Share

Bab 12

Stella berdiri di ambang pintu dengan agak canggung, "Em .... Pagi!"

Billy mengangguk. "Bersiap-siaplah, terus turun dan sarapan, jangan biarkan Nenek menunggu terlalu lama."

"Ya."

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Billy keluar dari kamar tidur.

Melihat punggung Billy yang tinggi dan lurus, Stella menghela napas lega.

Stella tidak tahu kenapa dia memiliki pikiran aneh ini, singkatnya, ketika dia melihat Billy sekarang, detak jantungnya jauh lebih cepat dari biasanya.

Setelah makan siang, mereka berdua pun kembali.

Dalam perjalanan kembali ke apartemen.

Stella tiba-tiba teringat lusa adalah hari Senin. Dia berjanji pada Fano untuk pergi wawancara ke perusahaan temannya, tetapi dia belum punya ponsel, itu terlalu merepotkan.

Jadi, dia menoleh ke Billy dan berkata, "Pak Billy, aku mau pergi ke mal, turunkan aku di persimpangan di depan."

"Mal?" Billy menatap Stella dan bertanya dengan bingung.

"Ya! Aku mau membeli sesuatu."

"Kalau gitu aku akan mengantarmu ke sana." Billy tidak menolak.

Segera, Stella dan Billy tiba di mal.

Stella melihat sekeliling sambil mencari toko yang menjual ponsel.

Billy mengikutinya dari belakang dengan tangan di belakang punggung.

Ketika mereka memasuki toko ponsel, pelayan wanita tidak bisa menahan diri untuk tidak berbisik sambil menatap Billy, "Pria ini sangat tampan!"

"Ya, bahkan lebih tampan dari bintang-bintang di majalah!"

Billy tidak menghiraukan komentar orang-orang di sekitarnya dan berdiri dengan tenang di samping.

Pelayan wanita bergegas maju dan dengan antusias memperkenalkan model ponsel kepada Stella.

Stella melihat berbagai ponsel yang diletakkan di etalase toko, dia terpesona dan tidak tahu mana yang harus dia pilih.

Pelayan wanita itu melihat keasyikannya dan berkata, "Nona, ini adalah model baru merek kita tahun ini, sangat cocok untuk wanita, lihatlah yang ini."

"Ponsel ini terlihat sangat mahal, aku nggak mampu membelinya, rekomendasikan yang paling murah saja," kata Stella sambil menggelengkan kepalanya.

Saat dia mengatakan ini, pelayan itu langsung kehilangan minatnya. Awalnya dia mengira Stella yang datang dengan Billy ini pasti akan menjadi pelanggan besar. Dia tidak menyangka Stella adalah seorang penipu.

Jadi, dia berpaling, memutar matanya dan berkata dengan jijik. "Menyia-nyiakan ekspresiku saja."

Stella mendengar kata-kata pelayan itu dan langsung merasa sedikit kesal, tetapi tetap menahan diri dan tidak mengatakan apa-apa.

Dia terus melihat model lain.

Billy yang melihat kejadian ini mengambil ponselnya dan menelepon.

Kemudian Billy bangkit, berjalan mendekat dan menarik tangan Stella untuk keluar dari toko ponsel.

Setelah masuk ke dalam mobil, Stella merasa sedikit bingung.

"Pak Billy, aku belum membeli ponselku."

"Kamu suka ditindas?"

"Hah?" Stella bingung dengan pertanyaan itu, lalu mengingat sesuatu. "Apa kamu berbicara tentang pelayan toko ponsel yang meremehkanku tadi? Kenapa? Nggak masalah, aku nggak peduli dengan orang yang nggak memenuhi syarat, aku nggak akan membiarkannya memengaruhi suasana hatiku."

Tatapan Billy jatuh ke tubuhnya, jejak kelembutan melintasi di matanya dan nadanya melunak.

"Kamu punya hati yang baik."

Setelah beberapa saat, Stella menyadari mobil itu tidak bergerak.

"Pak Billy, kita nggak jalan?"

Billy tidak mengatakan apa-apa.

Setelah sekitar sepuluh menit, sebuah mobil berhenti di samping mobil mereka.

Seorang pria berjas hitam turun, berjalan ke hadapan Billy dan dengan hormat menyerahkan sebuah kantong.

"Pak Billy, ini barang yang kamu minta."

"Bagaimana orang itu ditangani?"

"Sudah dipecat dan dimasukkan ke daftar hitam, semua outlet nggak akan mempekerjakan lagi."

Billy menganggukkan kepalanya dan dengan satu lambaikan tangannya, pria itu segera pergi.

Stella yang berada di samping pun kebingungan.

Tepat ketika dia melamun, Billy meletakkan tas di tangannya ke dalam pelukannya.

"Ambillah."

"Hah?" Stella mengangkat kepalanya karena terkejut.

"Kubilang, ini untukmu."

Stella membuka bungkusnya dan melihat ponsel terbaru yang baru saja dia lihat.

"Ini terlalu mahal!"

Billy sedikit tidak sabar, tetapi begitu dia berpikir bahwa lingkungan tempat tinggalnya berbeda dengan lingkungan tempat tinggal Stella, dia tidak banyak bicara lagi.

Mata Billy memberi isyarat kepada pengemudi untuk mengemudi.

Melihat sikap Billy, Stella menggigit bibir bawahnya dan berkata, "Terima kasih, Pak Billy, aku akan mengembalikannya padamu nanti waktu aku mendapatkan uang."

Setelah mengatakan ini, Stella dengan senang hati mengambil ponselnya dan mengutak-atiknya. Dia menemukan kartu ponsel di dalamnya sudah dipasang, dia diam-diam melirik Billy dan kebetulan tatapan mereka bertemu.

Untuk meringankan rasa malu, Stella buru-buru berkata, "Pak Billy, berapa nomor ponselmu? Aku sudah punya ponsel, ke depannya kamu bisa menelepon dan mengirim pesan padaku kalau kamu mau mencariku."

Billy mengulurkan tangannya yang ramping dan mengambil ponsel dari tangan Stella. Dia memasukkan nomornya dan menyimpannya.

Kemudian Billy melemparkan ponsel itu kembali ke Stella.

Stella memperhatikan tindakan kecil Billy dan tersenyum. Dia mengganti nama kontak Billy menjadi Tuan Es.

Setelah mengantar Stella kembali ke apartemennya, Billy pergi ke kantor.

Setelah kembali ke rumah, Stella buru-buru memasukkan kembali informasi akun sosialnya ke nomor ponselnya.

Satu-satunya yang ada dalam pikiran Stella saat ini adalah mendapatkan ponsel lamanya kembali dan memikirkan hal itu sangatlah menyedihkan.

Karena alasan itu, dia berencana untuk menyelinap kembali ke kediaman Keluarga Andara besok dan mencuri ponselnya kembali.

Keesokan harinya, ada lebih banyak orang di jalan pada akhir pekan.

Stella naik bus ke lantai bawah di lingkungan kediaman Keluarga Andara.

Untuk berkamuflase, dia sengaja mengenakan jaket dan membungkus rapat dirinya dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Dia berjalan sembunyi-sembunyi ke rumahnya dalam keadaan seperti itu.

Dia menempelkan telinga di luar pintu untuk mendengar sebentar. Saat tidak mendengar sedikit pun gerakan di dalam rumah, dia mengambil kuncinya dulu dengan perlahan membuka pintu.

Benar saja, tidak ada seorang pun di dalam rumah.

Stella segera bertindak, dengan cepat mencari-cari ponselnya.

Sekitar dua puluh menit berlalu, tetapi dia masih belum menemukan apa pun.

Stella merasa frustrasi, duduk di sofa dengan lesu.

Pada saat itu, terdengar suara percakapan dari luar pintu, diikuti dengan suara kunci yang bergemerincing.

Stella langsung berdiri, dia tidak bisa keluar dan hanya bisa segera bersembunyi di balik gorden.

Dari celah di tirai, dia melihat Santo dan Dewi masuk ke dalam rumah satu demi satu, diikuti oleh Andre.

"Santo, menurutmu ke mana Stella pergi setelah melarikan diri? Bahkan Keluarga Nugroho nggak bisa menemukannya, dia bersembunyi dengan sangat hebat."

"Jangan menyebut nama putri tidak berbakti itu padaku."

"Ya, ya, nggak bilang lagi. Keluarga Nugroho memberikan kita batas waktu seminggu untuk menemukan Stella, kalau nggak 1,2 miliar itu harus dikembalikan pada mereka."

Mendengar hal ini, Santo duduk di sofa dengan puntung, mengeluarkan sebatang rokok dari kotak rokok dan menghisapnya.

Asap rokok melayang lurus ke arah sisi tirai tempat Stella berada.

Asap tersebut membuat tenggorokan Stella gatal dan karena takut ketahuan, dia hanya bisa menutup mulutnya rapat-rapat.

Untungnya, setelah menghabiskan sebatang rokok, Santo bangkit dan pergi ke kamar tidur bersama Dewi.

Tak disangka begitu mereka pergi, Andre sedang bermain dengan mainannya di sofa dan sebuah mobil kecil jatuh ke lantai.

Andre buru-buru melompat turun dari sofa untuk mengambilnya dan ketika dia mendongak, dia menemukan Stella bersembunyi di balik tirai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status