan dengan sopan memanggil, "Pak Billy!"

Mendengar suara Stella, Billy mengangkat matanya dan melihat ke arah Stella. Tatapannya mendarat di pipinya yang merah dan bengkak, alis tajamnya berkerut dan berbicara dengan nadanya acuh tak acuh seperti biasa, "Sudah bangun?"

Stella mengangguk dan berkata, "Hari ini kamu menyelamatkanku lagi, aku mau mengucapkan terima kasih padamu sekali lagi!"

Setelah mengatakan itu, Stella membungkuk dalam-dalam padanya.

Billy menutup komputer dan berjalan ke arahnya, berkata dengan acuh tak acuh, "Kamu sekarang adalah istri sahku, sudah sepantasnya aku membantumu."

Senyuman di sudut mulut Stella langsung membeku, maksudnya Billy masih membutuhkannya sebagai perisai, makanya Billy menyelamatkannya?

Stella menunduk, menyembunyikan emosi kompleks di bawah matanya sendiri, mengerutkan bibirnya sedikit dan berkata, ''Itu .... Karena itu, kalau kamu membutuhkan bantuanku, bilang saja, aku pasti akan melakukan yang terbaik!"

Stella tahu identitasnya dan memahami niat Billy.

Billy mengaitkan bibir tipisnya dan tersenyum tipis, jari-jarinya yang ramping mencubit dagunya yang tajam, memaksanya untuk melihat dirinya sendiri.

Pupil hitamnya dalam dan misterius, sedingin dan semisterius sumur kuno.

"Sangat ingin membalasnya?"

Mata Stella membelalak kaget dengan gerakannya yang tiba-tiba.

Stella buru-buru mendorongnya menjauh dan mundur beberapa langkah untuk menjaga jarak darinya, wajahnya memerah sambil berkata, "Pak Billy bercanda, aku hanya berpikir kamu sudah menyelamatkan aku dua kali, jadi wajar untuk membalasnya!"

"Ayo makan dulu." Billy melonggarkan tangan yang menangkup dagunya dan berbalik ke arah pintu.

...

Stella berdiri di tempatnya, memandangi punggung tinggi Billy, dengan perasaan yang tak terlukiskan di dalam hatinya.

Pria ini benar-benar aneh.

Stella mengikuti di belakang Billy dan berjalan ke ruang makan.

Para pelayan sudah menyiapkan makan malam mewah dan meletakkannya di meja makan bundar.

Meja itu dipenuhi dengan hidangan lezat, melihat itu Stella sangat terkejut dan menelan air ludahnya.

"Pak Billy, makanan sebanyak ini bukannya terlalu boros kalau kita cuma berdua saja?"

Billy meliriknya. "Makanlah tanpa bicara."

"Ya." Stella mengangguk dan duduk di kursi.

Setelah makan malam, langit perlahan-lahan menjadi gelap, bintang-bintang bertaburan menghiasi seluruh kota.

Stella berpikir bahwa dia ada wawancara besok dan ingin kembali ke apartemennya lebih awal untuk bersiap-siap, tetapi hanya ada satu rumah besar, Billy, di tengah-tengah gunung dan pasti tidak ada taksi.

"Pak Billy, bisakah kamu meminta sopir untuk mengantarku kembali ke apartemen? Ini sudah malam, aku harus pulang." Stella berdiri di sampingnya dan bertanya dengan lemah.

"Sekarang kamu adalah Nyonya Hendrawan, nggak apa-apa tinggal di sini."

Stella melambaikan tangannya begitu dia mendengar dia akan diizinkan untuk tinggal di sini.

"Nggak, nggak apa-apa, aku tinggal di apartemen saja."

Stella sebelumnya mengira bahwa Billy paling-paling adalah bos perusahaan, sampai dia membawanya ke rumah besar ini, dia menyadari betapa sempitnya penglihatannya sebelumnya.

Stella benar-benar tidak menyangka akan menikah dengan seorang konglomerat, tetapi dia masih memiliki kesadaran diri, uang orang tidak ada hubungannya dengan dirinya sendiri.

Billy tidak bereaksi banyak dan membiarkan pengemudi mengirimnya kembali.

Begitu Stella kembali ke apartemen, dia segera mengganti sepatunya, melepas sepatu putih kecil di kakinya, lalu mengambil bantal di sofa dan memeluknya di pelukannya.

Memikirkan tentang wawancara besok, dia segera mengeluarkan catatan yang diberikan Fano dari tasnya, membuka kunci ponselnya dan menghubungi nomor di atasnya.

"Tut .... Tut .... Nomor yang kamu hubungi untuk sementara tidak tersedia, silakan hubungi lagi nanti."

Stella melihat waktu sudah menunjukkan pukul sembilan tiga puluh, seharusnya Fano sudah tidur, lebih baik dia menghubunginya besok pagi.

Saat Stella hendak mandi, ponsel yang diletakkan di atas meja kopi di ruang tamu berdering.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status