Janeetha terbaring di atas ranjang dengan tubuh yang gemetar. Kamar yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, baginya berubah menjadi ruang penyiksaan.
Dengan mata yang basah, ia menatap langit-langit, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang segera berakhir.
Namun, kenyataan berkata lain.
Dikara, suaminya, tak menunjukkan tanda-tanda berhenti. Gerakan pria itu semakin liar, seolah menegaskan kekuasaan atas tubuhnya yang lemah.
Janeetha merasa seperti boneka tak bernyawa, terjebak dalam permainan brutal yang tak pernah ia minta.
“M-mas…berhenti…,” pintanya sekali lagi dengan suara yang semakin lirih.
Namun, kata-katanya terabaikan begitu saja. Rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya membuat Janeetha menggigit bibirnya lebih keras, mencoba menahan jeritan yang nyaris meledak.
”Berhenti?” Dikara tertawa kecil membuat bulu kuduk Janeetha meremang. “Aku baru saja mulai, Jani. Jadi nikmati saja!” katanya dengan nada suara serak pun penuh kepuasan.
Seringai yang terlukis di wajahnya seakan menambah penderitaan yang dirasakan Janeetha.
Tak ada rasa kasih atau cinta dalam tindakan Dikara. Malam itu, hanya ada keinginan untuk mendominasi dan meremukkan istrinya.
"Buka kakimu!" desis Dikara penuh otoritas. Kilatan gairah bercampur dengan emosi begitu mendominasi manik hitam pekatnya.
"..."
Merasa jengkel karena Janeetha tak memberi respon, Dikara melebarkan kaki istrinya dengan paksa lalu kembali berusaha menyatukan bagian bawah tubuh mereka.
Air mata mengaliri begitu saja si atas pipi Janeetha. Ia tidak tahu harus menjelaskan bagaimana lagi agar suaminya mengerti dan berhenti.
"Jadi aku akan mengingatkanmu lagi dan lagi…" Dikara berkata dengan lenguhan karena ia berhasil masuk meski baru setengah. "Bahwa kamu adalah milikku!"
Janeetha menutup matanya, mencoba melupakan rasa sakit yang terus menggerogoti jiwanya.
Air mata terus mengalir di pipi pucat Janeetha, menciptakan jejak-jejak kepedihan yang tak bisa ia sembunyikan.
Tangannya yang dicengkeram erat oleh Dikara bergetar, tetapi ia tahu, perlawanan hanyalah mimpi di malam yang kelam ini.
Pikiran Janeetha melayang ke masa lalu, saat perasaan mereka masih murni dan penuh kebahagiaan.
Ah, tidak! Sepertinya hanya diriya yang sempat memiliki perasaan seperti itu…
Kini, semua itu tinggal kenangan. Hubungan mereka yang dulunya tampak indah, perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang tak berkesudahan.
***
Janeetha duduk di pinggiran tempat tidur, menahan napas sembari mendesis perlahan. Rasa perih yang terasa di bagian inti tubuhnya terus berdenyut, mengingatkan dirinya pada apa yang baru saja terjadi.
Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha mengalihkan rasa sakit itu, tetapi bayangan wajah Dikara yang penuh nafsu tanpa kasih sayang terus mengganggu pikirannya.
Padahal semalam dan subuh tadi, Dikara sudah menagih jatahnya, untuk melayani tanpa peduli pada kelelahan dan ketidaknyamanan yang Janeetha rasakan.
Dan kini, hanya satu jam sebelum pria itu harus berangkat ke kantor, ia kembali meminta hal yang sama. Bukan, bukan meminta—memaksa, seperti biasanya.
Janeetha sebenarnya tak mempermasalahkan kebutuhan suaminya itu. Bagi dirinya, kewajiban seorang istri adalah hal yang biasa.
Namun, yang ia tidak bisa terima adalah cara Dikara memperlakukannya—baik dalam hubungan intim maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Sudah dua tahun mereka menikah, tetapi tak sekalipun Dikara menunjukkan kelembutan atau kasih sayang yang dulu pernah ia impikan dari seorang suami. Sebaliknya, pria itu cenderung kasar, dingin, dan akhir-akhir ini sikap posesifnya semakin menjadi-jadi.
Janeetha sering merasa tercekik, seolah-olah tak ada ruang baginya untuk bernapas, apalagi untuk menjadi dirinya sendiri.
Saat ia sedang sibuk menepis rasa sakit yang menjalar, sebuah getaran dari ponsel Dikara yang tergeletak di atas nakas menarik perhatiannya. Layarnya berkelip, menandakan adanya pesan masuk.
Nama "Ameera" muncul di sana, membuat Janeetha terdiam sejenak.
Biasanya, Janeetha tak pernah tertarik untuk mengurusi urusan pribadi Dikara. Sejak awal pernikahan mereka, kesepakatan itu sudah dibuat: masing-masing mengurusi hidup sendiri.
Namun, entah mengapa, karena telah berkali-kali mendapatkan nama wanita yang sama dalam waktu yang cukup lama dan cukup sering, kali ini ada dorongan kuat dalam diri Janeetha untuk meraih ponsel tersebut dan membukanya.
Meski sedikit heran karena Dikara tidak memasang pengamanan apapun pada ponselnya, Janeetha lebih fokus untuk membuka pesan dari Ameera.
Perasaan aneh menjalar di hatinya, campuran antara rasa penasaran dan ketidaknyamanan yang tak bisa ia jelaskan.
[Ameera: Terima kasih tasnya. Kutunggu pagi ini]
Janeetha membaca pesan yang diakhiri dengan emoticon hati itu berulang kali, seakan ingin memastikan bahwa matanya tidak salah melihat.
Ia bahkan melihat foto sebuah tas mewah yang disertakan Ameera dalam pesan itu—tas yang jelas sangat mahal, bahkan lebih mahal dari apa yang pernah Dikara berikan padanya.
Tidak, Janeetha tidak merasa cemburu. Ia sudah lama kehilangan rasa cinta dan sayang terhadap suaminya. Yang ia rasakan sekarang adalah kemarahan dan kekecewaan yang mengalir deras dalam dirinya.
Bagaimana mungkin Dikara bisa bersenang-senang dengan wanita lain di luar sana, sementara ia diperlakukan dengan kejam di rumah ini? Apa yang membuat Dikara berpikir bahwa ia bisa memiliki segalanya, tanpa sedikit pun memperhitungkan perasaan orang lain?
Ketika suara air di kamar mandi berhenti, Janeetha segera meletakkan kembali ponsel Dikara di tempatnya semula. Dengan perlahan, ia mengenakan jubah tidur satinnya, meskipun kulitnya terasa perih akibat perlakuan kasar Dikara. Ia berusaha menyembunyikan ketidaknyamanan itu, tetapi dalam hatinya, Janeetha tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup seperti ini. Dikara keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit di pinggangnya, rambutnya masih basah.Janeetha mengamatinya sesaat. Dulu, pemandangan ini sempat membuat hatinya berdebar penuh damba, tetapi semuanya seakan sirna perlahan. Pria itu tak lagi mampu membuat dirinya bergetar seperti dulu meski rasa yang ia miliki masih tersisa meski samar.“Mengapa kau melihatku seperti itu?” tanya Dikara, nada suaranya dingin sembari menatap balik tak kalah tajam. Raut wajahnya tampak datar, tak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia menyadari adanya ketegangan yang sedang membara di dalam diri istrinya. Janeetha menatap suaminya dengan penuh k
Mendengar tangisan Janeetha, Maura menjadi semakin khawatir. “Tenang, Janeetha. Aku di sini untukmu. Apa kau bisa keluar sekarang? Kita bisa bertemu dan bicara.”Tanpa berpikir panjang, Janeetha mengangguk meski Maura tak bisa melihatnya. “Iya… aku akan keluar sekarang. Aku tak bisa berada di sini lebih lama.”“Baiklah, aku akan menunggumu di kafe biasa. Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja,” kata Maura dengan suara lembut dan berusaha menenangkan.Setelah menutup telepon, Janeetha bergegas bangkit dari lantai, menghapus air matanya yang masih berlinang.Ia tahu bahwa ia harus segera pergi dari sini, setidaknya untuk sementara waktu. Bertemu dengan Maura mungkin tidak akan menyelesaikan semua masalahnya, tetapi setidaknya ia tidak akan sendirian dalam menghadapi ini.Janeetha berjalan menuju lemari dan mengambil pakaian yang lebih layak untuk dikenakan di luar. Meski rasa sakit masih menjalari tubuhnya, ia berusaha keras untuk tidak memikirkannya.Setelah berpakaian, ia mengam
“Kak Fabian,” ucapnya lirih sedikit keheranan membuat Maura pun segera menoleh ke arah yang sama. Fabian adalah kakak Maura. Janeetha mengenalnya sebagai pria yang selalu ramah dan penuh perhatian, tetapi Janeetha selalu merasa canggung di hadapannya. Ada sesuatu pada Fabian yang selalu membuatnya merasa tak nyaman, seolah ada perasaan yang tersembunyi di balik tatapan hangatnya. "Kak!" Maura menatap kakaknya dengan sedikit terkejut. "Apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak kerja?" “Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini?” sahut Fabian mencebik membuat Maura membalas dengan hal yang sama. Janeetha mengulum senyum melihat interaksi kakak adik yang selalu mampu menghiburnya sedari dulu. Fabian menarik sudut bibirnya sekilas saat melihat teman adiknya itu mulai tersenyum, meski rasa khawatir masih tampak jelas di wajah pria itu. Perlahan Fabian duduk di sebelah adiknya yang masih menuntut jawaban darinya. "Aku tadi mendengar kau ingin bertemu dengan Janeetha, dan aku... meras
Pertanyaan itu, yang seharusnya sederhana, menghantam Janeetha seperti badai. Ia terdiam, tak tahu harus berkata apa.Cinta. Apakah perasaan itu masih ada?Janeetha menunduk, memikirkan kembali hubungannya dengan Dikara. Semakin ia memikirkannya, semakin jelas bahwa cinta yang pernah ada sudah lama hilang. Kini, hanya ada kebencian dan rasa kecewa yang tersisa."Aku tak tahu," suara Janeetha terdengar serak, nyaris tak terdengar. Dia meremas jemarinya sendiri, mencoba mencari kekuatan yang entah sudah berapa lama hilang. "Aku tak tahu apa yang aku rasakan lagi."Fabian terdiam, matanya tak lepas dari wajah Janeetha yang tampak rapuh. "Janeetha," Fabian berusaha tenang, tetapi tak dapat menyembunyikan nada kesal yang terselip. "Mengapa kau mempertahankan pria yang sudah jelas-jelas menyakitimu?"Janeetha tersentak. Kedua matanya langsung menatap Fabian penuh kebingungan. "Kakak... dari mana kakak tahu?"Sejenak, Fabian tak menjawab. Hening menyelimuti mereka. Akhirnya, Fabian menghela
“Mas? Kok sudah pulang? Ada yang tertinggal?” tanya Janeetha tetapi tak mendapatkan jawaban hanya tatapan suaminya yang sulit diartikan.Tak ingin memperpanjang masalah, Janeetha menyampaikan undangan keluarganya."Ibu tadi menelpon. Kita diundang untuk makan malam di rumah orang tuaku," ucapnya dengan suara pelan, berusaha untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanan yang ia rasakan. "Ibu dan Ayah ingin bertemu dengan kita."Dikara mengangguk, wajahnya tetap tanpa ekspresi. "Baiklah. Kita akan pergi."Namun, sebelum Janeetha bisa bernapas lega, Dikara melangkah mendekat, suaranya berubah menjadi nada peringatan yang dingin. Pria itu mencubit dagu Janeetha cukup keras hingga tatapan mereka bertemu. "Dan selama kita berada di sana, yang perlu kau lakukan di depan mereka adalah bersikap sebagaimana istri yang baik, penurut dan manis. Jangan sekali-kali menunjukkan apa yang sering kau tunjukkan padaku selama ini! Jika kau membuat kesalahan sekecil apa pun, kau tahu apa yang akan terjadi." Ja
“Mas, jangan ngebut-ngebut,” ucap Janeetha lirih, merasakan dadanya semakin sesak dengan setiap kilometer yang mereka tempuh. Di perjalanan pulang, suasana dalam mobil terasa mencekam. Dikara memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi hingga Janeetha harus mencengkeram pegangan di atas pintu dengan kuat. Ia berusaha mengusir rasa takut jika mereka tiba-tiba menabrak kendaraan lain atau bahkan terguling. Namun, ketakutan itu bukan hanya karena kecepatan mobil, melainkan karena keheningan yang mematikan di antara mereka. Ketika mereka sampai di dalam apartemen, pintu tertutup dengan sangat keras. Janeetha belum sempat menghela napas ketika Dikara tiba-tiba mencengkram lengannya dengan kasar, memutar tubuhnya hingga mereka saling berhadapan. “Berani sekali kau membuka ponselku!” Suaranya rendah, hampir seperti singa yang siap menyerang. Tatapan matanya penuh dengan kemarahan yang nyaris tak terkendali.
Dikara, yang sudah berada di puncak kemarahannya, tidak lagi bisa mengendalikan dirinya. Setiap permintaan cerai yang diajukan Janeetha, hanya menambah bahan bakar pada api yang sudah berkobar dalam dirinya.“Apa yang kau inginkan dariku, Janeetha? Hah?” teriak Dikara penuh amarah. “Kau pikir aku tidak tahu bahwa kau mencampuri urusanku? Kau pikir kau bisa mengontrolku dengan permintaan bodohmu itu?”Janeetha mundur beberapa langkah, mencoba mencari ruang untuk bernapas di tengah badai yang melanda mereka.Namun, Dikara tidak memberinya kesempatan. Pria itu malah mencengkram kedua bahu mungil istrinya dengan kasar dan mendorongnya ke dindingmembuat Janeetha memekik kecil karena sakit."Kau tidak akan pernah bisa lari dariku! Kau akan tetap menjadi istriku, selamanya, apapun yang terjadi! Dan kau akan melakukan setiap hal yang aku perintahkan, tanpa pengecualian! Mengerti? Aku tak peduli apa yang kau rasakan, kau milikku—sepenuhnya!" Suara Dika
Suara sekitar yang sedikit berisik membuat Janeetha mau tak mau membuka mata seiring merasakan nyeri di seluruh tubuh, terutama di lengan dan punggung, di mana luka-luka memar tampak jelas di kulitnya yang pucat.Pandangannya buram saat ia menatap langit-langit kamar, samar-samar mengingat kejadian semalam sebelumnya. Hatinya kembali remuk dan tiba-tiba saja air mata menggenang di pelupuk."Bangun. Siapkan sarapan untukku." Suara berat yang berada tak jauh di belakangnya membuat Janeetha sedikit tersentak.Kalimat yang keluar dari mulut Dikara adalah perintah dan tidak dapat dibantah.Perlahan, Janeetha berusaha duduk meski sakitnya membuat napasnya tersengal. Pakaian tidurnya kusut, rambutnya berantakan, dan wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya. Namun, semua
Hingga akhirnya saat pintu itu terbuka, udara dingin dari luar langsung menyambutnya.Janeetha sempat terdiam sepersekian detik menikmati aroma udara kebebasan lalu bergegas keluar melangkah keluar. Rasanya, dadanya ingin meledak saat kakinya melewati pintu dan merasakan kebebasan kecil untuk pertama kalinya. Namun, ia tahu ini baru permulaan.Di kejauhan, sebuah mobil hitam dengan kaca gelap menunggunya. Sopirnya mengangguk cepat begitu melihat Janeetha.Saat kaca jendela bagian supir turun, pria itu berkata, “Cepat masuk!”Tanpa ragu, Janeetha mempercepat langkahnya dan bergegas masuk ke dalam mobil, menutup pintu di belakangnya.Mobil pun mulai bergerak. Janeetha menatap keluar jendela, menyaksikan hotel itu menjauh.Rasa haru dan bahagia begitu membuncah menyesakkan dadanya hingga akhirnya air mata merebak di pelupuk mata wanita itu. Ia bahkan harus menutup mulutnya dengan tangan agar isakannya tidak keluar.Supi
Pagi hari di hotel itu tenang.Namun, bagi Janeetha, setiap langkah yang ia ambil terasa seperti berjalan di seutas tali yang berada di atas lautan api.Semalam, ia tak dapat memejamkan matanya dengan tenang karena terlalu bersemangat sekaligus khawatir.Tak ingin membuang waktu, Janeetha bergegas keluar dari kamarnya dan turun. Ia mengenakan gaun ringan berwarna pastel, dengan tas kecil yang tersampir di pundaknya.Penampilannya memang terlihat santai, tetapi hatinya tidak tenang.Suara langkah kakinya yang beradu dengan lantai marmer di lorong menggema, mengiringi jantungnya yang berdetak cukup kencang.Di dalam lift menuju spa, Janeetha mengatur napasnya, mencoba menenangkan debaran di dada. Ia tahu bahwa setiap detik pagi ini penting, dan ia harus memanfaatkan kesempatan yang ada.Ketika pintu lift terbuka, aroma terapi lavender langsung menyambutJaneetha. Musik lembut mengalun di latar belakang, memberikan ilusi ketenangan yang
Dikara duduk di kursi besar di ruang kerja hotelnya. Pria itu sedang membaca laporan yang dikirim oleh beberapa orang suruhannya yang mengikuti Janeetha.Mata hitamnya menelusuri setiap detail dalam laporan itu, mencoba menemukan sesuatu yang luput dari perhatian. Sejauh ini, tidak ada gerakan mencurigakan dari Janeetha. Ia tetap berada di hotel, berjalan-jalan di area sekitar tanpa menunjukkan tanda-tanda ingin kabur.Namun, rasa lega yang seharusnya muncul malah tenggelam dalam pusaran rasa tidak puas yang semakin dalam.Dikara meletakkan ponselnya ke atas meja dengan gerakan kasar, suara benda itu menyentak keheningan ruangan. Ia menyandarkan punggung ke kursi, tetapi bukannya merasa nyaman, tubuhnya terasa semakin tegang.Tatapannya kosong, terpaku pada sesuatu yang tak terlihat di depan sana. Pikirannya berputar begitu cepat, seperti mesin yang tak pernah berhenti bekerja, hingga dada terasa sesak.“Kenapa rasanya semua ini masih salah?” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan kep
BAB 108 - "Langkah di Bawah Bayang-Bayang"Dingin malam menyentuh kulit Janeetha saat ia turun dari taksi. Matanya mengamati hotel mewah yang menjulang di hadapannya—tempat yang telah dipesankan Rusli untuknya.Pilihannya tampak disengaja, hotel ini memiliki keamanan tinggi, membuat siapa pun sulit bertindak ceroboh. Namun, Janeetha tahu, di balik kenyamanan ini, Dikara tetap menebarkan bayang-bayangnya.Janeetha melangkah masuk ke lobi hotel dengan langkah percaya diri, meski hatinya dipenuhi ketegangan. Aroma wangi kayu cendana memenuhi udara, bercampur dengan keheningan khas hotel bintang lima. Seorang resepsionis wanita menyambutnya dengan senyum hangat.“Selamat malam, Nyonya. Apa yang bisa kami bantu?”Janeetha menyerahkan dokumen yang telah diberikan Rusli kepadanya. “Saya ingin check-in. Nama saya sudah terdaftar di bawah reservasi.”“Baik, Nyonya. Sebentar ya,” jawab resepsionis dengan sopan, mengetik cepat di komputer.Janeetha mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencoba
Malam semakin larut, tetapi Dikara tetap terjaga. Ia duduk dalam kegelapan kamar hotelnya, hanya diterangi oleh lampu-lampu kota yang redup dari balik jendela besar yang tirainya sengaja ia biarkan terbuka. Tatapannya kosong, mengarah ke panorama malam yang tak memberikan ketenangan apa pun pada pikirannya.Segelas whiskey di tangan Dikara kini tinggal separuh. Ia menyesapnya perlahan, merasakan panasnya mengalir di tenggorokan, tetapi itu tak cukup untuk mengusir rasa gelisah yang terus membakar pikirannya.Pikirannya tertuju pada Janeetha. Ia tahu, saat ini wanita itu masih berada di atas pesawat, menuju Ardenton dalam penerbangan panjang yang melelahkan."Dia pasti merasa bosan sendirian di pesawat," gumam Dikara pelan. Sebuah senyum tipis menghiasi wajahnya, tetapi senyum itu segera pudar, tergantikan oleh ekspresi masam."Astaga, aku bertingkah seperti orang bodoh," desisnya sambil mendecak keras. Ia memalingkan wajahnya ke arah meja kecil di dekat tempat tidurnya, di mana ponseln
Dikara duduk di kursi kulit hitam yang mewah di sudut suite hotelnya. Pemandangan kota yang gemerlap terbentang di balik dinding kaca, tetapi pikirannya berada di tempat lain. Jemarinya menggenggam ponsel dengan erat, membaca ulang pesan singkat yang baru saja diterimanya.[Pesawat Nyonya sudah take off, Tuan.]Pria itu mengetukkan jarinya ke meja dengan ritme pelan namun teratur, sebuah kebiasaan yang muncul setiap kali pikirannya terganggu.“Kenapa rasanya ada yang salah?” gumamnya pelan.Dikara mencoba membuang pikiran itu dengan meminum kopi hitam di depannya. Rasanya pahit, seperti perasaannya saat ini.Ia sudah memastikan semuanya terkendali—menempatkan orang-orangnya di dekat Janeetha, memastikan keberadaannya diketahui setiap saat, bahkan menyiapkan rencana cadangan.Namun, tetap saja, hati pria itu terasa gelisah.Pikirannya mulai berputar. Bagaimana jika Janeetha benar-benar mencoba melarikan diri darinya? Bagaimana jika...“Tidak,” gumamnya lagi, lebih keras kali ini, seaka
Perjalanan menuju bandara terasa begitu panjang bagi Janeetha, meskipun jam di dashboard mobil menunjukkan waktu terus bergulir. Jalanan sore itu cukup lengang, tetapi di dalam kendaraan, suasana penuh dengan ketegangan yang tak terlihat.Janeetha duduk di kursi belakang, kedua tangannya menggenggam erat tas kecil di pangkuannya. Matanya melirik keluar jendela, tetapi pikirannya melayang jauh.Rusli yang berada di belakang kemudi mengamati gerak gerik Janeetha beberapa kali melalui kaca spion tengah. Pria itu pun berusaha memecah keheningan.“Nyonya, tenang saja. Saya sudah memastikan rencana ini berjalan dengan baik,” ucapnya, penuh keyakinan.Janeetha mengangguk kecil, tetapi dirinya tetap merasa tegang. Ia tahu Rusli sedang berusaha menenangkannya, tetapi kata-kata pria itu hanya sedikit mengurangi kecemasan yang melingkupi dirinya.“Tapi,” lanjut Rusli, “Akan ada beberapa orang suruhan Tuan Dikara yang ikut dalam penerbangan Anda. Mereka akan mengawasi setiap gerakan Anda di Arden
Sementara itu, di mansion, Janeetha memeriksa sekali lagi barang-barang yang ia siapkan. Tas kecil yang berisi dokumen, pakaian, dan sejumlah uang sudah siap. Ia duduk di tepi tempat tidur, matanya menatap pintu dengan tatapan waspada. Dalam hati, ia terus berdoa agar semua berjalan sesuai rencana. Janeetha memikirkan pesan Fabian yang baru saja diterimanya. “Jangan ambil risiko sebelum waktunya,” gumamnya. Kata-kata itu terus terngiang, seakan menjadi mantra yang menahan dirinya dari rasa takut dan panik. Ia tahu, hanya tinggal sedikit waktu lagi. *** Pagi yang seharusnya cerah di mansion terasa penuh dengan ketegangan bagi Janeetha. Ia bangun lebih awal dari biasanya, merasa terlalu gelisah untuk bisa tidur nyenyak. Langkahnya pelan saat turun ke ruang makan, mencoba menjaga sikap tenang meski di dalam hati ia seperti gunung berapi yang hampir meletus. Di dapur, Maya sudah sibuk. Wanita itu terlihat ceria, mempersiapkan makanan dengan semangat yang tak biasa. Saat melihat Janeet
Maura terdiam, tetapi wajahnya menunjukkan bahwa ia masih belum sepenuhnya puas. “Kak, aku peduli pada Janeetha, tapi ini berbeda. Membantu dari jauh itu satu hal. Tapi ini? Menyiapkan dokumen palsu, menyusun rencana pelarian? Apa kau sadar seberapa berbahayanya ini?”Fabian menatap Maura tajam, nada suaranya sedikit lebih keras. “Tentu aku sadar! Aku tahu betapa berbahayanya ini. Tapi aku tidak bisa hanya berdiri dan melihat dia terus dikekang oleh orang seperti Dikara. Jika kau di posisinya, aku akan melakukan hal yang sama untukmu.”“Ini bukan soal itu, Kak,” balas Maura dengan suara lebih lembut. “Janeetha mungkin sahabat kita, tapi kau mengorbankan terlalu banyak untuknya. Kau mempertaruhkan nyawamu, karirmu, bahkan hidupmu sendiri. Aku hanya… aku hanya ingin tahu kenapa kau begitu yakin dia layak dengan semua ini.”Fabian terdiam, rahangnya mengeras. Setelah beberapa detik, ia menjawab dengan suara tenang namun tegas. “Karena dia layak mendapatkan kesempatan untuk hidup bebas,