Part 23 (Sebuah Kejujuran)**** POV Zeen."Atarik, Ana mau es krim," ucap Nana kala itu. Ia menunjuk salah satu penjual es krim yang ada di ujung jalan. Jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku sangat merindukan saat-saat bersamanya. Terlalu banyak kenangan indah yang sulit kulupakan. Nana sudah seperti kafein, pahit tapi berujung candu. Apa yang perempuan itu lalukan, menjadi hal yang tak ingin kulewatkan. Ia seperti hujan, dingin namun mampu membuatku nyaman. Ia bagai parfum, wangi dan memabukkan. Hanya Nana yang ingin kugenggam, ingin kumiliki jiwa dan raganya seutuhnya."Nanti gigi Ana sakit, kemarin kan Ana sudah makan es krim.""Nggak papa Atarik, gigi Ana kuat. Ana boleh ya makan es krim?""Besok lagi, sekarang libur dulu." Aku memakaikan Ana topi. Ia terlihat lucu dan menggemaskan dengan rambutnya yang di kuncir dua. "Ana maunya sekarang, Atarik jangan marah. Kalau Atarik marah Ana jadi sedih. Ana kan gak punya siapa-siapa lagi selain Atarik." Nana menunduk sedih, matan
Part 23 (Sebuah Kejujuran II)****Tak butuh waktu lama kami tiba di kantor. Bergegas aku turun dari mobil. "Ayo Zeen, jangan lama-lama ya," tutur Nana. "Tidak akan lama, aku hanya ingin ambil berkas penting untuk rapat besok."Aku menggandeng tangan Nana, kami berjalan memasuki kantor. Setibanya di lift, kami berdua melangkah masuk. Kutekan tombol yang membawaku menuju lantai paling atas. Kurasakan bilik sempit ini bergerak cukup lambat. "Apa rencanamu kedepannya?""Membuka toko kue, dan melanjutkan hidupku.""Kau tak ingin kembali pada Reza?""Kau jangan gila Zeen, aku sudah melupakannya." Ting!Suara dentingan lift mengakhiri percakapan kami. Setelah lift terbuka secara otomatis aku dan Nana melangkah keluar, berjalan menuju ruanganku. ****"Duduk lah, dan tunggu aku," ucapku pada Nana. Aku menghampiri mejaku, mencari berkas penting yang kemarin tertinggal."Kau cari apa Zeen?""Berkas Na,""Memangnya kau taruh di mana?" Aku menatapnya sekilas, lalu menggelengkan kepala. "A
Part 24 (Selingkuh, Teriak Selingkuh?) ****Sesaat hening. Baik aku atau pun Nana belum ada yang melontarkan kalimat. Mulut kami masih terkunci rapat. Kami berdua saling membisu dalam diam. Tangannya masih melingkar di perutku. Bisa kurasakan embusan napasnya menerpa punggungku. Hangat, dan memabukkan. Aku menengadah ke atas, menatap langit-langit ruangan. Menahan kesedihan ini agar tak tumpah ruah. Nampaknya Nana masih bergelut dengan pikirannya sendiri, atau mungkin, ia tidak mencoba mempercayaiku.Aku ada di sini, Na. Pria yang kau peluk dari belakang ini aku, Atarik. Apa lagi yang kau ragukan?Apa karena wajah ini tak lagi sama? Aku bermonolog dalam hati. Bertanya-tanya perihal alasan yang membuat Nana ragu. "Zeen ..." Setelah lama tergeming Nana akhirnya memanggil namaku. Suara parau itu memecahkan kesunyian yang menyelimuti kami berdua. Seketika perasaan canggung itu hilang. Punggungku tak terasa sudah basah karenanya. Karena air mata itu bercucuran membasahi pipinya. "Kau
Part 24 (Selingkuh Teriak, Selingkuh II)****Satu jam berlalu, aku dan Nana akhirnya tiba di rumah. Kami memutuskan pulang setelah menerima pesan dari Papa. "Aku masuk dulu Zeen, nanti Mama curiga," ucap Nana sembari membenarkan rambutnya. Ia mengedarkan pandangan, melihat mobil Papa yang sudah terparkir di halaman depan. "Nanti malam jangan kunci kamarmu.""Kau mau apa?""Pacaran denganmu."Nana seketika mendelikkan matanya. Mulutnya langsung komat-kamit tak karuan. Padahal aku hanya bercanda. "Zeen apa kau sudah gila. Aku ini masih istri adikmu. Lagi pula kau belum menembakku.""Aku akan menembakmu nanti malam. Minggu depan kalian sudah resmi bercerai.""Terserah kau, lebih baik kau benarkan dulu otakmu." Nana turun dari mobil, ia menghentakkan kakinya sebelum masuk rumah.Aku bersandar pada kemudi. Senyum mengembang terus terukir di bibirku. Tring!Ponselku tiba-tiba bergetar, bergegas aku merogohnya dari balik kantong celana. Mengeluarkan benda pipih itu dari sana. Saat kup
Part 25 (Menjilat Ludah Sendiri) **** Pov Author.Sore itu usai mendapatkan surat dari pengadilan agama, Reza mendatangi rumah Mamanya. Jantungnya seperti dihimpit batu, di tengah masalah pelik yang sedang ia alami. Nana justru dengan mantap menceraikannya. Tidak Reza temukan keraguan terpancar di matanya. Nana, istrinya itu sudah banyak berubah. Ia bukan lagi Nana yang menghujaninya dengan perhatian, melainkan dengan polemik yang tak ada ujungnya. Apa salahku padamu? Apa karena aku menikahi sahabatmu kamu jadi begini? Batin Reza dalam hati. Dibeberapa kesempatan Nana dan Zeen semakin dekat. Mungkin itu salah satu alasan mengapa Nana menceraikannya. Bukti lainnya bisa dilihat dari unggahan Mamanya di jejaring media sosial milik wanita itu. Hatinya sakit saat bayang-bayang itu menari di benaknya. Apalagi saat Abangnya dengan mesra memanggil Nana dengan embel-embel sayang. Masih teringat di benakku, saat Nana menyuapi Bang Zeen makan? Dan saat Abangku itu menenangkan Nana yang ten
Part 25 (Menjilat Ludah Sendiri II) ***"Sayang, selama kamu di kantor polisi, banyak orang yang cariin kamu," ujarnya. Salma tercengang dengan menautkan kedua alisnya."Maksudnya?""Kamu itu dicariin orang, mulai dari penagih utang, pemilik butik, pokoknya banyak. Aku sampai pusing.""Sialan!""Tapi benar, kamu punya hutang sama mereka?""Tuh taksi yang kamu pesan udah sampai." Salma mengubah topik pembicaraan, ia menunjuk taksi yang berhenti tepat di samping mereka. Dengan lesu Reza melangkah masuk, kalau benar Salma sedang tersandung kasus. Lalu bagaimana dengan nasibku? Pasti perempuan yang kemarin itu akan datang lagi ke rumah. Ya Tuhan, kupikir memiliki dua istri itu menyenangkan. Tapi nyatanya, sama saja. ****Senja kini sudah berganti malam, dan Reza masih berusaha membujuk Salma untuk masak makan malam. Pasalnya sedari tadi perutnya sudah keroncongan. "Coba deh kamu masak sana, kamu kan bisa tonton melalui you tube," ucap Reza. Sudah ketiga kalinya ia mengatakan hal i
Part 26(Memori Card?)****Hari ini Reza dan Nana tampak kompak menghadiri sidang perceraian. Keduanya kini duduk di kursi persidangan. Nana menghela napas panjang, ia lalu menyatukan kedua tangannya. Setelah 1 Minggu berlalu. Kini hubungannya dan Reza akan segera berakhir. Beberapa kali netra tajam milik Reza beradu tatapan dengan Nana, ia melirik Nana sekilas sebelum kembali menundukkan kepala. Baru Reza sadari, Nana makin ke sini makin kelihatan cantik. Wajahnya mulus tanpa ditumbuhi satu pun jerawat, tidak seperti wajahnya yang kusam dan kering. Terdengar suara ketukan palu dari hakim, pertanda bahwa sidang akan segera di mulai. Dengan dada berdebar-debar. Nana mendongakkan kepala. Zeen tidak ikut menemaninya, pria itu ada urusan penting yang tak bisa di tinggalkan."Kepada penggugat, benarkah Anda ingin bercerai?" tanya hakim pada Nana. Nana tampak menghirup napas dalam-dalam, diembuskan pelan, ia ulangi sampai batu yang menghimpit dadanya hilang. "Benar, saya ingin bercerai
Part 26 (Memori Card II)***Di sisi lain Zeen bersandar di jok kemudi, ia menggulir layar ponselnya. Mencari informasi mengenai masa Iddah perempuan setelah bercerai."3 bulan?"Zeen membulatkan mata, ia mendengkus kasar. "Apa tidak bisa di korting?" Monolog Zeen. Ia lalu berpindah mengirim pesan pada Nana. [Bagaimana sidang hari ini Banana?] Begitu lah pesan yang Zeen kirim, tidak lama kemudian ia mendapatkan pesan balasan.[Berjalan lancar.] Balas Nana. [Zeen hari ini aku dan Mama mau jalan-jalan ke mall. Kamu titip suatu?] Pesan susulan masuk ke ponselnya. Zeen mengerutkan kening. [Tidak, cukup jaga hatimu untukku.] [Mulai.][Aku serius sayang, masa Iddah apa tidak bisa dikorting. 3 bulan itu lama, bagaimana jika 3 minggu?] [Tidak bisa, Zeen.] Balasan dari Nana membuat Zeen cemberut.[Baiklah, aku akan menunggu sampai masa iddahmu selesai.] [Kau manis sekali, semoga kau cepat disatukan dengan perempuan masa lalumu.] [Perempuan itu kau bodoh.] [Memangnya apa yang ingin kau
Part 64 (Sempurnanya Bahagiamu) ****Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, kini usia kandungan Nana sudah memasuki sembilan bulan. Kata Dokter, seminggu lagi perempuan itu diperkirakan akan melahirkan. Segala keperluan sudah Zeen persiapkan, Zeen juga meminta pada Mamanya untuk menemani Nana saat ia tak ada di rumah. Wanita paruh baya itu sudah sejak semalam tinggal di sana. Sementara sang suami, sesekali datang berkunjung di sela kesibukannya bekerja, dan menemani sang putra yang masih berada di rumah sakit. Reza masih berjuang melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya. "Ya ampun, Na. Mau ke mana?" Mama Reni tampak terkejut saat mendapati sang menantu berjalan tertatih keluar dari kamar. Buru-buru ia menghampiri Nana, dan memapah menantunya agar tak jatuh. "Mama lagi apa?" tanya Nana. Mereka berdua berjalan menuju sofa yang ada di ruang tengah. Mama Reni membawa Nana ke sana."Mama lagi bersih-bersih terus lihat kamu, kamu kenapa keluar dari kamar sayang?" Dengan penuh kelembu
Part 63 (Gendutan Yak?)****"Iya, yang itu—ah tidak, jangan yang itu. Yang sampingnya Mang. Sudahlah Mang, lebih baik Mang Kasep turun, biarkan saya sendiri yang manjat." Zeen berujar pada Mang Kasep yang kini berada di atas pohon. Nana yang melihat hal itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Dirinya yang hamil, justru sang suami yang mengidam, morning sickness dan segala macamnya. Sejak kedatangan Ibunya ke rumahnya beberapa hari yang lalu, Nana mulai kembali pada aktivitasnya. Beban yang bersarang pada pundaknya perlahan berangsur hilang. Ia mulai menikmati hidupnya. Toh sekarang hidupnya sudah lengkap dengan keberadaan Zeen dan tentunya dengan kehadiran sang buah hati yang masih mereka nantikan."Tapi Tuan," keluh Mang Kasep. Lelaki itu menunduk, menatap Tuannya."Saya bilang turun, Mang. Biarkan saya sendiri yang ambil." Sambil mendengkus Zeen menjawab perkataan Mang Kasep. Tanpa menunggu perintah dua kali, Mang Kasep segera turun. "Biarkan Mang, Ibu hamil satu ini memang aktif," c
Part 62 (Damai)****Matahari semakin turun ke perut bumi. Gelap mengiringi, dan angin malam mulai berhembus pelan memasuki ruangan bernuansa putih itu. Reza merasakan hawa di sekitarnya mulai dingin. Ia merapatkan selimut, mengigit ujung bibir menahan nyeri dalam hati. Entah perasaan apa ini? Hanya rasa sesak yang menguasai hatinya. Ia telah terbelenggu oleh rasa bersalah yang ternyata semakin hari, semakin menjadi-jadi. Rasa yang tak mungkin bisa lagi ia ulang. Untuk ikhlas pun rasanya berat. Huft. Tarikan napas berat Reza ambil."Reza ..."Mendengar namanya dipanggil, lelaki berambut hitam itu segera menyudahi lamunan, ditatap kembali wajah sendu Mamanya dari balik layar ponselnya. Dirinya merasa menjadi orang paling bodoh di dunia ini. Ia telah membuang berlian, dan menukarnya dengan bongkahan batu. Dan parahnya, berlian yang ia buang itu telah dipungut oleh orang yang tepat. "Kamu kenapa? Are you okey?""Nana hamil Ma?" tanya Reza. Ia mati-matian menahan gelombang yang menghimpi
Part 61 (Baby Twins?)****"Nana, bagaimana kabarmu? Kamu nyaman kan tinggal bersama Zeen? Apa Zeen memperlakukanmu dengan baik?" tanya Mama Reni melalui sambungan telepon. Wanita itu sungguh merindukan menantunya. Setelah Zeen memboyong Nana pergi rumahnya tampak sepi. "Kabarku baik Ma, hanya saja ada sedikit masalah. Zeen memperlakukanku dengan baik. Bagaimana kabar Mama?" jawab Nana pelan. Ia berlari berbirit-birit ke kamar mandi saat mendengar suara rintihan. Dengan kasar Nana membuka pintu, dan langsung menemukan Zeen yang membungkuk di wastafel."C'k, menyusahkan. Sudah berapa kali kukatakan, kau ini butuh ke Dokter. Jangan nakal bisa tidak, seharian ini kau terus saja memuntahkan isi perutku, membuatku repot mengurusmu," cerocos Nana. Ia menaruh benda pipih itu di dekat telinga dan menghimpitnya dengan pundak. Lalu dengan sedikit kasar ia mulai memijat tengkuk Zeen. Nana benar-benar dibuat geram. Pasalnya seharian ini Zeen terus saja muntah-muntah. Bahkan pria itu berkali-kal
Part 60 (Ck, Rujak?) **** Sinar mentari pagi menerobos masuk melalui celah jendela. Cahaya keemasan itu tak terasa menerpa wajah Nana, seketika ia menggeliat. Ia meraba sisi kanan yang ternyata sudah kosong. Di mana Zeen? tanya Nana dalam hati. Nana melenguh pelan, ia mulai membuka mata, dan mengedarkan pandangannya pada kamar bernuansa hitam ini. Ia mencari keberadaan suaminya. Membuat benaknya bertanya-tanya. Tidak biasanya Zeen pergi kerja tanpa pamitan padanya. Terlebih ia meninggal Nana yang masih ingin bermanja-manja dengannya. "Zeen," panggil Nana setengah berteriak. Ia masih bergulat dalam selimut. Melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 7 pagi. Dengan malas Nana bangun, ia bersandar pada kepala ranjang sambil mengucek matanya. Semalam setelah pulang dari rumah sakit, mereka berdua menghabiskan malam panjang dan panas. "Zeen ..." Lagi-lagi Nana memanggil nama suaminya. Nihil, tak terdengar sahutan. Hanya keheningan yang perempuan itu rasakan. Kamarnya sunyi, sepertiny
Part 59 (Talak & Pencerahan)****"Pergi kamu dari sini!" pekik Abraham marah. Setelah semuanya beres, ia segera menurunkan koper Ira, dan membawanya keluar. Membuat wanita itu seketika panik.12 tahun bersama, ini kali pertamanya lelaki itu bersikap seperti ini padanya. Abraham tidak pernah marah sampai sebesar ini, dan mengusirnya begitu saja. Seperti yang terjadi sore ini. Hal itu tentu membuatnya kelimpungan. Dan tak tahu harus berbuat apa demi meredam emosi suaminya. "Kamu dengarkan aku dulu, Mas!" Ira berucap seraya menyusul suaminya, berulang kali ia mencoba menyentuh lengan Abraham. Namun, dengan cepat lelaki berambut hitam itu menepisnya. Amarah telah menguasai dirinya. Tak ada kata penjelasan, bagi lelaki itu semuanya sudah jelas. "Tidak ada yang perlu dijelaskan, semuanya sudah jelas! Kamu sudah mengkhianati pernikahan kita!""Itu sudah lama!" sanggah Ira. Abraham mengayun langkah cepat menuruni tangga. Ia melempar koper itu setibanya di teras rumah. "Pergi!""Mas, aku
Part 58 (Enyah Kau Dari Hadapanku!)****Pov Author"Keterlaluan kamu Ira! Aku tak habis pikir denganmu. Apa yang kamu lakukan ini membuatku kecewa!" tutur Abraham, ia marah pada istrinya. Pria berambut hitam itu membanting pintu mobilnya kasar. Lalu berderap memasuki rumah. Tampak gurat kekecewaan menghiasi wajahnya. "Aku bisa jelaskan!""Mas, dengarkan aku dulu! Aku punya alasan. Kamu tidak bisa dong bersikap seperti ini. Dan menyimpulkannya langsung!""Mas Ham!" panggil Ira, wanita itu terus berucap sampai suaminya mau berhenti, dan mendengarkannya."Apa yang ingin kamu jelaskan! 12 tahun, 12 tahun Ira kamu membohongiku. Ibu macam apa kamu ini! Aku benar-benar tak habis pikir, kamu tega membuang anakmu sendiri! Apa yang kamu pikirkan saat itu, hah!" lanjut Abraham. Dadanya bergemuruh hebat, sesampainya di rumah mereka justru bertengkar hebat. Ira Pratiwi, wanita yang sudah 12 tahun ini mendampinginya. Begitu tega Ira membodohinya. Teringat tatapan perempuan itu, membuat Abraham m
Part 57 (Keterlaluan Kamu Ira!)****"Mas Ham ...." Dengan cepat Bu Ira menghampiri suaminya, setiap gerak-geriknya tak luput dari perhatianku. Ia belum menyadari keberadaanku. Tak ada penyesalan di matanya. Setelah bertahun-tahun ia menelantarkan Nana, tidak ada sedikitpun rasa bersalah itu tampak. Ya Tuhan, manusia seperti apa Bu Ira ini? Darah dagingnya sendiri seperti tak berarti.Kulihat Pak Abraham mematung, lelaki berperawakan tinggi serta berperut buncit itu tampak sedang bergelut dengan pikirannya sendiri. Kalian pernah mendengar peribahasa seperti ini, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Ini kesempatan bagus bagiku untuk membongkar kebusukan Bu Ira. Pasti Pak Abraham akan kecewa dan menyayangkan sikap Bu Ira yang semena-mena pada putrinya. Terlebih dengan kejamnya, Bu Ira mengatakan Nana yang masih hidup itu mati. "Mas, kok kamu berdiri di situ bukannya nyamperin aku?" tanya Bu Ira. Pak Abraham melirikku. Bertanya, atau menelan berita mentah-mentah itu pili
Part 56 (Istrimu Itu?)****Pov ZeenBaru semalam Nana dipeluk Ayahnya, dan kini tubuh itu telah menyatu dengan tanah. Kenapa secepat ini? Bahkan di saat istriku baru saja merasakan kasih sayang Ayahnya. Bulir-bulir bening terus mengalir dari pelupuk mata Nana. Tak bisa kujelaskan bagaimana hancurnya ia sekarang. Nana selalu berharap dapat mengabiskan waktu bersama dengan Ayahnya. Mengabadikannya menjadi momen indah. Memang Tuhan mengabulkannya, tapi sayang hanya beberapa menit. Setelah itu Nana benar-benar kehilangan. Sosok yang harusnya jadi panutan, yang bisa menjaganya, melindunginya, menyayanginya tanpa jeda, ternyata menjadi orang yang paling kejam dalam memberinya derita. Ketika Idro menyadari perbuatannya, Tuhan langsung mengambilnya. Padahal Idro belum merasakan seujung kuku penderitaan Nana. Tapi mau bagaimana lagi, takdir tidak ada yang tahu. Kematian itu pasti, masa depan kita ya berpulang pada Tuhan. "Ayah, Ma, Ayahku pergi, Ma. Aku baru memeluknya sebentar tadi malam,