Share

Siapa Ameera?

Penulis: DSL
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-10 17:05:00

Ketika suara air di kamar mandi berhenti, Janeetha segera meletakkan kembali ponsel Dikara di tempatnya semula. Dengan perlahan, ia mengenakan jubah tidur satinnya, meskipun kulitnya terasa perih akibat perlakuan kasar Dikara. Ia berusaha menyembunyikan ketidaknyamanan itu, tetapi dalam hatinya, Janeetha tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup seperti ini.

 Dikara keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit di pinggangnya, rambutnya masih basah.

Janeetha mengamatinya sesaat. Dulu, pemandangan ini sempat membuat hatinya berdebar penuh damba, tetapi semuanya seakan sirna perlahan. Pria itu tak lagi mampu membuat dirinya bergetar seperti dulu meski rasa yang ia miliki masih tersisa meski samar.

“Mengapa kau melihatku seperti itu?” tanya Dikara, nada suaranya dingin sembari menatap balik tak kalah tajam. Raut wajahnya tampak datar, tak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia menyadari adanya ketegangan yang sedang membara di dalam diri istrinya.

 Janeetha menatap suaminya dengan penuh keberanian yang perlahan muncul di dalam dirinya. Ia menggigit bibirnya, ragu sejenak. Namun, ia tahu bahwa ini adalah saatnya. 

Semua rasa sakit, rasa dikhianati, dan rasa tak berdaya yang selama ini ia pendam kini menyatu menjadi sebuah keputusan yang tak bisa lagi ia tunda.

“Siapa itu Ameera?” tanya Janeetha, suaranya terdengar tegas meski ada sedikit gemetar di sana.

Dikara terdiam, sekilas tampak terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya. Tatapan dinginnya berubah menjadi lebih tajam, seolah-olah ia sedang mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam kepala istrinya.

“Kau tanya apa?” Suara Dikara terdengar lebih dalam dan menuntut.

“Siapa itu Ameera?” ulang Janeetha, kali ini lebih kuat. “Mas ada hubungan khusus dengannya?”

 Wajah Dikara tampak mengeras, amarah terlihat di balik mata gelapnya.

Namun, Janeetha tak gentar. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia memiliki kekuatan untuk melawan. Ia tak akan lagi menjadi korban dalam hubungan ini. Ia tak akan lagi membiarkan dirinya diperlakukan seperti ini.

Janeetha menatap wajah suaminya, yang semakin menggelap seiring langkah lebar-lebar Dikara mendekatinya. 

Rasa takut dan panik menyeruak dalam diri Janeetha ketika melihat ekspresi kemarahan yang tampak jelas di wajah pria yang seharusnya melindunginya itu. Suara detak jantungnya menggema di telinga, sementara tubuhnya mulai gemetar tanpa kendali.

 Tanpa peringatan, Dikara mencengkeram lengan Janeetha yang terbalut kain satin hitam dengan kasar, membuatnya meringis kesakitan.

"Mas, sakit-" Janeetha bersuara hampir tak terdengar.

Namun, permohonannya tak dihiraukan. Mata hitam pekat Dikara menghunjam lurus ke arahnya, penuh amarah dan kegelapan yang tak pernah Janeetha pahami.

“Ulangi sekali lagi,” desis Dikara, suaranya rendah dan penuh penekanan. Aura di sekelilingnya terasa mencekam, membuat Janeetha semakin terjebak dalam rasa takut yang luar biasa.

 Ragu-ragu, Janeetha menatap suaminya. Ia tahu bahwa setiap kata yang keluar dari mulutnya bisa menjadi awal dari mimpi buruk yang lebih buruk lagi, tetapi di sisi lain, ia juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menyelamatkan dirinya. 

Ya, jika Dikara marah besar padanya, mungkin pria itu akan dengan rela melepaskan dirinya untuk keluar dari kehidupan pernikahan yang bak neraka ini!

Selama ini, Janeetha telah hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan penindasan. Ia telah menjadi seseorang yang tak lagi dikenalnya—bukan lagi Janeetha yang penuh keoptimisan dan harapan.

 Namun, di balik ketakutannya, ada secercah keberanian yang mulai muncul. Janeetha tahu bahwa ia tak bisa terus hidup seperti ini. Ia harus melawan, untuk dirinya sendiri.

 “Mas selingkuh dengan Ameera?” Kata-kata yang keluar dari bibir Janeetha, kali ini dengan suara yang melirih, tetapi penuh ketegasan. Ia tak yakin apa yang akan terjadi setelah ini, tapi benaknya sibuk memikirkan cara untuk menyelamatkan diri.

Cengkeraman Dikara di lengan Janeetha semakin kuat, menimbulkan rasa sakit yang semakin parah.

Janeetha kembali meringis, tetapi tak berniat menarik ucapannya. Ia sudah terlalu jauh untuk mundur. Hanya saja, melihat raut wajah suaminya yang dipenuhi kemarahan, ia mulai meragukan keputusannya.

“Kupikir kita sudah sepakat dengan perjanjian kita,” desis Dikara dengan nada yang penuh dengan ancaman. “Kau sendiri ‘kan yang meminta agar kita hidup masing-masing tanpa mengurusi urusan pribadi!”

Janeetha merasa jantungnya berdetak lebih cepat. “Lepaskan aku, Mas. Kumohon,” ucapnya dengan suara penuh kepasrahan.

Namun, alih-alih mengendurkan cengkeramannya, Dikara justru semakin mempererat pegangannya, memperlihatkan sikap posesif yang semakin mengerikan.

“Mengapa kau selalu melakukan hal yang tak kusukai, Jani? Jangan menjadi istri yang keras kepala!”

“Aku hanya ingin Mas menjawab pertanyaanku. Siapa itu Ameera?”  Janeetha meronta, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Dikara.

Rasa sakit yang menjalar di lengannya semakin parah, tetapi ia terus berjuang, tak ingin menyerah begitu saja.

Janeetha tahu bahwa Dikara tak akan pernah membiarkannya pergi dengan mudah, jadi ia harus melawan, bagaimanapun caranya.

“Bukan urusanmu!”  Dikara, yang semakin kehilangan kendali, nyaris meluapkan amarahnya dalam bentuk yang lebih buruk, jika saja ponselnya tidak berbunyi tiba-tiba.

Suara dering itu membuat Dikara sedikit tersentak. Ia melepaskan cengkeramannya dengan gerakan cepat dan mengambil ponselnya yang bergetar di meja. Melihat nama asistennya yang muncul di layar, ia segera menerima panggilan itu dengan nada dingin.

 “Ada apa?” jawab pria itu sembari melangkah menjauh dari istrinya.

Janeetha berdiri di sana, terhuyung-huyung sambil memegangi lengannya yang terasa sakit. Ketika Dikara berbicara melalui ponsel, ia hanya bisa merasakan kekosongan yang dalam.

Suaminya berbicara sebentar, memberikan instruksi singkat kepada asistennya, lalu menutup telepon tanpa berkata apapun kepadanya, selain melempar tatapan tajam menghunjam yang kembali meremangkan dirinya.

 Tanpa sepatah kata, Dikara berbalik dan berjalan menuju walk in closet, menarik baju kerjanya dengan cepat. Setelah berpakaian, ia berjalan keluar dari kamar tanpa melihat kembali ke arah Janeetha.

Pintu kamar tertutup keras di belakangnya, meninggalkan Janeetha yang seketika terduduk di lantai dengan tubuh gemetar.  Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya tumpah. Isakan tertahan keluar dari bibirnya, membuatnya meraung tanpa kendali.

Semua rasa sakit, ketakutan, dan keputusasaan yang selama ini Janeetha pendam seolah meledak menjadi satu. Ia merasa terpuruk, tenggelam dalam lautan kepedihan yang tak berujung. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia merasa terjebak dalam siklus kekerasan dan penderitaan yang tak ada habisnya.

Dikara tak hanya suaminya. Ia adalah pria dengan kekuatan yang mengendalikan hidupnya, dan Janeetha merasa tak berdaya untuk melawan.

Saat air mata Janeetha terus berderai, ponsel miliknya yang tergeletak di samping tempat tidur bergetar.

Dengan tangan gemetar, Janeetha bergerak meraih ponsel itu dan melihat nama sahabatnya, Maura, muncul di layar.

“Maura…” ucap Janeetha dengan suara serak saat ia mengangkat telepon. Ia berusaha keras untuk menahan isakan, tetapi Maura dapat langsung mendengar ada sesuatu yang salah.

“Janeetha? Apa yang terjadi? Kenapa suaramu terdengar seperti itu?” tanya Maura dengan nada khawatir.

Janeetha hanya bisa terisak, tak mampu menjawab pertanyaan sahabatnya. “Aku… Aku tak tahu harus berbuat apa, Maura. Aku tak bisa lagi hidup seperti ini…”

Bab terkait

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   Tak Tahan Lagi

    Mendengar tangisan Janeetha, Maura menjadi semakin khawatir. “Tenang, Janeetha. Aku di sini untukmu. Apa kau bisa keluar sekarang? Kita bisa bertemu dan bicara.”Tanpa berpikir panjang, Janeetha mengangguk meski Maura tak bisa melihatnya. “Iya… aku akan keluar sekarang. Aku tak bisa berada di sini lebih lama.”“Baiklah, aku akan menunggumu di kafe biasa. Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja,” kata Maura dengan suara lembut dan berusaha menenangkan.Setelah menutup telepon, Janeetha bergegas bangkit dari lantai, menghapus air matanya yang masih berlinang.Ia tahu bahwa ia harus segera pergi dari sini, setidaknya untuk sementara waktu. Bertemu dengan Maura mungkin tidak akan menyelesaikan semua masalahnya, tetapi setidaknya ia tidak akan sendirian dalam menghadapi ini.Janeetha berjalan menuju lemari dan mengambil pakaian yang lebih layak untuk dikenakan di luar. Meski rasa sakit masih menjalari tubuhnya, ia berusaha keras untuk tidak memikirkannya.Setelah berpakaian, ia mengam

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-10
  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   Kau Mencintainya?

    “Kak Fabian,” ucapnya lirih sedikit keheranan membuat Maura pun segera menoleh ke arah yang sama. Fabian adalah kakak Maura. Janeetha mengenalnya sebagai pria yang selalu ramah dan penuh perhatian, tetapi Janeetha selalu merasa canggung di hadapannya. Ada sesuatu pada Fabian yang selalu membuatnya merasa tak nyaman, seolah ada perasaan yang tersembunyi di balik tatapan hangatnya. "Kak!" Maura menatap kakaknya dengan sedikit terkejut. "Apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak kerja?" “Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini?” sahut Fabian mencebik membuat Maura membalas dengan hal yang sama. Janeetha mengulum senyum melihat interaksi kakak adik yang selalu mampu menghiburnya sedari dulu. Fabian menarik sudut bibirnya sekilas saat melihat teman adiknya itu mulai tersenyum, meski rasa khawatir masih tampak jelas di wajah pria itu. Perlahan Fabian duduk di sebelah adiknya yang masih menuntut jawaban darinya. "Aku tadi mendengar kau ingin bertemu dengan Janeetha, dan aku... meras

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-10
  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   Layak Dicintai

    Pertanyaan itu, yang seharusnya sederhana, menghantam Janeetha seperti badai. Ia terdiam, tak tahu harus berkata apa.Cinta. Apakah perasaan itu masih ada?Janeetha menunduk, memikirkan kembali hubungannya dengan Dikara. Semakin ia memikirkannya, semakin jelas bahwa cinta yang pernah ada sudah lama hilang. Kini, hanya ada kebencian dan rasa kecewa yang tersisa."Aku tak tahu," suara Janeetha terdengar serak, nyaris tak terdengar. Dia meremas jemarinya sendiri, mencoba mencari kekuatan yang entah sudah berapa lama hilang. "Aku tak tahu apa yang aku rasakan lagi."Fabian terdiam, matanya tak lepas dari wajah Janeetha yang tampak rapuh. "Janeetha," Fabian berusaha tenang, tetapi tak dapat menyembunyikan nada kesal yang terselip. "Mengapa kau mempertahankan pria yang sudah jelas-jelas menyakitimu?"Janeetha tersentak. Kedua matanya langsung menatap Fabian penuh kebingungan. "Kakak... dari mana kakak tahu?"Sejenak, Fabian tak menjawab. Hening menyelimuti mereka. Akhirnya, Fabian menghela

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-10
  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   Bersikap Manis

    “Mas? Kok sudah pulang? Ada yang tertinggal?” tanya Janeetha tetapi tak mendapatkan jawaban hanya tatapan suaminya yang sulit diartikan.Tak ingin memperpanjang masalah, Janeetha menyampaikan undangan keluarganya."Ibu tadi menelpon. Kita diundang untuk makan malam di rumah orang tuaku," ucapnya dengan suara pelan, berusaha untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanan yang ia rasakan. "Ibu dan Ayah ingin bertemu dengan kita."Dikara mengangguk, wajahnya tetap tanpa ekspresi. "Baiklah. Kita akan pergi."Namun, sebelum Janeetha bisa bernapas lega, Dikara melangkah mendekat, suaranya berubah menjadi nada peringatan yang dingin. Pria itu mencubit dagu Janeetha cukup keras hingga tatapan mereka bertemu. "Dan selama kita berada di sana, yang perlu kau lakukan di depan mereka adalah bersikap sebagaimana istri yang baik, penurut dan manis. Jangan sekali-kali menunjukkan apa yang sering kau tunjukkan padaku selama ini! Jika kau membuat kesalahan sekecil apa pun, kau tahu apa yang akan terjadi." Ja

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-10
  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   07. Ceraikan Aku

    “Mas, jangan ngebut-ngebut,” ucap Janeetha lirih, merasakan dadanya semakin sesak dengan setiap kilometer yang mereka tempuh. Di perjalanan pulang, suasana dalam mobil terasa mencekam. Dikara memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi hingga Janeetha harus mencengkeram pegangan di atas pintu dengan kuat. Ia berusaha mengusir rasa takut jika mereka tiba-tiba menabrak kendaraan lain atau bahkan terguling. Namun, ketakutan itu bukan hanya karena kecepatan mobil, melainkan karena keheningan yang mematikan di antara mereka. Ketika mereka sampai di dalam apartemen, pintu tertutup dengan sangat keras. Janeetha belum sempat menghela napas ketika Dikara tiba-tiba mencengkram lengannya dengan kasar, memutar tubuhnya hingga mereka saling berhadapan. “Berani sekali kau membuka ponselku!” Suaranya rendah, hampir seperti singa yang siap menyerang. Tatapan matanya penuh dengan kemarahan yang nyaris tak terkendali.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-03
  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   08. Hancur Lebur

    Dikara, yang sudah berada di puncak kemarahannya, tidak lagi bisa mengendalikan dirinya. Setiap permintaan cerai yang diajukan Janeetha, hanya menambah bahan bakar pada api yang sudah berkobar dalam dirinya.“Apa yang kau inginkan dariku, Janeetha? Hah?” teriak Dikara penuh amarah. “Kau pikir aku tidak tahu bahwa kau mencampuri urusanku? Kau pikir kau bisa mengontrolku dengan permintaan bodohmu itu?”Janeetha mundur beberapa langkah, mencoba mencari ruang untuk bernapas di tengah badai yang melanda mereka.Namun, Dikara tidak memberinya kesempatan. Pria itu malah mencengkram kedua bahu mungil istrinya dengan kasar dan mendorongnya ke dindingmembuat Janeetha memekik kecil karena sakit."Kau tidak akan pernah bisa lari dariku! Kau akan tetap menjadi istriku, selamanya, apapun yang terjadi! Dan kau akan melakukan setiap hal yang aku perintahkan, tanpa pengecualian! Mengerti? Aku tak peduli apa yang kau rasakan, kau milikku—sepenuhnya!" Suara Dika

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-04
  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   09. Saatnya Pergi

    Suara sekitar yang sedikit berisik membuat Janeetha mau tak mau membuka mata seiring merasakan nyeri di seluruh tubuh, terutama di lengan dan punggung, di mana luka-luka memar tampak jelas di kulitnya yang pucat.Pandangannya buram saat ia menatap langit-langit kamar, samar-samar mengingat kejadian semalam sebelumnya. Hatinya kembali remuk dan tiba-tiba saja air mata menggenang di pelupuk."Bangun. Siapkan sarapan untukku." Suara berat yang berada tak jauh di belakangnya membuat Janeetha sedikit tersentak.Kalimat yang keluar dari mulut Dikara adalah perintah dan tidak dapat dibantah.Perlahan, Janeetha berusaha duduk meski sakitnya membuat napasnya tersengal. Pakaian tidurnya kusut, rambutnya berantakan, dan wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya. Namun, semua

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-05
  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   10. Tuan Sudah Menunggu

    Seperti pencuri yang tidak ingin ketahuan, Janeetha berjalan dengan langkah cepat sembari menutupi sebagian wajahnya dengan topi baseball yang ia kenakan. Ia juga berharap kacamata hitam yang ia pakai, menyamarkan wajahnya. Degupan dalam dadanya semakin kuat. Seumur hidup, ini pertama kalinya Janeetha melakukan hal seperti ini, seakan sedang melakukan sesuatu yang melanggar hukum! Maura mengirim pesan jika Fabian sudah menunggunya di sebuah kafe, tak jauh dari area apartemen milik Dikara. Meski Janeetha sebenarnya sedikit jengah karena malah pria itu yang menjemputnya, tetapi untuk saat ini ia lebih fokus pada usahanya untuk melepaskan diri dari sang suami secepat mungkin. Janeetha mempercepat langkahnya dan bernapas lega ketika telah melihat mobil milik Fabian di depan kafe yang disebutkan. Ia hampir berlari saat menghampiri dengan jantungnya semakin berdetak kencang. Fabian menurunkan kaca jendela dan memandang Janeetha dengan tatapan serius meski kelembutan masih ada di sana.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-05

Bab terbaru

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   139. Tak Akan Berhenti

    Hujan masih mengguyur deras saat Dikara berjalan keluar dari gubuk kecil tempat Armand ditahan. Ia marah besar, rahangnya mengeras, dan langkahnya berat, mencerminkan amarah yang membakar dalam dirinya. Melihat Armand sendirian, tanpa Janeetha, hanya menambah frustrasinya.“Tidak ada gunanya!” gumamnya kasar pada dirinya sendiri sambil melangkah menuju mobil yang terparkir tak jauh dari situ.Anak buahnya hanya bisa diam, mengikuti di belakang dengan kepala tertunduk, tahu bahwa suasana ini terlalu berbahaya untuk sekadar memberikan komentar.Namun, sebelum Dikara mencapai pintu mobilnya, salah satu anak buahnya menerima panggilan di perangkat komunikasinya. Lelaki itu langsung menegang, mendengarkan dengan seksama sambil sesekali melirik ke arah Dikara.“Ada apa?” tanya Dikara tajam, berhenti di tengah jalan dan memutar tubuhnya dengan tatapan mengintimidasi.Anak buah itu menelan ludah gugup, lalu berkata, “Tuan, tim

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   138. Rencana Sam

    Langit mulai beranjak gelap saat Janeetha akhirnya tiba di terminal kecil yang ditunjukkan di peta Maria. Tubuhnya letih, pakaian yang basah karena hujan kini mulai mengering di tubuhnya, tetapi ia merasa dingin merayap hingga ke tulang.Terminal itu tidak ramai, hanya beberapa orang yang duduk menunggu di bangku-bangku kayu yang sudah mulai lapuk, sementara lampu jalan yang redup di trotoar.Janeetha berhenti sejenak di tepi terminal, menenangkan napasnya yang memburu. Ia menggenggam erat peta yang masih terlipat di tangannya, memastikan dirinya berada di tempat yang benar. Ia melihat sekeliling, mencari seseorang dengan ciri-ciri yang disebutkan Maria—topi cokelat tua dan ransel besar.Di sudut terminal, dekat sebuah kedai kecil yang menjual teh dan roti, seorang pria duduk sendirian di kursi kayu.Topi cokelatnya tampak usang, seperti sudah bertahun-tahun digunakan, dan sebuah ransel besar tergeletak di lantai di sampingnya. Pria itu tampak tenang, menghirup teh dari cangkir enamel

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   137. Berpisah

    Hujan masih rintik-rintik saat Maria dan Janeetha tiba di desa kecil yang sunyi, tersembunyi di balik perbukitan. Jalan berbatu yang mereka lalui basah dan licin, tetapi Maria mengemudi dengan hati-hati hingga akhirnya menemukan sebuah gudang tua di pinggir desa. Ia memarkir mobil mereka di sana, menutupi bagian depannya dengan ranting dan daun kering untuk menyamarkan keberadaannya.“Ini harus cukup untuk membuatnya tidak terlihat,” ujar Maria, menepuk-nepuk tangannya yang kotor setelah selesai menyembunyikan kendaraan.Janeetha, yang berdiri tidak jauh, hanya mengangguk pelan. Matanya gelisah, terus memandang sekeliling seperti takut seseorang akan muncul tiba-tiba dari balik kabut yang menggantung rendah di desa itu.“Janeetha, ayo masuk ke sini dulu,” Maria mengajak, menunjuk sebuah bangunan kosong di dekat mereka yang tampak seperti rumah tua yang sudah lama ditinggalkan.Keduanya masuk, dan Maria menutup pintu dengan hati-hati. Udara di dalam dingin dan lembap, tetapi setidaknya

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   136. One to One

    Hujan mulai turun rintik-rintik ketika Fabian akhirnya tertangkap. Ia berlutut di atas tanah berlumpur, tangan terikat di belakang punggungnya. Nafasnya terengah-engah, rambut basah menempel di dahinya. Tiga anak buah Dikara berdiri mengawasinya dengan waspada.Meski tampak seperti orang yang tak berdaya, tetapi dalam diri Fabian puas dengan apa yang telah ia lakukan. Setidaknya, ia dapat menyedot perhatia Dikara hanya tertuju padanya.Tak butuh waktu lama, sosok yang Fabian tunggu-tunggu pun tiba.Pria itu terlihat turun dari mobil SUV hitam yang kini terparkir cukup jauh dari lokasi. Fabian memang sengaja memilih jalur yang sedikit sulit dijangkau oleh kendaraan.Langkah Dikara tenang sekaligus tegas, mantel panjang yang dikenakannya berkibar tertiup angin. Matanya langsung menangkap Fabian yang sedang berlutut.“Well, well, well. Bukankah ini Tuan Fabian yang terhormat,” ucap Dikara datar, kedua mata gelapnya sarat dengan penghinaan. Fabian mendongak perlahan. Meski wajahnya penuh

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   135. Memancing Dikara

    Fabian berlari semakin cepat, napasnya memburu, dan tubuhnya mulai terasa berat oleh hujan yang membasahi pakaiannya. Hutan di sekelilingnya terasa gelap dan suram, seolah-olah bersekongkol untuk menyulitkan pelariannya. Namun, ia tidak peduli.Langkah-langkahnya sengaja dibuat mencolok. Kakinya menjejak tanah berlumpur dengan keras, meninggalkan jejak yang jelas di belakangnya. Sesekali, ia meraih cabang pohon dan mematahkannya dengan sengaja, menciptakan tanda-tanda yang tak mungkin terlewatkan oleh pengejarnya.Dalam pikirannya, rencana ini sederhana.Dikara pasti akan memilih mengejarnya daripada Arman. Fabian tahu betul bagaimana peringai pria itu. Dikara bukan hanya sosok yang obsesif, tapi juga penuh harga diri.Bagi Dikara, Fabian adalah ancaman langsung. Bukan sekadar seseorang yang membantu pelarian Janeetha, tetapi juga orang yang dianggap mencuri sesuatu yang menurutnya adalah miliknya.Fabian kembali melihat sekilas ke belakang, memast

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   134. Mencoba Mengalihkan

    Fabian memandang jalur setapak yang mereka tinggalkan dengan hati-hati. Daun-daun basah yang berserakan di tanah kini menunjukkan jejak kaki yang sengaja mereka ciptakan. Ia melirik Arman yang sedang membenahi tali ranselnya, tampak serius sekaligus gugup.“Sudah cukup?” tanya Fabian pelan, suaranya nyaris tertelan oleh gemerisik angin di antara pepohonan.Arman mengangguk cepat. “Jejaknya terlihat jelas. Kalau mereka mengikuti ini, mereka akan menuju arah yang salah.”Fabian menghela napas, matanya kembali menyisir area di sekitar mereka. Hutan itu terasa mencekam, bukan hanya karena ketenangannya tetapi juga ancaman yang mengejar di belakang mereka.“Janeetha dan Maria harus punya waktu untuk mencapai desa,” gumam Fabian, seperti hendak meyakinkan dirinya sendiri. “Semoga trik ini berhasil.”Arman menepuk bahu Fabian. “Kita hanya perlu menarik perhatian mereka cukup lama. Kalau kita tetap di jalur ini, mereka pasti akan mengira kita bersama Janeetha.”Fabian mengangguk, meskipun ras

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   133. Nyaris

    Suara deru mesin mendekat dengan cepat, membuat jantung Janeetha berdegup semakin kencang. Di sudut gudang yang gelap, ia memeluk lututnya erat-erat, berusaha mengendalikan napas agar tidak terlalu keras terdengar. Maria, di sisi lain, berdiri diam seperti patung di dekat jendela kecil, mengintip ke luar.“Mereka berhenti,” bisik Maria dengan nada tegang, nyaris tidak terdengar.Janeetha mendongak. “Berhenti di mana?”Maria tidak menjawab, hanya memberi isyarat agar Janeetha tetap diam.Di luar, suara langkah kaki bergema di antara pepohonan. Beberapa suara samar terdengar, percakapan cepat yang sulit dipahami.“Periksa sekitar sini,” suara seorang pria terdengar lebih jelas, keras dan tegas.Janeetha menahan napas. Ia tahu suara itu. Salah satu anak buah Dikara yang sering datang ke rumah mereka dulu.“Maria…” bisik Janeetha, hampir tidak mampu mengucapkannya.Maria menoleh cepat, menaruh jari telunjuk di bibirnya sebagai isyarat untuk tetap diam. Namun, tatapan tegas itu juga tidak

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   132. Pelarian Tak Berujung

    Mobil yang dikendarai Maria melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan sempit yang semakin dipenuhi pepohonan rindang. Janeetha mencengkeram kursi dengan erat, jantungnya berpacu seirama dengan ketakutan yang menghantuinya.Dari kaca spion, SUV hitam itu tampak semakin mendekat. Mereka tidak main-main.“Maria, mereka hampir mengejar kita!” suara Janeetha bergetar, memecah keheningan mencekam di dalam mobil.“Diam dan pegang erat!” Maria memutar setir dengan keras, memasuki jalanan berbatu yang lebih terpencil. Getaran akibat jalanan yang tidak rata membuat tubuh mereka terguncang.Janeetha memandangi ke belakang lagi. SUV itu tampak melambat sedikit, tetapi masih berada di jalur yang sama.“Berapa jauh lagi kita harus pergi?” tanya Janeetha, panik.Maria tidak menjawab, hanya fokus pada jalanan di depannya.Namun, suara dering ponsel Maria tiba-tiba memecah ketegangan. Janeetha memandang sekilas ke arah layar yang menyala di dashboard.Arman.Maria langsung mengangkat panggilan itu tan

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   131. Mereka Datang

    Mobil yang dikendarai Maria melaju tanpa henti selama berjam-jam, melintasi jalanan sepi dan desa-desa kecil yang nyaris kosong. Janeetha memandangi jendela dengan tatapan kosong. Langit mulai terang, tetapi hawa dingin masih terasa menusuk hingga ke tulang.Maria menurunkan kaca jendela sedikit, membiarkan udara pagi masuk ke dalam mobil. “Kita hampir sampai di perbatasan kota kecil. Mungkin kita bisa berhenti sebentar,” ucapnya, memecah keheningan.Janeetha hanya mengangguk pelan. Ia menyandarkan kepalanya ke kursi, mencoba meredakan rasa gelisah yang menghantui sejak tadi malam. Fabian dan Arman masih belum bisa dihubungi, dan itu semakin membuatnya khawatir.Beberapa menit kemudian, mobil memasuki area pom bensin kecil di pinggir kota. Tempat itu terlihat sepi, hanya ada satu kendaraan lain yang sedang mengisi bahan bakar.“Kita berhenti di sini,” ujar Maria sambil memarkirkan mobil di dekat mesin pengisian. “Aku akan mengisi bensin. Kau mau sesuatu?”Janeetha menggeleng. “Aku han

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status