Zhia duduk di tepian kasur kursi sofa besar. Menatap lekat wajah gadis itu dan membuat dadanya berdenyut, menyakitkan. Bayangkan saja Naura begitu dekat dengan Arum wanita berparas cantik juga lembut itu. 'Rasanya sakit sekali dada ini. Maafkan aku, Naura.'Zhia beranjak dari duduknya. Membuka tirai jendela dan melihat hujan rintik-rintik yang belum juga reda. Hujan, hal yang paling dibenci Elang suaminya. Ia harus mengalami kepahitan cinta, padahal dirinya tak bersalah sama sekali. "Nak, kenapa di situ? Ayo diminum," kata Bu Fatma yang membuat Zhia berhenti menatap hujan yang menyedihkan."Terima kasih, Bu.""Tidak. Hanya minuman, Nak."Entah ... hati Mama Fatma merasa menghangat saat berbicara bersama Zhia. Gadis yang lembut hampir sama dengan sifat Arum. Wanita paruh baya itu tersenyum dan berusaha mengobrol dengan Zhia. "Banyak sekali, Bu. Ini saya dan Naura jadi ngrepotin!" kata Zhia. Wanita paruh baya itu tersenyum. Beliau terus memandang Zhia dengan tatapan sedih. Melihat w
Hani menatap nanar pemandangan di depannya, hatinya pun kini tak mampu merasai sakit yang membelenggu, tak dirasakan lagi hangat cinta Damar seperti dulu, haruskah ia memutuskan hubungan dengan Damar. Namun, rasa cintanya kepada Damar semakin menggebu. Dalam diam keputusan kembali, Hani mencoba memanggilnya melalui layar ponselnya, meski telah ratusan kali berakhir sia-sia, Hani mengharap kali ini ada setitik asa agar Damar bisa berubah mesra sepeti dulu. Namun nihil, untuk kesekian kali panggilan Hani kembali diabaikannya.Frustasi ya Hani begitu sakit, ia melempar layar ponselnya itu. Biarlah, hancur seperti dirinya yang kini telah menjadi serpihan kaca yang porak poranda. Toh, keberadaannya tak lagi berguna, Damar tak lagi membalas chatnya ataupun sekedar mengangkat teleponnya. Rasa sakit yang begitu dalam.Apakah dulu Arum merasakan hal yang sama seperti dirinya. Kenapa bisa Damar berubah seperti ini, Hani seperti orang yang linglung, bahkan hartanya tak bisa membeli hati Damar.
Setiap kali berdebat dengan Hani, maka Damar akan kesal sendiri. Sepertinya, dia selalu punya kata-kata yang bisa mematahkan argumen Damar. Namun, rasa penasaran di kepala Hani menuntut untuk selalu melontarkan pertanyaan. Terkadang sampai Hani kesal, karena mungkin suasana hatinya yang tak sinkron Akibatnya, Damar akan marah dan cepat sekali tersulut emosi."Harusnya kita ke Villa saja, Mas."Damar sekilas menatap Hani. " Gak usah protes. Nikmati saja yang ada, kalau tak suka turun saja." Bentaknya membuat Hani merasa kesal. "Maksudku, bukan masalah bagus. Tapi, aku 'kan suka pemandangan indah. Mas," sahutnya lirih. "Gak usah rewel.""Ish! Selalu begitu," desis wanita itu. "Sudah kubilang, aku hanya akan meeting. Bukan dalam rangka liburan bersenang-senang.""Tapi 'kan ...."Hani menggantung ucapan. Sadar kalau ucapannya, tidak akan di tanggapi oleh Damar. "Tapi apa? Kalau merasa tak nyaman, turun.... ""Eh, bukan begitu. Ya ... ya sudahlah, aku menurut saja."Sebenarnya, Hani se
"Rum ...." Panggil Levin. "Eh, sudah pulang. Mas."Arum membawakan tas milik. Levin. "Terima kasih buat buketnya, Mas.""O, buket. Buket apa?"Arum terkejut dan sambil menunggu ucapan suaminya. mengamati wajah terkejut dengan dada berdebar-debar."Lah bukan kah, buket-buket itu dari mu, Mas?" tanya balik Arum. "Coba sini, lihat."Levin tersenyum. Lalu mengajak Arum duduk di kursi, lalu mengamati buket bunga itu. "Enggak mungkin kan, dari Damar. Sayang."Arum menautkan kedua pundaknya. "Entahlah...." Arum semakin penasaran dibuatnya. Bagaimana apakah ini dari kakaknya Elang. Tapi rasanya tak mungkin karena Arum. Sangat percaya dengan sikap Elang yang begitu memegang teguh prinsip. "Ternyata bener, kamu deket sama Elang atau mungkin Damar?""Kok gini, Mas?" Nada Arum bergetar pelan."Apa! Benar kan?"Arum menghela napas. Arum benci saat ia menatap Arum dengan raut penuh dengan kecurigaan. "Astagfirullah ... kau menuduhku, Mas.'"Ya, kenapa? Kamu sendiri, kan, yang selalu bilang, ak
Sopir mengantarkan mereka berdua perempuan cantik berbeda usia itu ke alamat Elindra florist sudah di tangan. Toko bunga yang mengirim bunga kemarin. Mobil berbelok di parkiran toko bunga itu, mereka berdua turun dan memilih bunga. Sembari menunggu waktu luang karena pengunjung toko bunga ini sangat ramai sekali. Aroma wangi bunga-bunga ini menyambut saat Arum masuk ke dalam toko. Begitu sejuk juga bunga-bunga yang begitu fresh tentunya. Seorang pegawai pria itu tersenyum, lalu menghampiri, ke arah Arum juga mamanya. "Pagi, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" Sapanya wanita cantik itu ramah."Iya, saya pesan bunga Lili.""Baik, di sebelah sana, Mbak.""Maaf, Mas. Bisakah saya bertemu dengan pemilik toko ini." Arum berusaha bicara dengan hati-hati."Oh, bisa. Sebentar ya, saya panggilkan.""Baik."Lelaki itu segera masuk ke dalam. Ke ruangan yang terlihat wanita cantik sedang sibuk menulis. Arum menunggu sambil mengamati sekeliling dengan dada berdebar-debar. Apakah Elang ataukah Damar.
Rongga dada Arum kembali terbakar. Dengan kesedihan, ia menghabiskan satu porsi bakso hangat, bahkan saat ini ia tak pernah bisa menyingkirkan bara di dalam dadanya dengan apa yang terjadi saat ini. Arum tak percaya ini, saat senyumnya lagi-lagi berputar di kepala. Tak pernah terbayang bahwa kenangan indah itu, kini menjadi hal paling menyakitkan."Kita lihat dulu, Rum. Bagaimana sikap Levin.""Arum takut, apa sehina ini Arum. Hingga beberapa kali harus tersakiti lagi.""Hus ga boleh ngomong begitu, sayang! lagian kalian belom menikah ini.""Mama yang akan turun tangan, Rum. Maaf jika Mama dan Papa memaksamu untuk menikahi, Levin. Nak. Mama pastikan akan membongkar semuanya."Arum mengangguk. Di luar hujan turun, mereka mengambil payung lalu melangkah hingga tiba di dekat mobil. Mereka masuk dan memberitahukan sopir untuk pulang ke rumah. Dari balik kaca yang ditimpa rintik hujan, Arum masih berpikir tak mengerti. Sementara Bu Fatma mengambil ponsel dari tas kecil. Dan menghububgi
"Kami pulang dulu ya Naura, kapan-kapan jika kangen mainlah ke rumah, Tante ya.""Emangnya boleh, Tante?""Ya boleh dong, rumah Tante terbuka untukmu sayang.""Terima kasih, Tante.""Iya sama-sama."Elang tersenyum menatap wajah ayu Arum, entah saat ini hatinya penuh dengan kebahagiaan. Setidaknya ia bersyukur bisa melihat senyum Arum lagi. Mencintai tak harus memiliki, bukan. Terkadang, Elang menertawakan dirinya sendiri atas segala kenaifannya. Kenapa ia tidak memperjuangkan cintanya pada Arum dan hanya pasrah pada keadaan yang membuatnya terjerumus dalam pernikahan yang konyol dengan Zhia. Sering kali cinta yang ia punya membuat logikanya tak dapat mencerna, saat ini hanya ada sesal yang menggumpal di dalam dadanya. Hanya bisa melihat tanpa bisa memiliki. Lelaki tampan itu menghela napas, sesekali jemarinya mengelus rambut putrinya dan menatap wajah cantik itu. Karena hanya itu yang bisa ia lakukan untuk mengurai sesak yang menyiksa dadanya."Mas," panggil Arum pelan."Eh, iya."
Bu Fatma mengangguk dan memberi tahu Elang. Sementara Arum mengambil jaket dan jilbab instannya memakai flatshoes dan tas kecil. Ia tahu jika sang Papa, mengetahui sesuatu. Mobil keluar dari rumah mewah milik pak Dibyo. Semua tegang dan di dalam mobil begitu hening. Seperti mimpi buruk bagi Arum. Ya semoga saja ini mimpi buruk, seberapa hinakah Arum disakiti seperti ini. Pantaskah dan adilkah ini bagi Arum. Entahlah ... sepertinya Levin menghilang tanpa jejak. Bu Fatma menengakan Arum, wanita paruh baya itu mengusap wajah putrinya yang keluar keringat dingin. Dalam hati Bu Fatma menjerit, tak sanggup melihat putrinya tersiksa seperti ini. Hanya penyesalan yang dirasakan sang mama. Mobil melaju cepat hingga sampai ke lokasi rumah mewah bercat abu-abu dan sekilas terlihat indah. Mereka turun dan Elang sudah di depan dengan mobilnya bersama temannya. Mereka masuk, pelan-pelan mereka berjalan, terlihat begitu sepi. Namun orang yang di sewa pak Dibyo mengirimkan sebuah vidio mereka sedan
Cakrawala memancarkan warna, dan tiba-tiba matahari muncul berada diantara percakapan Erlan dan Reni. Sejenak Erlan bernafas lega melihat wajah gadis itu, lalu menunduk lagi tangannya mencekeram kuat ujung kursi roda yang ia duduki. Seolah harinya begitu ragu akan ketulusan hati Reni. "Karena wanita itu, yang bernama Kamila, kau jadi kecelakaan, Pak?"Reni mendecih, sedangkan Erlan tidak melakukan tindakan apapun. Tidak mengiyakan tidak pula menentang. Merasa ucapan Reni tepat dia mengujar lagi, pertanyaan yang diluar dugaan. "Sudah kubilang, tidak karena siapa-siapa. Kenapa kau bertanya seperti itu? Sudahlah.""Bisa-bisanya kau menghilang dariku, Pak. Terus mengapa jadi begini? Kenapa jadi lumpuh dikursi roda, Pak?"Erlan meremas rambutnya dengan kasar. Agar Reni mau menghentikan ocehannya. Ia begitu kesal oleh sikap Reni yang tidak menghargainya. "Sudahlah Ren, bukan urusanmu."Reni tersenyum jahat. "Maksudku aku akan menikah lagi. Pak"Kali ini Erlan membulatkan matanya, bahk
"Mas, kenapa tak memberi tahu Mbak Reni, padahal dia sudah kesini beberapa kali mencari, Mas."Erlan terdiam. Merasakan detak jantung yang meningkat cepat. Kenapa Dimas tiba-tiba bertanya itu?"Apa aku pantas untuk sekedar dicintai, bahkan untuk berjalan saja aku tak bisa, Dim."Dimas mengehela nafas berat. " Ga boleh putus asa begitu, Mas. Bukankah dokter Reyga juga memberi tahu bahwa untuk kesembuhan, Mas sangatlah besar."Erlan menatap jendela dari balik kamarnya. "Entahlah Dimas, aku merindukan Alifa."Dimas tersenyum, sejak kapan kakaknya ini berubah baik. Bahkan ia tahu jika sang kakak selama ini tak pernah peduli dengan Alifa sang keponakan. "Iya, kapan-kapan kita ke sana ya.""Tidak, Dimas. Aku tak mau membuat Kamila susah dengan hadirku."Dimas tersenyum. "Mas, pikir mbak Kamila orangnya pendendam. Satu hal, Mas. Hati Mbak Kamila itu bagaikan sutra sangat lembut, jadi kayaknya ga ada masalah kalau kita menemui Alifa. Lagian bukankah Alifa adalah masih tanggung jawab Mas Erla
Ponsel di tangan Dimas hampir terjatuh saat melihat wanita yang tengah melintas di depannya. Dimas sambil mendorong kursi roda sang kakak Erlan. Mudah-mudahan kakaknya tak mengetahuinya. Namun, sepertinya ia tahu jika Kamila berjalan bersama seorang dokter yang tak lain adalah suaminya. Erlan terdiam, seketika ingatannya tertarik jauh ke masa lalu. Ia pikir selama sepuluh tahun adalah waktu yang cukup untuk melupakan sosok Kamila. Ternyata, Erlan salah dan salah. Ia begitu terluka saat melihat ke arah sang mantan istri yang terlihat begitu cantik. Bagaimanapun pedihnya luka yang pernah ditorehkannya dulu, tetap saja kenangan indah sebelum luka itu ada, kembali hadir. Dengan cepatnya rasa itu muncul menembus batas pertahanan yang selama ini mereka pertahankan. Namun pecah dihantam gelombang perceraian. Memakai pashmina hitam dan masih sama, wajahnya tampak lebih sangat cantik dan begitu dewasa. Berbagai pikiran berkecamuk antara ingin menegur juga tak ingin bertemu dengannya. Untung
"Pak, meeting sudah mau dimulai.""Baiklah, ayo."Dengan hitungan langkah Erlan menuju tempat yang telah disediakan oleh Reni. Hati Erlan terasa berkeping-keping melirik Kamila yang tak melepas genggaman suaminya, Erlan terlihat kesal tidak dapat berdusta jika hatinya belum pulih sepenuhnya melupakan Kamila.Angin senja menerbak membelai wajah Erlan,yang menerpa angin berganti dengan semburat kuning di ujung langit. Ia telah selesai meeting hari hampir magrib. Entah mengapa Erlan begitu sibuk hingga tidak sedikitpun melirik jam di pergelangan tangannya. Saat menoleh Kamila dan suaminya telah pergi dari kafe itu. Dan sudah tak terlihat lagi. Kalaupun saat ini dia berkerja keras hanya untuk memenuhi kebutuhan sang Ibu. Semenjak kejadian itu Erlan tak pernah pulang ke rumah. Tak sekalipun dia melihat ponsel sejak kejadian itu, untuk sekedar menjawab panggilan dari adiknya. Hal yang tidak pernah absen dilakukan Erlan selama ini, menuruti perintah sang Ibu. Duh, hari ini rasanya rindu d
Brakk! Erlan membanting pintu rumah Reni. "Pak sabarlah, mungkin Ibu Pak Erlan masih bergabung. Sudahlah jangan marah-marah terus.""Aku malas selalu dipojokkan, Ren.""Iya aku tahu Pak. Sabar ya." Reni menenangkan Erlan. Erlan berjalan ke arah kamar, sedangkan Reni ke dapur membuat kopi. Terdengar suara barang jatuh cukup keras dari arah kamar, disusul suara dentingan beberapa alat yang berjatuhan, membuat Reni terkejut."Pak ...!"Reni memanggilnya, namun, tak ada jawaban, seketika kamar terasa hening membuat perasaan Reni mulai tidak enak.Khawatir terjadi sesuatu pada Erlan, Reni berjalan cepat kearah kamar, tampak tubuh Erlan yang tersungkur dilantai, dengan mata tertutup."Ya Tuhan, Pak Erlan!"Reni menghampirinya, langsung meraih kepalanya dan meletakkannya di atas pangkuan, Reni berusaha tenang ia tahu jika Erlan lagi banyak masalah. Meskipun hati sangat cemas. "Pak! Ayo ke ranjang." Panggilnya pelan.Ia hanya mengangguk. "Kau sakit, Pak?" tanya Reni lagiErlan memegang ke
Erlan berjalan melewati jalanan yang sudah sangat ia hapal tiap kelokannya. Beberapa motor melintas mendahului mobil Erlan di sepanjang jalan ia hanya terpaku tak percaya oleh Kamila dan Alifa bersama lelaki itu yang baru sama terlihat sari pandangannya. Perasaannya yang semakin hancur tatakala menginggat semua kejadian saat pernikahaannya dengan wanita yang sangat ia sayangi yang kini sudah hancur. Entah apa yang terjadi dengannya saat ini, Erlan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan cepat. Mobil berjalan di depan rumah Kamila. Seperti dulu, saat masih kecil, Erlan mencuri waktu untuk bertemu Kamila. Dulu, Ayah Kamila sering terlihat marah karena Erlan menemuinya. Sekarang semuanya sudah berbeda, Ayah Kamila telah pergi, dan saat sang Ibu sudah memberi kebebasan, namun Erlan menghianatinya dan beliau mungkin sudah tidak berdaya. Lucunya, tak pernah sekalipun Erlan meminta maaf pada wanita yang sangat ia sayangi itu. Ah, Erlan mendengus kesal sambil membanting setir mobilnya, kadan
Malam semakin larut, sunyi sepi setelah anak-anak tertidur, Kamila langsung menuju kamar. Reyga sudah menunggu di dalam kamar."Sayang, sudah tidur jangan kecapekan," pinta Reyga pada Kamila untuk beristirahat."Iya Mas, aku baru saja nemenin anak-anak tidur," jawabnya ikut duduk di samping sang suami. "Oh, Mama sudah tidur?""Sudah, Mas." "Sayang terima kasih ya sudah mau menjadi ibu untuk anak-anakku," ucapnya pada Kamila. Kamila saat ini berada pada dada bidang Reyga. Ia menikmati wangi tubuh sang suami, entah akhir-akhir ini Kamila lebih suka berada di bawah ketiak sang suami. Kamila menarik tangan Reyga lalu meletakkan telapak tangan di atas perutnya."Mama sepertinya betah disini, sayang." Kamila mengangkat kepalanya, lalu menumpu dagunya di bahu sang suami. Reyga mengusap pelan perut yang mulai membuncit. Menikmati keanehan yang terasa di dalam perut Kamila saat tangan Reyga berada di sana."Alhamdulillah, itu yang Kamila harapkan, Mas."Reyga mengangguk. "Mungkin, ini aka
Angga berteriak, Elang dan Bu Fatma panik. Elangengbil akih Arum dan menggendongnya ke dalam mobil sedangkan Angga berlari menyetir mobil. Dan mobil meninggalkan rumah milik. arum Dan Elang."Ya Allah, Arum! bangun, Nak! jangan tidur buka matamu, Rum!" Bu Ftama begitu cemas. Elang menepuk-nepuk pelan pipi istrinya. "Mama Arum, ga apa-apa kan, Bu?" tanya Elang.Bu Fatma tak sanggup menjawab, hanya mampu memeluk kepala putrinya itu dengan erat. "Arum, kenapa, Elang?" tanya Angga dari depan."Tadi juga ga papa kok, Mas Angga," jawab Elang ketakutan dengan suara bergetar."Ya Allah ... sabar dikit lagi kita sampai. Bismillah ... mudahkan ya Allah ...." Angga terus memacu mobilnya menembus jalanan kota yang ramai. Motor-motor didepan masih terus merangsek membelah jalanan yang dipenuhi kendaraan yang padat. Lalu lintas ibu kota yang tau sendirilah padatnya seperti apa.Bu Fatma terus berdzikir benar-benar berada dalam titik pasrah kepada Allah. Pengharapan tertinggi saat ini hanya mem
"Bangun, Mila. Sudah aku masakan air hangat untukmu."Kamila masih menggeliat dan mengucek matanya yang masih terpejam. "Harusnya ga usah repot masakin air segala, Rey," tukas Kamila. "Ya sekali-kali ga papa kan, kan selama ini kamu yang mengurusku. Apa mau aku gendong?"Pagi buta Kamila mendengar gombalan romantis dari suaminya, tiba-tiba bibir Kamila tersenyum kecut mendengarnya."Ayo sudah keburu dingin air hangatnya.""Iya... iya." Gerutu Kamila malas. Kamila menghela nafas pelan. Sekali lagi tersenyum dan melangkah keluar kamar mandi dan bersiap menjadi makmum untuk menjalankan salat Subuh berjamaaah dengan suaminya. Di akhiri dengan doa sebagai penutup, Kamila melipat mukena dan kembali menaruhnya di atas nakas. Ia berjalan ke dekat jendela dan menyibak gorden kamarnya. Saat buka pintu jendela suasana masih gelap. Di langit timur nampak semburat warna jingga menebar dari balik bukit nan jauh di sana. Membuat Kamila tersenyum lalu menatap suaminya yang masih bertilawah. "Kami