"Kau telah membuatku terancam dengan faktor kekuasaan Profesor Suteja. Kalian berdua telah menerorku. Padahal aku suka membunuh dokter umum saja," ucap Abimana sambil mengusap bibir Fransiska yang bergetar. "Sekarang kamu tinggal minum ini agar rasa sakitmu hilang."Wanita malang ini pelan-pelan membuka mulut dibantu oleh tangan Abimana. Kemudian cairan dalam botol kecil telah dituangkan sampai tandas ke dalam mulut Fransiska.Akhirnya, mata yang sudah memerah dengan lelehan air mata di kedua pipi langsung saja terpejam. "Maaf, Sandra! Gak seharusnya kamu tergila-gila padaku. Aku harus melakukan ini, agar hidupku bisa nyaman kembali. Kau dan papamu gak memberiku pilihan. Padahal, kamu bisa tetap bisa hidup, jika tidak mengejar-ngejar aku," ucap Abimana sambil memandangi tubuh yang mulai melemah lalu dari mulutnya keluar busa bergelembung.Beberapa saat, Abimana melepaskan ikatan pada tangan dan kaki Sandra. Pria ini langsung membopong tubuh Sandra ke atas ranjang yang telah dilapisi
"Waitres tadi kasih tahu kalau rok saya ngeflek. Saya lagi mens. Saya tinggal ke minimarket beli pembalut dulu,"ucap Alena."Jauh gak?"tanya Abimana sambil mengendarkan pandangan."Enggak, itu!" Alena berucap sambil menunjuk arah minimarket."Perlu diantar?""Enggak, ah. Orang beli pembalut, masa mau diantar. Malu. Permisi,"ucap Alena yang langsung berlari sambil menutupi pantat dengan tas. Abimana tersenyum melihat tingkah Alena.Rendi yang sedari tadi telah menunggu Alena di dalam minimarket langsung tersenyum lega melihat kedatangan adik angkatnya. Pria ini harus waspada dengan gerakan dari Abimana. Dia berharap tidak ada keinginan Abimana untuk menyusul kepergian Alena. Wanita berambut panjang di bawah bahu tersebut mulai membuka pintu minimarket. Rendi mengawasi dari tempat showcase yang berada di sisi depan dekat kaca jendela. Begitu telah berada di dalam Alena celingukan mencari Rendi. Pria ini pun tersenyum karena si adik angkat tidak melihatnya."Alena, kemari!"panggil Rendi
Rendi lalu menjalankan mobilnya menuju rumah dan kini, kedua kendaraan roda empat tersebut langsung berhadapan. Rendi tidak ingin dikenali oleh Abimana langsung membunyikan klakson. Gerbang pun langsung dibuka oleh sekuriti. Abimana yang berniat masuk mengikuti mobil Rendi langsung dihadang oleh dua sekuriti.Rendi melihat Abimana sempat debat dengan sekuriti dari kaca spion. Ia mengemudikan mobil menuju garasi lalu memarkirnya. Analis ini berjalan menuju dalam rumah. Tampak Dokter Pamela dan Alena duduk di ruang tamu."Selamat sore,"sapa Rendi kepada kedua wanita."Selamat sore, Ren,"balas Dokter Pamela. Sementara Alena menatapnya dengan pandangan meminta penjelasan."Nyonya sudah kasih tahu Alena?"tanya Rendi sambil duduk di hadapan kedua wanita."Berapa kali aku bilang, panggil Mama. Kamu itu sudah aku anggap anak, Rendi,"protes Dokter Pamela. Pria ini melirik Alena dengan ekor matanya dan tetap ada pandangan tidak terima di sana."Aku sudah merasa nyaman dengan panggilan itu. Teri
"Abang pastikan dia syok berat. Fransiska adalah anak tunggal. Dia adalah tumpukan terbesar untuk melanjutkan bisnis keluarga sebagai pemasok alat-alat medis.""Kasian benar Profesor Suteja,"ucap Dokter Pamela dengan raut wajah sedih. "Mommy pernah merasakan hal tersebut saat kehilangan suami dan anak. Beruntung ada saksi yang lihat Alena selamat. Paling tidak ada pelipur lara, meski harus puluhan tahun untuk bisa bertemu."Rendi yang merasa penasaran, akhirnya tidak bisa untuk menahan diri. Pria ini ingin tahu lebih banyak."Rendi izin pergi ke lokasi penemuan mayat di pinggir hutan, Nyonya,"ucap Rendi."Aku ikut, Bang,"sahut Alena."Alena, kamu itu jadi incaran. Meski belum ada kepastian dari polisi,"cegah Dokter Pamela."Ada Bang Rendi dan juga temannya yang polisi, Mom.""Ya, Nyonya. Aku akan jaga Alena. Berangkat juga bareng tim polisi.""Oke. Mama titip Adek kamu." Akhirnya dengan berat hati Dokter Pamela melepaskan Alena bersama Rendi.Perjalanan menuju TKP menempuh perjalanan
"Oke," balas Profesor Suteja. Sambungan telepon berakhir dan meninggalkan air mata bercucuran dari kedua pelupuk mata Alena."Jadi korban Abimana?"tanya Dylan yang langsung bisa menebak yang telah terjadi.Alena tidak sanggup berkata-kata, dia hanya bisa mengangguk. Air mata semakin deras menetes. Dirinya tidak pernah menyangka wanita cantik itu telah terbukti jadi korban kebiadaban Abimana. Pria tampan yang santun dan sangat menyayangi ibunya. Dia tidak menyangka kelembutan hati pria tersebut sekadar topeng buat menjerat mangsa.***Di Tempat Pemakaman"Untuk apa kau mengajakku ke sini?" Akhirnya Vira membuka suara dengan mimik muka sebal terhadap Abimana sambil berdecih. Mereka diam-diam menyusup menjadi penziarah dengan topi dan kacamata hitam. Mereka berhasil mengelabui keluarga dan para kerabat mendiang Fransiska."Siapa tahu aku membutuhkanmu untuk memancing korban," balas Abimana ketika sudah meluncurkan mobilnya dari area tempat parkir. Vira mengernyitkan dahi, hingga membentu
"Darah? hmm." Abimana menjilati jari manis Vira yang terluka lalu mengisap darah di luka itu. Vira hanya membulatkan matanya terkejut dan pasrah. Insiden ini juga karena kesalahan Abimana juga.Abimana segera mengobati luka kecil itu, setelah darah berhenti keluar. Vira hanya bisa menatap nanar pria di depannya.Mengapa Abimana tidak memilih untuk membunuhnya saja? Laki-laki itu malah menjadikannya budak. Ayahnya diselamatkan, tetapi hal itu malah membuatnya semakin menderita ketika melihat kekejaman seorang psikopat seperti Abimana."Kembali ke kamarmu!"perintah pria tampan, tetapi upnormal tersebut.Vira langsung mengangkat sebelah alisnya. "Apa?""Mulai sekarang kau milikku. Ingat itu!"Vira membulatkan mata ketika mendengar Abimana mengatakan la adalah mlilknya. Ditambah laki-lakl itu kini memeluk dirinya begitu erat sampai Vira tidak bisa berkutik."A-Apa maksudmu?" tanya Vira terbata-bata sambli mencoba melepas pelukan Abimana."You're mine." Abimana melepas pelukannya dan menat
Tiba-tiba ada langkah kaki mendekati mereka lalu ikut menonton siaran berita. "Sudah ada dua minggu ini Vira menghilang. Apakah aku salah, jika sampe kepikiran bahwa itu mayat dia? Kalian tahu sendiri, saat pemakaman dia datang bersama Abimana. Vira bebas bersyarat dapat jaminan dari Abimana." Kedua wanita menoleh dan baru tersadar bahwa Rendi telah beberapa saat ikut melihat berita. "Abang tahu dari mana kalo Vira menghilang?"tanya Alena heran. "Dylan barusan cerita. Kami bertemu di kafe dan membahas tentang kasus Sandra dan kini Vira yang hilang. Vira itu dokter umum,"jelas Rendi. "Moga saja bukan korban dokter gila itu,"ucap Dokter Pamela dengan raut wajah sedih. Rendi tertawa kecil mendengar ucapan dari mama angkatnya tersebut. Tawa dia ini segera mematik rasa penasaran kedua wanita yang duduk di dekatnya. Alena yang merasa sangat berkepentingan dengan apa pun yang berkaitan dengan Abimana memandang tajam ke arah Rendi. "Kenapa Abang ketawa?"tanya wanita ini dengan p
Ponsel Alena berdering dari nomor putranya. Tak lama kemudian pada layar ponsel terpampang wajah Gilbert dengan didampingi oleh Abimana. Tampak anak usia enam tahun tersebut berdiri dengan badan gemetar. Wajahnya pucat pasi dengan ekspresi tertekan. Alena semakin syok melihat hal tersebut. Abimana merangkul bahu bocah setinggi pinggangnya sambil berkata dengan pandangan mengintimidasi. "Temui kami di gudang kosong batas kota! SENDIRI! Tanpa polisi dan yang lain. Kalo ingin anak tampan ini selamat! Gak perlu kasih tahu bapak biologis dia juga." "Baik! Asal anakku dalam keadaan selamat. Tolong, shareloc! Aku ke sana sekarang," jawab Alena dengan berurai air mata. Hatinya kini campur aduk, tidak karu-karuan. Dia harus kuat mental demi keselamatan Gilbert. Sementara. Dokter Pamela dan Rendi sedikit banyak, sudah bisa menduga dengan kejadian yang sedang berlangsung. Hubungan telepon berakhir dengan menyisakan lelehan air mata di kelopak dan pipi Alena. "Ada apa dengan Gilbert, Sayang?