Share

Siapa Ameera?

Ketika suara air di kamar mandi berhenti, Janeetha segera meletakkan kembali ponsel Dikara di tempatnya semula. Dengan perlahan, ia mengenakan jubah tidur satinnya, meskipun kulitnya terasa perih akibat perlakuan kasar Dikara. Ia berusaha menyembunyikan ketidaknyamanan itu, tetapi dalam hatinya, Janeetha tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup seperti ini.

 Dikara keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit di pinggangnya, rambutnya masih basah.

Janeetha mengamatinya sesaat. Dulu, pemandangan ini sempat membuat hatinya berdebar penuh damba, tetapi semuanya seakan sirna perlahan. Pria itu tak lagi mampu membuat dirinya bergetar seperti dulu meski rasa yang ia miliki masih tersisa meski samar.

“Mengapa kau melihatku seperti itu?” tanya Dikara, nada suaranya dingin sembari menatap balik tak kalah tajam. Raut wajahnya tampak datar, tak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia menyadari adanya ketegangan yang sedang membara di dalam diri istrinya.

 Janeetha menatap suaminya dengan penuh keberanian yang perlahan muncul di dalam dirinya. Ia menggigit bibirnya, ragu sejenak. Namun, ia tahu bahwa ini adalah saatnya. 

Semua rasa sakit, rasa dikhianati, dan rasa tak berdaya yang selama ini ia pendam kini menyatu menjadi sebuah keputusan yang tak bisa lagi ia tunda.

“Siapa itu Ameera?” tanya Janeetha, suaranya terdengar tegas meski ada sedikit gemetar di sana.

Dikara terdiam, sekilas tampak terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya. Tatapan dinginnya berubah menjadi lebih tajam, seolah-olah ia sedang mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam kepala istrinya.

“Kau tanya apa?” Suara Dikara terdengar lebih dalam dan menuntut.

“Siapa itu Ameera?” ulang Janeetha, kali ini lebih kuat. “Mas ada hubungan khusus dengannya?”

 Wajah Dikara tampak mengeras, amarah terlihat di balik mata gelapnya.

Namun, Janeetha tak gentar. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia memiliki kekuatan untuk melawan. Ia tak akan lagi menjadi korban dalam hubungan ini. Ia tak akan lagi membiarkan dirinya diperlakukan seperti ini.

Janeetha menatap wajah suaminya, yang semakin menggelap seiring langkah lebar-lebar Dikara mendekatinya. 

Rasa takut dan panik menyeruak dalam diri Janeetha ketika melihat ekspresi kemarahan yang tampak jelas di wajah pria yang seharusnya melindunginya itu. Suara detak jantungnya menggema di telinga, sementara tubuhnya mulai gemetar tanpa kendali.

 Tanpa peringatan, Dikara mencengkeram lengan Janeetha yang terbalut kain satin hitam dengan kasar, membuatnya meringis kesakitan.

"Mas, sakit-" Janeetha bersuara hampir tak terdengar.

Namun, permohonannya tak dihiraukan. Mata hitam pekat Dikara menghunjam lurus ke arahnya, penuh amarah dan kegelapan yang tak pernah Janeetha pahami.

“Ulangi sekali lagi,” desis Dikara, suaranya rendah dan penuh penekanan. Aura di sekelilingnya terasa mencekam, membuat Janeetha semakin terjebak dalam rasa takut yang luar biasa.

 Ragu-ragu, Janeetha menatap suaminya. Ia tahu bahwa setiap kata yang keluar dari mulutnya bisa menjadi awal dari mimpi buruk yang lebih buruk lagi, tetapi di sisi lain, ia juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menyelamatkan dirinya. 

Ya, jika Dikara marah besar padanya, mungkin pria itu akan dengan rela melepaskan dirinya untuk keluar dari kehidupan pernikahan yang bak neraka ini!

Selama ini, Janeetha telah hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan penindasan. Ia telah menjadi seseorang yang tak lagi dikenalnya—bukan lagi Janeetha yang penuh keoptimisan dan harapan.

 Namun, di balik ketakutannya, ada secercah keberanian yang mulai muncul. Janeetha tahu bahwa ia tak bisa terus hidup seperti ini. Ia harus melawan, untuk dirinya sendiri.

 “Mas selingkuh dengan Ameera?” Kata-kata yang keluar dari bibir Janeetha, kali ini dengan suara yang melirih, tetapi penuh ketegasan. Ia tak yakin apa yang akan terjadi setelah ini, tapi benaknya sibuk memikirkan cara untuk menyelamatkan diri.

Cengkeraman Dikara di lengan Janeetha semakin kuat, menimbulkan rasa sakit yang semakin parah.

Janeetha kembali meringis, tetapi tak berniat menarik ucapannya. Ia sudah terlalu jauh untuk mundur. Hanya saja, melihat raut wajah suaminya yang dipenuhi kemarahan, ia mulai meragukan keputusannya.

“Kupikir kita sudah sepakat dengan perjanjian kita,” desis Dikara dengan nada yang penuh dengan ancaman. “Kau sendiri ‘kan yang meminta agar kita hidup masing-masing tanpa mengurusi urusan pribadi!”

Janeetha merasa jantungnya berdetak lebih cepat. “Lepaskan aku, Mas. Kumohon,” ucapnya dengan suara penuh kepasrahan.

Namun, alih-alih mengendurkan cengkeramannya, Dikara justru semakin mempererat pegangannya, memperlihatkan sikap posesif yang semakin mengerikan.

“Mengapa kau selalu melakukan hal yang tak kusukai, Jani? Jangan menjadi istri yang keras kepala!”

“Aku hanya ingin Mas menjawab pertanyaanku. Siapa itu Ameera?”  Janeetha meronta, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Dikara.

Rasa sakit yang menjalar di lengannya semakin parah, tetapi ia terus berjuang, tak ingin menyerah begitu saja.

Janeetha tahu bahwa Dikara tak akan pernah membiarkannya pergi dengan mudah, jadi ia harus melawan, bagaimanapun caranya.

“Bukan urusanmu!”  Dikara, yang semakin kehilangan kendali, nyaris meluapkan amarahnya dalam bentuk yang lebih buruk, jika saja ponselnya tidak berbunyi tiba-tiba.

Suara dering itu membuat Dikara sedikit tersentak. Ia melepaskan cengkeramannya dengan gerakan cepat dan mengambil ponselnya yang bergetar di meja. Melihat nama asistennya yang muncul di layar, ia segera menerima panggilan itu dengan nada dingin.

 “Ada apa?” jawab pria itu sembari melangkah menjauh dari istrinya.

Janeetha berdiri di sana, terhuyung-huyung sambil memegangi lengannya yang terasa sakit. Ketika Dikara berbicara melalui ponsel, ia hanya bisa merasakan kekosongan yang dalam.

Suaminya berbicara sebentar, memberikan instruksi singkat kepada asistennya, lalu menutup telepon tanpa berkata apapun kepadanya, selain melempar tatapan tajam menghunjam yang kembali meremangkan dirinya.

 Tanpa sepatah kata, Dikara berbalik dan berjalan menuju walk in closet, menarik baju kerjanya dengan cepat. Setelah berpakaian, ia berjalan keluar dari kamar tanpa melihat kembali ke arah Janeetha.

Pintu kamar tertutup keras di belakangnya, meninggalkan Janeetha yang seketika terduduk di lantai dengan tubuh gemetar.  Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya tumpah. Isakan tertahan keluar dari bibirnya, membuatnya meraung tanpa kendali.

Semua rasa sakit, ketakutan, dan keputusasaan yang selama ini Janeetha pendam seolah meledak menjadi satu. Ia merasa terpuruk, tenggelam dalam lautan kepedihan yang tak berujung. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia merasa terjebak dalam siklus kekerasan dan penderitaan yang tak ada habisnya.

Dikara tak hanya suaminya. Ia adalah pria dengan kekuatan yang mengendalikan hidupnya, dan Janeetha merasa tak berdaya untuk melawan.

Saat air mata Janeetha terus berderai, ponsel miliknya yang tergeletak di samping tempat tidur bergetar.

Dengan tangan gemetar, Janeetha bergerak meraih ponsel itu dan melihat nama sahabatnya, Maura, muncul di layar.

“Maura…” ucap Janeetha dengan suara serak saat ia mengangkat telepon. Ia berusaha keras untuk menahan isakan, tetapi Maura dapat langsung mendengar ada sesuatu yang salah.

“Janeetha? Apa yang terjadi? Kenapa suaramu terdengar seperti itu?” tanya Maura dengan nada khawatir.

Janeetha hanya bisa terisak, tak mampu menjawab pertanyaan sahabatnya. “Aku… Aku tak tahu harus berbuat apa, Maura. Aku tak bisa lagi hidup seperti ini…”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status