"Saya Abimana, panggil saja Abi," balasnya dengan tersenyum ramah ke arah Alena.Entah mengapa pertemuan kali pertama dengan pria tampan itu, menjadi pertemuan paling berkesan untuk Alena.Beberapa menit kemudian, bus pun telah berhenti. Tampak Abi dan ibunya sudah bersiap untuk turun dari bus."Saya permisi dulu, Nona. Terima kasih atas kursinya. Semoga kita bisa bertemu lagi," pamitnya dengan ramah."Iya, Tuan, hati-hati. Semoga kita bisa terlaksana," balas Alena sambil berharap bisa bertemu dengan si pria tampan lagi.Abimana dan ibunya lalu segera turun dari bus di sebuah halte, sementara Alena masih akan turun di halte berikutnya.Beberapa menit kemudian, bus itu akhirnya melaju kembali dan Alena rasakan hanya beberapa menit saja, bus telah berhenti di halte tujuan Alena akan turun.Alena pun bergegas turun dari bus dan lanjut memesan ojek online menuju ke rumah sakit di mana dirinya akan melakukan interview. Tampak jalanan saat itu sangat ramai, hingga driver ojol harus berputar
Restu mengikuti ke mana arah mata sobatnya itu memandang. Dia pun tersenyum dan langsung paham, sepertinya Abimana sedang tertarik dengan wanita berambut ikal panjang tersebut."Jadi si rambut panjang itu yang membuatmu bengong seperti kesambet setan, Bi?" canda Restu.Abimana pun tersadar bahwa dirinya terpergok oleh Restu sedang mengamati dokter baru itu. "Eehh, oohh. Hmn, itu ... ahh, sudahlah," balas Abimana terbata-bata dan bingung mau menghindar."Bukannya kamu sudah dijodohkan dengan Sandra?" tanya Restu mengingatkan Abimana akan rencana orang tuanya.Pria yang ditanya barusan seketika berubah ekspresi wajah menjadi murung. Dia tidak memiliki ketertarikan apa pun terhadap Sandra apalagi perasaan khusus. Itu benar-benar murni perjodohan yang diatur antar orang tua. Restu jadi tidak enak hati terhadap Abimana.Pria berkulit agak gelap daripada Abimana tersebut lalu menepuk pundak sahabatnya. "Sori, Bro! Aku gak maksud bikin kamu jengkel."Restu lalu bersandar pada dinding gazebo,
"Tenang, Dokter Abimana! Schedule kita masih setengah jam lagi. Buat mencuri pandang gadis tadi,"timpal Restu sambil tertawa lirih."Bukan soal itu. Aku perlu menukar kemeja yang kering. Tadi sesaat setelah interview aku bilang ke Alena akan mendampinginya dalam memeriksa pasien,"jelas Abimana dengan wajah serius."Buruan kalo gitu! Gara-gara adegan tadi, pikiran kamu jadi soak," celetuk Restu sekenanya.Kedua pria yang sama-sama jangkung ini berjalan berdampingan meninggalkan halaman kafe. Abimana masih terbayang-bayang adegan intim bersama Alena tadi. Dia tersenyum lebar.Alena yang sudah sampai ruang praktek dan langsung mengunci pintu. Wanita ini gegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hanya ada waktu lima belas menit saja untuk bersiap menerima pasien. Alena menyelesaikan mandi dalam waktu sepuluh menit lalu berhias dengan super kilat. Saat pada menit terakhir ....Tok! Tok! Tok!"Permisi!" Terdengar seorang wanita ucap salam dari luar pintu.Alena yang baru saja selesai be
"Dokter Abimana mengaku bahwa kalian sudah bertunangan. Saya minta sama kamu, untuk membujuk Abimana agar mau menikahi Fransiska."Nama itu langsung melekat dalam benak Alena. Wanita tersebut ikut jadi tim penyeleksi karyawan baru. Namun, Alena tetap bingung dengan pengakuan Abimana tanpa konfirmasi lebih dahulu."Maaf, Prof. Silakan saja tanyakan langsung ke Dokter Abimana! Saya tidak ada hak untuk itu.""Kamu kebanyakan protes! Sudah saya bilang kalau Abimana dan Fransiska itu sudah lama dekat. Anak saya hanya mau dengan Abi. Maka dari itu, saya minta kamu untuk bicarakan ini dengan Abimana."Alena mulai lelah berdebat dengan pria itu. Rupanya Profesor Suteja tak mau mengalah. "Saya sudah banyak berjasa di rumah sakit ini. Saya juga bisa minta pihak management untuk ....""Sudah, Prof! Saya ada pasien yang perlu ditangani. Maaf, saya tidak bisa lama-lama. Permisi." Alena tahu apa yang ada dalam benak pria tua itu. Dia pun bergegas pergi dari sana untuk membuang rasa sesak dalam dada
Alena menatap tajam ke kedua mata Abimana. Wanita ini sangat sulit untuk mereka-reka dari modus yang direncanakan oleh Abimana. Namun, dari sorot mata teduh pria tersebut menampilkan sebuah kejujuran. Alena memejamkan mata dan berharap ini sebuah mimpi. Begitu dirinya membuka mata, keadaan masih sama."Dari mana Dokter tahu semua itu?"tanya Alena yang penasaran."Siapa yang paling dipercaya dalam keluarga kamu. Kebetulan kami adalah sahabat yang terpisah oleh waktu.""Apakah Bang Rendi?""Tentu saja. Kami sudah berteman akrab semasa kuliah," jelas Abimana dengan gaya santai."Dokter Fransiska cantik dan pasti cerdas. Dia jadi bagian tim penyeleksi karena punya keistimewaan, kan?"tanya Alena seraya mengamati wajah Abimana.Drrtt! Drrtt!Ponsel milik Abimana berdering. Dokter tampan ini segera merogohnya dari dalam saku celana. Tampak pada layar tertera nomor kontak mamanya."Sebentar! Aku terima telepon dulu. Permisi,"ucap Abimana yang langsung ke luar ruangan."Nak, jaga dia baik-baik
"Kau telah membuatku terancam dengan faktor kekuasaan Profesor Suteja. Kalian berdua telah menerorku. Padahal aku suka membunuh dokter umum saja," ucap Abimana sambil mengusap bibir Fransiska yang bergetar. "Sekarang kamu tinggal minum ini agar rasa sakitmu hilang."Wanita malang ini pelan-pelan membuka mulut dibantu oleh tangan Abimana. Kemudian cairan dalam botol kecil telah dituangkan sampai tandas ke dalam mulut Fransiska.Akhirnya, mata yang sudah memerah dengan lelehan air mata di kedua pipi langsung saja terpejam. "Maaf, Sandra! Gak seharusnya kamu tergila-gila padaku. Aku harus melakukan ini, agar hidupku bisa nyaman kembali. Kau dan papamu gak memberiku pilihan. Padahal, kamu bisa tetap bisa hidup, jika tidak mengejar-ngejar aku," ucap Abimana sambil memandangi tubuh yang mulai melemah lalu dari mulutnya keluar busa bergelembung.Beberapa saat, Abimana melepaskan ikatan pada tangan dan kaki Sandra. Pria ini langsung membopong tubuh Sandra ke atas ranjang yang telah dilapisi
"Waitres tadi kasih tahu kalau rok saya ngeflek. Saya lagi mens. Saya tinggal ke minimarket beli pembalut dulu,"ucap Alena."Jauh gak?"tanya Abimana sambil mengendarkan pandangan."Enggak, itu!" Alena berucap sambil menunjuk arah minimarket."Perlu diantar?""Enggak, ah. Orang beli pembalut, masa mau diantar. Malu. Permisi,"ucap Alena yang langsung berlari sambil menutupi pantat dengan tas. Abimana tersenyum melihat tingkah Alena.Rendi yang sedari tadi telah menunggu Alena di dalam minimarket langsung tersenyum lega melihat kedatangan adik angkatnya. Pria ini harus waspada dengan gerakan dari Abimana. Dia berharap tidak ada keinginan Abimana untuk menyusul kepergian Alena. Wanita berambut panjang di bawah bahu tersebut mulai membuka pintu minimarket. Rendi mengawasi dari tempat showcase yang berada di sisi depan dekat kaca jendela. Begitu telah berada di dalam Alena celingukan mencari Rendi. Pria ini pun tersenyum karena si adik angkat tidak melihatnya."Alena, kemari!"panggil Rendi
Rendi lalu menjalankan mobilnya menuju rumah dan kini, kedua kendaraan roda empat tersebut langsung berhadapan. Rendi tidak ingin dikenali oleh Abimana langsung membunyikan klakson. Gerbang pun langsung dibuka oleh sekuriti. Abimana yang berniat masuk mengikuti mobil Rendi langsung dihadang oleh dua sekuriti.Rendi melihat Abimana sempat debat dengan sekuriti dari kaca spion. Ia mengemudikan mobil menuju garasi lalu memarkirnya. Analis ini berjalan menuju dalam rumah. Tampak Dokter Pamela dan Alena duduk di ruang tamu."Selamat sore,"sapa Rendi kepada kedua wanita."Selamat sore, Ren,"balas Dokter Pamela. Sementara Alena menatapnya dengan pandangan meminta penjelasan."Nyonya sudah kasih tahu Alena?"tanya Rendi sambil duduk di hadapan kedua wanita."Berapa kali aku bilang, panggil Mama. Kamu itu sudah aku anggap anak, Rendi,"protes Dokter Pamela. Pria ini melirik Alena dengan ekor matanya dan tetap ada pandangan tidak terima di sana."Aku sudah merasa nyaman dengan panggilan itu. Teri
"Rendi, kamu ditangkap!" seru Bara. Rendi mencoba melawan, tetapi Dylan cepat mengatasi situasi tersebut. Rendi dibawa ke kantor polisi untuk diinterogasi. Bara dan Dylan lega karena berhasil menangkap pelaku. Dokter Pamela dan Alena telah mendengar kabar penangkapan Rendi. Namun, mereka masih cemas tentang motif Rendi dan dampaknya pada keluarga serta reputasi klinik. Beberapa hari kemudian Pengadilan dimulai. Pengacara Umaya berhasil membuktikan bahwa tindakan Umaya kepada Anton adalah murni kecelakaan. Ada rekaman CCTV soal hal itu. Hakim memutuskan bahwa Umaya dibebaskan dari segala tuduhan. Namun ada kewajiban wajib rapor dan tidak boleh keluar kota sementara waktu sampai kasus Anton dan Gopar selesai diusut. Hati Umaya, Alena dan Dokter Pamela belum bisa lega 100% karena harus menunggu keputusan negosiasi interpol dengan pihak kepolisian Singapura soal kasus Alan. Mereka masih harus menunggu kepastian. Pada suatu hari Dokter Pamela menerima panggilan misterius dari seseor
"Dia sedang ambil cuti dua hari untuk riset. Ada apa?"tanya balik Dokter Pamela dengan raut wajah heran. "Sedari pagi hapenya gak aktif. Padahal bilang akan bawain obat buat aku." "Obat apa lagi? Bukankah kamu sudah gak perlu obat lagi?" "Bukan, Mom. Ini obat herbal sekaligus buat terapi." Tak berapa lama terdengar langkah kaki mendekat ke arah mereka. Kedua wanita tersebut menoleh ke belakang. Tampak Dylan dan Bara tersenyum ke arah mereka. "Selamat siang,"sapa kedua pria bersamaan. "Selamat siang,"balas dua wanita. Mereka berdiri berhadapan lalu saling menjabat tangan. Dokter Pamela mengajak kedua pria untuk duduk di ruang keluarga. Setelah mereka duduk di tempat masing-masing, barulah Alena bertanya,"Ada apa, nih, kalian barengan kemari?" Dylan segera menjawab,"Yang punya kepentingan si Bara, tuh." Pria yang dimaksud pun tersenyum ke arah kedua wanita. Ia berkata,"Maaf, gak kasih kabar dahulu. Saya dapat kabar mendadak dari kantor." Dokter Pamela dan Alena segera mengara
"Apakah kamu masih mau bersahabat dengan seorang pembunuh?" Alena terkejut dan mundur selangkah. "Apaan, sih, kamu! Apa yang terjadi padamu, Uma?"tanya Alena dengan kedua mata berkaca-kaca. Kini hatinya semakin tidak enak. Ada peristiwa dahsyat yang baru dialami oleh sahabatnya itu. Namun, kata pembunuh yang diucapkan oleh Umaya membuat pikiran Alena sempat oleng. Ia lalu bertanya dengan tubuh gemetar. "Apa maksudmu? Siapa yang kamu bunuh?" Umaya menunduk, air matanya jatuh. "Aku... aku membunuh Bang Anton." Alena terkejut. "Bang Anton? Bagaimana bisa? Kau selalu sangat perhatian padanya." Umaya mengisahkan peristiwa tragis tersebut. "Aku marah karena Bang Anton telah menjebak Alan. Adikku itu sekarang terancam hukuman mati di Singapura. Ia tertangkap tangan sedang membawa paket sabu-sabu seberat 500 gram. Bang Anton sengaja menyelipkan paket sabu-sabu pada makanan kemasan kaleng." "Alan ke Singapura dalam rangka apa?"tanya Alena penasaran. "Ia disuruh Bang Anton untuk mengirim
Di tempat lain, Umaya menatap foto Alena dengan perasaan menyesal. "Alena, maafkan aku. Besok aku jelaskan semua." "Semoga Alena gak kaget melihat keadaan kamu,"sahut Bara yang langsung ditanggapi linangan air mata oleh Umaya. "Saya gak pernah menyangka nasib persahabatan kami harus terpisah,"balas Umaya seraya menyeka sisa air mata. Bara tersenyum lalu berdiri dan menepuk pundak Umaya. Perwira polisi ini berkata,"Kamu telah berjasa terhadap kepolisian. Pasti ada keringanan hukuman. Nanti saya akan sewakan pengacara terbaik." "Terima kasih, Tuan Bara,"balas Umaya yang langsung dikawal seorang polwan masuk ke bagian belakang. *** Pukul 7 pagi Alena telah tiba di kantor polisi dengan diantar oleh Dylan. Dari semalam dokter muda ini tidak nyenyak tidur karena memikirkan kondisi yang terjadi dengan Umaya. "Tuan Bara sama sekali gak kasih bocoran?"tanya Alena kepada Dylan sambil mereka berjalan menuju ruang pemeriksaan. "Bara enggak mau kasih tahu. Katanya biar Umaya ngomong langs
"Kita tinggal ambil rekaman CCTV saat kejadian. Begitu tertangkap langsung bikin laporan,"ucap Rendi yang langsung diacungi jempol oleh Dylan. "Kita akan tahu, modus Pak Gopar merusak kepercayaan Dokter Pamela,"balas Dylan. Dorr! Terdengar tembakan dari arah pintu gerbang. Rendi segera memberi peringatan kepada kedua wanita. "Ma, Alena, tutup semua pintu dan jendela! Kalian bisa jadi incaran penjahat!" Kedua pria membantu menutup jendela dan pintu bagian depan lalu berlari ke halaman. "Ada apa ini?"tanya Dokter Pamela yang muncul dari ruang tengah. Alena berlari menyusul mommynya. Alena juga bingung dengan situasi yang menegangkan tersebut. "Mom, penjahat apa?" "Kita tutup semua jendela dan pintu. Kamu bagian belakang, Mommy cek depan,"ucap Dokter Pamela kepada Alena. Kedua wanita bergerak cepat. Mereka menutup semua pintu dan jendela. Benar yang diucapkan oleh Rendi, begitu terdengar langkah kejar-kejaran lalu suara pintu didobrak dari luar. Brakk! Pyaarr! Beruntung jendela
"Tentu saja benar. Aku sengaja bikin menu favorit Mommy,"balas Alena. "Wah, kebetulan. Hari ini Tuan Dylan akan datang untuk memberikan resep menu khusus untuk kamu. Bisa jadi sambil praktek cara bikinnya." Pernyataan Dokter Pamela barusan, membuat hati Rendi memanas. Bagaimanapun hatinya berharap bisa segera menikah dengan Alena. Sementara waktu, ia diminta Dokter Pamela untuk mengabaikan keinginan itu sampai emosi Alena stabil. Rendi gegas pergi ke luar rumah untuk menghindari hatinya bertambah panas. Hal itu bisa merusak rencana mama angkatnya untuk memberi rasa tenang kepada Alena. Sekitar sepuluh menit kemudian, datang sebuah mobil yang dikemudikan oleh Dylan. "Apa kabar, Bang?"sapa Dylan begitu keluar dari mobil. Tampak pria ini menenteng sebuah kantong plastik besar. "Baik. Kelihatannya bisnis lo semakin maju,"sahut Rendi sambil menghampiri Dylan. "Masih merintis kedai menu khusus,"balas Dylan sambil menjabat tangan Rendi. "Ini juga mau praktek buat menu khusus Alena. Aban
"Iya. Mama paham. Alena cinta Dylan dan kamu dianggap sebagai Abang." "Buat apa mencintai pria yang sering menyakiti hati? Aku baru kali ini bikin luka hati Alena, itu pun terpaksa kulakukan. Aku ingin Alena hanya untukku dan rasa cinta bisa ditumbuhkan pelan-pelan." Dokter Pamela sudah tidak bisa menanggapi omongan Rendi. Dia akan pasrahkan keputusan akhir kepada Alena. Padahal saat ini kondisi psikis Alena belum stabil. Pemilik klinik kesehatan ini harus pandai-pandai mengatur strategi agar sama-sama nyaman. "Kali ini Mama mohon belas kasihan dari kamu. Tunggu keadaan Alena sampai sehat dulu. Tolong jangan ganggu dengan situasi yang bisa memicu kepanikan dia. Bisa, kan?" Permintaan dari Dokter Pamela ini layaknya buah simalakama bagi Rendi. Di satu sisi, ia ingin segera menikah dengan Alena dan di sisi yang lain, dia terpaksa menuruti kemauan wanita yang telah banyak berjasa dalam hidupnya itu. Tiada lagi yang bisa Rendi lakukan, selain .... "Baik, Ma! Aku akan tunggu sampe Alen
Setelah itu, Dokter itu menutup pintu lalu buru-buru ke ruang kemudi. Mereka harus segera menemui psikiater langganan Alena. Sejak kasus penculikan dan pelecehan di gudang milik Pak Gunadi, Alena menjadi pelanggan setia psikiater. Hal ini sudah berhasil disembuhkan, akan tetapi kambuh kembali karena guncangan yang dialaminya kembali. Anxiety disorder yang dialami oleh Alena, sudah lama sembuh. Namun gangguan tersebut sekarang mulai terlihat gejalanya kembali. Wanita cantik ini tampak gelisah, sekujur tubuh gemetar dengan keringat membasahi raut wajah dan leher. Dalam waktu 30 menit, mereka pun telah sampai tujuan. Alena yang masih dilanda kecemasan duduk meringkuk dengan tubuh menggigil. Dokter Pamela langsung memeluknya. Wanita ini berkata,"Tenang, Sayang! Mama ada sama kamu." Beberapa saat, Dokter Pamela perlu memberi waktu pada Alena agar bisa stabil emosinya. Setelah Alena sedikit tenang, akhirnya mereka keluar mobil dan langsung menuju ruang pemeriksaan. Psikiater melakukan pe
"Syok! Bangun dari tidur tanpa pakaian ditutup selimut." "Oke. Kita lapor polisi. Bisa-bisanya, tadi di kafe, dia gak bilang apa-apa ke Mommy." Baru juga mulut Dokter Pamela berhenti berucap, terdengar nada dering ponsel. Wanita ini mengambilnya dari dalam tas. Ia menatap layar ponsel lalu menoleh ke arah Alena. "Rendi,"ucapnya hampir seperti orang berbisik. "Apa pun ucapan dia, Mommy gak boleh pergi!"pinta Alena segera. Dokter Pamela pun mengangguk lalu menerima panggilan masuk. $Iya, Ren. Ada apa?"tanyanya kepada anak angkatnya itu. "Mama ada di mana? Aku mau bicara empat mata,"balas Rendi dari ujung telepon. "Mama lagi home care, nih,"jawab Dokter Pamela yang langsung diacungi jempol oleh Alena. "Kapan selesai, Ma?" "Bisa sejam atau lebih. Setelah perawatan biasanya ada sesi diskusi. Ada apa, sih? Macam emergency saja,"sahut Dokter Pamela berniat memancing omongan lawan bicaranya. "Bisa dibilang gitu. Hari ini aku harus bisa bicara dengan Mama." "Ngomong saja sekarang. S