Lisa, mahasiswi tingkat akhir yang menyambi sebagai asisten kurator ditugaskan untuk memilah barang-barang antik di sebuah villa. Sesampainya di sana, tidak ada penghuni vila yang menyukainya atau tak disukainya. Ada Kris, pembantu lalki-laki seusia Lisa; Katemi, pembantu perempuan paruh baya; Bram, sang majikan dan pemilik vila; serta Anne, putri sang majikan. Setiap penghuni menjebak dirinya sendiri dalam masa lalu dengan cara mereka masing-masing. Dapatkah Lisa memecahkan kemelut yang berusaha menelannya? Sabtu Malam Lisa adalah bacaan sekali duduk yang sengaja disusun sebagai sebuah puzzle.
View MoreMinggu 9 November 2014 03.23 p.m. (pukul 15.23) LISA “Hantu?” Lisa bertanya. Pak Karman tidak menjawab. Dia menggeleng. “Pak Dokter,” Bu Zaitun, entah sejak kapan, sudah berdiri di belakang Pak Karman. “Tolong sampaikan seluruh ceritanya.” Pak Karman masih diam. Lisa semakin bingung. “Ada apa ini?” “Nak, orang yang melihat hantu bernama Bram ini bukan cuma kamu,” kata Bu Zaitun.
Sabtu, 8 November 2014 11.47 a.m. (pukul 11.47) LISA Lisa sudah menunggu belasan menit di sebuah perempatan padat kendaraan yang baru pertama kali dikunjunginya. Jangankan tempat itu, menginjak wilayah Kabupaten Bandung pun adalah yang pertama kali. Ia berkali-kali melirik layar ponsel yang sudah nyaris habis dayanya, menunggu balasan pesan dari Bu Zaitun yang seharusnya sudah sampai beberapa jam yang lalu saat ia masih dalam perjalanan. Saat kakinya mulai terasa pegal, Lisa menemukan sosok Bu Zaitun di antara keramaian sedang menempelkan ponsel ke telinga. “Bu!” Teriak Lisa sambil setengah berlari ke arah yang dipanggil. “Astaga!” Kata Bu Zaitun, “Sulit sekali kamu dihubungi!” “Lah? Saya selalu pegang ponsel, tapi tidak ada panggilan yang masuk.” Lisa melirik ponselnya. Dari layar itu, ia akhirnya tahu kalau ia tidak dapat sinyal. “Untun
Minggu, 9 November 2014 03.13 p.m. (pukul 15.13) LISA Kelopak matanya seperti dibuka dengan paksa, membuat cahaya lampu langsung menyorot ke bola matanya. Lisa terpejam dan dengan segera nyeri di bola-bola matanya menjalar ke seluruh tempurung kepala, lalu berdenyut di satu titik di pelipisnya. Ia meraba titik itu dan mendapati tumpukan perban di sana. Tubuhnya kuyup oleh keringat seakan telah lama mendekam dalam sauna. Ia tidak kepanasan. Ia justru kedinginan. “Di mana?” Bisiknya pada diri sendiri. Lisa menyebar pandangannya. Hal pertama yang ia cari adalah kacamatanya. Ia meraba ke atas meja berlaci di ranjang dan menemukan benda yang dicarinya. Lisa mengedarkan pandangannya lagi, kali ini dengan penglihatan yang lebih jelas. Ia tahu ruangan ini, tapi entahlah. Ingatannya seperti uap air yang mengepul, terus mendesak tapi tak bisa dipegang wujud pastinya. “Lisa!!” Seorang per
Sabtu, 8 November, suatu tahun05.33 a.m. (pukul 05.33)KATEMIKatemi mengintip dari balik pintu, berhati-hati kalau-kalau Kris sudah terjaga. Setelah yakin kalau pemuda itu lelap, ia beringsut ke tepi ranjang. Dipandanginya wajah pemuda itu dengan seksama. Ia tersenyum. Lalu berbisik.“Dosaku padamu terlalu besar. Aku akan jadi bahan bakar neraka. Tapi sebelum itu, bolehkah aku minta satu hal darimu?”Kris mendengkur.“Panggil aku’Ibu’,” bisik Katemi lagi, “Sekali saja...”Kris memalingkan tubuhnya. Mendengkur lagi.Katemi tersenyum. Ia beranjak dengan wajah menggeleng pelan. Itu pertama dan terakhir kali ia mengatakan sesuatu seperti itu. Anaknya sudah penuh luka. Satu-satunya yang membuat pemuda itu bertahan hidup adalah ketidaktahuan.Bukanka
00.00 a.m. (pukul 24.00) ???? Aku adalah tanah ini. Aku adalah bangunan ini. Aku adalah atap dan lantainya. Aku adalah tembok dan jendela serta pintunya. Aku adalah setiap ruang dan sudutnya. Aku adalah setiap sorot lampu dan bayangannya. Aku adalah Vila di Pegunungan. Meski sebenarnya, tak tepat juga memanggilku begitu.Mulanya, aku hanyalah tanah lapang di sebuah bukit. Kiri dan kananku terhampar kebun teh nan luas. Di belakangku, jalan menaik ke puncak bukit. Di depanku, tanah landai yang seringkali dilewati manusia. Dahulu sekelilingku hanya pepohonan dan batu-batu. Tepatnya kapan mereka berubah, aku sudah lupa. Pastinya, perubahan ini adalah karena campur tangan manusia. Mulanya, aku hanyalah tanah lapang di sebuah bukit. Lalu, suatu hari, sepasang manusia berkulit pucat datang kepadaku. Si perempuan begitu elok, anggun dan menyenangkan. Si lelaki, meski juga elok dan gagah, memiliki raut muka yang membosankan. Jangan tanya aku tahu dari mana, aku hanya tahu. Kedua manusia it
10.43 p.m. (pukul 22.43) BRAM Bram terjaga dengan mata terbelalak. Matanya sakit karena langung menatap cahaya lampu. Ia terjaga sedemikian rupa akibat mimpinya. Dalam mimpi itu, ia seperti mengulang kembali bertahun-tahun pengalamannya. Sangat jelas mimpi itu, dan amat rinci; sampai-sampai dadanya berdebar karena ngeri. Bahkan, kancutnya juga sampai basah karena adegan percintaan dalam mimpinya terasa nyata. Terdengar suara gaduh dari lantai dua. Lantai vila yang tersusun dari kayu-kayu saling menyambung sehingga derit-deritnya dapat mengalir begitu saja ke langit-langit ruang santai. Ia menduga itu suara tikus awalnya, tapi segera berubah pikiran karena tentu saja tak mungkin tikus-tikus membuat kegaduhan semacam itu kecuali mereka sebesar babi hutan dan sedang bergulat di atas sana. Sesaat kemudian, suara gaduh lain terdengar dari arah ruang makan. Suaranya tidak lebih berisik dari kegaduhan di lantai dua
08.20 p.m. (pukul 20.20)BRAMTamunya itu telah beranjak dan ia kehilangan kesempatannya untuk mengaku. Mereka sudah di ruang santai itu cukup lama, tapi yang bisa ia lakukan hanya mengulur waktu, berharap keberaniannya muncul atau gadis itu secara ajaib bisa membaca gambaran dalam kepalanya. Bahkan, saat isi pembicaraan mereka akhirnya mulai cair, lidahnya masih beku. Ah, tapi cerita itu memang seharusnya tak disampaikan pada siapapun, katanya menenangkan diri sendiri. Ada pesona yang tak bisa ditolaknya dari mata gadis itu, mengundangnya untuk melimpahkan semua kegelisahannya. Kegelisahan yang telah ia simpan bertahun-tahun lalu. Kegelisahan yang, sekali lagi, sebaiknya tak ada yang tahu. Itu adalah cerita tentang masa lalunya. Ia adalah anak kedua dari dua bersaudara dalam sebuah keluarga besar nan kaya raya. Ayahnya telah meninggal belasan tahun lalu, meninggalkan harta dalam bilangan besar sekali. Ibunya yang telah menjanda akhirnya menikahi lelaki lain: seorang pengusaha kelas
10.48 p.m. (pukul 22.48)LISASungguh pemandangan yang mengerikan. Dua orang dengan kejiwaan yang sama sekali ganjil menatap satu sama lain. Dua orang sinting itu, bagaimanapun, salah satunya telah menyelamatkan Lisa dari maut. Setidaknya, untuk saat ini. Tak ada yang bisa diperkirakan dari keadaan ini. Ini tidak seperti sabung ayam yang pemenangnya bisa dikira-kira lewat runcing taji dan besar tubuh—bahkan ada panduan primbon untuk itu—tapi di sini, Lisa tak tahu manakah yang lebih sinting di antara Katemi dan Anne. Dan di sini, yang dipertaruhkan adalah nyawanya sendiri. Ah, atau seharusnya ia berusaha menghentikan kedua orang itu alih-alih memperkirakan siapa yang bakal dicabik atau mencabik.Anne. Gadis itu terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Sesekali ia melompat di tempat, menghentakkan kakinya yang telanjang ke hamparan lantai kayu. Katemi, di lain sisi, terduduk sambil sesenggukan, tapi
10.35 p.m. (pukul 22.35)KRISKris mengucapkan seluruh mantranya. Lalu listrik tiba-tiba padam.Ia menunggu. Di kejauhan, anjing gunung melolong, barangkali sedang memergoki rombongan hantu yang berangkat mencari korban. Tak ada angin. Tak ada sedikit pun cahaya. Tak ada gerakan atau pertanda apapun kalau pemanggilannya berhasil.Lagi-lagi gagal, katanya pada diri sendiri, mungkin surga memang tempat yang berkali-kali lebih nyaman dari dunia. Arwah Nyonya Maria tak akan turun lagi ke bumi. Mulut Kris berdecak.Tak akan ada apapun yang akan terjadi. Ia melepaskan telunjuknya dari cincin, dan bersamaan dengan itu, listrik kembali pulih. Ia tak punya firasat apapun. Perasaannya tetap sama, sendu dan tak bergairah. Ia segera mengemasi papan peninggalan Nyonya Maria ke dalam peti kayu. Pada saat ia selesai, sebuah teriakan terdengar tepat dari dua lantai di atas kepalanya. Itu bukan suara Anne, bukan pu
Sabtu, 8 November, suatu Tahun03.10 p.m. (Pukul 15.10)LISASeperti bagian lain di vila ini, lantai dan dinding koridor itu terbuat dari kayu. Cukup tebal, tapi masih tak cukup untuk menangkal hawa pegunungan. Banyak berkelok. Panjangnya mungkin mencapai hingga puluhan langkah. Lebarnya lebih lebar sedikit dari bentangan kedua lengan orang dewasa. Bagian atas telanjang tanpa langit-langit, langsung menampakkan rangka atap dan susunan genting yang samar-samar saja terlihat. Di kerangka bangunan yang melintang di atas lorong itu bergantung lampu-lampu dengan pijar kekuningan, lengkap dengan piringan logam yang melingkup pangkalnya. Di atas sana, rumah laba-laba bertaut kesana-kemari, coraknya sudah kehitaman dan sesekali bergelayut serupa satin malaikat maut. Di kiri dan kanan lorong tergantung banyak lukisan yang dibingkai dalam persegi panjang berbagai ukuran; mulai dari yang mungil seukuran buku tulis sampai yang besar seukuran setengah daun pintu. Letak lukisan-lukisan itu ada yang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments