Sekitar pukul 9 malam pintu rumah Gibran di ketuk beberapa kali. "Siapa yang datang bertamu?" gumam Serena yang baru saja menidurkan putrinya. Karena rasa penasaran, Serena bejalan keluar kamarnya. Nampak Rahma juga Gibran baru keluar dari kamar masing-masing. "Satpam kemana sih Mas? Sudah malam kok ada orang masuk di biarkan?" tanya Serena yang sudah memakai baju piyama tidur. "Itu Dirga, tadi dia telfon Mas. Minta izin ingin bicara sebentar?" jawab Gibran sembari berjalan mendahului dua wanita di depannya. "Katanya ada yang penting." Lanjutnya sebelum membuka pintu ruang tamu. "Seperti tidak ada hari esok saja," gerutu Rahma sebelum ikut menyusul Gibran yang sudah berjalan lebih dulu. Tidak ingin berkomentar, Serena hanya mendengus kasar lalu berjalan menyusul kakak dan bundanya. "Maaf mengganggu istirahat kalian," ucap Dirga begitu pintu di buka dari dalam. "Ada apa?" tanya Gibran penasaran. "Kamu itu ngerti sopan santun tidak? Malam-malam. bertamu ke rumah orang," sahut Ra
"Justru itu, aku sangat berdosa kepadanya tapi dia tidak pernah membenciku. Bisa kamu bayangkan sebesar apa rasa sesal itu?" teriak Serena sambil menangis. Dirga memeluk erat tubuh Serena yang meluruh dan bersimpuh di lantai. Sambil terisak wanita ayu itu memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Jika Seandainya Kaisar sedikit saja membenci dan menyalahkannya mungkin rasa bersalah di hati Serena tidak akan sebesar dan sedalam ini."Aku yang salah. Jadi biarkan aku yang menanggungnya. Tolong maafkan dirimu sendiri," bisik Dirga dengan mengeratkan pelukannya. "Aku hiks hiks,,membuatnya menderita, aku penyebab kematiannya hiks hiks... Dosaku sangat besar kepadanya," Sesal Serena dengan terisak. "Shuuut,,,, Jangan berkata seperti itu! Kamu tahu dia tidak pernah berpikir seperti itu." Dirga mengeratkan pelukannya dengan satu tangan mengelus punggung rapuh sang istri. "Kaisar tidak bermaksud untuk menagih janjinya. dia memintaku menjelaskannya padamu," Serena menghentikan tangisnya lagi
Sebuah tangan kecil memencet pipi Dirga bergantian kiri dan kanan mengusik rasa nyaman yang sejak semalam Dirga rasakan. "Hi Hi Hi..." Terdengar suara cekikikan yang menginstruksikan Dirga untuk membuka matanya. "Zena,,,," keluh Dirga dengan suara serak khas orang bangun tidur. "Mulai nakal ya kamu," Dirga menarik putrinya masuk ke dalam pelukannya dan menciumi Zena sampai gadis kecil itu tertawa keras karena kegelian. "Ha ha ha ha.. geli Pa ha ha ha." Suara tawa Zena terdengar hingga keluar kamar. "Geli ya? Zena geli?" tanya Dirga dengan tertawa sambil terus menciumi gadis kecil itu. Di dapur Rahma dan Zena sampai terkejut mendengar teriakan dan tawa keras Zena. "Sepertinya Zena sangat bahagia," gumam Rahma lalu melirik Serena yang sedang sibuk menggoreng perkedel kentang.Nampak Serena menghela nafas panjang lalu menunduk seperti sedang melamun. "Awas gosong itu perkedel kentang! Itukan kesukaan papanya Zena," sambung Rahma menegur putrinya yang melamun."Ah iya,," Serena buru
Kemarin malam Dirga kembali tidak membawa pakaian ganti. Suami Serena itu tidak sempat pulang ke rumahnya. Kemarin pekerjaanya sangat banyak dan tidak bisa ditunda lagi karena perusahaannya sedang mempersiapkan produk baru. Sekitar pukul 7 malam dia baru bisa meninggalkan kantor. Dirga lebih memilih membeli baju di sebuah butik saat perjalanan pulang, dari pada harus mampir ke rumahnya yang akan menghabiskan waktu yang lebih lama lagi. Sedangkan Serena sudah mengabarkan jika putri mereke sudah merajuk dan menolak makan malam sebelum Dirga pulang. Benar saja ketika Dirga sampai Zena sudah menunggunya di teras rumah dengan ditemani Serena. Pagi ini Dirga sudah berpesan jika dirinya akan pulang telat jadi Zena tidak boleh merajuk lagi. "Nanti kalau Papa pulang Zena harus sudah makan malam ya!" pesan Dirga ketika mereka di depan teras sebelum berangkat sekolah. "Iya Pa. Nanti Zena makan bareng Oma dan Mama." jawab Gadis kecil itu menurut. "Anak pintar," puji Serena sambil mengelus ram
Dirga bergegas pulang ketika mendapat telfon dari ibunya yang memberitahu jika mereka berkunjung ke rumahnya bersamaan dengan kedatangan Serena. Dirga sudah berusaha menghubungi Serena namun ponsel istrinya itu tidak aktif. Ketika Dirga sampai di rumahnya sudah ada ibunya yang menunggunya dengan gelisah. "Dirga,,," pekik Mirna yang sejak tadi menunggu kedatangan putranya itu, "Kenapa kamu lama sekali?" sambungnya dengan wajah khawatir. "Mana Serena Bu?" tanya Dirga dengan nafas ngos-ngosan. "Dia sudah pulang. Tadi ibu bilang, 'susul Serena!' tapi kamu keburu menutup telfonmu," jawab Mirna sekaligus menjelaskan. "Maaf ibu tidak bisa mencegahnya, sepertinya Serena marah karena ayah kamu memberitahunya jika kamu akan menikah dengan Laras." tambahnya yang membuat Dirga mengusap wajahnya kasar. "Kapan aku menyetujui rencana itu?" sungut Dirga tidak terima. "Kali ini Ayah benar-benar keterlaluan," sambungnya lalu masuk ke dalam rumah. "Sabar Ga, jangan kamu emosi sama Ayah," tutur Mirn
Sepanjang perjalanan Zena hanya terdiam sambil memeluk lengan Serena. Gadis kecil itu hanya menggeleng dan mengangguk jika di tanya oleh mamanya. Tidak sepatah katapun keluar dari mulut mungilnya yang biasanya sangat cerewet bertanya ini itu dan itu ketika sedang di perjalanan. Setibanya di rumah Zena langsung berlari menuju kamarnya. Gadis kecil itu bahkan tidak menyahut sapaan dari omanya yang menyambutnya di teras rumah. Sikap dingin dan wajah kesal Zena sontak membuat Mirna mengerutkan keningnya. "Ada apa dengan cucu Bunda?" tanya Rahma bingung. Serena menghela nafas lelah sebagai jawaban. Rahma mengangguk faham, putrinya itu butuh waktu untuk istirahat sebelum menjawab pertanyaannya. "Ya sudah masuk dulu. Bunda buatkan teh hangat buat kamu," ajaknya merangkul pundak putrinya dan membawanya masuk. Rahma meminta putrinya untuk mencuci mukanya lalu istirahat di ruang keluarga sembari menunggunya membuat teh hangat. Sambil menunggu air mendidih sesekali Rahma mengetuk pintu kama
"Ceraikan aku dulu jika kamu ingin menikah dengannya," teriak Serena meluapkan kekesalan yang sejak tadi ditahannya sampai membuatnya tak berselera makan. Nafasnya memburu dengan tatapan menghunus tajam pada pria yang berdiri di depannya. Mata Dirga melebar, tubuhnya tersentak kaget. Tidak pernah sebelumnya ia melihat istrinya semarah ini. Dirga mengehela nafas panjang, dengan tatapan memelas ia berkata, "Aku tidak pernah ingin menikahainya," "Terserah aku tidak peduli. Aku sudah sangat lelah, jadi akhiri semuanya. Cepat ceraikan aku," kekeh Serena dengan tatapan tajam. "Tidak, aku tidak akan menceraikan kamu." "Aku sudah lelah menghadapi sikap keluargamu yang membenciku." "Aku yang akan menghadapi mereka. Mulai sekarang aku tidak akan membiarkan mereka menyakiti perasaanmu dan Zena," ujar Dirga bersungguh-sungguh. Serena memutar matanya jengah "Berhenti memberi harapan palsu karena aku sudah tidak percaya lagi sama kamu." Serena menolak dengan tegas. Tidak berputus asa Dirga
Setelah menunaikan sholat subuh Dirga kembali naik keatas ranjang, dipeluknya tubuh mungil yang masih bergelung dengan mimpi indahnya. Rasa hangat dan nyaman tanpa sadar membuatnya kembali terlelap. Sampai sebuah tepukan terasa di pundaknya, membawanya kembali ke alam sadar. "Ini sudah jam 6 pagi, Zena harus sekolah." Suara lembut dan wajah ayu menyambutnya begitu membuka mata. "Hey, bangun sudah pagi," Ujar Serena dengan wajah kesal yang anehnya membuat Dirga tersenyum gemas. "Apa sih? Malah senyum-senyum gak jelas," gerutu Serena dengan tatapan kesal pada pria di depannya. Setelah mengusap wajahnya Dirga beranjak bangun. "Biar aku saja yang membangunkan Zena," ucapnya dengan suara serak. "Tidak perlu. Kamu mandi saja! Zena pasti akan rewel. Nanti kamu telat," tolak Serena masih dengan posisi berdiri di samping ranjang. "Tidak apa-apa, aku akan membujuknya. Aku papanya." Dirga memandang Serena dengan ekspresi memohon. Serena menghela nafas, "Baiklah. Jika tidak bisa panggil sa