Share

Bab 3

Stella buru-buru melangkah maju untuk menjelaskan. "Nenek, aku dan Bi ... Billy sudah sepakat untuk membuat segalanya sederhana. Lagian, cinta sejati nggak memedulikan acara apa-apa! Yang penting hubungan kita baik, 'kan?"

Sandra dengan hati-hati mepertimbangkannya, lalu dengan senang hati mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Stella. "Ya, ya! Terserah kalian saja, yang penting hubungan kalian baik. Sekarang aku akhirnya bisa merasa lega untuk menemui orang tuaku."

Stella tersenyum hangat ke arah Sandra dan dengan lembut menjelaskan, "Nenek pasti berumur panjang! Billy selalu menceritakanmu padaku, aku akhirnya bisa bertemu dengan Nenek hari ini!"

Sandra merasa geli. "Hehe, kalau gitu kamu harus lebih sering datang dan mengobrol denganku."

Stella menyetujuinya dengan patuh. "Ya, aku akan sering datang mengganggu Nenek."

Sandra memandangi kedua anak muda itu sambil tersenyum, tatapannya sangat baik dan ramah.

Melihat Stella yang membuat neneknya tersenyum gembira, Billy menatap wajah Stella sangat lama.

Ketika Stella menyadari tatapan itu dan menoleh, Billy segera mengalihkan tatapannya.

Siang itu, mereka tinggal di sana untuk makan siang bersama Sandra.

Saat mereka makan siang, sepasang pria dan wanita paruh baya masuk.

Sang pria bertubuh tinggi dan kokoh dengan fitur yang kuat, dia terlihat mirip dengan Billy.

Sang wanita memiliki bentuk tubuh yang bagus dan terlihat cantik, mengenakan gaun sutra ungu tua dan membawa tas edisi terbatas Hermes.

Kedua orang ini, adalah ayah Billy dan istrinya, Wahyu Hendrawan dan Linda Tantono.

Melihat kemunculan mereka yang tiba-tiba, suasana yang tadinya hangat langsung membeku.

Billy mengangkat kepalanya dan menatap mereka dengan tatapan dingin, wajah tampannya tak menunjukkan ekspresi apa-apa.

Wahyu berjalan mendekat, melirik Billy sebentar, lalu tersenyum kepada Sandra. "Bu, Linda dan aku datang menjengukmu."

"Aku nggak menyangka Billy juga ada di sini, kebetulan sekali semua orang berkumpul hari ini."

"Kamu hanya perlu datang sendiri, orang di sampingmu nggak perlu datang, daripada menambah masalah untukku."

Sandra tampak jelas sangat tidak menyukai wanita di depannya. Dia berbicara tanpa perasaan sedikit pun.

Linda terlihat sedikit tidak senang, tetapi dia hanya bisa menahannya. Dia segera tersenyum dan berkata, "Bu, aku datang karena aku dengan kesehatanmu akhir-akhir ini agak memburuk. Aku sengaja meminta Wahyu membawaku datang bersamanya."

Sandra mendengus dingin.

"Jangan panggil aku Ibu, menantu perempuanku hanya ibunya Billy."

Untuk meredakan suasana, tatapan Wahyu jatuh pada Stella di samping Billy dan bertanya, "Siapa ini?"

Billy sedikit mengernyit dan tidak menjawab Wahyu, untuk sesaat suasananya agak canggung.

Stella langsung tahu hubungan pria itu dan Billy. Berpikir dirinya harus berakting dengan lengkap, Stella segera berdiri, dengan sopan tersenyum pada Wahyu dan menyapanya, "Halo Paman, namaku Stella, aku ...."

Stella masih sedikit malu untuk mengatakan dia adalah istri Billy, jadi ucapannya tiba-tiba terhenti.

"Dia istriku."

Billy yang dari tadi diam, meletakkan sendok di tangannya dan menyela.

Mendengar ucapan Billy, Wahyu dan Linda sangat terkejut dan saling memandang dengan heran.

"Istri! Kalian sudah menikah?"

Karena bukan mendengar kata pacar atau teman wanita, melainkan kata istri, itu membuat nada Wahyu naik beberapa oktaf.

"Ya."

"Kapan kalian menikah?"

"Kemarin."

Ekspresi Wahyu semakin masam dan dia menegur dengan suara tinggi, "Omong kosong, kenapa kamu bisa menikah tanpa memberi tahu kami!"

Billy mendengus dingin, "Waktu kalian menikah, kalian juga nggak memberitahuku. Selain itu, ini urusanku, jadi aku bisa membuat keputusan sendiri."

"Kamu ...."

Wahyu tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun dan langsung pergi dengan marah. Linda berbalik dan menatap Stella dengan tatapan penuh arti sebelum pergi juga.

Begitu mereka pergi, semua orang tidak punya selera untuk makan lagi.

Sandra sudah sedikit lelah dan ingin beristirahat, jadi dia menyuruh Billy dan Stella untuk pulang.

Sebelum pergi, Sandra mengeluarkan sebuah kotak brokat dari lemari di samping tempat tidurnya.

Di dalam kotak itu terdapat sebuah gelang giok. Sandra mengambilnya dan memakaikannya ke pergelangan tangan Stella.

Meskipun Stella tidak tahu banyak tentang perhiasan ini, dia tahu gelang ini pasti sangat mahal.

Stella melirik Billy yang berada di sebelahnya. Bagaimanapun identitasnya palsu dan ini pertama kalinya dia bertemu dengan keluarga Billy. Nenek Sandra memberinya hadiah yang begitu mahal, hal ini tentu membuatnya sedikit tidak enak hati.

Billy berkata, "Itu hadiah dari Nenek, terimalah."

Saat itulah Stella merasa tenang dan berterima kasih kepada Sandra.

...

Sesampainya di apartemen, Stella tidak langsung turun dari mobil, dia melepas gelang itu dan menyerahkannya pada Billy.

"Pak Billy, gelangnya aku kembalikan padamu."

Billy menatapnya, mata gelapnya penuh perhatian, lalu berkata, "Kamu simpan dulu, pakailah waktu mengunjungi Nenek lagi."

Setelah memikirkannya sebentar, Stella pun mengangguk, lalu menyimpan gelang itu.

Ketika Stella kembali ke apartemennya, dia langsung mengganti pakaiannya dengan pakaian santai yang nyaman.

Telepon genggam di atas meja kopi berdering tanpa henti.

Kring, kring.

Stella segera menghampiri dan melihat ponselnya, ternyata itu adalah panggilan dari ayahnya.

Stella tampak ragu sejenak, tetapi, karena panggilan itu tak kunjung berhenti, dia memutuskan untuk menjawabnya.

"Stella, di mana kamu sekarang?"

"Untuk apa Ayah peduli di mana aku berada?"

Waktu Stella pergi kemarin, ayahnya tidak mengiriminya pesan atau meneleponnya. Hatinya yang sudah kecewa menjadi semakin kecewa. Dia juga tidak berharap apa-apa dari panggilan telepon ini.

"Di mana pun kamu berada, pulang sekarang juga."

"Kamu menyuruhku pergi dan pulang dengan seenak itu? Aku nggak akan kembali ke rumah itu, kalian sekeluarga hidup bahagia, aku akan meninggalkan kalian sendirian."

"Kenapa kamu semakin nggak patuh dan kata-katamu semakin kasar? Kita sebagai orang tua pun nggak bisa mengataimu lagi? Pikirkan tentang sikapmu kemarin, Bibi Dewi melakukannya demi kebaikanmu, kenapa kamu nggak menghargainya?"

"Demi kebaikanku atau nggak, aku mengetahuinya dengan jelas."

"Itu semua omong kosongmu sendiri. Jangan bahas masalah itu dulu, pulang dulu ke rumah dan kita akan membicarakannya nanti. Kebetulan aku mencarimu karena ada sesuatu."

"Kalau ada masalah, katakan saja di telepon."

"Bisakah kamu menyingkirkan sikap keras kepalamu? Pasangan kencan buta yang dikenalkan padamu waktu itu akan datang menemuimu di rumah. Dia sangat tertarik padamu, kita nggak boleh bersikap kasar, cepat pulang!"

Mendengar ini, Stella mengerti ayahnya memintanya untuk kembali bukan karena khawatir, tetapi karena Dewi yang masih bersikeras ingin menikahkannya dan mendapatkan maskawin.

Stella tersenyum pada dirinya sendiri. Cahaya di matanya musnah dalam sekejap dan bertanya, "Kalau bukan karena masalah ini, kamu nggak akan meneleponku, 'kan?"

Terdengar keheningan di ujung telepon untuk beberapa saat.

"Stella, jangan nakal, kamu bukan anak kecil lagi, jangan mempersulit ayahmu."

"Bukan aku yang mempersulitmu, justru kalian yang mempersulitku. Kebetulan ada yang ingin kukatakan padamu, kalian jangan berharap aku pergi kencan buta lagi, aku sudah menikah."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status