Restu mengikuti ke mana arah mata sobatnya itu memandang. Dia pun tersenyum dan langsung paham, sepertinya Abimana sedang tertarik dengan wanita berambut ikal panjang tersebut."Jadi si rambut panjang itu yang membuatmu bengong seperti kesambet setan, Bi?" canda Restu.Abimana pun tersadar bahwa dirinya terpergok oleh Restu sedang mengamati dokter baru itu. "Eehh, oohh. Hmn, itu ... ahh, sudahlah," balas Abimana terbata-bata dan bingung mau menghindar."Bukannya kamu sudah dijodohkan dengan Sandra?" tanya Restu mengingatkan Abimana akan rencana orang tuanya.Pria yang ditanya barusan seketika berubah ekspresi wajah menjadi murung. Dia tidak memiliki ketertarikan apa pun terhadap Sandra apalagi perasaan khusus. Itu benar-benar murni perjodohan yang diatur antar orang tua. Restu jadi tidak enak hati terhadap Abimana.Pria berkulit agak gelap daripada Abimana tersebut lalu menepuk pundak sahabatnya. "Sori, Bro! Aku gak maksud bikin kamu jengkel."Restu lalu bersandar pada dinding gazebo,
"Tenang, Dokter Abimana! Schedule kita masih setengah jam lagi. Buat mencuri pandang gadis tadi,"timpal Restu sambil tertawa lirih."Bukan soal itu. Aku perlu menukar kemeja yang kering. Tadi sesaat setelah interview aku bilang ke Alena akan mendampinginya dalam memeriksa pasien,"jelas Abimana dengan wajah serius."Buruan kalo gitu! Gara-gara adegan tadi, pikiran kamu jadi soak," celetuk Restu sekenanya.Kedua pria yang sama-sama jangkung ini berjalan berdampingan meninggalkan halaman kafe. Abimana masih terbayang-bayang adegan intim bersama Alena tadi. Dia tersenyum lebar.Alena yang sudah sampai ruang praktek dan langsung mengunci pintu. Wanita ini gegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hanya ada waktu lima belas menit saja untuk bersiap menerima pasien. Alena menyelesaikan mandi dalam waktu sepuluh menit lalu berhias dengan super kilat. Saat pada menit terakhir ....Tok! Tok! Tok!"Permisi!" Terdengar seorang wanita ucap salam dari luar pintu.Alena yang baru saja selesai be
"Dokter Abimana mengaku bahwa kalian sudah bertunangan. Saya minta sama kamu, untuk membujuk Abimana agar mau menikahi Fransiska."Nama itu langsung melekat dalam benak Alena. Wanita tersebut ikut jadi tim penyeleksi karyawan baru. Namun, Alena tetap bingung dengan pengakuan Abimana tanpa konfirmasi lebih dahulu."Maaf, Prof. Silakan saja tanyakan langsung ke Dokter Abimana! Saya tidak ada hak untuk itu.""Kamu kebanyakan protes! Sudah saya bilang kalau Abimana dan Fransiska itu sudah lama dekat. Anak saya hanya mau dengan Abi. Maka dari itu, saya minta kamu untuk bicarakan ini dengan Abimana."Alena mulai lelah berdebat dengan pria itu. Rupanya Profesor Suteja tak mau mengalah. "Saya sudah banyak berjasa di rumah sakit ini. Saya juga bisa minta pihak management untuk ....""Sudah, Prof! Saya ada pasien yang perlu ditangani. Maaf, saya tidak bisa lama-lama. Permisi." Alena tahu apa yang ada dalam benak pria tua itu. Dia pun bergegas pergi dari sana untuk membuang rasa sesak dalam dada
Alena menatap tajam ke kedua mata Abimana. Wanita ini sangat sulit untuk mereka-reka dari modus yang direncanakan oleh Abimana. Namun, dari sorot mata teduh pria tersebut menampilkan sebuah kejujuran. Alena memejamkan mata dan berharap ini sebuah mimpi. Begitu dirinya membuka mata, keadaan masih sama."Dari mana Dokter tahu semua itu?"tanya Alena yang penasaran."Siapa yang paling dipercaya dalam keluarga kamu. Kebetulan kami adalah sahabat yang terpisah oleh waktu.""Apakah Bang Rendi?""Tentu saja. Kami sudah berteman akrab semasa kuliah," jelas Abimana dengan gaya santai."Dokter Fransiska cantik dan pasti cerdas. Dia jadi bagian tim penyeleksi karena punya keistimewaan, kan?"tanya Alena seraya mengamati wajah Abimana.Drrtt! Drrtt!Ponsel milik Abimana berdering. Dokter tampan ini segera merogohnya dari dalam saku celana. Tampak pada layar tertera nomor kontak mamanya."Sebentar! Aku terima telepon dulu. Permisi,"ucap Abimana yang langsung ke luar ruangan."Nak, jaga dia baik-baik
"Kau telah membuatku terancam dengan faktor kekuasaan Profesor Suteja. Kalian berdua telah menerorku. Padahal aku suka membunuh dokter umum saja," ucap Abimana sambil mengusap bibir Fransiska yang bergetar. "Sekarang kamu tinggal minum ini agar rasa sakitmu hilang."Wanita malang ini pelan-pelan membuka mulut dibantu oleh tangan Abimana. Kemudian cairan dalam botol kecil telah dituangkan sampai tandas ke dalam mulut Fransiska.Akhirnya, mata yang sudah memerah dengan lelehan air mata di kedua pipi langsung saja terpejam. "Maaf, Sandra! Gak seharusnya kamu tergila-gila padaku. Aku harus melakukan ini, agar hidupku bisa nyaman kembali. Kau dan papamu gak memberiku pilihan. Padahal, kamu bisa tetap bisa hidup, jika tidak mengejar-ngejar aku," ucap Abimana sambil memandangi tubuh yang mulai melemah lalu dari mulutnya keluar busa bergelembung.Beberapa saat, Abimana melepaskan ikatan pada tangan dan kaki Sandra. Pria ini langsung membopong tubuh Sandra ke atas ranjang yang telah dilapisi
"Waitres tadi kasih tahu kalau rok saya ngeflek. Saya lagi mens. Saya tinggal ke minimarket beli pembalut dulu,"ucap Alena."Jauh gak?"tanya Abimana sambil mengendarkan pandangan."Enggak, itu!" Alena berucap sambil menunjuk arah minimarket."Perlu diantar?""Enggak, ah. Orang beli pembalut, masa mau diantar. Malu. Permisi,"ucap Alena yang langsung berlari sambil menutupi pantat dengan tas. Abimana tersenyum melihat tingkah Alena.Rendi yang sedari tadi telah menunggu Alena di dalam minimarket langsung tersenyum lega melihat kedatangan adik angkatnya. Pria ini harus waspada dengan gerakan dari Abimana. Dia berharap tidak ada keinginan Abimana untuk menyusul kepergian Alena. Wanita berambut panjang di bawah bahu tersebut mulai membuka pintu minimarket. Rendi mengawasi dari tempat showcase yang berada di sisi depan dekat kaca jendela. Begitu telah berada di dalam Alena celingukan mencari Rendi. Pria ini pun tersenyum karena si adik angkat tidak melihatnya."Alena, kemari!"panggil Rendi
Rendi lalu menjalankan mobilnya menuju rumah dan kini, kedua kendaraan roda empat tersebut langsung berhadapan. Rendi tidak ingin dikenali oleh Abimana langsung membunyikan klakson. Gerbang pun langsung dibuka oleh sekuriti. Abimana yang berniat masuk mengikuti mobil Rendi langsung dihadang oleh dua sekuriti.Rendi melihat Abimana sempat debat dengan sekuriti dari kaca spion. Ia mengemudikan mobil menuju garasi lalu memarkirnya. Analis ini berjalan menuju dalam rumah. Tampak Dokter Pamela dan Alena duduk di ruang tamu."Selamat sore,"sapa Rendi kepada kedua wanita."Selamat sore, Ren,"balas Dokter Pamela. Sementara Alena menatapnya dengan pandangan meminta penjelasan."Nyonya sudah kasih tahu Alena?"tanya Rendi sambil duduk di hadapan kedua wanita."Berapa kali aku bilang, panggil Mama. Kamu itu sudah aku anggap anak, Rendi,"protes Dokter Pamela. Pria ini melirik Alena dengan ekor matanya dan tetap ada pandangan tidak terima di sana."Aku sudah merasa nyaman dengan panggilan itu. Teri
"Abang pastikan dia syok berat. Fransiska adalah anak tunggal. Dia adalah tumpukan terbesar untuk melanjutkan bisnis keluarga sebagai pemasok alat-alat medis.""Kasian benar Profesor Suteja,"ucap Dokter Pamela dengan raut wajah sedih. "Mommy pernah merasakan hal tersebut saat kehilangan suami dan anak. Beruntung ada saksi yang lihat Alena selamat. Paling tidak ada pelipur lara, meski harus puluhan tahun untuk bisa bertemu."Rendi yang merasa penasaran, akhirnya tidak bisa untuk menahan diri. Pria ini ingin tahu lebih banyak."Rendi izin pergi ke lokasi penemuan mayat di pinggir hutan, Nyonya,"ucap Rendi."Aku ikut, Bang,"sahut Alena."Alena, kamu itu jadi incaran. Meski belum ada kepastian dari polisi,"cegah Dokter Pamela."Ada Bang Rendi dan juga temannya yang polisi, Mom.""Ya, Nyonya. Aku akan jaga Alena. Berangkat juga bareng tim polisi.""Oke. Mama titip Adek kamu." Akhirnya dengan berat hati Dokter Pamela melepaskan Alena bersama Rendi.Perjalanan menuju TKP menempuh perjalanan
Setelah itu, Dokter itu menutup pintu lalu buru-buru ke ruang kemudi. Mereka harus segera menemui psikiater langganan Alena. Sejak kasus penculikan dan pelecehan di gudang milik Pak Gunadi, Alena menjadi pelanggan setia psikiater. Hal ini sudah berhasil menemukan Edisembuhkan, akan tetapi kambuh kembali karena guncangan yang dialaminya kembali.Anxiety disorder yang dialami oleh Alena, sudah lama sembuh. Namun gangguan tersebut sekarang mulai terlihat gejalanya kembali. Wanita cantik ini tampak gelisah, sekujur tubuh gemetar dengan keringat membasahi raut wajah dan leher.Dalam waktu 30 menit, mereka pun telah sampai tujuan. Alena yang masih dilanda kecemasan duduk meringkuk dengan tubuh menggigil. Dokter Pamela langsung memeluknya. Wanita ini berkata,"Tenang, Sayang! Mama ada sama kamu."Beberapa saat, Dokter Pamela perlu memberi waktu pada Alena agar bisa stabil emosinya. Setelah Alena sedikit tenang, akhirnya mereka keluar mobil dan langsung menuju ruang pemeriksaan.Psikiater mel
"Syok! Bangun dari tidur tanpa pakaian ditutup selimut.""Oke. Kita lapor polisi. Bisa-bisanya, tadi di kafe, dia gak bilang apa-apa ke Mommy."Baru juga mulut Dokter Pamela berhenti berucap, terdengar nada dering ponsel. Wanita ini mengambilnya dari dalam tas. Ia menatap layar ponsel lalu menoleh ke arah Alena."Rendi,"ucapnya hampir seperti orang berbisik."Apa pun ucapan dia, Mommy gak boleh pergi!"pinta Alena segera.Dokter Pamela pun mengangguk lalu menerima panggilan masuk."Iya, Ren. Ada apa?"tanyanya kepada anak angkatnya itu."Mama ada di mana? Aku mau bicara empat mata,"balas Rendi dari ujung telepon."Mama lagi home care, nih,"jawab Dokter Pamela yang langsung diacungi jempol oleh Alena."Kapan selesai, Ma?""Bisa sejam atau lebih. Setelah perawatan biasanya ada sesi diskusi. Ada apa, sih? Macam emergency saja,"sahut Dokter Pamela berniat memancing omongan lawan bicaranya."Bisa dibilang gitu. Hari ini aku harus bisa bicara dengan Mama.""Ngomong saja sekarang. Sama saja,
Ia memesan segelas jus jeruk lalu dengan pandangan tajam menatap ke arah jalan. Mobil Dokter Pamela sudah memasuki tempat parkir. Mata Alena terbelalak, di belakangnya muncul mobil Rendi."Bulshit! Ngapain ngikut?"keluh Alena dengan suara lirih. Rasa kesalnya membuat gigi-giginya gemerutuk. Ia ambil daftar menu buat menutup wajahnya. Kemudian dari baliknya ia mengintip ke arah pintu masuk.Kini tampak Rendi sudah berjalan menghampiri Dokter Pamela. Alena semakin ambil sikap. Beruntung, di saat pikiran wanita ini sedang buntu, ada seorang waiters melintas. Alena segera memanggilnya lirih."Maaf, boleh sAya minta tolong?"tanya Alena dengan sedikit membungkuk."Silakan, Nyonya,"balas si waiters ramah."Boleh saya minta secarik kertas?"tanya Alena lagi.Waiters tersebut segera menyobek selembar kertas dari book note yang dibawanya. "Silakan, Nyonya!"Waiters itu mengulurkan kertas beserta bolpoin. Alena menerima dengan tersenyum."Saya tulis pesan dulu,"ucap Alena. Dokter muda ini buru-bu
"Bang, kamu panggil aku apa?" "Sepertinya tadi aku harus lebih keras lagi saat memanggilmu, Sayang." Rendi semakin terkekeh. "Mulai sekarang, itu panggilan untuk kamu, Alena. Sejak semalam, kamu sudah menjadi milikku. Itu artinya, kamu tidak boleh pergi. Apalagi, tadi malam Abang tidak menggunakan pengaman dan mengeluarkannya di dalam. Abang berharap kamu hamil." Betapa kaget Alena mendengar penjelasan dari Rendi. Dengan kedua mata melotot, ia pun bertanya,"Apa maksud Abang? Sengaja bikin aku hancur? Suka liat Mommy terpuruk?" Rendi segera merangkul tubuh Alena. Pria dengan menitikkan air mata berucap,"Abang ingin jagain kamu. Abang cinta kamu sejak awal kita pertemu. Abang gak rela disakiti Dylan lagi." "Bukan begini caranya, Bang!"teriak Alena lalu membalut rapat tubuhnya dengan selimut. Ia bangkit lalu mengambil pakaian di atas kasur. Ia berlari menuju kamar mandi. Rendi mengejar langkah kaki Alena. Pria ini berdiri di depan pintu kamar mandi. Ia tidak akan menyesali apa pun ya
Sedang asyik menikmati pemandangan alam tiba- tiba sepasang tangan melingkar di pinggangnya dan deru nafas hangat mendekati daun telinga Alena."Kamu suka?"tanya Rendi berbisik.Seperti terkena hipnotis, Alena mengangguk dan mengukirkan lengkung senyuman di kedua pipi. Namun, tak lama ia berjengit kaget setelah menyadari sesuatu.Saat itulah, Alena kembali tersadar akan kenyataan. Ia buru-buru melepaskan diri dari Rendi. Ia mendorong pria tersebut agar menjauh."Kenapa Abang bawa aku ke sini?"tanya Alena terdengar geram. Gigi-giginya terdengar gemerutuk. Ia begitu benci dengan situasi seperti saat ini. Ia semakin ngeri berhadapan dengan Rendi."Aku ingin menyelamatkan kamu dari Dylan. Dia tak pantas untukmu. Pria plin-plan seperti dia, akan selalu membuatmu sakit hati. Apalagi dengan keadaan kamu yang sekarang. Abang khawatir itu jadi alasan dia untuk mendua atau bahkan meninggalkan kamu,"ungkap Rendi dengan tatapan sendu ke arah Alena."Bang, ingat! Aku sudah tunangan dengan Tuan Dy
"Mbok Darmi?" Terdengar suara Alena yang terbata-bata dari dalam kamar. "Tolong buka pintu, Non!" Akhirnya terdengar suara langkah kaki menuju pintu. Pada saat pintu terbuka, tampak wajah sembab Alena yang sehabis menangis. Jejak basah masih menggenang pada pelupuk mata dan pipi. Alena menyeka jejak itu dengan ujung lengan baju. "Non, apa yang terjadi?"tanya Mbok Darmi dengan wajah cemas. "Gak ada apa, Mbok. Tolong bikinkan aku jus jeruk,"ucap Alena terdengar terbata-bata. Hatinya terlampau sakit dan itu membuat suaranya serak. "Mbok akan bikinkan. Tapi, kalo ada sesuatu gak mengenakkan, Non bisa cerita ke Mbok. Jangan dipendam sendiri!" "Iya, Mbok. Makasih, ya,"balas Alena yang beranjak menuju jendela. Ia membuka kacanya lalu menikmati pemandangan di hadapannya. Ia ingin menggalau ingatan tentang kejadian barusan. "Mbok, tinggal ke dapur dulu." Ucapan Mbok Darmi tanpa balasan dari Alena. Wanita tua ini beranjak keluar kamar lalu menutup pintu. Alena menatap hamparan la
"Oke. Aku tunggu di sana." Terdengar suara langkah kaki menjauh. Alena menutup program dalam layar laptopnya lalu berjalan menuju toilet. Ia membasuh muka beberapa saat. Setelah itu menyeka wajah sambil menarik napas dalam-dalam. Ia embuskan napas kembali dengan perasaan sedikit lega.Kini langkah kaki wanita berambut lebat tersebut mengarah menghampiri Dylan. Ia harus bisa berbicara secara mendetail dengan calon suaminya. Saat dirinya sampai, tampak Dylan sedang mengobrol dengan Rendi. Begitu wanita ini mendekat, kedua pria buru-buru mengakhiri pembicaraan."Aku harus pergi menemui Mama. Kalian jaga rumah baik-baik,"ucap Rendi seraya berdiri. Ia menepuk bahu Dylan lalu berjalan menghampiri Alena. Ia pun berbicara lirih kepada adik angkatnya itu. "Ada apa-apa, buruan kasih kabar!""Baik, Bang,"balas Alena pelan sambil mengangguk. Rendi berlalu menuju anak tangga dan Alena melihat kepergiannya sampai menghilang dari pandangan. Dylan yang tidak sabaran lalu bangkit dan berjalan mendek
Analis ini menautkan kedua alis setelah membaca isi kertas tersebut. la menatap Dylan, seolah-olah bertanya maksud dari kertas ini."Gue nggak tau siapa yang kirim kertas itu, tapi gue rasa ada yang janggal,"jelas Dylan berhati-hati."Janggal gimana? Emang yang dia maksud anaknya siapa?"tanya Rendi seraya menatap tajam ke arah Dylan."Alena ... maybe.""Dia sedang berjalan kemari,"ucap Rendi memperingatkan Dylan. Saat menoleh ke arah dalam, ia melihat kehadiran wanita itu. "Pergi saja ke laboratorium! Aku sempat minta tes kesuburan terhadap Abimana.""Oke. Lebih baik aku ke sana dulu sebelum menemui Abimana,"balas Dylan. Ucapan Dylan berakhir tepat pada saat langkah kaki Alena sampai di dekat mereka. Ia membawa cemilan untuk menemaninya menonton drama Korea. Sebungkus besar kacang telur dan sebotol jus mangga berada dalam genggamannya. "Ada yang mau temani aku nonton tivi?"tanya Alena dengan wajah memelas.Rendi seketika menyenggol perut Dylan. "Biar Abang saja yang temani kamu. Dyl
"Nah, itu! Bisa jadi merekalah yang jadi pelaku. Bang Anton tahu kamu merekam mereka dan ingin barang bukti lenyap,"jelas Dylan.Hal itu langsung diberi anggukan kepala oleh Rendi. Analisis ini berkata,"Dugaan kita sama.""Pada saat merekam itu, aku mikirnya aneh dan menarik. Secara selama ini, mereka gak saling kenal. Aku tiap hari ada di rumah sakit dan tidak pernah liat interaksi di antara mereka. Padahal Bang Anton ada beberapa kali datang untuk antar Umaya temui aku.""Bisa jadi mereka berinteraksi setelah dapat job khusus dari Abimana,"sahut Dylan sambil memandang ke arah Rendi."It's exactly!"seru Rendi dengan wajah puas karena ada yang menyamai dugaannya."Aku sudah kasih tahu ahlinya. Bentar lagi dia datang,"ujar Dylan sambil menatap layar ponsel. Pria ini berharap ada yang segera menghubunginya.Ada suara ketukan lalu pintu pun terbuka. Seraut wajah yang ditunggu-tunggu muncul. Ia pun bertanya,"Di mana kita akan meet and great?""Hi, ayo.masuk!"pinta Dylan kepada Bara. Perw