Sepanjang perjalanan Zena hanya terdiam sambil memeluk lengan Serena. Gadis kecil itu hanya menggeleng dan mengangguk jika di tanya oleh mamanya. Tidak sepatah katapun keluar dari mulut mungilnya yang biasanya sangat cerewet bertanya ini itu dan itu ketika sedang di perjalanan. Setibanya di rumah Zena langsung berlari menuju kamarnya. Gadis kecil itu bahkan tidak menyahut sapaan dari omanya yang menyambutnya di teras rumah. Sikap dingin dan wajah kesal Zena sontak membuat Mirna mengerutkan keningnya. "Ada apa dengan cucu Bunda?" tanya Rahma bingung. Serena menghela nafas lelah sebagai jawaban. Rahma mengangguk faham, putrinya itu butuh waktu untuk istirahat sebelum menjawab pertanyaannya. "Ya sudah masuk dulu. Bunda buatkan teh hangat buat kamu," ajaknya merangkul pundak putrinya dan membawanya masuk. Rahma meminta putrinya untuk mencuci mukanya lalu istirahat di ruang keluarga sembari menunggunya membuat teh hangat. Sambil menunggu air mendidih sesekali Rahma mengetuk pintu kama
"Ceraikan aku dulu jika kamu ingin menikah dengannya," teriak Serena meluapkan kekesalan yang sejak tadi ditahannya sampai membuatnya tak berselera makan. Nafasnya memburu dengan tatapan menghunus tajam pada pria yang berdiri di depannya. Mata Dirga melebar, tubuhnya tersentak kaget. Tidak pernah sebelumnya ia melihat istrinya semarah ini. Dirga mengehela nafas panjang, dengan tatapan memelas ia berkata, "Aku tidak pernah ingin menikahainya," "Terserah aku tidak peduli. Aku sudah sangat lelah, jadi akhiri semuanya. Cepat ceraikan aku," kekeh Serena dengan tatapan tajam. "Tidak, aku tidak akan menceraikan kamu." "Aku sudah lelah menghadapi sikap keluargamu yang membenciku." "Aku yang akan menghadapi mereka. Mulai sekarang aku tidak akan membiarkan mereka menyakiti perasaanmu dan Zena," ujar Dirga bersungguh-sungguh. Serena memutar matanya jengah "Berhenti memberi harapan palsu karena aku sudah tidak percaya lagi sama kamu." Serena menolak dengan tegas. Tidak berputus asa Dirga
Setelah menunaikan sholat subuh Dirga kembali naik keatas ranjang, dipeluknya tubuh mungil yang masih bergelung dengan mimpi indahnya. Rasa hangat dan nyaman tanpa sadar membuatnya kembali terlelap. Sampai sebuah tepukan terasa di pundaknya, membawanya kembali ke alam sadar. "Ini sudah jam 6 pagi, Zena harus sekolah." Suara lembut dan wajah ayu menyambutnya begitu membuka mata. "Hey, bangun sudah pagi," Ujar Serena dengan wajah kesal yang anehnya membuat Dirga tersenyum gemas. "Apa sih? Malah senyum-senyum gak jelas," gerutu Serena dengan tatapan kesal pada pria di depannya. Setelah mengusap wajahnya Dirga beranjak bangun. "Biar aku saja yang membangunkan Zena," ucapnya dengan suara serak. "Tidak perlu. Kamu mandi saja! Zena pasti akan rewel. Nanti kamu telat," tolak Serena masih dengan posisi berdiri di samping ranjang. "Tidak apa-apa, aku akan membujuknya. Aku papanya." Dirga memandang Serena dengan ekspresi memohon. Serena menghela nafas, "Baiklah. Jika tidak bisa panggil sa
Dahi Serena berkerut ketika mobil yang mereka tumpangi berbelok dan memasuki parkiran sebuah hotel. DS hotel, nama yang tertera di depan gedung tersebut. Hari ini suaminya mengajak Serena dan putri mereka untuk menghabiskan waktu bersama dengan berjalan-jalan di mall. Tapi entah kenapa lelaki yang duduk di balik kemudi itu malah mengarahkan mobilnya ke sebuah hotel berbintang. "Kok ke hotel Pa?" suara Zena dari kursi belakang. Kepalanya menyembul diantara kursi Serena dan Dirga duduki. "Bukannya kita mau ke Mall ya?" Sebuah senyum terbit di bibir Dirga mendengar putrinya kembali cerewet seperti sebelumnya. "Anterin Papa meeting sebentar ya! Habis itu kita langsung ke Mall," jawabnya sambil mengelus puncak kepala putrinya. "Ok," Gadis kecil itu kembali menyandarkan punggungnya seperti posisi awal. "Aku dan Zena nunggu di sini saja." ujar Serena ketika mobil mereka berhenti. "Kenapa? Aku hanya meeting sebentar. Kamu sama Zena bisa pesan makana atau eskrim sembari menungguku," "Ak
Serena menggeliat ketika tidurnya merasa terganggu sesuatu yang keras menempel erat di perutnya yang ramping. Satu tangannya meraba pada benda yang terasa keras dan berotot. Seketika matanya terbuka lebar saat ia sadar benda yang melingkar di perutnya adalah sebuah tangan kekar entah milik siapa? Serena mengangkat kepalanya dan menoleh ke belakang. "Astaga.," pekiknya tertahan. Dirga memeluknya dari belakang. "Bikin kaget saja, kamu kenapa tidur di sini?" Serena memukul lengan kekar yang memeluknya itu. Masih dalam keadaan setengah sadar Dirga membuka matanya, "Apa Rena? aku ngantuk besok aja bicaranya," keluh Dirga dengan suara serak dan mata menyipit. "Kamu itu ngapain tidur disini?" tanya Serena. Meski sudah beberapa hari ini Dirga tinggal serumah dengannya tapi Serena belum mengizinkan Dirga untuk tidur satu ranjang dengan dirinya. Jika Dirga tidur dengan Zena maka Serena akan memilih tidur di kamar Bundanya. Serena beranjak bangun dari tidurnya. Dengan posisi duduk ia menatap
Beberapa hari ini Dirga harus pulang terlambat karena harus menyelesaikan persiapan launching produk baru perusahaanya. Jika seminggu kemarin ia sampai rumah pada pukul 10 malam, namun hari ini ia bisa pulang lebih awal. Sekitar pukul delapan malam Dirga sudah sampai di rumah. Serena segera menyambut Dirga begitu mendengar suara mobil suaminya itu memasuki pelataran rumah. Saat Dirga hendak masuk kamar nampak putrinya sedang belajar di ruang tengah. Zena terlihat sangat serius dengan buku-buku di depannya. Gadis kecil itu duduk di atas karpet dengan meja kecil yang menjadi tumpuannya. Zena sama sekali tidak menyadari kepulangan ayahnya. "Mandi dan ganti baju dulu, setelah itu baru menyapanya," ujar Serena setelah menepuk pundak Dirga yang berdiri di depan pintu kamar sembari memandang putri mereka yang sedang serius belajar. "Besok dia ada lomba matematika. Dia agak minder karena ini di Jakarta makanya ia sangat serius belajar," tambahnya bercerita. Dirga menoleh sambil mengerutkan
"Kamu percaya sama aku kan? Aku bersumpah aku hanya menganggapnya teman. Kami bertemu hanya untuk berbincang dan bertukar pikiran saja." Kembali ia berusaha menyakinkan istrinya itu. Ia tahu jika kediaman Serena karena masih ada kerguan di hati istrinya itu. "Kenapa dulu kamu tidak ingin berbincang dan bertukar pikiran denganku?" tanya Serena yang membuat Dirga terdiam lalu perlahan menegakkan kembali punggungnya. "Apa karena aku tidak enak diajak bicara?" "Karena aku bodoh. Aku tidak tahu caranya berbicara denganmu sehingga kita selalu berakhir dengan bertengkar," jawab Dirga dengan ekspresi khawatir.Dirga sangat menyesal mengapa harus membahas Meysa. Mungkin seharusnya ia tidak membahas sahabat lamanya itu. Ia benar-benar tidak ingin hubungannya dengan Serena kembali merenggang hanya karena seseorang yang sama sekali tidak penting bagi Dirga. "Hemm," Serena menganggukkan kepalanya lalu tersenyum. "Pergilah mandi! Lalu keluar untuk makan malam." Kembali Dirga menghela nafas, mes
Setelah sholat shubuh Dirga mendatangi ibu mertuanya untuk memberia tahu jika nanti malam dia akan membuat kejutan ulang tahun untuk putrinya. Dirga meminta Rahma untuk memberi tahu Indira dan Gibran untuk ikut datang. Sebenarnya Dirga ingin mengadakan pesta ulang tahun putrinya itu di rumah baru mereka namun dikarenakan rumah baru mereka belum siap untuk ditempati akhirnya Serena menyarankan untuk memberikan kejutan kecil dan nanti setelah rumah mereka sudah siap akan membuat pesta ulang tahun Zena bersamaan dengan tasyakuran rumah baru mereka. Setelah semua anaknya dan menantunya berangkat Rahma segera menelpon putri ke duanya untuk memintanya datang malam ini seperti permintaan menantu sulungnya. "Tentu saja kami akan datang Bun. Tanpa Bunda telfon aku dan anak-anak sudah berniat ke rumah Bunda sepulang sekolah nanti dan Mas Aby akan menyusul sepulang kerja. Kami tidak akan lupa dengan ulang tahun princess Zena," jawab Indira saat Rahma memintanya datang. Mendengar jawaban putr