Share

Bab 6

Karena gelisah, Stella duduk di dalam mobil dengan tangan dan kaki yang sedikit gemetar. Dia tampak seperti baru saja terbangun dari mimpi buruk.

Stella menarik napas dalam-dalam dan mencoba untuk menenangkan diri. Dia tidak ingin Billy melihat kelemahannya.

Billy sepertinya merasakan perubahan suasana hati Stella dan meliriknya. Namun, dia tidak banyak bicara dan tatapannya tetap sangat tenang.

"Terima ... terima kasih, Pak Billy." Merasakan pandangan Billy, Stella menjadi sedikit cemas dan menggigit bibirnya.

Stella tidak tahu kenapa Billy muncul di sini, tetapi dia tetap harus berterima kasih karena Billy sudah menolongnya.

"Nggak perlu sungkan, aku cuma lewat." Nada bicara Billy tetap tenang, tidak ada perasaan suka atau duka dalam nadanya.

Billy memang hanya lewat. Sejak awal dia bukanlah orang yang ramah, adapun dia sendiri tidak tahu kenapa dia ingin membantu Stella. Ketika dia melihat Stella terburu-buru menghentikan mobil, dia langsung menyuruh sopir menghentikan mobilnya.

Stella juga tidak bertanya lagi. Sekarang mereka memang pasangan kontrak, tetapi bagaimanapun, Billy dan Stella tidak akrab, jadi tidak perlu terlalu banyak bercerita.

Billy juga tidak terlalu banyak bertanya tentang apa yang terjadi pada Stella.

Billy tidak tertarik dengan masalah pribadi orang lain.

Setelah mengantar Stella ke apartemen, Bily bersiap untuk pergi.

Sebelum pergi, Billy tiba-tiba memanggil Stella dan berkata setelah terdiam sejenak, "Kamu bisa mencariku kalau mengalami masalah di masa depan."

"Oke, terima kasih." Mendengar Billy bersedia mengambil inisiatif untuk membantunya, Stella sangat terkejut, kemudian dia menunjukkan senyuman tersentuh.

Setelah Billy pergi, Stella kembali ke apartemen dan duduk di sofa untuk beristirahat sejenak untuk menenangkan diri.

Tiba-tiba dia teringat ponselnya masih berada di tangan ayahnya. Ponsel itu tidak berharga, tetapi foto-foto ibunya dan beberapa barang di dalamnya adalah sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang.

Namun, sekarang kalau Stella kembali untuk mengambil ponsel itu, maka pelariannya akan menjadi sia-sia.

Setelah memikirkannya untuk waktu yang lama, Stella memutuskan menggunakan telepon apartemen untuk menelepon Santo.

"Ayah, bisakah kamu mengembalikan ponselku?" Stella berbicara dengan agak kaku.

"Nggak kusangka setelah kabur, kamu masih berani meminta ponselmu?" Nada bicara Santo penuh dengan ketidakpuasan dan kemarahan.

"Ayah macam apa yang memaksa putrinya untuk mengikuti tes semacam itu. Bisakah kalian berhenti memaksaku? Aku sudah menikah. Kalian melakukan ini karena kalian menginginkan uang, 'kan? Aku akan memberikannya, gimana?"

"Oke, apa kamu bisa memberiku satu miliar sekarang?"

"Aku bahkan nggak punya pekerjaan, dari mana aku bisa mendapatkan uang satu miliar?"

Stella mencengkeram rambutnya dengan perasaan sakit yang tak tertandingi.

Santo berkata lagi, "Sudahlah, kembali untuk mengambil ponselnya sendiri. Aku nggak akan memaksamu lagi. Kamu boleh menikah dengan siapa pun yang kamu suka! Yang penting waktu aku tua, kamu akan menjagaku. Aku juga terlalu marah, hari ini setelah kamu pergi aku memikirkannya dengan hati-hati, hal ini adalah kesalahanku, aku hanya mengatakannya karena sedang marah."

Stella tidak menyangka Santo benar-benar mengatakan hal semacam ini. Hal ini membuatnya tidak tahu harus berkata apa.

Melihat Stella yang tidak bersuara, Santo kemudian berkata, "Aku tahu kamu pasti nggak mau pulang. Aku akan meletakkan ponsel di meja kerjaku, kamu bisa mengambilnya sendiri besok!"

Stella masih sedikit kurang yakin ayahnya akan melepaskannya. Namun, ketika mendengar ini, Stella benar-benar memercayainya.

Santo bekerja sebagai manajer di sebuah pabrik furnitur di pinggiran kota.

Saat Stella tiba di pabrik furnitur keesokan harinya, ayahnya tidak ada di kantor, hanya ada seorang asisten di sana.

"Halo, Nona Stella." Melihat Stella, asisten itu menyapanya dengan sopan. "Ayahmu ada urusan di luar, aku nggak tahu kapan dia akan kembali, apa kamu mau menunggunya?"

Stella memikirkannya sejenak dan menggelengkan kepalanya. "Nggak perlu, ayahku memintaku untuk mengambil sesuatu, aku akan langsung pergi."

Asisten itu mengangguk dan memberinya isyarat untuk masuk.

Stella masuk ke kantor dan mencari di meja dan laci, tetapi tidak menemukan ponselnya. Dia mulai panik.

Karena tidak menemukan ponsel, intuisinya menyuruhnya untuk segera keluar dari sini.

Stella baru saja berjalan ke pintu.

Terdengar suara keras dari luar pintu, jantung Stella berdetak semakin cepat.

Dia baru saja mengulurkan tangan untuk meraih gagang pintu, tetapi pintu itu sudah terbuka terlebih dahulu dan sesosok tubuh muncul di depan matanya.

"Halo, Nona Stella!"

Orang yang datang bukanlah ayahnya, tetapi pasangan kencan buta yang pernah dia temui sebelumnya, Leo Nugroho.

Melihat Leo, Stella mengerutkan keningnya.

"Kamu punya masalah apa?"

"Jangan takut, aku nggak akan melakukan apa pun padamu." Leo berbicara dengan nada yang agak lembut. "Kebetulan kita bertemu, gimana kalau aku mentraktirmu makan!"

Stella menggelengkan kepalanya. "Terima kasih, masih ada yang harus kulakukan, aku nggak bisa makan bersamamu."

Ekspresi Leo berubah. "Itu bukan terserahmu, hari ini kamu harus pergi meskipun kamu nggak mau."

"Lucu sekali, apa kamu memaksa mau mentraktirku?"

Leo menatap Stella dengan tatapan yang sedikit tajam. "Kamu belum tahu, ya! Ayahmu sudah menerima 1,2 miliar dari keluargaku, sekarang kamu adalah milikku."

"Nggak mungkin, dia bilang nggak akan memaksaku lagi kemarin."

"Kamu benar-benar naif. Kemarin dia dan ibu tirimu bahkan secara khusus mencari kita untuk mengatakan kalau kamu masih perawan dan menaikkan maharnya menjadi 1,2 miliar. Dia juga secara pribadi mengusulkan selama kamu hamil, pria itu mungkin nggak akan menginginkanmu lagi."

Setelah mendengar kata-kata ini, Stella langsung merasakan pandangannya menjadi buram. Kemarahan dan kebencian yang tertekan muncul, tangannya mengepal kuat sampai kukunya menancap ke dalam telapak tangannya tanpa dia sadari.

Kemudian Stella baru menyadari kalau ayahnya tidak berniat melepaskan dirinya. Sebaliknya, ayahnya menggunakan cara ini untuk menjual dirinya kepada orang lain.

Ternyata kemarin, setelah Santo melihat Stella melarikan diri, dia bertengkar hebat dengan Dewi.

Untungnya, Dewi adalah pembujuk yang baik dan dengan cepat membujuknya kembali ke akal sehatnya.

Mereka juga menyadari Stella akan mencari mereka untuk mengambil ponselnya.

Jadi, mereka berdua sudah berdiskusi terlebih dahulu. Ketika Stella menelepon kembali untuk meminta ponsel, mereka sengaja mengatakan sesuatu untuk membuat Stella menurunkan kewaspadaannya. Di sisi lain, mereka mengambil kesempatan untuk meminta lebih banyak uang dari Keluarga Nugroho.

Sekarang di mata mereka, Stella adalah pohon uang.

Sudut mulut Leo terangkat dan berkata dengan nada mengejek, "Untung saja kamu cantik, kalau nggak, kamu benar-benar nggak sebanding dengan harga itu."

Stella menggertakkan gigi dan menatap Leo. "Kalian nggak tahu malu!"

Leo mendengus dingin, "Bagaimanapun aku nggak lebih buruk dari ayahmu. Ikutlah denganku, kalau nggak aku akan menyuruh seseorang mengikatmu. Jangan salahkan aku kalau kamu menderita nantinya."

Stella mengepalkan tangannya dengan erat dan menatapnya dengan marah. "Coba saja kalau kamu berani menyentuhku. Suamiku pasti nggak akan melepaskanmu."

"Hahaha .... Apa yang nggak berani kulakukan. Aku sudah mendengar semuanya, kamu menikahi pria miskin yang bahkan nggak mampu membayar maskawin. Cobalah suruh dia datang, selama dia berani datang, aku akan menghabisinya."

Leo melihat ke luar dan berteriak, "Suruh dua orang masuk dan bawa dia ke Hotel Lido."

"Ya, Tuan Muda!" Dua pria berjas hitam masuk dari luar pintu.

Saat melihat pintu terbuka, Stella berbalik dan berlari keluar.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status