11.47 a.m. (Pukul 11.47)
LISA
Lisa sudah menunggu belasan menit di sebuah perempatan padat kendaraan yang baru pertama kali dikunjunginya. Ia berkali-kali memeriksa layar ponselnya. Bagian layar yang paling ia incar ada di sudut kanan, sebuah gambar mungil yang melambangkan kekuatan sinyal. Saat itu, gambarnya hanya memuat satu garis sinyal. Bukan berita baik. Di sebelah gambar mungil itu, ada lagi gambar mungil lain yang membuat Lisa semakin cemas: sebuah gambar baterai dengan satu garis di dasarnya. Lagi-lagi bukan berita baik. Yang ditunggui Lisa sejak keberangkatannya hingga perhentian pertama di perempatan ini adalah pesan balasan dari Bu Zaitun, seorang dosen yang mengutus Lisa untuk berangkat ke Kabupaten Yang Dipancang Gunung-gunung.
Lisa tak sering bangun sebelum sebelum pukul 5, tapi pagi tadi, ia terjaga bersamaan dengan kumandang azan dari surau belakang kediamannya. Pagi itu, saat orang-orang muslim berbondong ke surau terdekat, Lisa sudah menggendong tas di punggung dan duduk manis di bangku halte.
“Ibu ada proyek,” kata Bu Zaitun pada Lisa pada dua hari yang lalu, “Seperti biasa, kamu ikut.”
Lisa tak menolak. Justru senang, karena itu artinya uang jajan tambahan.
“Maaf, Lisa. Ibu menyusul. Ibu ada urusan genting. Kamu berangkat sendiri besok pagi,” kata Bu Zaitun lewat telepon pada Jumat malam 7 November.
Itu artinya, Lisa harus berangkat menggunakan kendaraan umum. Padahal biasanya ia menumpang mobil pribadi Bu Zaitun setiap kali ikut proyek. Pastinya ia kecewa, tapi tak mungkin menolak karena pada malam itu juga, rekeningnya sudah terisi sejumlah uang—yang jika ditarik, dompetnya bisa langsung menggembung.
“Siap, Bu,” balas Lisa, “Tapi ke mana?”
“Ke Sebuah Vila Di Pegunungan. Letaknya di Kabupaten Yang Dipancang Gunung-gunung.”
Maka berangkatlah Lisa menggunakan bus antar-kota pagi-pagi sekali. Selama 5 jam perjalanan dihabiskannya dalam bus—seperenam waktu perjalanan itu dihabiskan dalam macet. Di sepanjang waktu itu ia habiskan dengan membaca, mengemil, tapi yang paling banyak dan rasanya paling ampuh untuk membunuh waktu, adalah tidur. Sayangnya, persiapan Lisa tidak begitu cukup: ia tidak membawa cukup bahan bacaan dan membawa terlalu sedikit kudapan untuk menjaga perutnya agar tak sedikit-sedikit berbunyi. Yang paling gawat adalah, karena suatu masalah pada baterai, ponselnya belum penuh terisi daya meski sudah disetrum sepanjang malam.
Baterai itu benar-benar menjadi masalah besar meskipun sepanjang perjalanan Lisa berhasil mengendalikan ketagihannya bermain ponsel sebaik mungkin. Kini, layar ponsel Lisa benar-benar gelap. Mati dan urung menyala lagi. Yang ia tunggui sejak tadi adalah pesan balasan dari Bu Zaitun mengenai identitas pelanggan yang akan ia temui di Sebuah Vila Di Pegunungan. Ia sudah mengirim pesan pada Bu Zaitun sejak semalam, tapi balasannya belum datang hingga siang ini.
Kebingungan menyergap, tapi perasaan konyol segera menutup kebingungan itu setelah beberapa belas detik yang penuh kepanikan. Lisa menepuk jidatnya, ingat akan selembar surat pengantar yang ia cetak dengan buru-buru semalam.
Tentu saja, pikirnya lagi, ia sudah mengerjakan proyek macam ini berkali-kali, bagaimana bisa lupa dengan standar prosedur semacam ini? Meskipun ini memang kali pertama Lisa berangkat sendiri. Terbukti ia cukup kerepotan. Ia harap Bu Zaitun benar-benar akan menyusul nanti. Ia tak mungkin bekerja sendiri, sebanyak apapun ia mengulangi proyek, ia hanya berperan sebagai tenaga pembantu selama ini.
Bu Zaitun sendiri adalah seorang dosen di fakultasnya dengan kehidupan sampingan sebagai juru taksir. Latar belakang bagaimana seorang dosen di kejuruan Hubungan Internasional itu bisa berkehidupan dengan barang-barang antik dan karya seni tidak diketahui di sini, tapi bagaimana seorang mahasiswinya bisa masuk ke dalam dunia yang sama, ada sejarahnya. Kira-kira 2 tahun yang lampau, Bu Zaitun membaca artikel Lisa yang termuat di sebuah koran lokal yang berisi ulasan tentang artifak-artifak bersejarah di museum lokal. Beberapa hari kemudian, Bu Zaitun mengajak Lisa bertamasya ke museum-museum sejarah dan berbagai macam pelelangan, lalu setelah beberapa kali obrolan panjang, Bu Zaitun menepuk pundak Lisa suatu hari dan berkata, “Kita punya mata yang sama.”
Lisa membuka sebuah kertas yang terlipat rapi dari tasnya. Oh, tololnya kau—baru membaca surat itu siang ini, sindirnya pada diri sendiri.
Yang terhormat, Bapak Bram,
Baris pertama yang tertulis di surat itu, diikuti dua baris panjang alamat di baris berikutnya.
“Bule?”
Lisa melipat surat itu kembali. Ia tak merasa perlu membaca baris-baris berikutnya yang ia yakini hanya sekumpulan kata-kata kaku yang tak jauh beda dengan surat-surat sebelumnya. Yang terpenting, sekarang ia lega tak perlu memeriksa satu persatu vila-vila yang ada di Pegunungan. Cukup mengajukan satu alamat pada warga sekitar dan semuanya bakal lancar, pikirnya. Lisa menyebrang jalan. Dihampirinya sebuah angkutan umum bercat putih dengan tulisan besar di kaca belakang: “PEGUNUNGAN.”
Lama perjalanan berikutnya kira-kira 2 jam. Jalan yang ditempuh terus menanjak dan berkelok. Di atas, langit yang tadi tertutup mendung kini warna abunya menjadi warna kapas. Itu kabut yang dingin dan basah, tebal dan menggeliat. Matahari saat itu terlihat seperti nyala lilin dari balik kertas lampion. Lisa menggigil, selain karena memang dingin, juga karena jalan yang ditempuh semakin meliuk dan ketinggian mereka semakin bertambah saja. Ia takut mobilnya oleng kalau-kalau jarak pandang sopir terganggu oleh kabut atau jalanan yang berliuk itu membuatnya lengah. Perjalanan ini untungnya berlangsung tanpa sedikitpun masalah. Akhirnya, setelah dijumpainya hamparan kebun-kebun teh di kiri dan kanan jalan, segeralah Lisa sadar ia sudah semakin dekat.
“Yang manakah Sebuah Vila Di Pegunungan?”
Sopir angkutan mengangkat bahu. Sikapnya dingin seperti hawa pegunungan. “Kayaknya di situ, tapi aku gak yakin..”
“Saya turun di situ kalau begitu.”
Angkutan itu menepi di depan sebuah jalan berbatu yang mengarah ke sebuah pemukiman. Kiri dan jalan itu dihampari oleh tanaman teh, hijau dan padat seperti karpet raksasa yang digelar hingga sejauh dan seluas bukit-bukit di ujung sana. Jauh dari jalan utama, tampak sejumlah bangunan. Beberapa di antaranya terlihat sangat mewah—besar kemungkinan semacam vila—dan terpisah dari rumah-rumah lain yang lebih kecil dan sederhana.
Lisa tak membuang waktu. Ditanyainya seorang pemetik pucuk teh pertama yang ia jumpai setelah permisi seadanya. “Yang manakah vila Bapak Bram?”
Pemetik pucuk teh itu mengarahkan telunjuknya ke sebuah bangunan beratap coklat di kejauhan. Bangunan itu jauh dari bangunan lain. Ukurannya tak sebesar bangunan mewah lainnya, tapi lebih besar dari rumah-rumah kebanyakan yang berjejer di pemukiman sebelahnya.
Lisa mengangguk, mengucapkan terima kasih dengan ucapan dan gerak-gerik tubuhnya. Si pemetik sudah berbalik dari tadi, tak mengacuhkannya.
Lisa berjalan semakin ke dalam. Sesekali ia melompat, dari satu batu ke batu lain, selain untuk mengusir kejenuhan, ia melakukannya agar tetap hangat. Setelah beberapa ratus meter, ia mulai terengah, membuat kepalanya seperti sepoci air yang nyaris mendidih di atas kompor. Uap air mengepul-ngepul dari mulutnya. Beruntung, tak lama ia menjumpai tumpangan yang searah. Ia melambai-lambaikan tangannya ke jalan. Sebuah pedati yang ditarik dua ekor sapi Brahman mengurangi kecepatan di depannya. Seorang dari dua penumpang mempersilahkannya naik, seakan sudah tahu arah tujuan Lisa. Penumpang yang satu duduk di pojok kursi, menutupi wajahnya dengan kain lusuh. Sementara kusir di depan lebih peduli pada cambuknya yang segera ia lecut ke bokong sapi. Kedua ekor sapi segera bergerak, menarik pedati yang segera bergoyang-goyang ke kiri dan kanan, sesekali melonjak ketika rodanya menghantam bungkilan batu. Lisa hendak membuka percakapan dalam keadaan bergoyang yang membuat dirinya mual itu. Sayangnya, sedingin hawa di Pegunungan, sedingin itu pula sikap penumpang lain. Lisa berhenti berbasa-basi. Ia meregangkan tubuhnya agar darah dalam tubuhnya mengalir lebih leluasa, menghilangkan pegal dan melindunginya dari dingin, tapi sayang ia masih menggigil. Belakangan dia sadar, kekakuan orang-orang di dekatnya turut membuatnya merinding. Seperti berkumpul dengan hantu-hantu, bayangnya, dan ia berharap pedati ini segera berhenti, tentunya bukan di depan pekuburan.
Dan setibanya ia di muka sebuah jalan menanjak ke arah bangunan Vila Di Pegunungan, Lisa disambut Kris yang lebih dingin—beku barangkali lebih tepat. Lelaki berambut ikal itu hanya melirik surat pengantar yang diserahkan Lisa lalu berbalik menuju vila dengan sekedar ucapan malas, “Tuan sudah menunggu.”
Di depan pintu vila, tak ada sedikitpun lagak mempersilahkan masuk dari lelaki bermata sayu itu.
03.20 p.m. (Pukul 15.20)LISAKeramahannya tak akan berarti apapun bagi Kris. Kini Lisa lebih memilih untuk menikmati dirinya sendiri. Langkahnya jadi diperlambat, sambil disebar pandangannya ke kiri dan ke kanan. Disusuri oleh pandangannya itu hamparan tembok kayu yang penuh dengan lukisan-lukisan yang bergantung berjejer. Lukisan yang bagus, tapi tak cukup unik untuk membuat Lisa mematung dan menggeser-geser bingkai kacamata di pangkal hidungnya—sebuah kebiasaan yang selalu muncul saat ia asik mengamati sesuatu yang menurutnya tidak biasa. Ada lukisan pemandangan, tampaknya lingkungan sekitar desa, tapi ada juga pemandangan-pemandangan dengan kincir angin raksasa, padang-padang tulip dan lautan penuh kapal layar yang setahunya tidak ada di negeri ini. Ada lukisan makhluk hidup: beberapa serangga dan hewan-hewan tunggangan semacam kuda poni dan gajah India, tapi makhluk hidup yang paling banyak di gambar adalah manusia, lebih tepatnya perempuan. Bukan paling banyak, tetapi semuanya.
03.23 p.m. (Pukul 15.23)KRISPemuda itu mengayun langkahnya lebih cepat. Ia ingin segera menjauhi tamunya, seorang kurator benda-benda seni dan antik—lebih tepatnya, asisten. Ia tak menyukai kehadiran gadis itu. Kehadiran gadis itu di sini berarti bahwa majikannya benar-benar berniat akan menghapus sebagian besar kenangan di vila ini. Bahkan, mungkin seluruhnya. Kris marah pada gadis itu. Marah pada majikannya. Marah pada dirinya sendiri, yang tak mampu berbuat apa-apa meski ia telah melayani keluarga ini sejak belia. Kris ingin memaki dirinya sendiri, tapi itu sudah ia lakukan setiap hari sejak suatu hari beberapa tahun yang lalu. Memaki dirinya lagi hari ini tak akan memberi perbedaan berarti. Ia ingin menggugat majikannya, tapi ketika ia melihat tatapan sendu majikannya itu, ia lebih ingin untuk memaki diri sendiri lagi. Jadi, ketika siang itu si gadis asisten muncul di muka gerbang Vila Di Pegunungan, ia merasa telah menemukan pelampiasan kekesalannya.Kris memang tak memaki ga
03.51 p.m. (Pukul 15.51)LISAKris menggeser mundur kursi di ujung meja makan berbentuk persegi panjang. Kemudian dua lagi di ujung lain untuk Tuan Bram dan gadis berbalut klederdracht.“Silahkan, “ sahut Tuan Bram.Lisa canggung, sebab gadis berbusana klederdracht itu terus memandanginya. Tuan Bram juga langsung duduk tanpa perkenalan paling sederhana sekalipun. Gadis berbusana klederdracht sudah duduk manis, matanya masih mengawas ke wajah Lisa. Sementara Kris masih tetap bermuka datar dan bersikap dingin, berdiri dengan sebelah tangan menyiku di depan perut. Udara rasanya beku, tapi dinginnya tak begitu menyengat dibandingkan dengan sikap dingin orang-orang dalam ruang makan itu. Hanya Tuan Bram yang sedikit-sedikit tersenyum, tapi lama kelamaan Lisa justru semakin merasa gelisah. “Ini Anne.” Kata Tuan Bram. Akhirnya.“Anak Anda?” Sambung Lisa, sudut bibirnya berkedut. Sungkan. “Sepertinya pernah lihat...”“Jangan ganggu aku!” Potong gadis bernama Anne. Matanya menyalang tajam, s
03.38 p.m. (Pukul 15.38)ANNEAnne duduk mematung, menghadap cermin besar yang menegak di atas meja riasnya. Cermin persegi panjang itu memantulkan parasnya yang ayu tapi dingin. Bayangan yang terbentuk di permukaan cermin itu adalah sepotong wajah bentuk hati dengan dagu runcing; rambutnya kecoklatan, bergelombang hingga punggung atas; bibirnya merah hati, sedikit pucat dan pecah; pipinya kenyal, putih kemerahan; batang hidungnya ramping dengan tulang rawan yang tegas; sepasang matanya besar dengan bulu mata dan alis yang tipis; warna mata itu coklat cerah, tapi sama sekali tanpa binar. Kosong. Tatapan kosong yang sama itu memandangi pantulan dirinya sendiri di permukaan cermin semenjak siang tadi. Tak ada yang tahu pasti apakah ia mengedipkan matanya selama itu. Ia bahkan tak bergerak sama sekali kecuali rambutnya yang sesekali melambai terkena semilir yang masuk lewat jendela kamarnya yang terbuka lebar dan hanya dihalangi kerai tipis warna putih. Tapi, yang paling aneh adalah gadi
04.11 p.m. (pukul 16.11) LISA “Maaf,” kata Lisa. Terkesan sekenanya, tapi kebanyakan orang juga bakal begitu. Canggung. Tuan Bram masih menyuguhkan senyum. Anne, gadis kekanakan itu, di luar dugaan tak menunjukkan gejala tersinggung sama sekali, kecuali jika berhenti mengadu kakinya sendiri dengan kaki meja masuk dalam hitungan. Sunyi hampir menguasai ruang itu, tapi pintu lain di ruang itu terbuka dengan sedikit kasar, membuat bunyi nyaring yang memecah sunyi. Lisa segera menoleh. Seorang pembantu perempuan memasuki ruangan dengan mendorong meja sajian. Ada tiga mangkuk sup kentang di atas meja dorong itu. Uapnya mengepul. Rambutnya disanggul rapi, ikatannya terjaga oleh sebuah penjepit rambut besar mirip kupu-kupu. Senyumnya tipis, dibentuk oleh bibir bergincu merah. Dagunya agak naik dan dadanya agak mencondong ke depan. Punggungnya terlihat cekung seperti sedang didorong ke depan oleh sesuatu—mungkin karena lilitan korset. Caranya berjalan mantap, suara ketukan sepatunya deng
03.00 p.m. (pukul 15.00) KATEMI Lewat jendela di lantai dua, Katemi melihat Kris membawa masuk seorang tamu perempuan ke dalam Vila Di Pegunungan. Katemi bergegas ke dapur, tentu saja tetap dengan langkahnya yang anggun dan mengetuk lantai dalam suatu irama yang teratur. Meski ia sehari-hari bekerja di dapur, menghadapi jelaga dan berbagai bau-bauan, ia harus tetap tampak terlihat anggun, demikian anggapannya. Satu-satunya hal yang disesalkannya karena mengganggu keanggunan penampilannya adalah selembar celemek yang sudah kusam—lupa ia cuci. Ia harus memakai celemek itu karena tak ada cadangan lain kecuali yang lebih kotor atau sudah rombeng dan ia tak mau dibilang jorok oleh siapapun di rumah itu karena mengerjakan urusan dapur tanpa celemek melapisi pakaiannya. Ia memulai masakannya dengan merebus air setengah panci besar. Sambil menunggu air mendidih, ia memotong kentang yang sudah dikupasnya tadi pagi. Ia memotong dengan cepat, sebagaimana yang ia lakukan selama ini, sebab air l
05.29 p.m. (pukul 17.29) LISA Lisa sedang mengeringkan rambut di balkon kamarnya di lantai dua. Awalnya ia tak berniat mandi mengingat betapa dinginnya udara di Pegunungan, apalagi airnya, tapi Tuan Bram bersikeras menyediakan air panas untuknya mandi. Jadi ia mengangguk, meski ia lihat Katemi tampaknya tak begitu suka direpotkan untuk mendidihkan sepanci besar air. Lisa tadinya juga ingin merebus air mandinya sendiri, tapi pembantu itu (tentu dengan senyuman yang dipaksakan) menahannya untuk menunggu di kamar. Akan tetapi, ternyata mandi sama sekali bukan pilihan yang buruk. Setelah mandi, tubuhnya terasa segar kembali. Pikirannya juga kembali luwes, seakan kecanggungan berkepanjangan di ruang makan tadi tidak pernah terjadi. Aroma sabun juga berhasil menghilangkan rasa lelahnya. Namun masih ada satu hal yang belum bisa diatasinya: udara dingin. Meskipun telah melapisi dirinya dengan mantel dan merangkapnya lagi dengan selimut tebal, ia tetap menggigil. Rasa-rasanya ia ingin menya
04.40 p.m. (pukul 16.40) ANNE Gadis bergaun klederdracht itu menanti-nanti saat pembantunya yang perempuan enyah dari ruang makan. Maka saat ayahnya meminta pembantu itu untuk mengantar si gadis asisten ke sebuah kamar tertentu di lantai dua, Anne tak bisa menahan senyumnya. “Bagaimana aku hari ini, Papa?” “Cantik.” “Cuma cantik?” “Seperti malaikat.” “Malaikat yang mana?” “Papa cuma pernah lihat satu malaikat.” Gadis itu girang. Lalu mendadak diam. “Papa masih kangen Mama?” Ayahnya tersenyum, lalu mengelus kepalanya dengan lembut. “Setiap Papa melihatmu, Papa pasti jadi ingat Mama.” “Jangan sedih, Papa. Sebentar lagi aku akan jadi Mama.” Ayahnya mengernyitkan dahi. “Yah, kamu akan semakin mirip Mama.” Gadis itu belum puas. Ia yakin bahwa ayahnya masih juga belum mengerti perkataannya. “Aku akan jadi Mama.” Ayahnya tersenyum ganjil. “Baiklah. Terserahmu saja. Jamuan ini sekaligus makan malam kita. Kembalilah ke kamarmu, Anne. Sampai besok.” Gadis itu kesal. Anne mengge
Minggu 9 November 2014 03.23 p.m. (pukul 15.23) LISA “Hantu?” Lisa bertanya. Pak Karman tidak menjawab. Dia menggeleng. “Pak Dokter,” Bu Zaitun, entah sejak kapan, sudah berdiri di belakang Pak Karman. “Tolong sampaikan seluruh ceritanya.” Pak Karman masih diam. Lisa semakin bingung. “Ada apa ini?” “Nak, orang yang melihat hantu bernama Bram ini bukan cuma kamu,” kata Bu Zaitun.
Sabtu, 8 November 2014 11.47 a.m. (pukul 11.47) LISA Lisa sudah menunggu belasan menit di sebuah perempatan padat kendaraan yang baru pertama kali dikunjunginya. Jangankan tempat itu, menginjak wilayah Kabupaten Bandung pun adalah yang pertama kali. Ia berkali-kali melirik layar ponsel yang sudah nyaris habis dayanya, menunggu balasan pesan dari Bu Zaitun yang seharusnya sudah sampai beberapa jam yang lalu saat ia masih dalam perjalanan. Saat kakinya mulai terasa pegal, Lisa menemukan sosok Bu Zaitun di antara keramaian sedang menempelkan ponsel ke telinga. “Bu!” Teriak Lisa sambil setengah berlari ke arah yang dipanggil. “Astaga!” Kata Bu Zaitun, “Sulit sekali kamu dihubungi!” “Lah? Saya selalu pegang ponsel, tapi tidak ada panggilan yang masuk.” Lisa melirik ponselnya. Dari layar itu, ia akhirnya tahu kalau ia tidak dapat sinyal. “Untun
Minggu, 9 November 2014 03.13 p.m. (pukul 15.13) LISA Kelopak matanya seperti dibuka dengan paksa, membuat cahaya lampu langsung menyorot ke bola matanya. Lisa terpejam dan dengan segera nyeri di bola-bola matanya menjalar ke seluruh tempurung kepala, lalu berdenyut di satu titik di pelipisnya. Ia meraba titik itu dan mendapati tumpukan perban di sana. Tubuhnya kuyup oleh keringat seakan telah lama mendekam dalam sauna. Ia tidak kepanasan. Ia justru kedinginan. “Di mana?” Bisiknya pada diri sendiri. Lisa menyebar pandangannya. Hal pertama yang ia cari adalah kacamatanya. Ia meraba ke atas meja berlaci di ranjang dan menemukan benda yang dicarinya. Lisa mengedarkan pandangannya lagi, kali ini dengan penglihatan yang lebih jelas. Ia tahu ruangan ini, tapi entahlah. Ingatannya seperti uap air yang mengepul, terus mendesak tapi tak bisa dipegang wujud pastinya. “Lisa!!” Seorang per
Sabtu, 8 November, suatu tahun05.33 a.m. (pukul 05.33)KATEMIKatemi mengintip dari balik pintu, berhati-hati kalau-kalau Kris sudah terjaga. Setelah yakin kalau pemuda itu lelap, ia beringsut ke tepi ranjang. Dipandanginya wajah pemuda itu dengan seksama. Ia tersenyum. Lalu berbisik.“Dosaku padamu terlalu besar. Aku akan jadi bahan bakar neraka. Tapi sebelum itu, bolehkah aku minta satu hal darimu?”Kris mendengkur.“Panggil aku’Ibu’,” bisik Katemi lagi, “Sekali saja...”Kris memalingkan tubuhnya. Mendengkur lagi.Katemi tersenyum. Ia beranjak dengan wajah menggeleng pelan. Itu pertama dan terakhir kali ia mengatakan sesuatu seperti itu. Anaknya sudah penuh luka. Satu-satunya yang membuat pemuda itu bertahan hidup adalah ketidaktahuan.Bukanka
00.00 a.m. (pukul 24.00) ???? Aku adalah tanah ini. Aku adalah bangunan ini. Aku adalah atap dan lantainya. Aku adalah tembok dan jendela serta pintunya. Aku adalah setiap ruang dan sudutnya. Aku adalah setiap sorot lampu dan bayangannya. Aku adalah Vila di Pegunungan. Meski sebenarnya, tak tepat juga memanggilku begitu.Mulanya, aku hanyalah tanah lapang di sebuah bukit. Kiri dan kananku terhampar kebun teh nan luas. Di belakangku, jalan menaik ke puncak bukit. Di depanku, tanah landai yang seringkali dilewati manusia. Dahulu sekelilingku hanya pepohonan dan batu-batu. Tepatnya kapan mereka berubah, aku sudah lupa. Pastinya, perubahan ini adalah karena campur tangan manusia. Mulanya, aku hanyalah tanah lapang di sebuah bukit. Lalu, suatu hari, sepasang manusia berkulit pucat datang kepadaku. Si perempuan begitu elok, anggun dan menyenangkan. Si lelaki, meski juga elok dan gagah, memiliki raut muka yang membosankan. Jangan tanya aku tahu dari mana, aku hanya tahu. Kedua manusia it
10.43 p.m. (pukul 22.43) BRAM Bram terjaga dengan mata terbelalak. Matanya sakit karena langung menatap cahaya lampu. Ia terjaga sedemikian rupa akibat mimpinya. Dalam mimpi itu, ia seperti mengulang kembali bertahun-tahun pengalamannya. Sangat jelas mimpi itu, dan amat rinci; sampai-sampai dadanya berdebar karena ngeri. Bahkan, kancutnya juga sampai basah karena adegan percintaan dalam mimpinya terasa nyata. Terdengar suara gaduh dari lantai dua. Lantai vila yang tersusun dari kayu-kayu saling menyambung sehingga derit-deritnya dapat mengalir begitu saja ke langit-langit ruang santai. Ia menduga itu suara tikus awalnya, tapi segera berubah pikiran karena tentu saja tak mungkin tikus-tikus membuat kegaduhan semacam itu kecuali mereka sebesar babi hutan dan sedang bergulat di atas sana. Sesaat kemudian, suara gaduh lain terdengar dari arah ruang makan. Suaranya tidak lebih berisik dari kegaduhan di lantai dua
08.20 p.m. (pukul 20.20)BRAMTamunya itu telah beranjak dan ia kehilangan kesempatannya untuk mengaku. Mereka sudah di ruang santai itu cukup lama, tapi yang bisa ia lakukan hanya mengulur waktu, berharap keberaniannya muncul atau gadis itu secara ajaib bisa membaca gambaran dalam kepalanya. Bahkan, saat isi pembicaraan mereka akhirnya mulai cair, lidahnya masih beku. Ah, tapi cerita itu memang seharusnya tak disampaikan pada siapapun, katanya menenangkan diri sendiri. Ada pesona yang tak bisa ditolaknya dari mata gadis itu, mengundangnya untuk melimpahkan semua kegelisahannya. Kegelisahan yang telah ia simpan bertahun-tahun lalu. Kegelisahan yang, sekali lagi, sebaiknya tak ada yang tahu. Itu adalah cerita tentang masa lalunya. Ia adalah anak kedua dari dua bersaudara dalam sebuah keluarga besar nan kaya raya. Ayahnya telah meninggal belasan tahun lalu, meninggalkan harta dalam bilangan besar sekali. Ibunya yang telah menjanda akhirnya menikahi lelaki lain: seorang pengusaha kelas
10.48 p.m. (pukul 22.48)LISASungguh pemandangan yang mengerikan. Dua orang dengan kejiwaan yang sama sekali ganjil menatap satu sama lain. Dua orang sinting itu, bagaimanapun, salah satunya telah menyelamatkan Lisa dari maut. Setidaknya, untuk saat ini. Tak ada yang bisa diperkirakan dari keadaan ini. Ini tidak seperti sabung ayam yang pemenangnya bisa dikira-kira lewat runcing taji dan besar tubuh—bahkan ada panduan primbon untuk itu—tapi di sini, Lisa tak tahu manakah yang lebih sinting di antara Katemi dan Anne. Dan di sini, yang dipertaruhkan adalah nyawanya sendiri. Ah, atau seharusnya ia berusaha menghentikan kedua orang itu alih-alih memperkirakan siapa yang bakal dicabik atau mencabik.Anne. Gadis itu terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Sesekali ia melompat di tempat, menghentakkan kakinya yang telanjang ke hamparan lantai kayu. Katemi, di lain sisi, terduduk sambil sesenggukan, tapi
10.35 p.m. (pukul 22.35)KRISKris mengucapkan seluruh mantranya. Lalu listrik tiba-tiba padam.Ia menunggu. Di kejauhan, anjing gunung melolong, barangkali sedang memergoki rombongan hantu yang berangkat mencari korban. Tak ada angin. Tak ada sedikit pun cahaya. Tak ada gerakan atau pertanda apapun kalau pemanggilannya berhasil.Lagi-lagi gagal, katanya pada diri sendiri, mungkin surga memang tempat yang berkali-kali lebih nyaman dari dunia. Arwah Nyonya Maria tak akan turun lagi ke bumi. Mulut Kris berdecak.Tak akan ada apapun yang akan terjadi. Ia melepaskan telunjuknya dari cincin, dan bersamaan dengan itu, listrik kembali pulih. Ia tak punya firasat apapun. Perasaannya tetap sama, sendu dan tak bergairah. Ia segera mengemasi papan peninggalan Nyonya Maria ke dalam peti kayu. Pada saat ia selesai, sebuah teriakan terdengar tepat dari dua lantai di atas kepalanya. Itu bukan suara Anne, bukan pu