Share

Kau Mencintainya?

“Kak Fabian,” ucapnya lirih sedikit keheranan membuat Maura pun segera menoleh ke arah yang sama.

Fabian adalah kakak Maura. Janeetha mengenalnya sebagai pria yang selalu ramah dan penuh perhatian, tetapi Janeetha selalu merasa canggung di hadapannya.

Ada sesuatu pada Fabian yang selalu membuatnya merasa tak nyaman, seolah ada perasaan yang tersembunyi di balik tatapan hangatnya.

"Kak!" Maura menatap kakaknya dengan sedikit terkejut. "Apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak kerja?"

“Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini?” sahut Fabian mencebik membuat Maura membalas dengan hal yang sama.

Janeetha mengulum senyum melihat interaksi kakak adik yang selalu mampu menghiburnya sedari dulu.

Fabian menarik sudut bibirnya sekilas saat melihat teman adiknya itu mulai tersenyum, meski rasa khawatir masih tampak jelas di wajah pria itu.

Perlahan Fabian duduk di sebelah adiknya yang masih menuntut jawaban darinya. "Aku tadi mendengar kau ingin bertemu dengan Janeetha, dan aku... merasa perlu memastikan bahwa semuanya baik-baik saja."

Janeetha terkejut mendengar kata-kata Fabian, kemudian beralih pada Maura.

“Tadi kak Fabian menghubungiku dan ingin mengajakku bertemu perihal pekerjaan, tetapi aku bilang aku ingin bertemu denganmu. Jadi …” Maura tak meneruskan kalimatnya melihat raut wajah Janeetha berubah jengah.

Janeetha memang merasa tidak enak karena merepotkan kedua kakak-beradik itu. Ia bahkan tak pernah tahu bahwa Fabian begitu peduli padanya, sampai-sampai pria itu merasa perlu datang ke kafe ini hanya untuk memastikan keadaannya.

“Kau baik-baik saja?” tanya Fabian menatap lekat ke arah Janeetha.

Tak ingin membuat semua orang khawatir, wanita itu tersenyum samar dan mengangguk. "Ya, aku … baik-baik saja, Kak. Terima kasih sudah khawatir."

Percakapan ketiganya berlanjut dan seiring waktu, suasana menjadi lebih tenang. Maura dan Fabian berusaha membuat Janeetha merasa nyaman, berbicara tentang hal-hal ringan untuk mengalihkan pikirannya dari masalah yang sedang dihadapinya.

Kedua manik Fabian tak lepas dari Janeetha. Sungguh, sejak ia mengenal Janeetha, ia tak berusaha menyangkal jika ia memiliki perasaan pada adik temannya ini.

Saat berencana untuk mengungkapkannya, kabar Janeetha menikah membuat pria itu mengurungkan niatnya dan segera menguburnya dalam-dalam. Meski masih ada hingga detik ini.

Dan mendapati kenyataan Janeetha tak bahagia dengan pilihannya, membuat keinginan Fabian untuk memiliki wanita ini semakin membesar.

Tiba-tiba ponsel Maura bergetar. Ia pun segera mengambilnya dan memasang wajah tidak enak pada Janeetha. “Kepala manajer mencariku. Ia membutuhkan bantuan untuk menyusun proposal rencana untuk proyek berikutnya.”

Janeetha tersenyum sembari menggeleng pelan. “Tak apa. Dahulukan pekerjaanmu. Aku malah merasa telah menganggumu-”

“Hey!” Maura menekuk wajahnya lucu membuat Janeetha tertawa kecil. Ia sudah cukup terhibur dengan kehadiran dua kakak beradik ini. “Kalau ada apa-apa hubungi aku!”

Janeetha mengangguk lalu Maura memeluknya erat sebelum temannya itu pamit, meninggalkan dirinya dengan Fabian. Janeetha bahkan baru tersadar akan hal itu.

Janeetha menunduk, menyembunyikan kegelisahan yang terus merambat di dadanya.

Ruang yang tadinya penuh dengan percakapan ringan kini terasa sunyi, hanya diisi oleh detak jantungnya yang berdetak tak karuan.

Fabian masih menatapnya, dengan sorot mata yang membuatnya merasa semakin kecil. Bukan karena pria itu menghakiminya, melainkan karena perhatian yang diberikan terasa begitu aneh.

Seolah-olah Fabian peduli padanya lebih dari siapapun. Namun, Janeetha tahu, itu tidak mungkin. Pria itu peduli padanya karena ia adalah teman dari adiknya, bukan?

"Kakak tidak kembali ke kantor?" Janeetha mencoba mengalihkan pikirannya dari kecanggungan yang mulai menyelimuti.

Fabian tersenyum lembut, sebuah senyum yang tak pernah Janeetha lihat dari Dikara selama bertahun-tahun pernikahan mereka. "Tak apa, hari ini aku sudah izin untuk menemanimu."

Janeetha terkesiap, terkejut mendengar perhatian itu. "Kak..." gumamnya, namun suara itu terputus di tengah kalimat. Kebingungan dan rasa tidak percaya menyelinap di hatinya.

"Aku hanya ingin memastikan kau benar-benar baik-baik saja." Suara Fabian begitu lembut, seperti oase yang datang di tengah gurun tandus yang selama ini ia rasakan dalam pernikahannya.

Hati Janeetha kembali terasa teriris mengingat betapa dinginnya Dikara selama ini. Tak pernah sekalipun pria itu berbicara dengan kehangatan seperti ini.

Janeetha mencoba tersenyum, tapi air mata sudah terlanjur menggenang di pelupuk matanya. Ia tertawa kecil untuk menyembunyikan rasa sakit yang menghantamnya, sambil mengusap air matanya dengan cepat. "Maaf, aku hanya terbawa suasana."

Wajah Fabian berubah khawatir. "Kau tak perlu minta maaf," ujarnya, mencoba menenangkan.

Janeetha mengangguk sambil berusaha menahan tangisnya.

Fabian memahami jika suasana ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Ia segera kembali mengalihkan pembicaraan dengan topik-topik ringan.

Sepanjang percakapan, perhatian Fabian tak pernah lepas dari Janeetha, membuat wanita itu semakin jengah.

Di satu sisi, kehadiran Fabian membuatnya merasa diperhatikan, tetapi di sisi lain, ada sesuatu yang aneh dan tidak familiar dari perhatian yang ia terima.

Setelah beberapa saat hening, Fabian akhirnya menarik napas dalam-dalam, seolah mencari keberanian untuk berbicara.

"Janeetha, boleh aku tanya sesuatu yang sangat penting?" tanyanya, kali ini dengan nada serius yang membuat Janeetha merasakan ketegangan menggelayut di udara.

Janeetha mengangguk, meskipun rasa gugup tiba-tiba muncul. "Apa?"

Fabian terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. Lalu, dengan suara pelan namun tegas, ia bertanya, "Apakah kau... mencintai Dikara?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status