Share

Bab 5

Kamu .... Aku tahu kamu sedang marah, aku nggak akan bertengkar denganmu. Selama kamu berjanji untuk berpisah dengan pria itu, aku nggak akan memaksamu untuk menikah lagi."

Santo tahu Stella keras kepala. Menggunakan cara keras tidak akan berhasil, jadi dia memutuskan untuk melunak.

"Kami sudah mendaftarkan pernikahan."

"Apa gunanya mendaftarkan pernikahan, kamu masih bisa bercerai. Pernikahan kalian adalah masalah besar, pria itu bahkan nggak berkunjung ke rumah, keluarganya pasti miskin. Stella, kamu harus mendengarkan nasihatku, nggak ada gunanya terlihat tampan, kehidupan setelah menikah adalah tentang keberlangsungan hidup dan makan setiap hari, kamu nggak bisa hidup tanpa uang. Cepatlah bercerai selagi nggak ada yang tahu tentang masalah ini."

Stella memandangi Santo yang semakin berbeda dan hatinya tidak lagi bergetar.

"Aku nggak akan setuju."

Sekarang ayahnya berdiri di sisi yang sama dengan Dewi. Stella tahu kalau dia menyetujuinya, kehidupannya hanya akan menjadi semakin sengsara.

Melihat Stella yang tidak bisa dibujuk bagaimanapun caranya, Santo juga tidak berpura-pura lagi dan berkata, "Kalau kamu setuju, bercerailah besok, kalau nggak tetaplah berada di kamar ini selamanya!"

Setelah mengatakan itu, Santo keluar dan mengunci pintu lagi.

Dewi yang melihatnya keluar dengan wajah tidak senang, tahu masalahnya belum terselesaikan. Dia bersandar di dinding sambil melingkarkan tangannya, sudut bibirnya berkedut.

"Ini adalah masalah yang sudah ditetapkan, tak kusangka dia menghancurkannya. Untungnya Keluarga Nugroho bilang nggak peduli dengan masalah ini. Besok cepat suruh dia bercerai, tapi kurasa dia nggak akan menyetujuinya."

"Hm, kalau nggak setuju, dia juga tetap harus menyetujuinya, aku nggak akan membiarkan sikap buruknya ini."

Santo merasa kali ini Stella sudah menantang otoritasnya sebagai seorang ayah. Dia tidak akan membiarkan hal ini terjadi.

Awalnya, dalam pengaruh halus Dewi selama bertahun-tahun, hubungan Stella dan ayahnya sudah mulai renggang. Sekarang Santo tahu Stella bisa membawa manfaat bagi keluarga, bagaimana dia bisa melepaskan kesempatan ini?

Keesokan harinya, sebelum Stella bangun, pintu kamarnya sudah dibuka.

Dewi berjalan masuk.

"Bersiap-siaplah, aku mau membawamu ke suatu tempat."

"Ke mana?"

"Kamu akan tahu nanti."

Berpikir kalau di kamar dirinya juga tidak bisa keluar, Stella memutuskan untuk pura-pura menuruti mereka. Setelah itu dia akan mencari kesempatan untuk melarikan diri.

Satu jam kemudian, mereka tiba di pintu masuk rumah sakit swasta.

Stella mengerutkan keningnya. "Untuk apa kalian membawaku ke rumah sakit?"

"Kamu akan tahu nanti."

Setelah mengatakan itu, Dewi langsung mendorong Stella masuk ke rumah sakit dan tidak mengizinkan Stella pergi ke toilet.

Mereka sampai di sebuah ruangan di ujung lantai tiga.

Seorang wanita yang tampaknya seorang dokter dengan jas putih mendekat dan firasat buruk muncul di hati Stella.

Benar saja, detik berikutnya, Dewi dan dokter wanita itu menahannya untuk duduk di tempat tidur dan melepas celananya.

"Apa yang mau kalian lakukan?"

"Apa yang mau kami lakukan? Tentu saja memeriksa tubuhmu!" Dewi berkata dengan suara dingin.

Stella terkejut, tangan dan kakinya meronta-ronta. "Hentikan, jangan sentuh aku."

"Stella, hari ini kamu harus patuh padaku atau jangan berpikir untuk mendapatkan kebebasanmu."

Melihat situasi ini, Stella hanya bisa berkompromi, dia memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.

Pergelangan tangannya digenggam erat oleh Dewi dan seorang dokter ginekologi sedang memeriksa bagian bawah tubuhnya. Perasaan ini membuat Stella merasa sangat tidak nyaman sampai kakinya gemetar.

Untungnya, pemeriksaan itu segera berakhir.

Setelah itu Dewi baru melepaskan Stella. Dia menghampiri dokter wanita itu dengan penuh semangat dan bertanya, "Bagaimana?"

"Masih belum tersentuh."

Mendengar kalimat ini senyuman langsung muncul di wajah Dewi.

Dia segera mengambil ponselnya dan menelepon.

Stella tidak menyangka mereka akan melakukan pemeriksaan ini, wajahnya memerah karena marah. Setelah selesai memakai pakaiannya, dia berkata, "Aku mau ke toilet."

Dewi melambaikan tangannya dengan tidak sabar sambil bertelepon, dia sudah lupa untuk mengawasinya.

Stella dengan cepat melangkah keluar dari pintu berencana untuk langsung menuju lift. Baru saja akan berbelok ke kanan, seorang wanita muncul dan menghentikannya.

"Stella, mau ke mana?"

Stella tidak menyangka akan ada seseorang yang mengawasinya di luar. Orang itu adalah orang yang dia kenal. Wanita di depannya adalah sepupu Dewi, yang dulu sering datang ke rumah mereka untuk numpang makan.

"Bibi, aku mau pergi ke toilet, kenapa kamu menghentikanku?"

"Toilet ada di sebelah kiri, kenapa kamu pergi ke arah sini, Dewi memintaku untuk mengawasimu, jangan coba-coba melarikan diri."

"Aku cuma mau ke toilet, apa perlu seperti ini?"

Agar tidak ketahuan mau kabur, Stella hanya bisa berbalik dan berjalan ke kiri.

Setelah memasuki toilet, Stella segera bersembunyi di balik pintu dan diam-diam mengawasi keadaan. Dia menyadari kalau wanita itu selalu mengawasi pintu toilet.

Hal ini membuat Stella sedikit gugup, dia harus memanfaatkan kesempatan dan tidak boleh membuang waktu. Setelah Dewi menyelesaikan panggilan teleponnya, dia pasti akan mencarinya, nantinya akan lebih sulit kabur lagi.

Saat Stella cemas dan tidak tahu harus berbuat apa, dia secara tidak sengaja menemukan pakaian karyawan pembersih yang sedang dijemur di ambang jendela.

Stella buru-buru mengambil pakaian itu dan memakainya. Meskipun pakaian itu belum sepenuhnya kering, dia tidak memedulikannya lagi.

Dia mengikat rambutnya secepat mungkin, lalu menutupi wajahnya dengan kain. Dia berpura-pura batuk dan mendorong troli pembersih keluar.

Saat melewati belokan, sepupu Dewi meliriknya sebentar, membuat jantung Stella berdebar kencang.

Untungnya, wanita itu segera mengalihkan pandangannya dan kembali mengawasi pintu toilet.

Stella tidak naik lift, dia mendorong troli pembersih ke tangga, segera melepas pakaiannya dan berlari ke bawah.

Saat dia sampai di pintu depan, dia berdiri di persimpangan dan mencoba menghentikan taksi. Namun, dia tidak menyangka ayahnya sedang keluar untuk merokok.

Melihat kemunculan Stella, Santo terdiam sejenak. Ketika melihat Dewi tidak mengikutinya, Santo menyadari Stella pasti sedang mencoba melarikan diri. Jadi, dia segera membuang rokok di tangannya dan berteriak, "Stella, mau ke mana kamu?"

Santo pun berlari ke arah Stella.

Melihat Santo mengejarnya, Stella sangat ketakutan dan berlari ke depan sambil mempercepat gerakan tangannya untuk menghentikan mobil.

Namun, semakin dia cemas, semakin sedikit mobil yang mau berhenti.

Tepat ketika Santo hampir menyusulnya, sebuah mobil berhenti di depannya.

Stella mendongak dan melalui jendela yang setengah terbuka, dia melihat orang yang duduk di dalam mobil adalah Billy.

"Masuk."

Suara pria itu terdengar pelan dan magnetis.

Setelah mendengar suara itu, Stella kembali tersadar dan segera masuk ke dalam mobil.

Stella baru saja menutup pintu mobil ketika Santo berhasil mengejarnya dan memukul jendela mobil dengan keras. "Stella, cepat turun."

Melihat kemarahan Santo, pengemudi segera mengunci mobil atas kode yang diberikan Billy dan menutup jendela.

Namun, mobil itu tidak langsung jalan, Billy menunggu dengan wajah acuh tak acuh sampai Stella menjelaskan apa yang terjadi.

Saat ini Stella hanya ingin bergegas meninggalkan tempat yang mengerikan ini. Tangannya terkatup dan memohon kepada Billy untuk menyuruh sopirnya segera mulai mengemudi.

Melihat mata indah Stella yang dipenuhi linangan air mata, tatapan menyedihkan itu benar-benar berbeda dengan tatapan penuh kebebasan ketika mereka pertama kali bertemu. Saat ini Stella lebih seperti anak kecil yang kesepian dan tak berdaya.

Billy mengerutkan bibirnya dan berkata, "Ayo jalan!"

Melihat mobil itu pergi, Santo mengumpat dengan marah, "Gadis sialan, kamu tunggu saja!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status