Sekitar jam 7 malam bel rumah Serena berbunyi. Ketika itu Dirga sedang bersama Zena di ruang tengah menonton televisi. Sedangkan Serena sibuk menata makanan di meja makan tak jauh dari posisi Dirga dan Zena. "Papa saja yang buka pintu. Itu pasti Om Dewa yang datang," Dirga beranjak bangun dari duduknya lalu berjalan ke depan. Serena hanya menengok sebentar lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Zena yang sendirian di sofa beranjak turun. "Ma," panggilnya lalu mengekori Serena sambil memegang ujung dari kemejanya. Serena tersenyum melihat tingkah putrinya itu, "Kenapa? Bukannya kamu senang Om Dewa datang?" "Zena gak suka kalau ada Tante Sarah," jawab gasis mungil itu sambil mencebikkan bibirnya. Serena menghela nafas panjang, putrinya itu memang sulit sekali untuk menerima orang baru. Zena sangat pendiam dan introvert. "Zena tidak boleh cemberut gitu, nanti cantinya hilang loh," tutur Serena yang langsung membuat gadis mungil itu langsung tersenyum malu-malu. "Zena anak yang bai
Pov Dirga. Sejak semalam aku sama sekali tidak bisa tidur. Setiap kali aku menutup mataku, penjelasan Serena tentang kondisi mental putri kami terus saja membayang dan membuat dadaku terasa sesak oleh rasa sesal dan amarah.Seperti saat ini begitu aku menutup mataku, kembali percakapan kami semalam mulai terngiang di pikiranku dan otakku seperti kaset kusut yang terus terulang-ulang sejak semalam. (Adik sholihah kamu dan suaminya yang kaya itu sering membanding-bandingkan Zena dengan anak mereka. Zena yang tidak secantik Rara, Zena yang tidak bisa berenang, Zena yang kalah tinggi, Zena yang tidak seramah dan sepintar Rara yang sempurna itu. Sama halnya dengan ayah dan ibumu yang selalu membela dan membenarkan Rara ketika dua cucunya itu bertengkar. Zena harus selalu mengalah dan di salahkan meski ia tidak salah. Hal itu terus menerus terjadi karena Zena lahir dari rahimku, menantu yang tidak pernah diharapkan oleh orang tuamu.) (Zena selalu diam dan menolak berinteraksi dengan oran
pov Dirga. "Ada apa?" tanyaku lagi pada Serena yang menatapku datar dengan butiran bening yang sudah membasahi wajah ayunya. Mata indah itu tiba-tiba berubah menatapku tajam, seolah akan menembus dadaku dengan tatapannya, "Seharusnya kamu tidak pernah datang lagi di hidup kami," ujarnya seperti petir yang menyambar di atas kepalaku. Sebegitu bencinya kamu padaku Na. "Serena." Suara berat Mas Dirga menegurnya dari arah samping kananku. "Jangan lagi egois! Kamu juga harus memikirkan Zena!" Segera aku menoleh, nampak Mas Gibran berdiri tak jauh dari kami, dengan wajah garang menatap istriku. Aku cukup terkejut melihat keberadaan kakak iparku itu. Karena kaget dan terlalu khawatir aku sampai tidak melihat siapa saja yang ada di ruang tamu ini. "Tenangkan diri dulu! Baru kalian berbicara baik-baik." Kali ini suara dari wanita berhijab yang berdiri di belakang Mas Gibran sambil merangkul putranya yang terlihat juga sedang menangis. Tanpa melepas Zena aku bergerak maju, merangkul Seren
Setelah dua hari, Gibran dan Nurida kembali ke Jakarta. Gibran ada pekerjaan yang harus ia selesaikan sehingga tidak bisa tinggal lebih lama di Bandung. Sedangkan Nurida dan Al dari awal memang sudah mengatakan hanya bisa berkunjung dua hari saja karena mereka harus mengunjungi kakek dan nenek Al dari pihak ayahnya. Hari ini pekerjaan Serena di kafe tidak terlalu banyk sehingga wanita berwajah ayu itu bisa pulang lebih awal. Baru saja ia memasuki kamarnya sudah dikejutkan dengan tingkah Dirga. Laki-laki itu sedang mengepak pakaian miliknya ke dalam koper. "Apa yang kamu lakukan dengan pakaianku?" tanya Serena dengan ekspresi bingung. "Aku sedang mengepak pakaianmu," jawab Dirga enteng. "Tadi aku sudah sudah mengepak baju-baju Zena sekarang tinggal pakaian kamu saja," jelasnya lalu kembali melanjutkan pekerjaannya yang semat terhenti. Serena melempar tas yang di bawanya ke atas ranjang, lalu merebut bajunya yang di baru saja Dirga ambil dari almari. "Maksud kamu apa sih?" kesalnya.
"Cepatlah mandi! " perintah Dirga untuk yang kedua kalinya, "Aku yang akan mengemasi barang-barang kamu." Tangan kekarnya menarik Serena untuk berdiri. "Tidak perlu, aku bisa sendiri," tolak Serena lalu menghempaskan tangan Dirga lalu masuk ke kamarnya. Serena tidak punya pilihan lain selain menuruti kata-kata Dirga. Ia tidak ingin bersikap egois dan mengorbankan perasaan putrinya. Serena bisa saja membawa pergi Zena tanpa sepengetahuan Dirga, tapi ia tidak sanggup jika melihat putrinya itu menangis histeris karena mencari Papanya. "Aku sama Zena tinggal di rumah bunda saja." kata Serena setelah selesai bersiap-siap dan membawa kopernya ke ruang tengah di mana Dirga dan Zena sudah menunggunya. "Iya," jawab Dirga mengambil alih koper yang di pegang Serena. "Aku juga akan tinggal di rumah Bunda." lanjutnya sambil tersenyum. "Silahkan saja, kalau kamu bisa mendapatkan izin dari Bunda." Tantang Serena. Wanita bertubuh mungil itu tahu jika Bundanya tidak akan membiarkan Dirga menginj
"Aku masih suami Serena Mbak, aku yakin Mbak Indira tidak lupa soal itu," kata Dirga pada wanita cantik yang berdiri di depannya. "Ck, itu tidak akan lama lagi." Indira memandang remeh pada Dirga, "Sekalipun Mas Gibran sudah memihakmu, tapi di rumah ini Bunda yang punya kuasa. Bahkan Kakak sulungku itu tidak akan berkutik jika Bunda sudah memutuskan." Lanjutnya sambil bertolak pinggang lalu memanggil satpam untuk mengusir Dirga. Dirga mengepalkan tangannya kuat untuk menahan emosinya. Ia ingin sekali menerobos masuk ke dalam rumah tapi jika itu ia lakukan Zena pasti akan kembali mengingat sikap kasar dulu. Karena tidak ingin membuat keributan akhirnya Dirga memilih untuk mengalah, dengan tenang ia masuk ke dalam mobilnya lalu meninggalkan rumah mertuanya itu. "Ck,, cuma begitu saja? Serena bodoh sekali mencintai laki-laki yang tidak benar-benar memperjuangkan cintanya," cibir Indira pada adik iparnya itu. Di dalam rumah, Rendy dan Raka mengajak Zena untuk sholat magrib berjamaah
"Indira kamu harus belajar untuk memahami situasi dan kondisi orang lain. Kamu juga harus belajar mengendalikan mulut kamu." Gibran menegur adiknya yang memang sudah terkenal dengan mulutnya yang pedas ketika berbicara. "Aku berbicara sesuai fakta Mas, kenyataannya memang laki-laki itu sudah banyak menyakiti Serena. Bukan hanya hatinya Tapi juga fisiknya. Mas lupa kalau Dirga pernah mengangkat tangan pada adik bungsu kita?" sahut Indira membela diri. "Bodoh kalau Serena masih ingin kembali pada laki-laki yang tidak tahu diri seperti Dirga." Sambung wanita cantik itu sambil mencebikkan bibirnya kesal. Indira merasa tidak senang karena Gibran membela laki-laki yang sudah membuat adik bungsu mereka terluka dan memilih mengasingkan diri ke Bandung dan membuat mereka harus hidup berjauhan selama dua tahun ini. "Semua orang pernah berbuat salah Dira, kamu juga pasti pernah melakukan kesalahan. Jadi tidak ada salahnya memberi kesempatan pada orang yang sudah benar-benar menyesal," tutur
"Papa pulang dulu ya, besok Papa kesini lagi buat nganter Zena sekolah," bujuk Dirga sambil sesekali menciumi pipi putrinya yang sedang merajuk dalam gendongannya. Setelah pembicaraan Gibran dengan dua adiknya beberapa hari yang lalu, Indira tidak lagi menghalangi Dirga untuk datang ke rumah mereka. Namun tidak dengan Rahma, meski ia telah mengizinkan Dirga mengantar dan jemput Zena ke sekolah tapi wanita paruh baya itu masih bersikap ketus dan melarang Dirga masuk ke dalam rumahnya."Zena Papa harus kerja sayang, turun ya! Sini Mama yang gendong," ujar Serena mengulurkan tangannya ke depan Zena yang mengalukan tangannya di leher Dirga. "Jangan di gendong! Zena sudah besar, nanti tangan kamu sakit," larang Dirga yang langsung membuat Serena melongo tak percaya dengan apa yang ia dengar. 'Apa aku tidak salah dengar? Apa waktu dua tahun benar-benar merubahnya?' Serena membatin. "Doain Papa segera bisa menyelesaikan semua masalah supaya kita bisa kembali bersama seperti dulu lagi," s