Suara sekitar yang sedikit berisik membuat Janeetha mau tak mau membuka mata seiring merasakan nyeri di seluruh tubuh, terutama di lengan dan punggung, di mana luka-luka memar tampak jelas di kulitnya yang pucat.
Pandangannya buram saat ia menatap langit-langit kamar, samar-samar mengingat kejadian semalam sebelumnya. Hatinya kembali remuk dan tiba-tiba saja air mata menggenang di pelupuk.
"Bangun. Siapkan sarapan untukku." Suara berat yang berada tak jauh di belakangnya membuat Janeetha sedikit tersentak.
Kalimat yang keluar dari mulut Dikara adalah perintah dan tidak dapat dibantah.
Perlahan, Janeetha berusaha duduk meski sakitnya membuat napasnya tersengal. Pakaian tidurnya kusut, rambutnya berantakan, dan wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya. Namun, semua
Seperti pencuri yang tidak ingin ketahuan, Janeetha berjalan dengan langkah cepat sembari menutupi sebagian wajahnya dengan topi baseball yang ia kenakan. Ia juga berharap kacamata hitam yang ia pakai, menyamarkan wajahnya. Degupan dalam dadanya semakin kuat. Seumur hidup, ini pertama kalinya Janeetha melakukan hal seperti ini, seakan sedang melakukan sesuatu yang melanggar hukum! Maura mengirim pesan jika Fabian sudah menunggunya di sebuah kafe, tak jauh dari area apartemen milik Dikara. Meski Janeetha sebenarnya sedikit jengah karena malah pria itu yang menjemputnya, tetapi untuk saat ini ia lebih fokus pada usahanya untuk melepaskan diri dari sang suami secepat mungkin. Janeetha mempercepat langkahnya dan bernapas lega ketika telah melihat mobil milik Fabian di depan kafe yang disebutkan. Ia hampir berlari saat menghampiri dengan jantungnya semakin berdetak kencang. Fabian menurunkan kaca jendela dan memandang Janeetha dengan tatapan serius meski kelembutan masih ada di sana.
Dikara.Nafas Janeetha memburu, pikiran berputar. Dengan tubuh gemetar, dia menoleh ke arah Fabian yang masih terbaring di tanah, tak berdaya. Situasi ini semakin mencekam.Janeetha tahu bahwa melawan hanya akan memperburuk keadaan, tetapi hatinya memberontak. Meski demikian, dia tidak punya pilihan lain selain mengikuti apa yang diminta.Ketegangan semakin membelit, dan Janeetha bisa merasakan ancaman semakin nyata, seolah nasibnya kini berada di tangan mereka.Ah, bukan.Nasibnya berada di tangan Dikara …"Aku akan ikut kalian tapi jangan lagi sakiti dia," ucap Janeetha sembari melihat ke arah Fabian yang seketika menatap protes."Tak apa, Kak. Mas Dika hanya ingin bicara denganku." Seulas senyum terbit di wajah Janeetha. Ia berusaha menenangkan Fabian dan juga dirinya sendiri.Setelahnya, kedua pria itu menuntun Janeetha menuju mobil hitam mewah yang terparkir tak jauh dari mereka berad
Tanpa peringatan, Dikara menunduk dan mencium Janeetha dengan kasar. Ciuman itu penuh paksaan, membuat Janeetha tersentak dan memalingkan wajahnya, berusaha menghindari sentuhan suaminya. Namun, Dikara mencengkeram rahangnya dengan kuat, memaksa Janeetha untuk tidak melawan. "Kau milikku, Janeetha! Apa pun yang terjadi, kau tetap milikku!" Suaranya rendah, penuh kemarahan. Tangan Dikara bergerak liar, meremas tubuh Janeetha tanpa rasa iba. Janeetha menggigil, tangan kecilnya mencoba menahan lengan suaminya, tetapi kekuatannya jauh dari cukup untuk menghentikan Dikara. "Hentikan, Mas! Kumohon... jangan begini…" suaranya semakin putus asa, tetapi tidak ada belas kasih di mata Dikara. Dikara terus bergerak kasar, seolah ingin menghukum Janeetha, memaksanya tunduk pada kehendaknya. "Kau pikir bisa lari dariku? Hah? Kau salah besar!" Janeetha berusaha meronta. Sayangnya setiap gerakannya dihentikan oleh cengkeraman kuat Dikara. Ia merasa seperti terjebak dalam perangkap yang tak m
Tiba-tiba, suara dering ponselnya memecah keheningan. Janeetha mengerjap, terkejut. Setelah mengusap air mata dari wajahnya, tangannya meraba-raba tas yang ada di dekatnya, mencari sumber suara itu. Saat ia mengeluarkan ponsel dan melihat nama yang tertera di layar, hatinya langsung berdebar keras. Ada nama Fabian tertera di layar. Perasaan khawatir bercampur jengah menyerbu Janeetha. Ia sudah melibatkan Fabian terlalu jauh dalam masalah ini, dan yang paling menyakitkan, ia meninggalkan Fabian begitu saja saat pria itu terluka.Janeetha menggigit bibirnya, menahan rasa bersalah yang mendalam. Dengan ragu, ia menggeser layar dan menerima panggilan tersebut sambil mempersiapkan diri untuk menerima reaksi dari Fabian apapun itu.Namun, suara pertama yang terdengar bukan Fabian, melainkan Maura. “Janeetha! Kau baik-baik saja?” Suara Maura terdengar penuh kekhawatiran. "Kak Fabian telah menceritakan apa yang terjadi tadi!"Janeetha me
Pintu terbuka dan Rusli masuk."Saya sudah mengantar Nyonya Janeetha dan memastikan ia masuk ke dalam apartemen, Tuan," laporpria itudengan nada tenang.Dikara tidak menoleh, hanya mengangguk sedikit, masih menatap ke luar jendela. "Bagus."Kemudian, setelah hening sejenak, ia berbalik, menatap Rusli dengan mata tajamnya. "Mulai sekarang, kau harus semakin memperketat pengawasan pada Janeetha. Aku tidak ingin ada celah sedikit pun yang bisa dia gunakan untuk kabur!"Rusli sedikit mengernyit. "Maksud Tuan?""Pastikan ia tidak bisa bergerak tanpa sepengetahuanku." Dikara berkata tanpa ingin dibantah. "Beli sesuatu yang bisa dipakai oleh Janeetha setiap haridan pasang alat pelacak di dalamnya."Sang asistenterkejut, meskipun ia berusaha untuk tidak menunjukkannya secara jelas. "Alat pelacak?" Ia ragu sejenak sebelum melanjutkan, "Apakah itu tidak terlalu … berlebihan?"Amarah langsung menyelimuti wajah Dikara. Rah
Jantung Janeetha seolah berhenti berdetak. Dengan suara bergetar, ia bertanya, "Dibekukan? Apa maksud Anda?""Rekening Anda dibekukan atas permintaan pemilik utama akun." Jawaban operator terdengar sopan tetapi sangat hati-hati.Janeetha mulai merasa perutnya bergolak saking gugupnya. "Siapa yang meminta pembekuan itu?" Ia tetap bertanya, meski dalam hati sudah tahu jawabannya."Suami Anda, Bu. Pak Dikara." Mendengar jawaban tersebut, Janeetha memejamkan mata, hatinya berdenyut sakit.Tentu saja, ini semua ulah suaminya. Pria itu tidak hanya ingin mengontrol gerak-geriknya, tapi juga memblokir setiap jalan keluar yang mungkin ada."Terima kasih." Janeetha mengucapkannya nyaris berbisik dan lemah, seakan tak ada harapan pada dirinya, sebelum menutup telepon.Tangannya bergetar hebat saat ia meletakkan ponsel ke atas meja.Janeetha tiba-tiba teringat akan sesuatu. Dokumen-dokumen penting yang dia sembunyikan di dalam kopernya.
Dikara duduk di ruang kerjanya, dikelilingi oleh berkas-berkas proyek yang tertata rapi di atas meja besar berlapis kayu mahoni. Rusli berdiri di depannya, melaporkan perkembangan proyek pembebasan tanah untuk pembangunan jalan layang. Suasana terasa semakin membosankan, apalagi Dikara tampak tidak terlalu peduli dengan laporan yang disampaikan. Pikirannya teralihkan sepenuhnya oleh Janeetha—istri yang sejak seminggu terakhir menunjukkan sikap yang cenderung bekerja sama meski pasif, tetapi tetap ketus. Anehnya, sikap Janeetha yang seperti ini membuatnya semakin menarik bagi Dikara. Seakan ada sesuatu yang membuat perlawanan diam-diam wanita itu menantang. “Proyek pembebasan tanah sudah 80% selesai, Tuan,” Ucapan hati-hati Rusli, sedikit mengejutkan Dikara. “Tapi ada beberapa pemilik lahan yang bersikeras menolak penawaran kami. Mereka bahkan berencana mengajukan gugatan.” Dikara kembali mendengarkan. Tatapannya tajam dan dingin. Pria itu tidak punya kesabaran untuk masalah-masala
Janeetha terkejut. Sentuhan pelan itu begitu kontras dengan sikap Dikara yang biasanya dingin. Ia meremang seketika, rasa aneh menjalar di sekujur tubuh. Dalam kebingungan Janeetha menatap pria di depannya, seakan bertanya maksud dari elusan tersebut. Dikara memandang istrinya dalam-dalam, menyusuri setiap inci wajahnya, sebelum akhirnya berkata dengan suara sedikit serak, “Aku ingin membersihkan diri dulu.” Sepeninggalan suaminya, Janeetha masih saja tergugu. Ia menelan ludah kepayahan, jantungnya berdetak semakin cepat. Sentuhan lembut tadi, meski singkat, membuatnya semakin cemas. Ada sesuatu di balik sikap tak terduga Dikara. Sejenak Janeetha merasakan dorongan dalam dirinya, perasaan yang hampir membuatnya terjebak dalam godaan. Janeetha cepat-cepat menarik diri dari pikiran bodohnya. ‘Jangan terbuai, Janeetha!’ batinnya menegur. ‘Dia bukan pria yang bisa kau percayai!’ *** Setelah b
Janeetha memandang ke luar jendela, menyaksikan lampu-lampu jalan yang berkelebat. “Aku hanya ingin jauh dari dia. Itu saja.”“Terkadang, menjauh saja tidak cukup,” kata Arman, nadanya serius. “Kau harus memastikan dia tidak bisa menemukanmu lagi. Itu artinya, kau juga harus menghilangkan apa pun yang bisa mengikatmu padanya.”Kata-kata itu membuat Janeetha terdiam. Ia tahu maksud Arman, tapi memutuskan semua itu tidaklah mudah. Ada terlalu banyak hal yang masih menahannya, meskipun ia tahu semua itu juga yang membuatnya terjebak.Mobil melambat saat memasuki sebuah gang kecil. Arman menghentikan kendaraan dan mematikan mesin. “Kita ganti mobil di sini,” ujarnya singkat.Janeetha menatapnya dengan cemas. “Kenapa? Apa ada sesuatu yang salah?”“Tidak,” jawab Arman sambil turun dari mobil. “Ini hanya langkah pengamanan. Fabian memastikan kita tidak meninggalkan jejak.”Janeetha turun dari mobil, memeluk tas kecilnya erat-erat. Di depan mereka, sebuah mobil lain sudah menunggu. Seorang wa
Rusli merasa seluruh tubuhnya membeku.Namun, sebelum ia bisa menjawab, Dikara melanjutkan, “Dengar, Rusli. Aku sudah cukup lama bekerja denganmu untuk tahu kapan kau mulai berbohong. Jika kau menyembunyikan apa pun dariku…”Pria itu sengaja berhenti sejenak, agar Rusli benar-benar memikirkan kembali tindakannya. “Aku sendiri yang akan memastikan bahwa kau menyesali keputusan ini.”“Tentu tidak, Tuan,” jawab Rusli cepat, mencoba menenangkan situasi. “Saya hanya mencoba melindungi kepentingan Anda.”“Kalau begitu, buktikan!” sahut Dikara dingin. “Kau punya waktu sampai tengah hari untuk membawa laporan tentang Fabian dan rekaman yang kuminta. Kalau tidak…” Dikara tidak melanjutkan kalimatnya, tetapi ancamannya jelas terasa.“Saya mengerti, Tuan,” balas Rusli dengan nada patuh.Sambungan telepon pun terputus, meninggalkan Rusli dalam diam. Ia memijat pelipisnya yang berdenyut, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu Dikara semakin curiga, dan waktunya untuk membantu Janeetha semakin sed
Hingga akhirnya saat pintu itu terbuka, udara dingin dari luar langsung menyambutnya.Janeetha sempat terdiam sepersekian detik menikmati aroma udara kebebasan lalu bergegas keluar melangkah keluar. Rasanya, dadanya ingin meledak saat kakinya melewati pintu dan merasakan kebebasan kecil untuk pertama kalinya. Namun, ia tahu ini baru permulaan.Di kejauhan, sebuah mobil hitam dengan kaca gelap menunggunya. Sopirnya mengangguk cepat begitu melihat Janeetha.Saat kaca jendela bagian supir turun, pria itu berkata, “Cepat masuk!”Tanpa ragu, Janeetha mempercepat langkahnya dan bergegas masuk ke dalam mobil, menutup pintu di belakangnya.Mobil pun mulai bergerak. Janeetha menatap keluar jendela, menyaksikan hotel itu menjauh.Rasa haru dan bahagia begitu membuncah menyesakkan dadanya hingga akhirnya air mata merebak di pelupuk mata wanita itu. Ia bahkan harus menutup mulutnya dengan tangan agar isakannya tidak keluar.Supi
Pagi hari di hotel itu tenang.Namun, bagi Janeetha, setiap langkah yang ia ambil terasa seperti berjalan di seutas tali yang berada di atas lautan api.Semalam, ia tak dapat memejamkan matanya dengan tenang karena terlalu bersemangat sekaligus khawatir.Tak ingin membuang waktu, Janeetha bergegas keluar dari kamarnya dan turun. Ia mengenakan gaun ringan berwarna pastel, dengan tas kecil yang tersampir di pundaknya.Penampilannya memang terlihat santai, tetapi hatinya tidak tenang.Suara langkah kakinya yang beradu dengan lantai marmer di lorong menggema, mengiringi jantungnya yang berdetak cukup kencang.Di dalam lift menuju spa, Janeetha mengatur napasnya, mencoba menenangkan debaran di dada. Ia tahu bahwa setiap detik pagi ini penting, dan ia harus memanfaatkan kesempatan yang ada.Ketika pintu lift terbuka, aroma terapi lavender langsung menyambutJaneetha. Musik lembut mengalun di latar belakang, memberikan ilusi ketenangan yang
Dikara duduk di kursi besar di ruang kerja hotelnya. Pria itu sedang membaca laporan yang dikirim oleh beberapa orang suruhannya yang mengikuti Janeetha.Mata hitamnya menelusuri setiap detail dalam laporan itu, mencoba menemukan sesuatu yang luput dari perhatian. Sejauh ini, tidak ada gerakan mencurigakan dari Janeetha. Ia tetap berada di hotel, berjalan-jalan di area sekitar tanpa menunjukkan tanda-tanda ingin kabur.Namun, rasa lega yang seharusnya muncul malah tenggelam dalam pusaran rasa tidak puas yang semakin dalam.Dikara meletakkan ponselnya ke atas meja dengan gerakan kasar, suara benda itu menyentak keheningan ruangan. Ia menyandarkan punggung ke kursi, tetapi bukannya merasa nyaman, tubuhnya terasa semakin tegang.Tatapannya kosong, terpaku pada sesuatu yang tak terlihat di depan sana. Pikirannya berputar begitu cepat, seperti mesin yang tak pernah berhenti bekerja, hingga dada terasa sesak.“Kenapa rasanya semua ini masih salah?” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan kep
BAB 108 - "Langkah di Bawah Bayang-Bayang"Dingin malam menyentuh kulit Janeetha saat ia turun dari taksi. Matanya mengamati hotel mewah yang menjulang di hadapannya—tempat yang telah dipesankan Rusli untuknya.Pilihannya tampak disengaja, hotel ini memiliki keamanan tinggi, membuat siapa pun sulit bertindak ceroboh. Namun, Janeetha tahu, di balik kenyamanan ini, Dikara tetap menebarkan bayang-bayangnya.Janeetha melangkah masuk ke lobi hotel dengan langkah percaya diri, meski hatinya dipenuhi ketegangan. Aroma wangi kayu cendana memenuhi udara, bercampur dengan keheningan khas hotel bintang lima. Seorang resepsionis wanita menyambutnya dengan senyum hangat.“Selamat malam, Nyonya. Apa yang bisa kami bantu?”Janeetha menyerahkan dokumen yang telah diberikan Rusli kepadanya. “Saya ingin check-in. Nama saya sudah terdaftar di bawah reservasi.”“Baik, Nyonya. Sebentar ya,” jawab resepsionis dengan sopan, mengetik cepat di komputer.Janeetha mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencoba
Malam semakin larut, tetapi Dikara tetap terjaga. Ia duduk dalam kegelapan kamar hotelnya, hanya diterangi oleh lampu-lampu kota yang redup dari balik jendela besar yang tirainya sengaja ia biarkan terbuka. Tatapannya kosong, mengarah ke panorama malam yang tak memberikan ketenangan apa pun pada pikirannya.Segelas whiskey di tangan Dikara kini tinggal separuh. Ia menyesapnya perlahan, merasakan panasnya mengalir di tenggorokan, tetapi itu tak cukup untuk mengusir rasa gelisah yang terus membakar pikirannya.Pikirannya tertuju pada Janeetha. Ia tahu, saat ini wanita itu masih berada di atas pesawat, menuju Ardenton dalam penerbangan panjang yang melelahkan."Dia pasti merasa bosan sendirian di pesawat," gumam Dikara pelan. Sebuah senyum tipis menghiasi wajahnya, tetapi senyum itu segera pudar, tergantikan oleh ekspresi masam."Astaga, aku bertingkah seperti orang bodoh," desisnya sambil mendecak keras. Ia memalingkan wajahnya ke arah meja kecil di dekat tempat tidurnya, di mana ponseln
Dikara duduk di kursi kulit hitam yang mewah di sudut suite hotelnya. Pemandangan kota yang gemerlap terbentang di balik dinding kaca, tetapi pikirannya berada di tempat lain. Jemarinya menggenggam ponsel dengan erat, membaca ulang pesan singkat yang baru saja diterimanya.[Pesawat Nyonya sudah take off, Tuan.]Pria itu mengetukkan jarinya ke meja dengan ritme pelan namun teratur, sebuah kebiasaan yang muncul setiap kali pikirannya terganggu.“Kenapa rasanya ada yang salah?” gumamnya pelan.Dikara mencoba membuang pikiran itu dengan meminum kopi hitam di depannya. Rasanya pahit, seperti perasaannya saat ini.Ia sudah memastikan semuanya terkendali—menempatkan orang-orangnya di dekat Janeetha, memastikan keberadaannya diketahui setiap saat, bahkan menyiapkan rencana cadangan.Namun, tetap saja, hati pria itu terasa gelisah.Pikirannya mulai berputar. Bagaimana jika Janeetha benar-benar mencoba melarikan diri darinya? Bagaimana jika...“Tidak,” gumamnya lagi, lebih keras kali ini, seaka
Perjalanan menuju bandara terasa begitu panjang bagi Janeetha, meskipun jam di dashboard mobil menunjukkan waktu terus bergulir. Jalanan sore itu cukup lengang, tetapi di dalam kendaraan, suasana penuh dengan ketegangan yang tak terlihat.Janeetha duduk di kursi belakang, kedua tangannya menggenggam erat tas kecil di pangkuannya. Matanya melirik keluar jendela, tetapi pikirannya melayang jauh.Rusli yang berada di belakang kemudi mengamati gerak gerik Janeetha beberapa kali melalui kaca spion tengah. Pria itu pun berusaha memecah keheningan.“Nyonya, tenang saja. Saya sudah memastikan rencana ini berjalan dengan baik,” ucapnya, penuh keyakinan.Janeetha mengangguk kecil, tetapi dirinya tetap merasa tegang. Ia tahu Rusli sedang berusaha menenangkannya, tetapi kata-kata pria itu hanya sedikit mengurangi kecemasan yang melingkupi dirinya.“Tapi,” lanjut Rusli, “Akan ada beberapa orang suruhan Tuan Dikara yang ikut dalam penerbangan Anda. Mereka akan mengawasi setiap gerakan Anda di Arden