Setelah dua hari, Gibran dan Nurida kembali ke Jakarta. Gibran ada pekerjaan yang harus ia selesaikan sehingga tidak bisa tinggal lebih lama di Bandung. Sedangkan Nurida dan Al dari awal memang sudah mengatakan hanya bisa berkunjung dua hari saja karena mereka harus mengunjungi kakek dan nenek Al dari pihak ayahnya. Hari ini pekerjaan Serena di kafe tidak terlalu banyk sehingga wanita berwajah ayu itu bisa pulang lebih awal. Baru saja ia memasuki kamarnya sudah dikejutkan dengan tingkah Dirga. Laki-laki itu sedang mengepak pakaian miliknya ke dalam koper. "Apa yang kamu lakukan dengan pakaianku?" tanya Serena dengan ekspresi bingung. "Aku sedang mengepak pakaianmu," jawab Dirga enteng. "Tadi aku sudah sudah mengepak baju-baju Zena sekarang tinggal pakaian kamu saja," jelasnya lalu kembali melanjutkan pekerjaannya yang semat terhenti. Serena melempar tas yang di bawanya ke atas ranjang, lalu merebut bajunya yang di baru saja Dirga ambil dari almari. "Maksud kamu apa sih?" kesalnya.
"Cepatlah mandi! " perintah Dirga untuk yang kedua kalinya, "Aku yang akan mengemasi barang-barang kamu." Tangan kekarnya menarik Serena untuk berdiri. "Tidak perlu, aku bisa sendiri," tolak Serena lalu menghempaskan tangan Dirga lalu masuk ke kamarnya. Serena tidak punya pilihan lain selain menuruti kata-kata Dirga. Ia tidak ingin bersikap egois dan mengorbankan perasaan putrinya. Serena bisa saja membawa pergi Zena tanpa sepengetahuan Dirga, tapi ia tidak sanggup jika melihat putrinya itu menangis histeris karena mencari Papanya. "Aku sama Zena tinggal di rumah bunda saja." kata Serena setelah selesai bersiap-siap dan membawa kopernya ke ruang tengah di mana Dirga dan Zena sudah menunggunya. "Iya," jawab Dirga mengambil alih koper yang di pegang Serena. "Aku juga akan tinggal di rumah Bunda." lanjutnya sambil tersenyum. "Silahkan saja, kalau kamu bisa mendapatkan izin dari Bunda." Tantang Serena. Wanita bertubuh mungil itu tahu jika Bundanya tidak akan membiarkan Dirga menginj
"Aku masih suami Serena Mbak, aku yakin Mbak Indira tidak lupa soal itu," kata Dirga pada wanita cantik yang berdiri di depannya. "Ck, itu tidak akan lama lagi." Indira memandang remeh pada Dirga, "Sekalipun Mas Gibran sudah memihakmu, tapi di rumah ini Bunda yang punya kuasa. Bahkan Kakak sulungku itu tidak akan berkutik jika Bunda sudah memutuskan." Lanjutnya sambil bertolak pinggang lalu memanggil satpam untuk mengusir Dirga. Dirga mengepalkan tangannya kuat untuk menahan emosinya. Ia ingin sekali menerobos masuk ke dalam rumah tapi jika itu ia lakukan Zena pasti akan kembali mengingat sikap kasar dulu. Karena tidak ingin membuat keributan akhirnya Dirga memilih untuk mengalah, dengan tenang ia masuk ke dalam mobilnya lalu meninggalkan rumah mertuanya itu. "Ck,, cuma begitu saja? Serena bodoh sekali mencintai laki-laki yang tidak benar-benar memperjuangkan cintanya," cibir Indira pada adik iparnya itu. Di dalam rumah, Rendy dan Raka mengajak Zena untuk sholat magrib berjamaah
"Indira kamu harus belajar untuk memahami situasi dan kondisi orang lain. Kamu juga harus belajar mengendalikan mulut kamu." Gibran menegur adiknya yang memang sudah terkenal dengan mulutnya yang pedas ketika berbicara. "Aku berbicara sesuai fakta Mas, kenyataannya memang laki-laki itu sudah banyak menyakiti Serena. Bukan hanya hatinya Tapi juga fisiknya. Mas lupa kalau Dirga pernah mengangkat tangan pada adik bungsu kita?" sahut Indira membela diri. "Bodoh kalau Serena masih ingin kembali pada laki-laki yang tidak tahu diri seperti Dirga." Sambung wanita cantik itu sambil mencebikkan bibirnya kesal. Indira merasa tidak senang karena Gibran membela laki-laki yang sudah membuat adik bungsu mereka terluka dan memilih mengasingkan diri ke Bandung dan membuat mereka harus hidup berjauhan selama dua tahun ini. "Semua orang pernah berbuat salah Dira, kamu juga pasti pernah melakukan kesalahan. Jadi tidak ada salahnya memberi kesempatan pada orang yang sudah benar-benar menyesal," tutur
"Papa pulang dulu ya, besok Papa kesini lagi buat nganter Zena sekolah," bujuk Dirga sambil sesekali menciumi pipi putrinya yang sedang merajuk dalam gendongannya. Setelah pembicaraan Gibran dengan dua adiknya beberapa hari yang lalu, Indira tidak lagi menghalangi Dirga untuk datang ke rumah mereka. Namun tidak dengan Rahma, meski ia telah mengizinkan Dirga mengantar dan jemput Zena ke sekolah tapi wanita paruh baya itu masih bersikap ketus dan melarang Dirga masuk ke dalam rumahnya."Zena Papa harus kerja sayang, turun ya! Sini Mama yang gendong," ujar Serena mengulurkan tangannya ke depan Zena yang mengalukan tangannya di leher Dirga. "Jangan di gendong! Zena sudah besar, nanti tangan kamu sakit," larang Dirga yang langsung membuat Serena melongo tak percaya dengan apa yang ia dengar. 'Apa aku tidak salah dengar? Apa waktu dua tahun benar-benar merubahnya?' Serena membatin. "Doain Papa segera bisa menyelesaikan semua masalah supaya kita bisa kembali bersama seperti dulu lagi," s
"Bunda tidak bisa bersikap sekeras itu pada Dirga." Ujar Gibran berbicara pada wanita paruh bayah yang sedang sibuk membuat makanan di dapurnya. "Dia memang salah tapi dia sudah berubah dan menyesali perbuatannya, Bun. Tidak ada salahnya untuk kita memberinya kesempatan." Lanjutnya setelah duduk di kursi depan table kitchen. "Kamu kenapa datang-datang sudah protes saja?" sahut Rahma menoleh sebentar lalu kembali fokus pada pekerjaannya. "Tadi aku sempat lihat Bunda marah-marah sama Dirga. Bunda juga nyuruh Dirga untuk meninggalkan orang tuannya," terang Gibran. "Bunda apa tidak kepikiran seandainya Serena yang memilih meninggalkan Bunda karena menolak memberi restu mereka bersatu lagi?""Serena adalah putriku, Bunda tahu betul seperti apa dia. Lagian tadi Bunda hanya perjelas kondisi mereka yang sudah tidak mungkin bersama lagi. Dan alasannya jelas, Bunda tidak akan merestui Serena kembali pada Dirga, sama halnya dengan orang tua Dirga yang tidak menyukai Serena," jawab Rahma tanpa
Sekitar pukul 9 malam pintu rumah Gibran di ketuk beberapa kali. "Siapa yang datang bertamu?" gumam Serena yang baru saja menidurkan putrinya. Karena rasa penasaran, Serena bejalan keluar kamarnya. Nampak Rahma juga Gibran baru keluar dari kamar masing-masing. "Satpam kemana sih Mas? Sudah malam kok ada orang masuk di biarkan?" tanya Serena yang sudah memakai baju piyama tidur. "Itu Dirga, tadi dia telfon Mas. Minta izin ingin bicara sebentar?" jawab Gibran sembari berjalan mendahului dua wanita di depannya. "Katanya ada yang penting." Lanjutnya sebelum membuka pintu ruang tamu. "Seperti tidak ada hari esok saja," gerutu Rahma sebelum ikut menyusul Gibran yang sudah berjalan lebih dulu. Tidak ingin berkomentar, Serena hanya mendengus kasar lalu berjalan menyusul kakak dan bundanya. "Maaf mengganggu istirahat kalian," ucap Dirga begitu pintu di buka dari dalam. "Ada apa?" tanya Gibran penasaran. "Kamu itu ngerti sopan santun tidak? Malam-malam. bertamu ke rumah orang," sahut Ra
"Justru itu, aku sangat berdosa kepadanya tapi dia tidak pernah membenciku. Bisa kamu bayangkan sebesar apa rasa sesal itu?" teriak Serena sambil menangis. Dirga memeluk erat tubuh Serena yang meluruh dan bersimpuh di lantai. Sambil terisak wanita ayu itu memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Jika Seandainya Kaisar sedikit saja membenci dan menyalahkannya mungkin rasa bersalah di hati Serena tidak akan sebesar dan sedalam ini."Aku yang salah. Jadi biarkan aku yang menanggungnya. Tolong maafkan dirimu sendiri," bisik Dirga dengan mengeratkan pelukannya. "Aku hiks hiks,,membuatnya menderita, aku penyebab kematiannya hiks hiks... Dosaku sangat besar kepadanya," Sesal Serena dengan terisak. "Shuuut,,,, Jangan berkata seperti itu! Kamu tahu dia tidak pernah berpikir seperti itu." Dirga mengeratkan pelukannya dengan satu tangan mengelus punggung rapuh sang istri. "Kaisar tidak bermaksud untuk menagih janjinya. dia memintaku menjelaskannya padamu," Serena menghentikan tangisnya lagi