Pertanyaan itu, yang seharusnya sederhana, menghantam Janeetha seperti badai. Ia terdiam, tak tahu harus berkata apa.
Cinta. Apakah perasaan itu masih ada?
Janeetha menunduk, memikirkan kembali hubungannya dengan Dikara. Semakin ia memikirkannya, semakin jelas bahwa cinta yang pernah ada sudah lama hilang. Kini, hanya ada kebencian dan rasa kecewa yang tersisa.
"Aku tak tahu," suara Janeetha terdengar serak, nyaris tak terdengar. Dia meremas jemarinya sendiri, mencoba mencari kekuatan yang entah sudah berapa lama hilang. "Aku tak tahu apa yang aku rasakan lagi."
Fabian terdiam, matanya tak lepas dari wajah Janeetha yang tampak rapuh.
"Janeetha," Fabian berusaha tenang, tetapi tak dapat menyembunyikan nada kesal yang terselip. "Mengapa kau mempertahankan pria yang sudah jelas-jelas menyakitimu?"
Janeetha tersentak. Kedua matanya langsung menatap Fabian penuh kebingungan. "Kakak... dari mana kakak tahu?"
Sejenak, Fabian tak menjawab. Hening menyelimuti mereka. Akhirnya, Fabian menghela napas panjang, seolah berusaha menemukan kata-kata yang tepat.
"Aku tak sengaja mendengar percakapanmu dengan Maura tadi. Soal pesan dari Ameera, soal dugaanmu tentang Dikara..." Suaranya melembut, tapi ketegangan yang Janeetha rasakan semakin kuat.
"Aku belum yakin, Kak. Itu baru dugaan." Janeetha seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri meskipun suaranya terdengar ragu.
Fabian menggeleng pelan, pandangannya semakin dalam menatap Janeetha. "Entah Dikara benar-benar berselingkuh atau tidak, itu tak mengubah satu hal yang pasti. Dia sudah memperlakukanmu dengan kasar!"
"Itu sudah lebih dari cukup untukmu pergi. Seorang suami yang baik tidak akan pernah memperlakukan istrinya seperti itu!" Suaranya mengeras, menahan emosi yang perlahan-lahan naik. "Dia tak pantas mendapatkanmu."
Kata-kata Fabian mengiris hati Janeetha lebih dalam dari yang dia bayangkan. Entah kenapa, ada sesuatu dalam kalimat-kalimat itu yang membuatnya merasa hancur sekaligus ... membuka pikirannya.
Mungkin karena selama ini tak ada seorang pun yang dengan tegas mengatakan bahwa dirinya layak mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Selama ini, hanya dirinya yang merasa terpuruk, berpikir bahwa semua kesalahan ada pada dirinya.
"Aku sudah hancur, Kak," jawab Janeetha dengan suara lemah pun bergetar. "Aku bukan siapa-siapa lagi. Tak ada yang pantas untukku, aku tak pantas mendapatkan siapapun."
Sungguh, ingin sekali Fabian merengkuh tubuh mungil nan rapuh yang ada di hadapannya sekarang. Ia menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan, seolah berusaha menghapus setiap kebohongan yang selama ini tertanam di benak Janeetha.
"Kau salah, Jani," bisik Fabian menggeleng lemah. Meremas kedua tangannya di atas meja, mencegah dirinya agar tidak meraih jemari gemetaran milik sahabat adiknya ini. "Kau pantas mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari Dikara. Kau layak untuk dicintai dengan tulus, tanpa rasa sakit."
Janeetha tak memberikan jawaban. Dia merasa terlalu lelah, terlalu terkuras emosinya untuk memikirkan apakah kata-kata Fabian benar.
"Aku harus pulang," Akhirnya Janeetha berkata, mencoba menyudahi pembicaraan yang semakin membuat pikirannya kacau. "Sudah terlalu lama aku di luar."
Meski begitu, perkataan Fabian mulai membangun kemantapan hati Janeetha jika dirinya memang patut untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Fabian tak berusaha menahan Janeetha untuk lebih lama. Pria itu juga paham, apa yang akan Janeetha hadapi jika tak berada di rumah saat Dikara pulang.
Senyum lembut terulas di wajah Fabian, meski sorot matanya tampak mengandung sesuatu yang tak terucap. "Ingat, kalau ada apa-apa, apapun itu, termasuk jika kau butuh bantuan untuk meninggalkan Dikara, aku ada di sini."
Janeetha mengangguk singkat, tanpa benar-benar menyerap arti dari kata-kata kakak Maura itu. Ia memilih untuk tak memikirkannya terlalu jauh.
Untuk saat ini, dia hanya ingin pulang, dan beristirahat dari semua kekacauan yang membelit hidupnya.
Saat sampai di apartemen, Janeetha cukup lega karena Dikara tidak ada di sana. Pria itu suka sekali pulang dan pergi tiba-tiba semaunya hanya sekedar untuk mengecek keberadaanya. Sepertinya hari ini suaminya sibuk, melihat bagaimana ia terburu-buru pergi tadi pagi.
Setelah meletakkan tas di tempatnya, Janeetha duduk di sofa dengan segala perkataan Fabian yang berputar dalam benaknya.
ingatannya melayang begitu saja pada masa-masa ketika ia masih bekerja di sebuah perusahaan kecil, di mana ia merasa hidupnya bermakna dan dihargai.
Di tempat itu, Janeetha adalah seorang profesional yang berdedikasi, seseorang yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup. Namun, setelah menikah dengan Dikara, hidupnya berubah drastis.
Meski kebutuhan materinya terpenuhi dengan berlimpah, ia merasa kehilangan dirinya sendiri. Dikara semakin membatasi ruang geraknya, memaksanya untuk melepaskan pekerjaannya dan fokus sepenuhnya pada peran sebagai istri.
Keadaan ini hanya memperparah perasaan terkungkung dan teraniaya yang ia rasakan setiap hari. Dikara, yang dulunya tampak penuh perhatian, kini berubah menjadi seseorang yang posesif dan kejam.
Setiap hari, Janeetha merasa semakin terperangkap, seolah-olah dinding-dinding di sekelilingnya semakin mendekat, mengurungnya tanpa jalan keluar. Banyak mimpi dan keinginan yang dulu ingin ia raih harus ia kubur dalam-dalam.
Di tengah kebingungannya, tiba-tiba sebuah panggilan datang dari ibunya. Janeetha merasa jantungnya berdebar ketika mendengar suara ibunya yang terdengar ceria di seberang telepon.
“Apa kabarmu, Sayangku?” tanya Gayatri, sang ibu membuat Janeetha menggigit bibirnya, menahan agar airmatanya tidak meluruh begitu saja.
Ingin rasanya Janeetha menceritakan segala sesuatu yang terjadi, tetapi dirinya tak memiliki keberanian membuat sang ibu dan Pradipa, ayahnya terlibat dalam konflik pun yang terutama adalah melihat hati mereka hancur berkeping jika tahu apa yang terjadi. Apalagi ayahnya yang baru saja sembuh dari stroke yang nyaris merenggut nyawa pria itu.
“Baik, Bu. Ibu menelpon kenapa?” Janeetha berusaha terdengar biasa saja.
“Memangnya Ibu harus punya alasan untuk menelponmu?” gerutu wanita paruh baya di seberang membuat Janeetha tertawa kecil.
Yah, ibunya memang cukup sering menanyakan kabar, begitu juga dengan ibu mertua yang selalu baik padanya.
Mereka pun mengobrol sebentar bertukar cerita hingga akhirnya Gayatri mengutarakan maksudnya. "Janeetha, Ibu ingin mengundang kamu dan suamimu untuk makan malam bersama. Sudah lama 'kan kita tidak berkumpul? Ibu merindukan kebersamaan kita. Ayahmu juga sangat ingin bertemu denganmu dan Dikara."
Janeetha menggigit bibirnya, merasakan gelombang ketidaknyamanan menyergapnya. Ia tahu bahwa makan malam bersama keluarga bukanlah ide yang baik. Mempertahankan kepura-puraan bahwa semuanya baik-baik saja antara dirinya dan Dikara adalah tugas yang semakin berat.
Namun, Janeetha juga tahu bahwa ia tidak bisa menolak. Menolak undangan itu hanya akan menimbulkan lebih banyak kecurigaan dan pertanyaan dari orang tuanya.
Dengan berat hati, Janeetha setuju. “Baik, Bu. Nanti Janeetha bicarakan dengan Mas Dika.”
Setelah berbincang sebentar, ibunya menutup telepon. Bersaman dengan itu, Janeetha berbalik dan terkejut menemukan Dikara telah berdiri di ambang pintu.
***
“Mas? Kok sudah pulang? Ada yang tertinggal?” tanya Janeetha tetapi tak mendapatkan jawaban hanya tatapan suaminya yang sulit diartikan.Tak ingin memperpanjang masalah, Janeetha menyampaikan undangan keluarganya."Ibu tadi menelpon. Kita diundang untuk makan malam di rumah orang tuaku," ucapnya dengan suara pelan, berusaha untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanan yang ia rasakan. "Ibu dan Ayah ingin bertemu dengan kita."Dikara mengangguk, wajahnya tetap tanpa ekspresi. "Baiklah. Kita akan pergi."Namun, sebelum Janeetha bisa bernapas lega, Dikara melangkah mendekat, suaranya berubah menjadi nada peringatan yang dingin. Pria itu mencubit dagu Janeetha cukup keras hingga tatapan mereka bertemu. "Dan selama kita berada di sana, yang perlu kau lakukan di depan mereka adalah bersikap sebagaimana istri yang baik, penurut dan manis. Jangan sekali-kali menunjukkan apa yang sering kau tunjukkan padaku selama ini! Jika kau membuat kesalahan sekecil apa pun, kau tahu apa yang akan terjadi." Ja
“Mas, jangan ngebut-ngebut,” ucap Janeetha lirih, merasakan dadanya semakin sesak dengan setiap kilometer yang mereka tempuh. Di perjalanan pulang, suasana dalam mobil terasa mencekam. Dikara memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi hingga Janeetha harus mencengkeram pegangan di atas pintu dengan kuat. Ia berusaha mengusir rasa takut jika mereka tiba-tiba menabrak kendaraan lain atau bahkan terguling. Namun, ketakutan itu bukan hanya karena kecepatan mobil, melainkan karena keheningan yang mematikan di antara mereka. Ketika mereka sampai di dalam apartemen, pintu tertutup dengan sangat keras. Janeetha belum sempat menghela napas ketika Dikara tiba-tiba mencengkram lengannya dengan kasar, memutar tubuhnya hingga mereka saling berhadapan. “Berani sekali kau membuka ponselku!” Suaranya rendah, hampir seperti singa yang siap menyerang. Tatapan matanya penuh dengan kemarahan yang nyaris tak terkendali.
Dikara, yang sudah berada di puncak kemarahannya, tidak lagi bisa mengendalikan dirinya. Setiap permintaan cerai yang diajukan Janeetha, hanya menambah bahan bakar pada api yang sudah berkobar dalam dirinya.“Apa yang kau inginkan dariku, Janeetha? Hah?” teriak Dikara penuh amarah. “Kau pikir aku tidak tahu bahwa kau mencampuri urusanku? Kau pikir kau bisa mengontrolku dengan permintaan bodohmu itu?”Janeetha mundur beberapa langkah, mencoba mencari ruang untuk bernapas di tengah badai yang melanda mereka.Namun, Dikara tidak memberinya kesempatan. Pria itu malah mencengkram kedua bahu mungil istrinya dengan kasar dan mendorongnya ke dindingmembuat Janeetha memekik kecil karena sakit."Kau tidak akan pernah bisa lari dariku! Kau akan tetap menjadi istriku, selamanya, apapun yang terjadi! Dan kau akan melakukan setiap hal yang aku perintahkan, tanpa pengecualian! Mengerti? Aku tak peduli apa yang kau rasakan, kau milikku—sepenuhnya!" Suara Dika
Suara sekitar yang sedikit berisik membuat Janeetha mau tak mau membuka mata seiring merasakan nyeri di seluruh tubuh, terutama di lengan dan punggung, di mana luka-luka memar tampak jelas di kulitnya yang pucat.Pandangannya buram saat ia menatap langit-langit kamar, samar-samar mengingat kejadian semalam sebelumnya. Hatinya kembali remuk dan tiba-tiba saja air mata menggenang di pelupuk."Bangun. Siapkan sarapan untukku." Suara berat yang berada tak jauh di belakangnya membuat Janeetha sedikit tersentak.Kalimat yang keluar dari mulut Dikara adalah perintah dan tidak dapat dibantah.Perlahan, Janeetha berusaha duduk meski sakitnya membuat napasnya tersengal. Pakaian tidurnya kusut, rambutnya berantakan, dan wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya. Namun, semua
Seperti pencuri yang tidak ingin ketahuan, Janeetha berjalan dengan langkah cepat sembari menutupi sebagian wajahnya dengan topi baseball yang ia kenakan. Ia juga berharap kacamata hitam yang ia pakai, menyamarkan wajahnya. Degupan dalam dadanya semakin kuat. Seumur hidup, ini pertama kalinya Janeetha melakukan hal seperti ini, seakan sedang melakukan sesuatu yang melanggar hukum! Maura mengirim pesan jika Fabian sudah menunggunya di sebuah kafe, tak jauh dari area apartemen milik Dikara. Meski Janeetha sebenarnya sedikit jengah karena malah pria itu yang menjemputnya, tetapi untuk saat ini ia lebih fokus pada usahanya untuk melepaskan diri dari sang suami secepat mungkin. Janeetha mempercepat langkahnya dan bernapas lega ketika telah melihat mobil milik Fabian di depan kafe yang disebutkan. Ia hampir berlari saat menghampiri dengan jantungnya semakin berdetak kencang. Fabian menurunkan kaca jendela dan memandang Janeetha dengan tatapan serius meski kelembutan masih ada di sana.
Dikara.Nafas Janeetha memburu, pikiran berputar. Dengan tubuh gemetar, dia menoleh ke arah Fabian yang masih terbaring di tanah, tak berdaya. Situasi ini semakin mencekam.Janeetha tahu bahwa melawan hanya akan memperburuk keadaan, tetapi hatinya memberontak. Meski demikian, dia tidak punya pilihan lain selain mengikuti apa yang diminta.Ketegangan semakin membelit, dan Janeetha bisa merasakan ancaman semakin nyata, seolah nasibnya kini berada di tangan mereka.Ah, bukan.Nasibnya berada di tangan Dikara …"Aku akan ikut kalian tapi jangan lagi sakiti dia," ucap Janeetha sembari melihat ke arah Fabian yang seketika menatap protes."Tak apa, Kak. Mas Dika hanya ingin bicara denganku." Seulas senyum terbit di wajah Janeetha. Ia berusaha menenangkan Fabian dan juga dirinya sendiri.Setelahnya, kedua pria itu menuntun Janeetha menuju mobil hitam mewah yang terparkir tak jauh dari mereka berad
Tanpa peringatan, Dikara menunduk dan mencium Janeetha dengan kasar. Ciuman itu penuh paksaan, membuat Janeetha tersentak dan memalingkan wajahnya, berusaha menghindari sentuhan suaminya. Namun, Dikara mencengkeram rahangnya dengan kuat, memaksa Janeetha untuk tidak melawan. "Kau milikku, Janeetha! Apa pun yang terjadi, kau tetap milikku!" Suaranya rendah, penuh kemarahan. Tangan Dikara bergerak liar, meremas tubuh Janeetha tanpa rasa iba. Janeetha menggigil, tangan kecilnya mencoba menahan lengan suaminya, tetapi kekuatannya jauh dari cukup untuk menghentikan Dikara. "Hentikan, Mas! Kumohon... jangan begini…" suaranya semakin putus asa, tetapi tidak ada belas kasih di mata Dikara. Dikara terus bergerak kasar, seolah ingin menghukum Janeetha, memaksanya tunduk pada kehendaknya. "Kau pikir bisa lari dariku? Hah? Kau salah besar!" Janeetha berusaha meronta. Sayangnya setiap gerakannya dihentikan oleh cengkeraman kuat Dikara. Ia merasa seperti terjebak dalam perangkap yang tak m
Tiba-tiba, suara dering ponselnya memecah keheningan. Janeetha mengerjap, terkejut. Setelah mengusap air mata dari wajahnya, tangannya meraba-raba tas yang ada di dekatnya, mencari sumber suara itu. Saat ia mengeluarkan ponsel dan melihat nama yang tertera di layar, hatinya langsung berdebar keras. Ada nama Fabian tertera di layar. Perasaan khawatir bercampur jengah menyerbu Janeetha. Ia sudah melibatkan Fabian terlalu jauh dalam masalah ini, dan yang paling menyakitkan, ia meninggalkan Fabian begitu saja saat pria itu terluka.Janeetha menggigit bibirnya, menahan rasa bersalah yang mendalam. Dengan ragu, ia menggeser layar dan menerima panggilan tersebut sambil mempersiapkan diri untuk menerima reaksi dari Fabian apapun itu.Namun, suara pertama yang terdengar bukan Fabian, melainkan Maura. “Janeetha! Kau baik-baik saja?” Suara Maura terdengar penuh kekhawatiran. "Kak Fabian telah menceritakan apa yang terjadi tadi!"Janeetha me
Ketika Ketika Janeetha membuka matanya, ruangan putih terang menyambutnya. Kelopak matanya terasa berat, tubuhnya lemah, dan ada rasa sakit luar biasa di perutnya.Dia berkedip beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada. Aroma khas rumah sakit menyengat hidungnya. Infus terpasang di tangannya, dan tubuhnya terasa begitu lemah, seolah hanya tersisa separuh jiwa dalam dirinya.Kemudian, ingatan itu kembali.Darah.Rasa sakit.Jeritan yang tidak terdengar.Tangannya perlahan bergerak ke perutnya yang datar.Tidak…Tidak mungkin…Matanya membelalak saat kepanikan merayapi tubuhnya. Nafasnya memburu, jantungnya berdegup kencang. Dia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya menolak. Air matanya mulai menggenang di sudut mata.“Bayi…” suaranya hampir tak terdengar. “Bayi ku…”Maria, yang sejak tadi duduk di sudut ruangan, segera menghampirinya dan menggenggam tangannya dengan erat. “Janeetha… aku di sini.”
“Dasar bajingan! Pergi kau!”Dikara tersentak.Suara itu begitu familiar, mengandung kemarahan yang meledak-ledak. Sebelum ia bisa sepenuhnya mengangkat kepalanya, seseorang sudah menarik kerah bajunya dengan kasar, hampir membuatnya terjatuh dari kursi.Fabian.Pria itu berdiri di depannya dengan wajah merah padam, tatapan penuh kebencian terpancang kuat di matanya. Napasnya memburu, dadanya naik turun seolah menahan emosi yang hendak meledak.“Sudah cukup kau menghancurkan hidupnya! Apa kau belum puas?!” Fabian menggeram, suaranya bergetar oleh amarah. “Dia hampir mati, Dikara! Kau dengar itu? HAMPIR MATI karena kau!”Dikara hanya menatapnya, matanya kosong.Jika ini terjadi beberapa bulan lalu, ia mungkin sudah membalas Fabian dengan kepalan tangan. Ia mungkin sudah melayangkan tinju ke wajah pria itu tanpa pikir panjang.Tetapi malam ini… tidak ada amarah dalam dirinya. Hanya keham
Setelah semalaman berjaga, Dikara berdiri dengan tubuh tegang di depan ruang ICU, menunggu dokter yang baru saja masuk untuk memeriksa Janeetha. Begitu juga Maria dan Sam.Pikiran pria itu berkecamuk, memutar kembali kejadian-kejadian yang telah terjadi. Keguguran. Trauma. Janeetha telah kehilangan bayinya. Anak mereka.Suatu kenyataan yang menghantamnya tanpa ampun.Pintu ICU terbuka, dan Dokter Arief melangkah keluar dengan ekspresi lebih tenang dari sebelumnya. “Kondisinya mulai stabil. Jika tidak ada komplikasi lain, kami akan memindahkannya ke ruang perawatan dalam beberapa jam.”Dikara mengangguk pelan, meskipun perasaannya masih berantakan.Maria, yang berdiri tak jauh darinya, bersedekap dengan tatapan tajam. “Bagus. Itu artinya kau tak perlu di sini lagi.”Dikara menoleh, menatap Maria dengan pandangan dingin. “Aku akan tetap di sini.”Sam, yang berdiri di samping Maria, mendengus sinis. &l
Maria menatapnya penuh kebencian. “Kau tidak bisa mengambilnya kembali begitu saja.”Dikara menatapnya sejenak, lalu perlahan berjalan mendekat.“Aku tidak mengambil apa pun.” Suaranya rendah, tetapi ada nada mengancam di dalamnya. “Aku hanya datang untuk menjemput istriku.”Maria mengepalkan tangannya, sementara Sam berdiri lebih dekat di sampingnya.Di balik pintu ruang operasi, Janeetha sedang berjuang antara hidup dan mati.Suara alat-alat medis yang berbunyi nyaring, berpadu dengan suara dokter dan perawat yang berusaha menyelamatkan dua nyawa sekaligus.Tubuh Janeetha terbaring tak berdaya di atas meja operasi, darah masih mengalir dari tubuhnya meskipun tim medis sudah berusaha menghentikannya.Dokter yang bertugas berdiri di dekat kepala Janeetha, menatap monitor dengan rahang mengatup rapat. “Tekanan darahnya turun drastis! Beri tambahan cairan!”Seorang perawat buru-buru
Malam semakin larut, hujan turun perlahan di luar jendela klinik kecil itu. Di dalam ruangan yang remang, Janeetha terbaring dengan tubuh lemah, wajahnya pucat pasi. Napasnya pendek dan tersengal, sementara tangannya menggenggam erat sprei ranjang seakan mencoba menahan rasa sakit yang semakin menggigit perutnya.Maria duduk di sisi ranjang, memegang tangan Janeetha dengan erat. Sam mondar-mandir di ruangan dengan wajah tegang, sesekali menoleh ke arah dokter Arief yang sedang memeriksa tekanan darah Janeetha.Beberapa waktu lalu Janeetha kembali mengeluh kesakitan dan tampak lebih parah dari sebelumnya karena itu Sam segera memanggil dokter Arief.Tiba-tiba, tubuh Janeetha menegang. Napasnya memburu, dan bibirnya mengeluarkan erangan tertahan sebelum tubuhnya mulai bergetar hebat.“Maria… sakit…” Suaranya nyaris tidak terdengar.Maria langsung menegang, sementara Sam menghentikan langkahnya dan bergegas mendekat.&
Sam memapah Janeetha keluar dari rumah persembunyian mereka. Langkah Janeetha lemah, tubuhnya nyaris limbung jika saja Sam tidak menggenggamnya erat.Maria berjalan cepat di depan, sesekali menoleh dengan wajah tegang. Mereka tahu mereka tidak bisa sembarangan ke rumah sakit besar—terlalu berisiko.“Kita harus menemukan tempat yang aman untuk memeriksanya,” gumam Maria sambil melihat layar ponselnya. “Ada sebuah klinik kecil di pinggiran kota. Aku punya kenalan di sana. Dia bisa membantu tanpa terlalu banyak bertanya.”Sam mengangguk tanpa ragu. “Ayo.”Mereka menaiki mobil tua yang telah disiapkan Maria sebelumnya. Sam duduk di belakang bersama Janeetha, memastikan kepalanya bersandar nyaman di bahunya. Wanita itu tampak semakin pucat, bibirnya sedikit gemetar akibat kehilangan darah.“Bertahanlah,” bisik Sam pelan.Janeetha hanya mengangguk lemah, matanya mengerjap samar. Setiap detik ya
"Ya Tuhan, Janeetha!" Maria buru-buru melangkah keluar, mendekat dengan wajah panik. Tatapannya langsung tertuju pada wanita itu yang hampir tidak bisa berdiri tanpa dukungan Sam. "Apa yang terjadi?"Sam menghela napas berat. "Dia terluka, tapi dia menolak untuk mendapatkan pertolongan medis."Maria mengumpat pelan sebelum meraih lengan Janeetha dengan lembut, mencoba menuntunnya masuk. "Kita tidak bisa membiarkanmu dalam keadaan seperti ini. Kau butuh dokter.""Tidak," gumam Janeetha lemah, meskipun tubuhnya sudah hampir tidak bisa menahan rasa sakit yang semakin tajam di perutnya. "Kita tidak bisa pergi ke rumah sakit. Dikara pasti akan menemukanku."Maria mengatupkan rahangnya dengan frustasi. "Dan kau pikir apa yang akan terjadi jika kau mati di sini?!" suaranya sedikit meninggi. "Ini bukan tentang Dikara lagi, Janeetha. Ini tentang kau. Tentang nyawamu!"Janeetha menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang bercampur dengan rasa sakit. Ia s
Sam membantu Janeetha memasuki sebuah mobil kecil yang mereka dapatkan dari seseorang yang bersedia mengantarkan mereka ke luar kota dengan imbalan cukup besar.Pria paruh baya yang mengemudikan mobil itu tidak banyak bicara—hanya sesekali melirik ke arah mereka melalui kaca spion dengan ekspresi waspada.Duduk di kursi belakang, Janeetha bersandar lemah pada jendela. Napasnya pendek-pendek, dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya meskipun udara di dalam mobil terasa dingin. Sam, yang duduk di sampingnya, tidak bisa lagi menyembunyikan kegelisahannya."Janeetha, kau harus bilang apa yang sebenarnya terjadi," ujar Sam pelan, tapi dengan tekanan yang jelas.Janeetha mengerjap, mencoba menegakkan tubuhnya, tapi rasa sakit yang menusuk perutnya semakin menjadi. "Aku baik-baik saja," gumamnya, meski suaranya hampir tak terdengar.Sam tidak lagi percaya. Tadi di terminal, dia melihatnya berdarah—dan itu bukan sesuatu yang bisa diabaika
Angin dingin menusuk kulit saat Janeetha turun dari bus dengan langkah goyah. Hujan gerimis masih turun, membuat jalanan becek dan licin.Sam berjalan di sampingnya, sesekali melirik dengan khawatir. Wajah Janeetha pucat, bibirnya tampak lebih kering dari biasanya, dan sorot matanya mengisyaratkan kelelahan yang amat sangat. Sekilas, ia tampak seperti seseorang yang bisa roboh kapan saja.Di sekitar mereka, terminal kecil itu masih cukup ramai meski hari sudah mulai menginjak petang. Orang-orang berlalu lalang dengan jaket atau payung seadanya, beberapa tampak bergegas menuju bus yang siap berangkat, sementara yang lain sibuk berbincang dengan pedagang kaki lima di sekitar area tunggu.Sam menoleh ke Janeetha, kemudian menarik lengannya pelan. “Kita harus cari tempat istirahat sebentar,” katanya, mencoba berbicara selembut mungkin agar Janeetha tidak langsung menolaknya.Seperti yang sudah diduga, Janeetha segera menggeleng cepat. “Tidak