Share

Bab 2

"Selamat kepada kalian berdua, mulai sekarang kalian adalah pasangan yang sah."

Stella menerima surat nikah merah yang diserahkan oleh staf. Otaknya sedikit linglung ketika dia berterima kasih dan berbalik untuk berjalan menuju pintu masuk utama.

Stella tidak menyangka dia akan menikah dengan pria yang baru saja dia kenal tidak sampai satu hari.

Saat di kafe, Stella ingin menyelesaikan kencan buta dan pergi. Tak disangka Billy malah menawarinya pernikahan kontrak.

Stella hanya mengatakan dia ingin memikirkannya terlebih dahulu. Namun, dia langsung menyetujuinya begitu mendapatkan tamparan dari ayahnya.

Dewi ingin menggunakannya untuk mendapatkan maskawinnya, jadi dia tidak akan membiarkan itu terjadi.

Tentu saja ada alasan penting lainnya. Kondisi yang ditawarkan Billy sangat menarik, setelah kawin kontrak ini selesai, Billy akan memberinya satu miliar, dia juga akan memberinya sepuluh juta setiap bulannya selama pernikahan.

Masalah pernikahan tidak akan diungkapkan setelah pernikahan.

Di mana lagi bisa menemukan pekerjaan sebagus ini?

Untungnya, kartu keluarga ada di tangan Stella ketika dia mengganti KTP, kalau tidak, masalah ini tidak akan berjalan mulus.

Stella melirik ke arah Billy yang berjalan di depannya.

Setelan hitam disesuaikan untuk menguraikan tubuh ramping, wajah samping yang sempurna dengan alis dan mata dingin, bibir yang mengerut ringan, tampilan dingin dan acuh tak acuhnya ini tampak sedikit menggertak.

Setidaknya orang ini cukup menarik perhatian.Meski Stella harus menikah lagi, dia juga tidak akan rugi. Lagian, dia tidak memiliki harapan tentang pernikahan.

Setelah sampai di depan pintu, Billy masuk ke dalam mobil dan hendak pergi.

Stella mengulurkan tangannya dan segera meraih kaca spion.

"Itu .... Pak Billy, aku nggak punya tempat tinggal sekarang. Kamu harus mengurusiku."

Sekarang tidak ada tempat yang bisa Stella tuju. Sahabatnya tidak leluasa menampungnya dan dia juga tidak mau merepotkan mereka.

Kontrak yang dinegosiasikan pada saat itu tidak menyediakan tempat tinggal, jadi dia harus bersikap tidak tahu malu tentang hal itu sekarang.

Billy menatapnya dengan tatapan ringan, lalu berkata, "Aku hanya putar balik."

Stella menunggu dengan senyuman canggung. Setelah mobil selesai putar balik, dia masuk ke dalam mobil. Mobil pun melaju ke gedung apartemen kelas atas yang berada tidak jauh dari pusat kota.

Stella menarik kopernya dan mengikuti Billy ke lantai 36.

Setelah masuk, Stella sibuk memikirkan sesuatu dan terus berjalan, tidak menyadari bahwa orang di depannya sudah berhenti.

"Aduh!"

Stella menggosok hidungnya yang sakit karena terbentur. Dia mendongak dan melihat Billy yang sedang menatapnya dengan ekspresi tenang.

Saat Stella tersadar, dia baru sadar kalau dia menabrak dada Billy.

Dengan wajah yang sedikit memerah, Stella buru-buru meminta maaf, "Maaf, Pak Billy, aku nggak sengaja."

Billy masih berekspresi tenang. Dia menatap Stella dan berkata dengan suara yang dalam, "Kamu bebas melakukan apa yang kamu inginkan di tempat lain, kecuali masuk ke kamar utama."

Stella segera meletakkan koper di tangannya.

"Pak Billy, terima kasih, awalnya kontrak nggak punya klausul ini, aku bisa membayar uang sewa ketika saatnya tiba."

"Kamu nggak perlu membayar uang sewa. Ke depannya kamu yang bertanggung jawab atas kebersihan di sini."

Stella segera menjawab, "Nggak masalah, aku akan membersihkannya di masa depan."

Setelah menyelesaikan ucapannya, Billy mengangkat tangannya untuk melihat waktu. "Masih ada yang harus kulakukan. Besok pagi jam sepuluh aku akan menjemputmu dan pergi menemui nenekku."

Stella tahu Billy melakukan semua ini karena dia tidak ingin nenek yang disayanginya memiliki keinginan yang belum tercapai sebelum meninggal, makanya Billy meminta Stella untuk melakukan kontrak pernikahan.

Stella segera menganggukkan kepalanya dan menjawab, "Oke, aku akan bersiap-siap lebih awal besok."

Dia menunggu Billy pergi sebelum melihat-lihat sekeliling rumah.

Area apartemen ini tidak kecil, luasnya lebih dari seratus meter persegi. Dekorasi mewah di seluruh rumah menunjukkan unsur kekayaan, tetapi sama sekali tidak berlebihan.

Billy bisa dengan santai menawarkan satu miliar, dia seharusnya tidak kekurangan uang.

Setelah selesai berkeliling itu, Stella memindahkan kopernya ke kamar tidur kedua.

Kamar itu dilengkapi dengan kamar mandi dan ruang ganti kecil.

Setelah merapikan barang-barangnya, Stella berdiri di depan jendela yang luas dari lantai ke langit-langit dan menatap ke luar sejenak.

Melihat debu di apartemen ini, dia tahu kalau ruangan ini sudah lama tidak ditinggali. Stella pun menyingsingkan lengan bajunya, bersiap untuk membersihkannya.

Dia membuka semua jendela di rumah, membersihkan semua sudut yang terlihat dan mengepel seluruh lantai.

Setelah bersih-bersih, Stella pergi ke supermarket di lantai bawah untuk membeli beberapa barang dan menaruhnya di lemari es, lalu membuat semangkuk mi untuk dirinya.

Keesokan harinya, Stella sengaja memilih gaun bunga biru berlatar belakang putih. Dengan kulit putihnya yang berkilau, fitur ramping dan indah, memegang senyum ringan bibir lembut berwarna mawar, membuatnya tampak sangat lembut.

Lagi pula, untuk bertemu orang yang lebih tua, dia tidak bisa berdandan santai seperti biasa. Makanya dia juga sengaja memakai riasan ringan.

Saat Stella sampai di lantai bawah, Billy sudah menunggu di sana.

Setiap kali Billy bertemu neneknya, dia akan menyetir sendiri, hari ini juga seperti itu.

Setelah bertukar sapa, Stella duduk di kursi penumpang. Setelah mengikat sabuk pengamannya, Stella meletakkan tangannya di atas lutut dengan agak canggung.

Di dalam mobil samar-samar terdapat aroma, aroma itu memenuhi hidung Billy, sedikit mengacak-acak hatinya yang sudah lama mati.

Stella sedikit gugup, dia menggigit bibir bawahnya dan jari-jarinya tanpa sadar menggosok dekorasi logam di tasnya.

Billy menunduk dan melihatnya sekilas, dia dengan samar berkata, "Jangan terlalu gugup, Nenek akan menyukaimu."

Stella tidak tahu kenapa Billy begitu yakin, tetapi karena ucapannya, Stella juga menjadi lebih santai.

Mobil keluar dari kota dan berhenti di depan sebuah halaman tradisional di tengah-tengah bukit di dekat Sungai Mekar di pinggiran kota.

Dua pohon pir di pintu masuk memiliki cabang dan dedaunan yang lebat, menghalangi sebagian besar cahaya dan bergoyang ringan tertiup angin.

Keduanya memasuki halaman satu demi satu.

Di tengah halaman, nenek Billy, Sandra Sulis, sedang duduk di kursi rotan dengan mata terpejam, berjemur di bawah sinar matahari.

Karena penyakitnya, tubuhnya kurus dan wajahnya tampak pucat dan lesu.

Sandra mengenakan gaun yang sederhana dan elegan. Dia memainkan cabang pohon di tangannya dan mengeluarkan suara deritan.

Billy menunjukkan ekspresi lembutnya yang jarang dia tunjukkan dan berjalan ke sisi Sandra. Dia dengan lembut memanggilnya, "Nenek, aku datang menjengukmu."

Mendengar suara itu, Sandra segera membuka matanya. Dia bertemu dengan tatapan lembut serta penuh kasih sayang Billy.

"Billy, kenapa kamu datang ke sini, bukannya kamu sibuk bekerja akhir-akhir ini?"

"Mau sesibuk apa pun, aku tetap akan datang menjenguk Nenek. Kali ini aku punya kabar gembira untuk Nenek."

Mendengar ada kabar gembira, Sandra tersenyum, lalu matanya menoleh ke gadis di samping Billy. Dia sedikit terkejut dan bertanya, "Dia ..."

Billy menarik Stella yang berada di sisinya dan memperkenalkannya, "Nenek, dia adalah cucu menantumu."

Stella pun segera membungkuk dengan sopan. "Selamat siang Nenek, aku Stella Andara."

Ekspresi terkejut muncul di wajah Sandra dan dia langsung duduk tegak dengan penuh semangat.

"Cucu menantu? Kalian sudah menikah?"

Billy mengangguk, "Kita baru kenal nggak lama, kemarin kebetulan hari baik, jadi kita mendaftar pernikahan kita."

"Dasar anak kurang ajar. Kenapa kamu nggak memberi tahu kami dulu. Setidaknya harus ada sedikit persiapan, mana boleh menikah secepat itu. Kamu nggak menghargainya sebagai wanita."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status