Pertanyaan itu, yang seharusnya sederhana, menghantam Janeetha seperti badai. Ia terdiam, tak tahu harus berkata apa.
Cinta. Apakah perasaan itu masih ada?
Janeetha menunduk, memikirkan kembali hubungannya dengan Dikara. Semakin ia memikirkannya, semakin jelas bahwa cinta yang pernah ada sudah lama hilang. Kini, hanya ada kebencian dan rasa kecewa yang tersisa.
"Aku tak tahu," suara Janeetha terdengar serak, nyaris tak terdengar. Dia meremas jemarinya sendiri, mencoba mencari kekuatan yang entah sudah berapa lama hilang. "Aku tak tahu apa yang aku rasakan lagi."
Fabian terdiam, matanya tak lepas dari wajah Janeetha yang tampak rapuh.
"Janeetha," Fabian berusaha tenang, tetapi tak dapat menyembunyikan nada kesal yang terselip. "Mengapa kau mempertahankan pria yang sudah jelas-jelas menyakitimu?"
Janeetha tersentak. Kedua matanya langsung menatap Fabian penuh kebingungan. "Kakak... dari mana kakak tahu?"
Sejenak, Fabian tak menjawab. Hening menyelimuti mereka. Akhirnya, Fabian menghela napas panjang, seolah berusaha menemukan kata-kata yang tepat.
"Aku tak sengaja mendengar percakapanmu dengan Maura tadi. Soal pesan dari Ameera, soal dugaanmu tentang Dikara..." Suaranya melembut, tapi ketegangan yang Janeetha rasakan semakin kuat.
"Aku belum yakin, Kak. Itu baru dugaan." Janeetha seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri meskipun suaranya terdengar ragu.
Fabian menggeleng pelan, pandangannya semakin dalam menatap Janeetha. "Entah Dikara benar-benar berselingkuh atau tidak, itu tak mengubah satu hal yang pasti. Dia sudah memperlakukanmu dengan kasar!"
"Itu sudah lebih dari cukup untukmu pergi. Seorang suami yang baik tidak akan pernah memperlakukan istrinya seperti itu!" Suaranya mengeras, menahan emosi yang perlahan-lahan naik. "Dia tak pantas mendapatkanmu."
Kata-kata Fabian mengiris hati Janeetha lebih dalam dari yang dia bayangkan. Entah kenapa, ada sesuatu dalam kalimat-kalimat itu yang membuatnya merasa hancur sekaligus ... membuka pikirannya.
Mungkin karena selama ini tak ada seorang pun yang dengan tegas mengatakan bahwa dirinya layak mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Selama ini, hanya dirinya yang merasa terpuruk, berpikir bahwa semua kesalahan ada pada dirinya.
"Aku sudah hancur, Kak," jawab Janeetha dengan suara lemah pun bergetar. "Aku bukan siapa-siapa lagi. Tak ada yang pantas untukku, aku tak pantas mendapatkan siapapun."
Sungguh, ingin sekali Fabian merengkuh tubuh mungil nan rapuh yang ada di hadapannya sekarang. Ia menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan, seolah berusaha menghapus setiap kebohongan yang selama ini tertanam di benak Janeetha.
"Kau salah, Jani," bisik Fabian menggeleng lemah. Meremas kedua tangannya di atas meja, mencegah dirinya agar tidak meraih jemari gemetaran milik sahabat adiknya ini. "Kau pantas mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari Dikara. Kau layak untuk dicintai dengan tulus, tanpa rasa sakit."
Janeetha tak memberikan jawaban. Dia merasa terlalu lelah, terlalu terkuras emosinya untuk memikirkan apakah kata-kata Fabian benar.
"Aku harus pulang," Akhirnya Janeetha berkata, mencoba menyudahi pembicaraan yang semakin membuat pikirannya kacau. "Sudah terlalu lama aku di luar."
Meski begitu, perkataan Fabian mulai membangun kemantapan hati Janeetha jika dirinya memang patut untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Fabian tak berusaha menahan Janeetha untuk lebih lama. Pria itu juga paham, apa yang akan Janeetha hadapi jika tak berada di rumah saat Dikara pulang.
Senyum lembut terulas di wajah Fabian, meski sorot matanya tampak mengandung sesuatu yang tak terucap. "Ingat, kalau ada apa-apa, apapun itu, termasuk jika kau butuh bantuan untuk meninggalkan Dikara, aku ada di sini."
Janeetha mengangguk singkat, tanpa benar-benar menyerap arti dari kata-kata kakak Maura itu. Ia memilih untuk tak memikirkannya terlalu jauh.
Untuk saat ini, dia hanya ingin pulang, dan beristirahat dari semua kekacauan yang membelit hidupnya.
Saat sampai di apartemen, Janeetha cukup lega karena Dikara tidak ada di sana. Pria itu suka sekali pulang dan pergi tiba-tiba semaunya hanya sekedar untuk mengecek keberadaanya. Sepertinya hari ini suaminya sibuk, melihat bagaimana ia terburu-buru pergi tadi pagi.
Setelah meletakkan tas di tempatnya, Janeetha duduk di sofa dengan segala perkataan Fabian yang berputar dalam benaknya.
ingatannya melayang begitu saja pada masa-masa ketika ia masih bekerja di sebuah perusahaan kecil, di mana ia merasa hidupnya bermakna dan dihargai.
Di tempat itu, Janeetha adalah seorang profesional yang berdedikasi, seseorang yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup. Namun, setelah menikah dengan Dikara, hidupnya berubah drastis.
Meski kebutuhan materinya terpenuhi dengan berlimpah, ia merasa kehilangan dirinya sendiri. Dikara semakin membatasi ruang geraknya, memaksanya untuk melepaskan pekerjaannya dan fokus sepenuhnya pada peran sebagai istri.
Keadaan ini hanya memperparah perasaan terkungkung dan teraniaya yang ia rasakan setiap hari. Dikara, yang dulunya tampak penuh perhatian, kini berubah menjadi seseorang yang posesif dan kejam.
Setiap hari, Janeetha merasa semakin terperangkap, seolah-olah dinding-dinding di sekelilingnya semakin mendekat, mengurungnya tanpa jalan keluar. Banyak mimpi dan keinginan yang dulu ingin ia raih harus ia kubur dalam-dalam.
Di tengah kebingungannya, tiba-tiba sebuah panggilan datang dari ibunya. Janeetha merasa jantungnya berdebar ketika mendengar suara ibunya yang terdengar ceria di seberang telepon.
“Apa kabarmu, Sayangku?” tanya Gayatri, sang ibu membuat Janeetha menggigit bibirnya, menahan agar airmatanya tidak meluruh begitu saja.
Ingin rasanya Janeetha menceritakan segala sesuatu yang terjadi, tetapi dirinya tak memiliki keberanian membuat sang ibu dan Pradipa, ayahnya terlibat dalam konflik pun yang terutama adalah melihat hati mereka hancur berkeping jika tahu apa yang terjadi. Apalagi ayahnya yang baru saja sembuh dari stroke yang nyaris merenggut nyawa pria itu.
“Baik, Bu. Ibu menelpon kenapa?” Janeetha berusaha terdengar biasa saja.
“Memangnya Ibu harus punya alasan untuk menelponmu?” gerutu wanita paruh baya di seberang membuat Janeetha tertawa kecil.
Yah, ibunya memang cukup sering menanyakan kabar, begitu juga dengan ibu mertua yang selalu baik padanya.
Mereka pun mengobrol sebentar bertukar cerita hingga akhirnya Gayatri mengutarakan maksudnya. "Janeetha, Ibu ingin mengundang kamu dan suamimu untuk makan malam bersama. Sudah lama 'kan kita tidak berkumpul? Ibu merindukan kebersamaan kita. Ayahmu juga sangat ingin bertemu denganmu dan Dikara."
Janeetha menggigit bibirnya, merasakan gelombang ketidaknyamanan menyergapnya. Ia tahu bahwa makan malam bersama keluarga bukanlah ide yang baik. Mempertahankan kepura-puraan bahwa semuanya baik-baik saja antara dirinya dan Dikara adalah tugas yang semakin berat.
Namun, Janeetha juga tahu bahwa ia tidak bisa menolak. Menolak undangan itu hanya akan menimbulkan lebih banyak kecurigaan dan pertanyaan dari orang tuanya.
Dengan berat hati, Janeetha setuju. “Baik, Bu. Nanti Janeetha bicarakan dengan Mas Dika.”
Setelah berbincang sebentar, ibunya menutup telepon. Bersaman dengan itu, Janeetha berbalik dan terkejut menemukan Dikara telah berdiri di ambang pintu.
***
“Mas? Kok sudah pulang? Ada yang tertinggal?” tanya Janeetha tetapi tak mendapatkan jawaban hanya tatapan suaminya yang sulit diartikan.Tak ingin memperpanjang masalah, Janeetha menyampaikan undangan keluarganya."Ibu tadi menelpon. Kita diundang untuk makan malam di rumah orang tuaku," ucapnya dengan suara pelan, berusaha untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanan yang ia rasakan. "Ibu dan Ayah ingin bertemu dengan kita."Dikara mengangguk, wajahnya tetap tanpa ekspresi. "Baiklah. Kita akan pergi."Namun, sebelum Janeetha bisa bernapas lega, Dikara melangkah mendekat, suaranya berubah menjadi nada peringatan yang dingin. Pria itu mencubit dagu Janeetha cukup keras hingga tatapan mereka bertemu. "Dan selama kita berada di sana, yang perlu kau lakukan di depan mereka adalah bersikap sebagaimana istri yang baik, penurut dan manis. Jangan sekali-kali menunjukkan apa yang sering kau tunjukkan padaku selama ini! Jika kau membuat kesalahan sekecil apa pun, kau tahu apa yang akan terjadi." Ja
“Mas, jangan ngebut-ngebut,” ucap Janeetha lirih, merasakan dadanya semakin sesak dengan setiap kilometer yang mereka tempuh. Di perjalanan pulang, suasana dalam mobil terasa mencekam. Dikara memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi hingga Janeetha harus mencengkeram pegangan di atas pintu dengan kuat. Ia berusaha mengusir rasa takut jika mereka tiba-tiba menabrak kendaraan lain atau bahkan terguling. Namun, ketakutan itu bukan hanya karena kecepatan mobil, melainkan karena keheningan yang mematikan di antara mereka. Ketika mereka sampai di dalam apartemen, pintu tertutup dengan sangat keras. Janeetha belum sempat menghela napas ketika Dikara tiba-tiba mencengkram lengannya dengan kasar, memutar tubuhnya hingga mereka saling berhadapan. “Berani sekali kau membuka ponselku!” Suaranya rendah, hampir seperti singa yang siap menyerang. Tatapan matanya penuh dengan kemarahan yang nyaris tak terkendali.
Dikara, yang sudah berada di puncak kemarahannya, tidak lagi bisa mengendalikan dirinya. Setiap permintaan cerai yang diajukan Janeetha, hanya menambah bahan bakar pada api yang sudah berkobar dalam dirinya.“Apa yang kau inginkan dariku, Janeetha? Hah?” teriak Dikara penuh amarah. “Kau pikir aku tidak tahu bahwa kau mencampuri urusanku? Kau pikir kau bisa mengontrolku dengan permintaan bodohmu itu?”Janeetha mundur beberapa langkah, mencoba mencari ruang untuk bernapas di tengah badai yang melanda mereka.Namun, Dikara tidak memberinya kesempatan. Pria itu malah mencengkram kedua bahu mungil istrinya dengan kasar dan mendorongnya ke dindingmembuat Janeetha memekik kecil karena sakit."Kau tidak akan pernah bisa lari dariku! Kau akan tetap menjadi istriku, selamanya, apapun yang terjadi! Dan kau akan melakukan setiap hal yang aku perintahkan, tanpa pengecualian! Mengerti? Aku tak peduli apa yang kau rasakan, kau milikku—sepenuhnya!" Suara Dika
Suara sekitar yang sedikit berisik membuat Janeetha mau tak mau membuka mata seiring merasakan nyeri di seluruh tubuh, terutama di lengan dan punggung, di mana luka-luka memar tampak jelas di kulitnya yang pucat.Pandangannya buram saat ia menatap langit-langit kamar, samar-samar mengingat kejadian semalam sebelumnya. Hatinya kembali remuk dan tiba-tiba saja air mata menggenang di pelupuk."Bangun. Siapkan sarapan untukku." Suara berat yang berada tak jauh di belakangnya membuat Janeetha sedikit tersentak.Kalimat yang keluar dari mulut Dikara adalah perintah dan tidak dapat dibantah.Perlahan, Janeetha berusaha duduk meski sakitnya membuat napasnya tersengal. Pakaian tidurnya kusut, rambutnya berantakan, dan wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya. Namun, semua
Seperti pencuri yang tidak ingin ketahuan, Janeetha berjalan dengan langkah cepat sembari menutupi sebagian wajahnya dengan topi baseball yang ia kenakan. Ia juga berharap kacamata hitam yang ia pakai, menyamarkan wajahnya. Degupan dalam dadanya semakin kuat. Seumur hidup, ini pertama kalinya Janeetha melakukan hal seperti ini, seakan sedang melakukan sesuatu yang melanggar hukum! Maura mengirim pesan jika Fabian sudah menunggunya di sebuah kafe, tak jauh dari area apartemen milik Dikara. Meski Janeetha sebenarnya sedikit jengah karena malah pria itu yang menjemputnya, tetapi untuk saat ini ia lebih fokus pada usahanya untuk melepaskan diri dari sang suami secepat mungkin. Janeetha mempercepat langkahnya dan bernapas lega ketika telah melihat mobil milik Fabian di depan kafe yang disebutkan. Ia hampir berlari saat menghampiri dengan jantungnya semakin berdetak kencang. Fabian menurunkan kaca jendela dan memandang Janeetha dengan tatapan serius meski kelembutan masih ada di sana.
Dikara.Nafas Janeetha memburu, pikiran berputar. Dengan tubuh gemetar, dia menoleh ke arah Fabian yang masih terbaring di tanah, tak berdaya. Situasi ini semakin mencekam.Janeetha tahu bahwa melawan hanya akan memperburuk keadaan, tetapi hatinya memberontak. Meski demikian, dia tidak punya pilihan lain selain mengikuti apa yang diminta.Ketegangan semakin membelit, dan Janeetha bisa merasakan ancaman semakin nyata, seolah nasibnya kini berada di tangan mereka.Ah, bukan.Nasibnya berada di tangan Dikara …"Aku akan ikut kalian tapi jangan lagi sakiti dia," ucap Janeetha sembari melihat ke arah Fabian yang seketika menatap protes."Tak apa, Kak. Mas Dika hanya ingin bicara denganku." Seulas senyum terbit di wajah Janeetha. Ia berusaha menenangkan Fabian dan juga dirinya sendiri.Setelahnya, kedua pria itu menuntun Janeetha menuju mobil hitam mewah yang terparkir tak jauh dari mereka berad
Tanpa peringatan, Dikara menunduk dan mencium Janeetha dengan kasar. Ciuman itu penuh paksaan, membuat Janeetha tersentak dan memalingkan wajahnya, berusaha menghindari sentuhan suaminya. Namun, Dikara mencengkeram rahangnya dengan kuat, memaksa Janeetha untuk tidak melawan. "Kau milikku, Janeetha! Apa pun yang terjadi, kau tetap milikku!" Suaranya rendah, penuh kemarahan. Tangan Dikara bergerak liar, meremas tubuh Janeetha tanpa rasa iba. Janeetha menggigil, tangan kecilnya mencoba menahan lengan suaminya, tetapi kekuatannya jauh dari cukup untuk menghentikan Dikara. "Hentikan, Mas! Kumohon... jangan begini…" suaranya semakin putus asa, tetapi tidak ada belas kasih di mata Dikara. Dikara terus bergerak kasar, seolah ingin menghukum Janeetha, memaksanya tunduk pada kehendaknya. "Kau pikir bisa lari dariku? Hah? Kau salah besar!" Janeetha berusaha meronta. Sayangnya setiap gerakannya dihentikan oleh cengkeraman kuat Dikara. Ia merasa seperti terjebak dalam perangkap yang tak m
Tiba-tiba, suara dering ponselnya memecah keheningan. Janeetha mengerjap, terkejut. Setelah mengusap air mata dari wajahnya, tangannya meraba-raba tas yang ada di dekatnya, mencari sumber suara itu. Saat ia mengeluarkan ponsel dan melihat nama yang tertera di layar, hatinya langsung berdebar keras. Ada nama Fabian tertera di layar. Perasaan khawatir bercampur jengah menyerbu Janeetha. Ia sudah melibatkan Fabian terlalu jauh dalam masalah ini, dan yang paling menyakitkan, ia meninggalkan Fabian begitu saja saat pria itu terluka.Janeetha menggigit bibirnya, menahan rasa bersalah yang mendalam. Dengan ragu, ia menggeser layar dan menerima panggilan tersebut sambil mempersiapkan diri untuk menerima reaksi dari Fabian apapun itu.Namun, suara pertama yang terdengar bukan Fabian, melainkan Maura. “Janeetha! Kau baik-baik saja?” Suara Maura terdengar penuh kekhawatiran. "Kak Fabian telah menceritakan apa yang terjadi tadi!"Janeetha me
Fabian berlari semakin cepat, napasnya memburu, dan tubuhnya mulai terasa berat oleh hujan yang membasahi pakaiannya. Hutan di sekelilingnya terasa gelap dan suram, seolah-olah bersekongkol untuk menyulitkan pelariannya. Namun, ia tidak peduli.Langkah-langkahnya sengaja dibuat mencolok. Kakinya menjejak tanah berlumpur dengan keras, meninggalkan jejak yang jelas di belakangnya. Sesekali, ia meraih cabang pohon dan mematahkannya dengan sengaja, menciptakan tanda-tanda yang tak mungkin terlewatkan oleh pengejarnya.Dalam pikirannya, rencana ini sederhana.Dikara pasti akan memilih mengejarnya daripada Arman. Fabian tahu betul bagaimana peringai pria itu. Dikara bukan hanya sosok yang obsesif, tapi juga penuh harga diri.Bagi Dikara, Fabian adalah ancaman langsung. Bukan sekadar seseorang yang membantu pelarian Janeetha, tetapi juga orang yang dianggap mencuri sesuatu yang menurutnya adalah miliknya.Fabian kembali melihat sekilas ke belakang, memast
Fabian memandang jalur setapak yang mereka tinggalkan dengan hati-hati. Daun-daun basah yang berserakan di tanah kini menunjukkan jejak kaki yang sengaja mereka ciptakan. Ia melirik Arman yang sedang membenahi tali ranselnya, tampak serius sekaligus gugup.“Sudah cukup?” tanya Fabian pelan, suaranya nyaris tertelan oleh gemerisik angin di antara pepohonan.Arman mengangguk cepat. “Jejaknya terlihat jelas. Kalau mereka mengikuti ini, mereka akan menuju arah yang salah.”Fabian menghela napas, matanya kembali menyisir area di sekitar mereka. Hutan itu terasa mencekam, bukan hanya karena ketenangannya tetapi juga ancaman yang mengejar di belakang mereka.“Janeetha dan Maria harus punya waktu untuk mencapai desa,” gumam Fabian, seperti hendak meyakinkan dirinya sendiri. “Semoga trik ini berhasil.”Arman menepuk bahu Fabian. “Kita hanya perlu menarik perhatian mereka cukup lama. Kalau kita tetap di jalur ini, mereka pasti akan mengira kita bersama Janeetha.”Fabian mengangguk, meskipun ras
Suara deru mesin mendekat dengan cepat, membuat jantung Janeetha berdegup semakin kencang. Di sudut gudang yang gelap, ia memeluk lututnya erat-erat, berusaha mengendalikan napas agar tidak terlalu keras terdengar. Maria, di sisi lain, berdiri diam seperti patung di dekat jendela kecil, mengintip ke luar.“Mereka berhenti,” bisik Maria dengan nada tegang, nyaris tidak terdengar.Janeetha mendongak. “Berhenti di mana?”Maria tidak menjawab, hanya memberi isyarat agar Janeetha tetap diam.Di luar, suara langkah kaki bergema di antara pepohonan. Beberapa suara samar terdengar, percakapan cepat yang sulit dipahami.“Periksa sekitar sini,” suara seorang pria terdengar lebih jelas, keras dan tegas.Janeetha menahan napas. Ia tahu suara itu. Salah satu anak buah Dikara yang sering datang ke rumah mereka dulu.“Maria…” bisik Janeetha, hampir tidak mampu mengucapkannya.Maria menoleh cepat, menaruh jari telunjuk di bibirnya sebagai isyarat untuk tetap diam. Namun, tatapan tegas itu juga tidak
Mobil yang dikendarai Maria melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan sempit yang semakin dipenuhi pepohonan rindang. Janeetha mencengkeram kursi dengan erat, jantungnya berpacu seirama dengan ketakutan yang menghantuinya.Dari kaca spion, SUV hitam itu tampak semakin mendekat. Mereka tidak main-main.“Maria, mereka hampir mengejar kita!” suara Janeetha bergetar, memecah keheningan mencekam di dalam mobil.“Diam dan pegang erat!” Maria memutar setir dengan keras, memasuki jalanan berbatu yang lebih terpencil. Getaran akibat jalanan yang tidak rata membuat tubuh mereka terguncang.Janeetha memandangi ke belakang lagi. SUV itu tampak melambat sedikit, tetapi masih berada di jalur yang sama.“Berapa jauh lagi kita harus pergi?” tanya Janeetha, panik.Maria tidak menjawab, hanya fokus pada jalanan di depannya.Namun, suara dering ponsel Maria tiba-tiba memecah ketegangan. Janeetha memandang sekilas ke arah layar yang menyala di dashboard.Arman.Maria langsung mengangkat panggilan itu tan
Mobil yang dikendarai Maria melaju tanpa henti selama berjam-jam, melintasi jalanan sepi dan desa-desa kecil yang nyaris kosong. Janeetha memandangi jendela dengan tatapan kosong. Langit mulai terang, tetapi hawa dingin masih terasa menusuk hingga ke tulang.Maria menurunkan kaca jendela sedikit, membiarkan udara pagi masuk ke dalam mobil. “Kita hampir sampai di perbatasan kota kecil. Mungkin kita bisa berhenti sebentar,” ucapnya, memecah keheningan.Janeetha hanya mengangguk pelan. Ia menyandarkan kepalanya ke kursi, mencoba meredakan rasa gelisah yang menghantui sejak tadi malam. Fabian dan Arman masih belum bisa dihubungi, dan itu semakin membuatnya khawatir.Beberapa menit kemudian, mobil memasuki area pom bensin kecil di pinggir kota. Tempat itu terlihat sepi, hanya ada satu kendaraan lain yang sedang mengisi bahan bakar.“Kita berhenti di sini,” ujar Maria sambil memarkirkan mobil di dekat mesin pengisian. “Aku akan mengisi bensin. Kau mau sesuatu?”Janeetha menggeleng. “Aku han
Pagi itu, sinar matahari samar-samar menyelinap di balik jendela besar kamar Dikara. Langit masih kelabu, seolah mencerminkan amarah yang membara di dalam dirinya.Setelah selesai menghabiskan sarapan, Dikara menyeka bibirnya dengan lap sebentar sebelum akhirnya pria itu bersiap untuk melakukan pencarian. Rayhan berdiri tegak di sudut ruangan, menanti instruksi berikutnya dengan sedikit cemas. Ia bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara sejak Dikara menerima laporan terakhir tentang keberadaan Janeetha."Apa rencanamu?" tanya Dikara setelah berdiri di dekat Rayhan.Anak buahnya itu berjalan menuju ruang tamu. Di sana, atas meja sudah terbentang sebuah peta.Saat Dikara mendekat, ia dapat melihat banyak titik meras pasa lembaran tersebut. "Jelaskan padaku," ucap Dikara sambil duduk di sofa. "Titik merah otu adalah lokasi yang sudah diperiksa oleh tim kami, Tuan." Rayhan sedikit membungkuk saat menjelaskan.Dikara seketika melihat ke arah Rayhan dengan tatapan merendahka
Dini hari itu terasa lebih dingin dari biasanya. Goyangan pelan di bahu semakin lama semakin terasa, membuat Janeetha terjaga dari tidurnya.“Janeetha,” suara Maria berbisik tetapi terdengar mendesak. “Bangun. Kita harus pergi sekarang.”Janeetha mengerjap berusaha menyesuaikan diri dengan gelapnya kamar, sementara Maria membantunya untuk duduk.“Apa? Berangkat?” tanyanya dengan suara serak.Maria mengangguk. Meski kamar itu temaram, tetapi tetapi dapat memperlihatkan ekspresi serius di wajah wanita itu. “Arman baru saja mengabari. Anak buah Dikara semakin banyak di sekitar sini. Mereka bergerak lebih cepat dari yang kita duga.”Sekejap, kantuk Janeetha hilang sepenuhnya. Rasa cemas muncul begitu saja. “Mereka sudah menemukan kita?”“Belum, belum.” Maria menggeleng berusaha menenangkan. “Karena itu kita harus bergerak lebih cepat dari rencana.”“Fabian dan Arman? Bukankah kita akan menunggu mereka untuk berangkat bersama?” Janeetha mengikuti Maria yang sudah berdiri dari tempat tidur
"Kau pikir aku peduli dengan perhatian?!” Suara Dikara seketika naik satu oktaf membuat Rayhan semakin menciut. Ekspresi wajahnya semakin dingin dengan seringai samar terlukis di bibirnya. “Jika perlu, hancurkan seluruh Ardenton! Aku tak peduli!"Rayhan langsung mengetikkan pesan di ponselnya. "Saya akan sampaikan sekarang juga, Tuan."Dikara menyandarkan kepalanya, memejamkan mata sejenak. Tapi ketenangan itu hanya bertahan beberapa detik sebelum matanya kembali terbuka, menatap tajam ke arah luar jendela.Janeetha... kau pikir kau bisa lari sejauh ini dariku?Tiba-tiba ponsel Rayhan bergetar. Ia membaca pesan yang masuk dengan cermat sebelum melirik Dikara. "Tuan... mereka melaporkan seseorang yang mencurigakan di penginapan kecil dekat distrik timur. Wanita dengan ciri-ciri yang mirip Nyonya Janeetha."Dikara menoleh, ekspresinya berubah dingin. "Ciri-ciri yang mirip bukan jawaban yang ingin kudengar."Rayhan menelan
Pesawat pribadi meluncur mulus di atas hamparan awan malam, mengoyak keheningan yang menyelimuti langit.Kabin pesawat begitu sunyi, hanya terdengar suara mesin yang bergetar pelan. Namun, di dalamnya, ketegangan terasa seperti listrik yang menjalar di udara.Dikara duduk di kursi kulit dekat jendela, matanya tajam menatap kelamnya langit luar.Di tangannya, sebuah gelas berisi anggur merah tergenggam, namun tidak sekali pun ia menyesapnya. Jemarinya mengetuk sisi gelas dengan irama lambat, tak teratur—sebuah pertanda jelas bahwa pikirannya tidak berada di tempat ini.Di seberangnya, seorang pria muda duduk dengan punggung tegak, wajahnya kaku dalam ketidaknyamanan. Pria itu baru saja direkrut oleh Dikara—salah satu orang yang disebut "berbakat" oleh Fadil. Namun, malam ini, ia hanya terasa seperti bayangan pucat di hadapan Dikara."Namamu?" Dikara membuka suara, matanya tidak beralih dari jendela.Pria itu tersentak, sebelum bur