"Dokter Abimana mengaku bahwa kalian sudah bertunangan. Saya minta sama kamu, untuk membujuk Abimana agar mau menikahi Fransiska."Nama itu langsung melekat dalam benak Alena. Wanita tersebut ikut jadi tim penyeleksi karyawan baru. Namun, Alena tetap bingung dengan pengakuan Abimana tanpa konfirmasi lebih dahulu."Maaf, Prof. Silakan saja tanyakan langsung ke Dokter Abimana! Saya tidak ada hak untuk itu.""Kamu kebanyakan protes! Sudah saya bilang kalau Abimana dan Fransiska itu sudah lama dekat. Anak saya hanya mau dengan Abi. Maka dari itu, saya minta kamu untuk bicarakan ini dengan Abimana."Alena mulai lelah berdebat dengan pria itu. Rupanya Profesor Suteja tak mau mengalah. "Saya sudah banyak berjasa di rumah sakit ini. Saya juga bisa minta pihak management untuk ....""Sudah, Prof! Saya ada pasien yang perlu ditangani. Maaf, saya tidak bisa lama-lama. Permisi." Alena tahu apa yang ada dalam benak pria tua itu. Dia pun bergegas pergi dari sana untuk membuang rasa sesak dalam dada
Alena menatap tajam ke kedua mata Abimana. Wanita ini sangat sulit untuk mereka-reka dari modus yang direncanakan oleh Abimana. Namun, dari sorot mata teduh pria tersebut menampilkan sebuah kejujuran. Alena memejamkan mata dan berharap ini sebuah mimpi. Begitu dirinya membuka mata, keadaan masih sama."Dari mana Dokter tahu semua itu?"tanya Alena yang penasaran."Siapa yang paling dipercaya dalam keluarga kamu. Kebetulan kami adalah sahabat yang terpisah oleh waktu.""Apakah Bang Rendi?""Tentu saja. Kami sudah berteman akrab semasa kuliah," jelas Abimana dengan gaya santai."Dokter Fransiska cantik dan pasti cerdas. Dia jadi bagian tim penyeleksi karena punya keistimewaan, kan?"tanya Alena seraya mengamati wajah Abimana.Drrtt! Drrtt!Ponsel milik Abimana berdering. Dokter tampan ini segera merogohnya dari dalam saku celana. Tampak pada layar tertera nomor kontak mamanya."Sebentar! Aku terima telepon dulu. Permisi,"ucap Abimana yang langsung ke luar ruangan."Nak, jaga dia baik-baik
"Kau telah membuatku terancam dengan faktor kekuasaan Profesor Suteja. Kalian berdua telah menerorku. Padahal aku suka membunuh dokter umum saja," ucap Abimana sambil mengusap bibir Fransiska yang bergetar. "Sekarang kamu tinggal minum ini agar rasa sakitmu hilang."Wanita malang ini pelan-pelan membuka mulut dibantu oleh tangan Abimana. Kemudian cairan dalam botol kecil telah dituangkan sampai tandas ke dalam mulut Fransiska.Akhirnya, mata yang sudah memerah dengan lelehan air mata di kedua pipi langsung saja terpejam. "Maaf, Sandra! Gak seharusnya kamu tergila-gila padaku. Aku harus melakukan ini, agar hidupku bisa nyaman kembali. Kau dan papamu gak memberiku pilihan. Padahal, kamu bisa tetap bisa hidup, jika tidak mengejar-ngejar aku," ucap Abimana sambil memandangi tubuh yang mulai melemah lalu dari mulutnya keluar busa bergelembung.Beberapa saat, Abimana melepaskan ikatan pada tangan dan kaki Sandra. Pria ini langsung membopong tubuh Sandra ke atas ranjang yang telah dilapisi
"Waitres tadi kasih tahu kalau rok saya ngeflek. Saya lagi mens. Saya tinggal ke minimarket beli pembalut dulu,"ucap Alena."Jauh gak?"tanya Abimana sambil mengendarkan pandangan."Enggak, itu!" Alena berucap sambil menunjuk arah minimarket."Perlu diantar?""Enggak, ah. Orang beli pembalut, masa mau diantar. Malu. Permisi,"ucap Alena yang langsung berlari sambil menutupi pantat dengan tas. Abimana tersenyum melihat tingkah Alena.Rendi yang sedari tadi telah menunggu Alena di dalam minimarket langsung tersenyum lega melihat kedatangan adik angkatnya. Pria ini harus waspada dengan gerakan dari Abimana. Dia berharap tidak ada keinginan Abimana untuk menyusul kepergian Alena. Wanita berambut panjang di bawah bahu tersebut mulai membuka pintu minimarket. Rendi mengawasi dari tempat showcase yang berada di sisi depan dekat kaca jendela. Begitu telah berada di dalam Alena celingukan mencari Rendi. Pria ini pun tersenyum karena si adik angkat tidak melihatnya."Alena, kemari!"panggil Rendi
Rendi lalu menjalankan mobilnya menuju rumah dan kini, kedua kendaraan roda empat tersebut langsung berhadapan. Rendi tidak ingin dikenali oleh Abimana langsung membunyikan klakson. Gerbang pun langsung dibuka oleh sekuriti. Abimana yang berniat masuk mengikuti mobil Rendi langsung dihadang oleh dua sekuriti.Rendi melihat Abimana sempat debat dengan sekuriti dari kaca spion. Ia mengemudikan mobil menuju garasi lalu memarkirnya. Analis ini berjalan menuju dalam rumah. Tampak Dokter Pamela dan Alena duduk di ruang tamu."Selamat sore,"sapa Rendi kepada kedua wanita."Selamat sore, Ren,"balas Dokter Pamela. Sementara Alena menatapnya dengan pandangan meminta penjelasan."Nyonya sudah kasih tahu Alena?"tanya Rendi sambil duduk di hadapan kedua wanita."Berapa kali aku bilang, panggil Mama. Kamu itu sudah aku anggap anak, Rendi,"protes Dokter Pamela. Pria ini melirik Alena dengan ekor matanya dan tetap ada pandangan tidak terima di sana."Aku sudah merasa nyaman dengan panggilan itu. Teri
"Abang pastikan dia syok berat. Fransiska adalah anak tunggal. Dia adalah tumpukan terbesar untuk melanjutkan bisnis keluarga sebagai pemasok alat-alat medis.""Kasian benar Profesor Suteja,"ucap Dokter Pamela dengan raut wajah sedih. "Mommy pernah merasakan hal tersebut saat kehilangan suami dan anak. Beruntung ada saksi yang lihat Alena selamat. Paling tidak ada pelipur lara, meski harus puluhan tahun untuk bisa bertemu."Rendi yang merasa penasaran, akhirnya tidak bisa untuk menahan diri. Pria ini ingin tahu lebih banyak."Rendi izin pergi ke lokasi penemuan mayat di pinggir hutan, Nyonya,"ucap Rendi."Aku ikut, Bang,"sahut Alena."Alena, kamu itu jadi incaran. Meski belum ada kepastian dari polisi,"cegah Dokter Pamela."Ada Bang Rendi dan juga temannya yang polisi, Mom.""Ya, Nyonya. Aku akan jaga Alena. Berangkat juga bareng tim polisi.""Oke. Mama titip Adek kamu." Akhirnya dengan berat hati Dokter Pamela melepaskan Alena bersama Rendi.Perjalanan menuju TKP menempuh perjalanan
"Oke," balas Profesor Suteja. Sambungan telepon berakhir dan meninggalkan air mata bercucuran dari kedua pelupuk mata Alena."Jadi korban Abimana?"tanya Dylan yang langsung bisa menebak yang telah terjadi.Alena tidak sanggup berkata-kata, dia hanya bisa mengangguk. Air mata semakin deras menetes. Dirinya tidak pernah menyangka wanita cantik itu telah terbukti jadi korban kebiadaban Abimana. Pria tampan yang santun dan sangat menyayangi ibunya. Dia tidak menyangka kelembutan hati pria tersebut sekadar topeng buat menjerat mangsa.***Di Tempat Pemakaman"Untuk apa kau mengajakku ke sini?" Akhirnya Vira membuka suara dengan mimik muka sebal terhadap Abimana sambil berdecih. Mereka diam-diam menyusup menjadi penziarah dengan topi dan kacamata hitam. Mereka berhasil mengelabui keluarga dan para kerabat mendiang Fransiska."Siapa tahu aku membutuhkanmu untuk memancing korban," balas Abimana ketika sudah meluncurkan mobilnya dari area tempat parkir. Vira mengernyitkan dahi, hingga membentu
"Darah? hmm." Abimana menjilati jari manis Vira yang terluka lalu mengisap darah di luka itu. Vira hanya membulatkan matanya terkejut dan pasrah. Insiden ini juga karena kesalahan Abimana juga.Abimana segera mengobati luka kecil itu, setelah darah berhenti keluar. Vira hanya bisa menatap nanar pria di depannya.Mengapa Abimana tidak memilih untuk membunuhnya saja? Laki-laki itu malah menjadikannya budak. Ayahnya diselamatkan, tetapi hal itu malah membuatnya semakin menderita ketika melihat kekejaman seorang psikopat seperti Abimana."Kembali ke kamarmu!"perintah pria tampan, tetapi upnormal tersebut.Vira langsung mengangkat sebelah alisnya. "Apa?""Mulai sekarang kau milikku. Ingat itu!"Vira membulatkan mata ketika mendengar Abimana mengatakan la adalah mlilknya. Ditambah laki-lakl itu kini memeluk dirinya begitu erat sampai Vira tidak bisa berkutik."A-Apa maksudmu?" tanya Vira terbata-bata sambli mencoba melepas pelukan Abimana."You're mine." Abimana melepas pelukannya dan menat