Janeetha terkejut.
Sentuhan pelan itu begitu kontras dengan sikap Dikara yang biasanya dingin. Ia meremang seketika, rasa aneh menjalar di sekujur tubuh. Dalam kebingungan Janeetha menatap pria di depannya, seakan bertanya maksud dari elusan tersebut. Dikara memandang istrinya dalam-dalam, menyusuri setiap inci wajahnya, sebelum akhirnya berkata dengan suara sedikit serak, “Aku ingin membersihkan diri dulu.” Sepeninggalan suaminya, Janeetha masih saja tergugu. Ia menelan ludah kepayahan, jantungnya berdetak semakin cepat. Sentuhan lembut tadi, meski singkat, membuatnya semakin cemas. Ada sesuatu di balik sikap tak terduga Dikara. Sejenak Janeetha merasakan dorongan dalam dirinya, perasaan yang hampir membuatnya terjebak dalam godaan. Janeetha cepat-cepat menarik diri dari pikiran bodohnya. ‘Jangan terbuai, Janeetha!’ batinnya menegur. ‘Dia bukan pria yang bisa kau percayai!’ *** Setelah bDikara, yang merasakan sedikit perubahan dalam ekspresi Janeetha, menyeringai tipis.Tanpa berkata apa-apa lagi, Dikara semakin memperkecil jarak di antara mereka. Dengan perlahan, ia mencium bibir Janeetha.Ciuman itu terasa lebih halus dari yang biasanya Janeetha rasakan dari Dikara, seolah pria itu mencoba membuatnya nyaman, memberikan kesempatan untuk menikmati momen itu.Janeetha sempat merasa tegang, tubuhnya kaku di bawah sentuhan suaminya. Namun, pikirannya segera kembali pada rencananya. Dia tahu dia harus bermain peran jika ingin membuat Dikara lengah.Dengan menenangkan diri, Janeetha mulai membalas ciuman Dikara, meskipun di dalam dirinya masih penuh dengan pertentangan. Ini adalah bagian dari rencananya—mengikuti permainan suaminya agar bisa memanfaatkannya suatu saat nanti.Dikara menatap Janeetha dengan sorot mata penuh gairah yang kian tak terkendali. Bibirnya bergerak semakin liar, menekan bibir Janeetha dengan kuat, menuntut
Dikara tidak menunggu lama. Dengan gerakan yang hati-hati namun pasti, ia menyatukan diri dengan Janeetha. Janeetha menggigit bibir bawahnya, menahan napas sesaat, sebelum akhirnya tenggelam dalam hasrat yang sepenuhnya menguasai mereka berdua. Dikara mulai menggeram pelan, merasakan betapa ketat milik Janeetha memeluk miliknya. Sensasi itu membuatnya semakin bersemangat, semakin menggairahkan. Pria itu mulai bergerak, mencari titik nikmat yang bisa membuat keduanya merasakan kenikmatan yang tiada tara. Setiap gerakannya penuh perhitungan, seolah ingin memastikan bahwa setiap sentuhan, setiap goyangan membawa kepuasan bagi mereka berdua. Janeetha mencengkeram kuat lengan Dikara, merasakan otot-ototnya bergetar di bawah genggamannya. Ia tak kuasa menolak apa pun yang pria itu berikan padanya. Rasa takut dan keraguannya perlahan sirna digantikan oleh arus gairah yang tak tertahankan. Namun, sekaligus, ada rasa jengah yang menjalar dalam dirinya saat merasakan intensitas tatapa
Dikara membiarkan Janeetha melewati getaran yang memabukkan itu, menyaksikan bagaimana tubuh istrinya bergetar dalam kenikmatan yang mendalam.Setelah Janeetha sedikit tenang, ia dengan pelan membaringkan kembali tubuh sang istri di atas sofa dengan posisi tengkurap dengan sedikit mengangkat pinggul Janeetha, memastikan agar dirinya dapat lebih menikmati.Dari belakang, Dikara kembali memasuki Janeetha, merasakan kehangatan yang membungkus miliknya dengan sempurna. Dengan sisa tenaga yang ada, Janeetha berusaha mengimbangi gerakan suaminya, menyatu dalam irama yang semakin intens.Setiap dorongan membuatnya merasakan getaran baru di seluruh tubuh, dan Janeetha tahu bahwa tidak ada yang bisa menghentikan gejolak yang semakin menggelora dalam diri mereka berdua.“Sh*t, Jani! You’re so tight!” Dikara mempercepat gerakannya, menambah kedalaman setiap penetrasi yang membuat mereka berdua tersesat dalam kenikmatan yang tak terlukiskan.Suara gerama
Dikara melangkah perlahan mendekat ke arah Janeetha, sorot matanya tak pernah lepas dari wajah istrinya. Senyum tipis tersungging di sudut bibirnya, senyum yang seolah tahu betul apa yang sedang dipikirkan Janeetha. Senyum yang membuat jantungwanita itu berdetak semakin kencang, tak terkendali.Janeetha mencoba mengalihkan pandangannya, tapi matanya tetap terpaku pada sosok suaminya.Dikara berhenti tepat di depannya, begitu dekat hingga ia daapat merasakan kehangatan tubuhnya, mencium aroma sabun dari kulitnya yang masih basah.Tanpa berkata apa-apa, Dikara membungkuk sedikit, wajahnya kini sejajar dengan wajah Janeetha. Mata mereka bertemu, dan Janeetha hampir tak bisa bernapas di bawah tatapan itu.Lalu dengan gerakan pelan tetapibegitu intim, Dikara menyelipkan rambut Janeetha ke belakang telinga, jaripria itumenyentuh lembut kulitnya, membuat Janeetha meremang di seluruh tubuhnya.“Mengapa kau melihatku seperti itu?” Su
Janeetha duduk di ruang santai, tangannya masih mengusap pipi yang tadi dikecup Dikara sebelum ia pergi bekerja.Kecupan itu. Meskipun singkat, tetapi terasa … aneh.Seperti menyimpan sesuatu di baliknya yang membuat Janeetha tergugu lama, merenungi perubahan drastis suaminya sejak semalam.Mereka memang sudah berhubungan suami istri berkali-kali.Biasanya, Dikara selalu mengambil kendali penuh, mengatur setiap gerakan dengan kasar, memancarkan dominasi yang begitu kuat hingga Janeetha nyaris tak memiliki ruang untuk mengekspresikan dirinya.Bahkan untuk bernapas saja kadang sulit!Namun, semalam … lain.Ada momen di mana Dikara tampak membiarkannya mengendalikan, memberi Janeetha kebebasan yang jarang sekali ia rasakan."Dia benar-benar membiarkan aku berada di atasnya," gumam Janeetha dalam hati, sedikit tak percaya.Wajahnya menghangat perlahan seiring gelenyar aneh muncul dalam perutnya, mengingat
"Aku … belum bisa, Maura..." Janeetha menjawab pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. "Mereka tak tahu apa-apa. Aku... tak mau mereka khawatir atau... merasa gagal sebagai orang tua. Mereka sudah cukup terbebani dengan masalah bisnis keluarga. Bahkan saat menyerahkanku pada Dikara karena untuk membantu perusahaan saja, Ayah merasa sangat bersalah padaku."Maura mendesah panjang dari seberang telepon, suaranya menunjukkan simpati. "Tapi, Jani, mereka pasti ingin tahu. Mereka berhak tahu apa yang kau alami."Janeetha menutup matanya, menahan air mata yang menggenang di sudutnya. "Aku tahu... tapi aku takut, Maura." Suaranya bergetar. "Jika mereka tahu dan mencoba ikut campur, aku... aku khawatir Dikara akan melakukan sesuatu pada mereka. Dia bisa berbuat apa saja. Aku tak sanggup membayangkan jika sesuatu terjadi pada Ayah dan Ibu karena aku."Suasana hening sesaat. Maura membiarkan Janeetha untuk menenangkan dirinya. Ia pun tak ingin terlalu memaksa sahabatnya y
Siang itu - beberapa hari setelahnya, Janeetha bergerak cepat. Setelah memastikan Dikara tidak akan pulang dalam waktu dekat, ia meraih ponselnya dengan tangan sedikit gemetar saking gugupnya. Tidak ada waktu untuk ragu. Jemari Janeetha menelusuri daftar kontak hingga menemukan nama Maura. Ia menekan tombol panggil. Dan saat menunggu, jantungnya berdetak tidak karuan. Ia sangat lega saat suara Maura terdengar dari seberang. "Janeetha? Ada apa?" Suara Maura terdengar kaget, penuh keprihatinan. Pasalnya baru beberapa hari yang lalu ini menghubunginya. “Aku butuh kabar soal kenalanmu yang dapat membantuku itu. Bagaimana perkembangannya?” Janeetha langsung ke intinya, tidak ingin membuang waktu. Dia butuh solusi, sekarang. Maura terdiam sejenak di ujung telepon membuat Janeetha kembali gelisah. "Aku sudah bicara dengan Kak Fabian," Akhirnya Maura menjawab. "Dia yang sekarang mengurus semuanya. Kak Fabian lebih dekat dengan orang itu,
“Kalau uang yang menjadi masalah, aku dapat membantumu. Aku akan kirimkan biaya tiket ke mana pun kau ingin pergi. Tak usah khawatir soal itu.”Janeetha terkejut dan panik. "Apa? Tidak, Kak! Aku tak bisa menerimanya. Kau sudah melakukan terlalu banyak untukku. Kejadian terakhir saja... aku sudah berhutang budi besar padamu. Dan sekarang kau menawarkan bantuan lagi? Ini terlalu banyak, Kak...”Tawa miris keluar dari bibir Janeetha. Sementara, hatinya bergulat antara rasa terima kasih dan beban karena terus-menerus bergantung pada pria itu.Namun, Fabian tak menyerah. “Jani, tolong. Aku hanya ingin kau bahagia. Itu saja. Aku tak peduli soal apa yang sudah terjadi atau berapa banyak yang aku lakukan. Yang penting, kau keluar dari situasi ini dengan selamat. Kau pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari ini.”Janeetha menggigit bibirnya, air mata kembali menggenang di matanya tanpa bisa ia tahan.Fabian selalu begitu. Selalu menawarkan kebaikan
Janeetha memandang ke luar jendela, menyaksikan lampu-lampu jalan yang berkelebat. “Aku hanya ingin jauh dari dia. Itu saja.”“Terkadang, menjauh saja tidak cukup,” kata Arman, nadanya serius. “Kau harus memastikan dia tidak bisa menemukanmu lagi. Itu artinya, kau juga harus menghilangkan apa pun yang bisa mengikatmu padanya.”Kata-kata itu membuat Janeetha terdiam. Ia tahu maksud Arman, tapi memutuskan semua itu tidaklah mudah. Ada terlalu banyak hal yang masih menahannya, meskipun ia tahu semua itu juga yang membuatnya terjebak.Mobil melambat saat memasuki sebuah gang kecil. Arman menghentikan kendaraan dan mematikan mesin. “Kita ganti mobil di sini,” ujarnya singkat.Janeetha menatapnya dengan cemas. “Kenapa? Apa ada sesuatu yang salah?”“Tidak,” jawab Arman sambil turun dari mobil. “Ini hanya langkah pengamanan. Fabian memastikan kita tidak meninggalkan jejak.”Janeetha turun dari mobil, memeluk tas kecilnya erat-erat. Di depan mereka, sebuah mobil lain sudah menunggu. Seorang wa
Rusli merasa seluruh tubuhnya membeku.Namun, sebelum ia bisa menjawab, Dikara melanjutkan, “Dengar, Rusli. Aku sudah cukup lama bekerja denganmu untuk tahu kapan kau mulai berbohong. Jika kau menyembunyikan apa pun dariku…”Pria itu sengaja berhenti sejenak, agar Rusli benar-benar memikirkan kembali tindakannya. “Aku sendiri yang akan memastikan bahwa kau menyesali keputusan ini.”“Tentu tidak, Tuan,” jawab Rusli cepat, mencoba menenangkan situasi. “Saya hanya mencoba melindungi kepentingan Anda.”“Kalau begitu, buktikan!” sahut Dikara dingin. “Kau punya waktu sampai tengah hari untuk membawa laporan tentang Fabian dan rekaman yang kuminta. Kalau tidak…” Dikara tidak melanjutkan kalimatnya, tetapi ancamannya jelas terasa.“Saya mengerti, Tuan,” balas Rusli dengan nada patuh.Sambungan telepon pun terputus, meninggalkan Rusli dalam diam. Ia memijat pelipisnya yang berdenyut, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu Dikara semakin curiga, dan waktunya untuk membantu Janeetha semakin sed
Hingga akhirnya saat pintu itu terbuka, udara dingin dari luar langsung menyambutnya.Janeetha sempat terdiam sepersekian detik menikmati aroma udara kebebasan lalu bergegas keluar melangkah keluar. Rasanya, dadanya ingin meledak saat kakinya melewati pintu dan merasakan kebebasan kecil untuk pertama kalinya. Namun, ia tahu ini baru permulaan.Di kejauhan, sebuah mobil hitam dengan kaca gelap menunggunya. Sopirnya mengangguk cepat begitu melihat Janeetha.Saat kaca jendela bagian supir turun, pria itu berkata, “Cepat masuk!”Tanpa ragu, Janeetha mempercepat langkahnya dan bergegas masuk ke dalam mobil, menutup pintu di belakangnya.Mobil pun mulai bergerak. Janeetha menatap keluar jendela, menyaksikan hotel itu menjauh.Rasa haru dan bahagia begitu membuncah menyesakkan dadanya hingga akhirnya air mata merebak di pelupuk mata wanita itu. Ia bahkan harus menutup mulutnya dengan tangan agar isakannya tidak keluar.Supi
Pagi hari di hotel itu tenang.Namun, bagi Janeetha, setiap langkah yang ia ambil terasa seperti berjalan di seutas tali yang berada di atas lautan api.Semalam, ia tak dapat memejamkan matanya dengan tenang karena terlalu bersemangat sekaligus khawatir.Tak ingin membuang waktu, Janeetha bergegas keluar dari kamarnya dan turun. Ia mengenakan gaun ringan berwarna pastel, dengan tas kecil yang tersampir di pundaknya.Penampilannya memang terlihat santai, tetapi hatinya tidak tenang.Suara langkah kakinya yang beradu dengan lantai marmer di lorong menggema, mengiringi jantungnya yang berdetak cukup kencang.Di dalam lift menuju spa, Janeetha mengatur napasnya, mencoba menenangkan debaran di dada. Ia tahu bahwa setiap detik pagi ini penting, dan ia harus memanfaatkan kesempatan yang ada.Ketika pintu lift terbuka, aroma terapi lavender langsung menyambutJaneetha. Musik lembut mengalun di latar belakang, memberikan ilusi ketenangan yang
Dikara duduk di kursi besar di ruang kerja hotelnya. Pria itu sedang membaca laporan yang dikirim oleh beberapa orang suruhannya yang mengikuti Janeetha.Mata hitamnya menelusuri setiap detail dalam laporan itu, mencoba menemukan sesuatu yang luput dari perhatian. Sejauh ini, tidak ada gerakan mencurigakan dari Janeetha. Ia tetap berada di hotel, berjalan-jalan di area sekitar tanpa menunjukkan tanda-tanda ingin kabur.Namun, rasa lega yang seharusnya muncul malah tenggelam dalam pusaran rasa tidak puas yang semakin dalam.Dikara meletakkan ponselnya ke atas meja dengan gerakan kasar, suara benda itu menyentak keheningan ruangan. Ia menyandarkan punggung ke kursi, tetapi bukannya merasa nyaman, tubuhnya terasa semakin tegang.Tatapannya kosong, terpaku pada sesuatu yang tak terlihat di depan sana. Pikirannya berputar begitu cepat, seperti mesin yang tak pernah berhenti bekerja, hingga dada terasa sesak.“Kenapa rasanya semua ini masih salah?” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan kep
BAB 108 - "Langkah di Bawah Bayang-Bayang"Dingin malam menyentuh kulit Janeetha saat ia turun dari taksi. Matanya mengamati hotel mewah yang menjulang di hadapannya—tempat yang telah dipesankan Rusli untuknya.Pilihannya tampak disengaja, hotel ini memiliki keamanan tinggi, membuat siapa pun sulit bertindak ceroboh. Namun, Janeetha tahu, di balik kenyamanan ini, Dikara tetap menebarkan bayang-bayangnya.Janeetha melangkah masuk ke lobi hotel dengan langkah percaya diri, meski hatinya dipenuhi ketegangan. Aroma wangi kayu cendana memenuhi udara, bercampur dengan keheningan khas hotel bintang lima. Seorang resepsionis wanita menyambutnya dengan senyum hangat.“Selamat malam, Nyonya. Apa yang bisa kami bantu?”Janeetha menyerahkan dokumen yang telah diberikan Rusli kepadanya. “Saya ingin check-in. Nama saya sudah terdaftar di bawah reservasi.”“Baik, Nyonya. Sebentar ya,” jawab resepsionis dengan sopan, mengetik cepat di komputer.Janeetha mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencoba
Malam semakin larut, tetapi Dikara tetap terjaga. Ia duduk dalam kegelapan kamar hotelnya, hanya diterangi oleh lampu-lampu kota yang redup dari balik jendela besar yang tirainya sengaja ia biarkan terbuka. Tatapannya kosong, mengarah ke panorama malam yang tak memberikan ketenangan apa pun pada pikirannya.Segelas whiskey di tangan Dikara kini tinggal separuh. Ia menyesapnya perlahan, merasakan panasnya mengalir di tenggorokan, tetapi itu tak cukup untuk mengusir rasa gelisah yang terus membakar pikirannya.Pikirannya tertuju pada Janeetha. Ia tahu, saat ini wanita itu masih berada di atas pesawat, menuju Ardenton dalam penerbangan panjang yang melelahkan."Dia pasti merasa bosan sendirian di pesawat," gumam Dikara pelan. Sebuah senyum tipis menghiasi wajahnya, tetapi senyum itu segera pudar, tergantikan oleh ekspresi masam."Astaga, aku bertingkah seperti orang bodoh," desisnya sambil mendecak keras. Ia memalingkan wajahnya ke arah meja kecil di dekat tempat tidurnya, di mana ponseln
Dikara duduk di kursi kulit hitam yang mewah di sudut suite hotelnya. Pemandangan kota yang gemerlap terbentang di balik dinding kaca, tetapi pikirannya berada di tempat lain. Jemarinya menggenggam ponsel dengan erat, membaca ulang pesan singkat yang baru saja diterimanya.[Pesawat Nyonya sudah take off, Tuan.]Pria itu mengetukkan jarinya ke meja dengan ritme pelan namun teratur, sebuah kebiasaan yang muncul setiap kali pikirannya terganggu.“Kenapa rasanya ada yang salah?” gumamnya pelan.Dikara mencoba membuang pikiran itu dengan meminum kopi hitam di depannya. Rasanya pahit, seperti perasaannya saat ini.Ia sudah memastikan semuanya terkendali—menempatkan orang-orangnya di dekat Janeetha, memastikan keberadaannya diketahui setiap saat, bahkan menyiapkan rencana cadangan.Namun, tetap saja, hati pria itu terasa gelisah.Pikirannya mulai berputar. Bagaimana jika Janeetha benar-benar mencoba melarikan diri darinya? Bagaimana jika...“Tidak,” gumamnya lagi, lebih keras kali ini, seaka
Perjalanan menuju bandara terasa begitu panjang bagi Janeetha, meskipun jam di dashboard mobil menunjukkan waktu terus bergulir. Jalanan sore itu cukup lengang, tetapi di dalam kendaraan, suasana penuh dengan ketegangan yang tak terlihat.Janeetha duduk di kursi belakang, kedua tangannya menggenggam erat tas kecil di pangkuannya. Matanya melirik keluar jendela, tetapi pikirannya melayang jauh.Rusli yang berada di belakang kemudi mengamati gerak gerik Janeetha beberapa kali melalui kaca spion tengah. Pria itu pun berusaha memecah keheningan.“Nyonya, tenang saja. Saya sudah memastikan rencana ini berjalan dengan baik,” ucapnya, penuh keyakinan.Janeetha mengangguk kecil, tetapi dirinya tetap merasa tegang. Ia tahu Rusli sedang berusaha menenangkannya, tetapi kata-kata pria itu hanya sedikit mengurangi kecemasan yang melingkupi dirinya.“Tapi,” lanjut Rusli, “Akan ada beberapa orang suruhan Tuan Dikara yang ikut dalam penerbangan Anda. Mereka akan mengawasi setiap gerakan Anda di Arden