"Sayang, maafkan aku,"kata Dylan sambil mencium punggung tangan Alena."Mommy mana?"tanya Alena yang tiba-tiba tampak bersemangat."Oh, ya. Kita ke klinik mama kamu saja," balas Dylan yang seperti mendapat jalan keluar. Mobil langsung diarahkan menuju klinik tempat Dokter Pamela sedang bertugas.***Sebulan setelah bom bunuh diri Jenuh dan gelisah. Alena selalu benci situasi yang akan rutin setiap kali dirinya harus duduk menunggu giliran untuk mengambil obat di depo farmasi rumah sakit. Dia hanya benci ketika beberapa pasang mata menatap dengan pandangan iba. Bukannya tak bersyukur masih ada orang yang menaruh rasa simpati kepadanya.Alena tidak ingin orang-orang itu memandangnya sebagai sosok yang lemah karena sakit. Setiap detik dalam hidup, ia belajar semakin kuat dalam menghadapi kenyataan sebagai seorang bervirus mematikan. Ia hanya ingin dipandang sebagai orang yang tangguh dan bersemangat. Saat di mana dia tidak perlu repot-repot rawat inap di rumah sakit.Alena menghela napa
"Dia telah menipu banyak orang demi ambisi terselubung. Hanya Mommy yang tak tersentuh oleh dendam pribadinya. Dia yang kasih obat kepada Vira saat kejadian kita. Ternyata gak sesuai harapannya,"ucap Alena dengan gigi gemerutuk karena kesal."Tetap saja aku yang jahat kepadamu, Sayang," sahut Dylan lalu mengecup pucuk kepala Alena."Kaga nyangka orang yang telah kuanggap sebagai Abang, mampu berbuat sekeji ini,"keluh kesah Alena dengan menyeka air mata yang menetes.Dylan memegang kedua bahu Alena lalu bertanya,"Mau pulang atau nginap di ruang perawatan?"Alena pun langsung tersenyum tipis mendengar pertanyaan barusan. Ia tahu betul jika Dylan sangat khawatir akan kesehatannya. Wanita cantik ini berkata,"Tenang, Honey! Meskipun aku tenaga medis, akan lebih nyaman istirahat di rumah."Akhirnya mereka beranjak meninggalkan rumah sakit dengan rasa lega di hati Dylan. Kondisi Alena tak seburuk dalam perkiraannya. Wanita yang benar-benar tangguh, batin Dylan.Sepanjang perjalanan Dylan ter
Alena yang mendengar penuturan Rendi seakan-akan sulit mempercayai data yang tertulis dalam buku catatan Tuan Arnold dan juga data resmi kepolisian yang baru saja dikirim Bara via email. "Semoga kita tetap seperti keluarga yang saling menyayangi seperti ini hingga selamanya,"ucap Dokter Pamela yang tiba-tiba telah berada di antara mereka. Rendi terhentak mendengar penuturan ibu angkatnya barusan.. Andai kewajiban ini bisa kuabaikan, batinnya penuh sesal. "Ayo, Bang, ikut gue!"ajak Bara sambil menepuk bahu Rendi. Tentu saja sentuhan perwira polisi ini langsung mengagetkan Rendi yang sedang melamun. "Eh, ya. Apa?"tanya analis kesehatan ini bingung. "Kita ke agensi urus akomodasi,"balas Bara. "Oke. Pake mobil gua,"ujar Rendi sambil mendekat ke arah Dokter Pamela. "Pamit dulu, Ma." "Hati-hati di jalan,"balas Dokter Pamela sambil mengusap rambut anak angkatnya. Rendi mencium punggung tangannya diikuti oleh Bara. Kedua pria lalu berpamitan ke pasangan calon pengantin. Setelah itu, m
"Oh, ya, Tuhan! Kenapa kamu yang diperlakukan jahat seperti ini?"tanya Bu Ratna sambil memeluk putrinya."Kondisi aku dijadikan alat untuk menekan Bang Anton,"jelas Umaya sambil berurai air mata kembali. "Aku gak tau, kalo bos Bang Anton terobsesi dengan Alena."Tok! Tok! Tok!"Permisi!" Terdengar suara pria di depan pintu."Ibu ke depan dulu. Itu mungkin dokter yang akan beri obat,"ucap Bu Ratna lalu beranjak meninggalkan kamar.Tak berapa lama, Bu Ratna telah datang bersama dengan dokter utusan Abimana. Bu Ratna yang biasanya meninggalkan Umaya saat diperiksa dokter, sekarang tampak lebih waspada. Wanita setengah abad ini duduk di kursi tak jauh dari keduanya.Seperti biasa, dokter menginjeksi Umaya pada urat lengan. Obat berfungsi untuk mengendalikan racun agar tak cepat menyebar. Abimana masih membutuhkan Umaya untuk korek informasi soal Alena dan juga alat penekan bagi Anton. Usai memberi suntikan dokter mengulur sebuah kantung plastik berisi sejumlah obat. Untuk semua pelayanan
"Apa kalian semua bersekongkol? Lebih baik bunuh saja aku,"ucap Umaya dengan suara bergetar. Ada rasa marah dan putus asa dalam raut wajahnya yang pucat. Tiba-tiba tubuh wanita ini lemas akhirnya jatuh tidak sadarkan diri."Umaya!" Semua menjerit panik. Penyakit yang dideritanya Umaya bisa semakin parah, jika wanita ini dalam keadaan ngedrop.Alan gegas membopong tubuh kakaknya dan tidak membiarkan dua pria tersebut mendekatinya. Dylan pun cekatan mengajak kedua pria untuk menyingkir sebentar."Langsung baringkan di sofa saja. Dia masih syok liat penampakan Bang Rendi dan Bang Anton,"jelas Alena kepada Alan."Yang bikin Ibu gak habis pikir itu, ada saja orang yang mau dikorbankan oleh Dokter Abimana. Itu yang mati ledakan bom,"ujar Bu Ratna sambil oleskan aroma terapi di ujung hidung Umaya."Sudah dicuci otaknya, Bu,"sahut Alan sambil memijat kaki kakaknya."Bisa jadi seperti itu karena Dokter Abimana ahli dalam mempengaruhi pikiran orang,"ucap Alena sambil memikirkan kejadian yang pe
"Justru psikopat itu kebanyakan orang-orang cerdas. Gak keliatan gila. Maka dari itu banyak yang terjebak dengan tampilan dan kepintaran mereka. Macam Dokter Abimana ini.""Apa untungnya jadi psikopat?""Ada kepuasan tersendiri saat melakukan itu. Namanya juga kelainan jiwa. Mana mikir untung rugi?" Alan menjelaskan kepada ibunya dengan raut wajah tegang. Pria muda ini rasa-rasanya ingin ikut meringkus Dokter Abimana sekaligus bisa membuatnya babak belur. "Moga saja bisa disuntik mati.""Kita serahkan pada pihak berwajib. Yang penting kakakmu dan Dokter Alena bisa pulih seperti sedia kala,"balas Bu Ratna demi meredam amarah si anak bungsu."Ya, Bu. Maaf, Alan terlalu emosi. Habisnya kesel banget. Nyawa manusia dibuat mainan."Brug!Tiba-tiba dari arah dalam terdengar suara dentuman. Ibu dan anak ini pun langsung menoleh dengan ekspresi terkejut."Umaya!""Kakak!"Keduanya berlari menuju kamar. Mereka pun terkejut melihat tubuh Umaya telah terjerembab di atas lantai. Alan dengan dibant
Abimana dibawa menuju kantor polisi, Rendi datang dengan dokter. Alena pun segera dibawa masuk ke salah satu kamar hotel untuk menerima injeksi. Setelah Alena dapat injeksi, mereka pergi untuk memberikan obat penawar terakhir bagi Umaya.Setelah mendapatkan obat penawar, keadaan Umaya tampak lebih segar. Wanita ini sudah bisa tersenyum lega, meski harus menahan rasa tak mengenakkan selama proses pembersihan racun dalam pembuluh darah.Dylan yang ahli gizi sekaligus super chef sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Ia membuat menu khusus bagi Alena dan Umaya agar kondisi mereka cepat pulih."Mau bikin apa, Honey?"tanya Alena yang menyusul ke dapur."Kresengan dan jus buah naga mix kurma. Tunggu di depan saja. Energi kamu belum pulih betul,"cegah Dylan sambil memeluk pinggang ramping Alena. "Nanti aku pijat dengan tehnik akupunktur.""Sejak kapan bisa pijat akupuntur?"tanya Alena diikuti tawa berderai. Wanita ini merasa heran sekaligus takjub dengan keahlian yang dimiliki oleh cal
Rendi mendekat lalu mengusap kepala adik angkatnya. "Abang gak akan pernah rela kamu mati hanya karena menuruti keinginan pria tak berakhlak macam dia. Kami telah mengatur strategi. Kamu dan Umaya cukup di sini, menunggu kabar kemenangan dari kami. Percayalah! Kami bisa hancurkan Abimana." Usai perkataan si abang angkat, Alena menangis tersedu-sedu. Ia langsung memeluk Rendi. "Terima kasih, Abang." "Selagi Abang masih hidup. Gak akan biarkan kamu tersakiti oleh siapa pun." Terdengar langkah kaki dari beranda. Dokter Pamela dengan wajah cemas menghampiri mereka. "Mommy!"teriak Alena sambil berlari lalu memeluk wanita tersebut. "Masih kerja?" "Iya, ada pasien emergency. Mommy selalu mikirin kamu dan Umaya. Bagus juga obat penawarnya. Kalian berdua tampak semakin sehat,"ucap Dokter Pamela sambil tersenyum ke arah Umaya. "Terima kasih, Dokter. Berkat doa dari Anda, kami semakin membaik,"balas Umaya sedikit canggung. Memang sih, raga mereka sehat, akan tetapi psikis semakin ngedrop ka
"Rendi, kamu ditangkap!" seru Bara. Rendi mencoba melawan, tetapi Dylan cepat mengatasi situasi tersebut. Rendi dibawa ke kantor polisi untuk diinterogasi. Bara dan Dylan lega karena berhasil menangkap pelaku. Dokter Pamela dan Alena telah mendengar kabar penangkapan Rendi. Namun, mereka masih cemas tentang motif Rendi dan dampaknya pada keluarga serta reputasi klinik. Beberapa hari kemudian Pengadilan dimulai. Pengacara Umaya berhasil membuktikan bahwa tindakan Umaya kepada Anton adalah murni kecelakaan. Ada rekaman CCTV soal hal itu. Hakim memutuskan bahwa Umaya dibebaskan dari segala tuduhan. Namun ada kewajiban wajib rapor dan tidak boleh keluar kota sementara waktu sampai kasus Anton dan Gopar selesai diusut. Hati Umaya, Alena dan Dokter Pamela belum bisa lega 100% karena harus menunggu keputusan negosiasi interpol dengan pihak kepolisian Singapura soal kasus Alan. Mereka masih harus menunggu kepastian. Pada suatu hari Dokter Pamela menerima panggilan misterius dari seseor
"Dia sedang ambil cuti dua hari untuk riset. Ada apa?"tanya balik Dokter Pamela dengan raut wajah heran. "Sedari pagi hapenya gak aktif. Padahal bilang akan bawain obat buat aku." "Obat apa lagi? Bukankah kamu sudah gak perlu obat lagi?" "Bukan, Mom. Ini obat herbal sekaligus buat terapi." Tak berapa lama terdengar langkah kaki mendekat ke arah mereka. Kedua wanita tersebut menoleh ke belakang. Tampak Dylan dan Bara tersenyum ke arah mereka. "Selamat siang,"sapa kedua pria bersamaan. "Selamat siang,"balas dua wanita. Mereka berdiri berhadapan lalu saling menjabat tangan. Dokter Pamela mengajak kedua pria untuk duduk di ruang keluarga. Setelah mereka duduk di tempat masing-masing, barulah Alena bertanya,"Ada apa, nih, kalian barengan kemari?" Dylan segera menjawab,"Yang punya kepentingan si Bara, tuh." Pria yang dimaksud pun tersenyum ke arah kedua wanita. Ia berkata,"Maaf, gak kasih kabar dahulu. Saya dapat kabar mendadak dari kantor." Dokter Pamela dan Alena segera mengara
"Apakah kamu masih mau bersahabat dengan seorang pembunuh?" Alena terkejut dan mundur selangkah. "Apaan, sih, kamu! Apa yang terjadi padamu, Uma?"tanya Alena dengan kedua mata berkaca-kaca. Kini hatinya semakin tidak enak. Ada peristiwa dahsyat yang baru dialami oleh sahabatnya itu. Namun, kata pembunuh yang diucapkan oleh Umaya membuat pikiran Alena sempat oleng. Ia lalu bertanya dengan tubuh gemetar. "Apa maksudmu? Siapa yang kamu bunuh?" Umaya menunduk, air matanya jatuh. "Aku... aku membunuh Bang Anton." Alena terkejut. "Bang Anton? Bagaimana bisa? Kau selalu sangat perhatian padanya." Umaya mengisahkan peristiwa tragis tersebut. "Aku marah karena Bang Anton telah menjebak Alan. Adikku itu sekarang terancam hukuman mati di Singapura. Ia tertangkap tangan sedang membawa paket sabu-sabu seberat 500 gram. Bang Anton sengaja menyelipkan paket sabu-sabu pada makanan kemasan kaleng." "Alan ke Singapura dalam rangka apa?"tanya Alena penasaran. "Ia disuruh Bang Anton untuk mengirim
Di tempat lain, Umaya menatap foto Alena dengan perasaan menyesal. "Alena, maafkan aku. Besok aku jelaskan semua." "Semoga Alena gak kaget melihat keadaan kamu,"sahut Bara yang langsung ditanggapi linangan air mata oleh Umaya. "Saya gak pernah menyangka nasib persahabatan kami harus terpisah,"balas Umaya seraya menyeka sisa air mata. Bara tersenyum lalu berdiri dan menepuk pundak Umaya. Perwira polisi ini berkata,"Kamu telah berjasa terhadap kepolisian. Pasti ada keringanan hukuman. Nanti saya akan sewakan pengacara terbaik." "Terima kasih, Tuan Bara,"balas Umaya yang langsung dikawal seorang polwan masuk ke bagian belakang. *** Pukul 7 pagi Alena telah tiba di kantor polisi dengan diantar oleh Dylan. Dari semalam dokter muda ini tidak nyenyak tidur karena memikirkan kondisi yang terjadi dengan Umaya. "Tuan Bara sama sekali gak kasih bocoran?"tanya Alena kepada Dylan sambil mereka berjalan menuju ruang pemeriksaan. "Bara enggak mau kasih tahu. Katanya biar Umaya ngomong langs
"Kita tinggal ambil rekaman CCTV saat kejadian. Begitu tertangkap langsung bikin laporan,"ucap Rendi yang langsung diacungi jempol oleh Dylan. "Kita akan tahu, modus Pak Gopar merusak kepercayaan Dokter Pamela,"balas Dylan. Dorr! Terdengar tembakan dari arah pintu gerbang. Rendi segera memberi peringatan kepada kedua wanita. "Ma, Alena, tutup semua pintu dan jendela! Kalian bisa jadi incaran penjahat!" Kedua pria membantu menutup jendela dan pintu bagian depan lalu berlari ke halaman. "Ada apa ini?"tanya Dokter Pamela yang muncul dari ruang tengah. Alena berlari menyusul mommynya. Alena juga bingung dengan situasi yang menegangkan tersebut. "Mom, penjahat apa?" "Kita tutup semua jendela dan pintu. Kamu bagian belakang, Mommy cek depan,"ucap Dokter Pamela kepada Alena. Kedua wanita bergerak cepat. Mereka menutup semua pintu dan jendela. Benar yang diucapkan oleh Rendi, begitu terdengar langkah kejar-kejaran lalu suara pintu didobrak dari luar. Brakk! Pyaarr! Beruntung jendela
"Tentu saja benar. Aku sengaja bikin menu favorit Mommy,"balas Alena. "Wah, kebetulan. Hari ini Tuan Dylan akan datang untuk memberikan resep menu khusus untuk kamu. Bisa jadi sambil praktek cara bikinnya." Pernyataan Dokter Pamela barusan, membuat hati Rendi memanas. Bagaimanapun hatinya berharap bisa segera menikah dengan Alena. Sementara waktu, ia diminta Dokter Pamela untuk mengabaikan keinginan itu sampai emosi Alena stabil. Rendi gegas pergi ke luar rumah untuk menghindari hatinya bertambah panas. Hal itu bisa merusak rencana mama angkatnya untuk memberi rasa tenang kepada Alena. Sekitar sepuluh menit kemudian, datang sebuah mobil yang dikemudikan oleh Dylan. "Apa kabar, Bang?"sapa Dylan begitu keluar dari mobil. Tampak pria ini menenteng sebuah kantong plastik besar. "Baik. Kelihatannya bisnis lo semakin maju,"sahut Rendi sambil menghampiri Dylan. "Masih merintis kedai menu khusus,"balas Dylan sambil menjabat tangan Rendi. "Ini juga mau praktek buat menu khusus Alena. Aban
"Iya. Mama paham. Alena cinta Dylan dan kamu dianggap sebagai Abang." "Buat apa mencintai pria yang sering menyakiti hati? Aku baru kali ini bikin luka hati Alena, itu pun terpaksa kulakukan. Aku ingin Alena hanya untukku dan rasa cinta bisa ditumbuhkan pelan-pelan." Dokter Pamela sudah tidak bisa menanggapi omongan Rendi. Dia akan pasrahkan keputusan akhir kepada Alena. Padahal saat ini kondisi psikis Alena belum stabil. Pemilik klinik kesehatan ini harus pandai-pandai mengatur strategi agar sama-sama nyaman. "Kali ini Mama mohon belas kasihan dari kamu. Tunggu keadaan Alena sampai sehat dulu. Tolong jangan ganggu dengan situasi yang bisa memicu kepanikan dia. Bisa, kan?" Permintaan dari Dokter Pamela ini layaknya buah simalakama bagi Rendi. Di satu sisi, ia ingin segera menikah dengan Alena dan di sisi yang lain, dia terpaksa menuruti kemauan wanita yang telah banyak berjasa dalam hidupnya itu. Tiada lagi yang bisa Rendi lakukan, selain .... "Baik, Ma! Aku akan tunggu sampe Alen
Setelah itu, Dokter itu menutup pintu lalu buru-buru ke ruang kemudi. Mereka harus segera menemui psikiater langganan Alena. Sejak kasus penculikan dan pelecehan di gudang milik Pak Gunadi, Alena menjadi pelanggan setia psikiater. Hal ini sudah berhasil disembuhkan, akan tetapi kambuh kembali karena guncangan yang dialaminya kembali. Anxiety disorder yang dialami oleh Alena, sudah lama sembuh. Namun gangguan tersebut sekarang mulai terlihat gejalanya kembali. Wanita cantik ini tampak gelisah, sekujur tubuh gemetar dengan keringat membasahi raut wajah dan leher. Dalam waktu 30 menit, mereka pun telah sampai tujuan. Alena yang masih dilanda kecemasan duduk meringkuk dengan tubuh menggigil. Dokter Pamela langsung memeluknya. Wanita ini berkata,"Tenang, Sayang! Mama ada sama kamu." Beberapa saat, Dokter Pamela perlu memberi waktu pada Alena agar bisa stabil emosinya. Setelah Alena sedikit tenang, akhirnya mereka keluar mobil dan langsung menuju ruang pemeriksaan. Psikiater melakukan pe
"Syok! Bangun dari tidur tanpa pakaian ditutup selimut." "Oke. Kita lapor polisi. Bisa-bisanya, tadi di kafe, dia gak bilang apa-apa ke Mommy." Baru juga mulut Dokter Pamela berhenti berucap, terdengar nada dering ponsel. Wanita ini mengambilnya dari dalam tas. Ia menatap layar ponsel lalu menoleh ke arah Alena. "Rendi,"ucapnya hampir seperti orang berbisik. "Apa pun ucapan dia, Mommy gak boleh pergi!"pinta Alena segera. Dokter Pamela pun mengangguk lalu menerima panggilan masuk. $Iya, Ren. Ada apa?"tanyanya kepada anak angkatnya itu. "Mama ada di mana? Aku mau bicara empat mata,"balas Rendi dari ujung telepon. "Mama lagi home care, nih,"jawab Dokter Pamela yang langsung diacungi jempol oleh Alena. "Kapan selesai, Ma?" "Bisa sejam atau lebih. Setelah perawatan biasanya ada sesi diskusi. Ada apa, sih? Macam emergency saja,"sahut Dokter Pamela berniat memancing omongan lawan bicaranya. "Bisa dibilang gitu. Hari ini aku harus bisa bicara dengan Mama." "Ngomong saja sekarang. S