Part 20 (Bahagia VS Menderita II)***"Mengapa wangimu seperti Atarik."Aku memberanikan diri membingkai wajah Zeen. Menatap begitu dalam matanya. "Kenapa kau membahas Atarik?""Aku tidak tahu, yang jelas aku seperti melihatnya dalam dirimu." Aku mengamati wajah Zeen. Hanya mata dan hidung yang mirip. Selebihnya tidak, kalau dia memang Atarik kenapa aku tidak bisa mengenali wajahnya. "Kau sudah gila Nana, ini aku Zeen."Aku mundur, bukan jawaban yang kutemukan. Ke mana aku harus mencarimu Atarik. Kenapa kau tidak pernah muncul lagi di depanku. Tidak tahu kah aku sedang terpuruk dan membutuhkan bahumu untuk bersandar. ****Aku menggulir layar ponselku sambil menunggu Zeen selesai rapat. Setelah kejadian tadi, aku meminta maaf pada Zeen. Dia bersikeras mengatakan kalau dia tidak mengenal Atarik. Padahal di beberapa kesempatan ia seperti mengenal Atarik. Mulai dari mengatakan, dia selalu menghiburmu, sampai jangan pergi lagi. Dan kini memanggilku Ana. Bagaimana caraku menemukan Ata
Part 21 (Tabur Tuai)****Gemerlapnya lampu menghiasi sepanjang jalan, kulempar tatapan keluar jendela. Pikiranku melayang ke mana-mana. Kulihat dari kejauhan bulan sabit tampak malu-malu menampakkan diri. Meski begitu langit gelap masih bertabur dengan bintang. Apa Zeen itu Atarik? Hal itu terus terlintas dibenakku. Berbagai macam prasangka pun turut mengisi pikiranku. Kulirik Zeen yang fokus mengemudi. Sesekali ia memijat pelipisnya. Aku tidak yakin kalau dugaanku ini benar. Namun, kala netra itu beradu pandang dengan manik kecokelatan milikku. Rasanya aku seperti menemukan teman masa laluku yang lama hilang. Bagaimana caraku membuktikannya. "Zeen ..."Pria itu menoleh, sebelah alisnya terangkat. "Ya," jawabnya singkat. Kusatukan kedua tangan, mencoba menghilangkan rasa gugup. Detik kemudian aku kembali menunduk. Aku bingung harus menggali informasi dari mana. Takut, jika pertanyaanku ini menyinggung, atau membuatnya marah. Namun, jika kupendam lama-lama akan menumpuk. "Ada ap
Part 21 (Tabur Tuai II)****Hampir setengah jam di jalan mobil Zeen akhirnya memasuki pekarangan rumah. "Kamu tinggal di sini ya Na?" pinta Mama. "Iya Ma, aku mau tinggal di mana lagi kalau bukan di rumah Mama.""Lah rumahmu sama Reza itu—" Papa tidak melanjutkan ucapannya. Mama memotongnya dengan cepat. "Rumah Nana sama Reza itu udah Nana jual, Pa.""Kamu jual Na?""Iya Pa,""Ngercep banget kamu, Na. Tapi Papa bangga, ya sudah kamu tinggal saja di sini. Biar Zeen betah di rumah. Biar itu anak tidak gila pekerjaan."Aku melongo mendengar pengakuan Papa. Ada hubungan apa aku tinggal di sini dengan kenyamanan Zeen. Aneh. Keluarga ini seperti menyimpan teka-teki. Belum sempat aku bertanya, papa sudah keluar dari mobil. Di susul Mama yang menggekori suaminya. "Jangan masukan hati ucapan Papa. Dia hanya sedang bercanda.""Kuharap kau cepat mengaku Zeen.""Maksudmu?" Zeen langsung menoleh, ia berpindah duduk di jok belakang. "He, sedang apa kau ini?""Kau menyuruhku mengaku, memang ap
Part 22 (Kebakaran Jenggot) **** POV Author Reza menghabiskan malam dengan menghisap rokok di balkon kamar. Pria itu menatap kosong langit yang bertabur dengan bintang. Satu masalah belum selesai, kini datang masalah baru. Istrinya lagi-lagi harus ditahan di kantor polisi. Belum lagi masalah perusahaan yang sedang krisis. Dan surat perceraian yang diberikan Nana. Dalam kurung waktu seminggu ia sudah pusing tujuh keliling."Ini semua karena Nana, coba saja dia tidak egois dan mau berbagi dengan Salma. Mungkin aku tidak akan sepusing ini," gumam Reza. Amarah yang membuncah dada hanya bisa ia tahan. Reza terus saja menyalahkan Nana. Tidak ada niatan untuk mengoreksi dirinya sendiri. "Apa yang harus kulakukan sekarang? Rumah tidak punya, mobil sudah dijual. Uang dibawa Nana semua. Ya Tuhan aku benar-benar kere," lanjutnya dengan suara parau. Reza mengacak-acak rambutnya kasar. Rasanya ia ingin membenturkan kepalanya di tembok sekarang. "Papa dan Mama tidak mau membantuku, aku harus b
Part 22 (Kebakaran Jenggot II)****"Bangun atau kupanggilkan Mama," ancam Nana. Secepat kilat Zeen loncat dari kasur. Pria itu berdiri tegak."Nana!""Apa?""Kau hampir membuat jantungku copot!""Salahkan dirimu yang tidak mau bangun,""Aku selalu pusing jika berbicara denganmu."Buru-buru Zeen mengenakan sandal, Nana melempar handuk ke arahnya."Jangan lupa handukmu!""Siapa yang ingin mandi!""Kau!" Nana mendelikkan matanya, kemudian berkacak pinggang. "Aku ingin minum kopi.""Mandi dulu!""He, kau siapaku, seenaknya kau mengaturku!""Aku Nana, adik iparmu!""Tidak bisa, aku terbiasa minum kopi di pagi hari!""Aku tahu itu, setidaknya mandi dulu!"Nana mendorong tubuh Zeen, sedikit pun pria itu tidak beranjak. "Zeeen.""Apa Banana?""Buruan masuk."Zeen memicingkan mata. "Masuk ke mana?""Ke kamar mandi, memangnya masuk ke mana lagi!""Terserah kau, aku ingin ngopi!"Zeen mengangkat tubuh Nana, memindahkan perempuan itu agar tidak menghalangi jalannya. "Zeen, jangan membuatku ma
Part 23 (Sebuah Kejujuran)**** POV Zeen."Atarik, Ana mau es krim," ucap Nana kala itu. Ia menunjuk salah satu penjual es krim yang ada di ujung jalan. Jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku sangat merindukan saat-saat bersamanya. Terlalu banyak kenangan indah yang sulit kulupakan. Nana sudah seperti kafein, pahit tapi berujung candu. Apa yang perempuan itu lalukan, menjadi hal yang tak ingin kulewatkan. Ia seperti hujan, dingin namun mampu membuatku nyaman. Ia bagai parfum, wangi dan memabukkan. Hanya Nana yang ingin kugenggam, ingin kumiliki jiwa dan raganya seutuhnya."Nanti gigi Ana sakit, kemarin kan Ana sudah makan es krim.""Nggak papa Atarik, gigi Ana kuat. Ana boleh ya makan es krim?""Besok lagi, sekarang libur dulu." Aku memakaikan Ana topi. Ia terlihat lucu dan menggemaskan dengan rambutnya yang di kuncir dua. "Ana maunya sekarang, Atarik jangan marah. Kalau Atarik marah Ana jadi sedih. Ana kan gak punya siapa-siapa lagi selain Atarik." Nana menunduk sedih, matan
Part 23 (Sebuah Kejujuran II)****Tak butuh waktu lama kami tiba di kantor. Bergegas aku turun dari mobil. "Ayo Zeen, jangan lama-lama ya," tutur Nana. "Tidak akan lama, aku hanya ingin ambil berkas penting untuk rapat besok."Aku menggandeng tangan Nana, kami berjalan memasuki kantor. Setibanya di lift, kami berdua melangkah masuk. Kutekan tombol yang membawaku menuju lantai paling atas. Kurasakan bilik sempit ini bergerak cukup lambat. "Apa rencanamu kedepannya?""Membuka toko kue, dan melanjutkan hidupku.""Kau tak ingin kembali pada Reza?""Kau jangan gila Zeen, aku sudah melupakannya." Ting!Suara dentingan lift mengakhiri percakapan kami. Setelah lift terbuka secara otomatis aku dan Nana melangkah keluar, berjalan menuju ruanganku. ****"Duduk lah, dan tunggu aku," ucapku pada Nana. Aku menghampiri mejaku, mencari berkas penting yang kemarin tertinggal."Kau cari apa Zeen?""Berkas Na,""Memangnya kau taruh di mana?" Aku menatapnya sekilas, lalu menggelengkan kepala. "A
Part 24 (Selingkuh, Teriak Selingkuh?) ****Sesaat hening. Baik aku atau pun Nana belum ada yang melontarkan kalimat. Mulut kami masih terkunci rapat. Kami berdua saling membisu dalam diam. Tangannya masih melingkar di perutku. Bisa kurasakan embusan napasnya menerpa punggungku. Hangat, dan memabukkan. Aku menengadah ke atas, menatap langit-langit ruangan. Menahan kesedihan ini agar tak tumpah ruah. Nampaknya Nana masih bergelut dengan pikirannya sendiri, atau mungkin, ia tidak mencoba mempercayaiku.Aku ada di sini, Na. Pria yang kau peluk dari belakang ini aku, Atarik. Apa lagi yang kau ragukan?Apa karena wajah ini tak lagi sama? Aku bermonolog dalam hati. Bertanya-tanya perihal alasan yang membuat Nana ragu. "Zeen ..." Setelah lama tergeming Nana akhirnya memanggil namaku. Suara parau itu memecahkan kesunyian yang menyelimuti kami berdua. Seketika perasaan canggung itu hilang. Punggungku tak terasa sudah basah karenanya. Karena air mata itu bercucuran membasahi pipinya. "Kau