"Dia telah menipu banyak orang demi ambisi terselubung. Hanya Mommy yang tak tersentuh oleh dendam pribadinya. Dia yang kasih obat kepada Vira saat kejadian kita. Ternyata gak sesuai harapannya,"ucap Alena dengan gigi gemerutuk karena kesal."Tetap saja aku yang jahat kepadamu, Sayang," sahut Dylan lalu mengecup pucuk kepala Alena."Kaga nyangka orang yang telah kuanggap sebagai Abang, mampu berbuat sekeji ini,"keluh kesah Alena dengan menyeka air mata yang menetes.Dylan memegang kedua bahu Alena lalu bertanya,"Mau pulang atau nginap di ruang perawatan?"Alena pun langsung tersenyum tipis mendengar pertanyaan barusan. Ia tahu betul jika Dylan sangat khawatir akan kesehatannya. Wanita cantik ini berkata,"Tenang, Honey! Meskipun aku tenaga medis, akan lebih nyaman istirahat di rumah."Akhirnya mereka beranjak meninggalkan rumah sakit dengan rasa lega di hati Dylan. Kondisi Alena tak seburuk dalam perkiraannya. Wanita yang benar-benar tangguh, batin Dylan.Sepanjang perjalanan Dylan ter
Alena yang mendengar penuturan Rendi seakan-akan sulit mempercayai data yang tertulis dalam buku catatan Tuan Arnold dan juga data resmi kepolisian yang baru saja dikirim Bara via email. "Semoga kita tetap seperti keluarga yang saling menyayangi seperti ini hingga selamanya,"ucap Dokter Pamela yang tiba-tiba telah berada di antara mereka. Rendi terhentak mendengar penuturan ibu angkatnya barusan.. Andai kewajiban ini bisa kuabaikan, batinnya penuh sesal. "Ayo, Bang, ikut gue!"ajak Bara sambil menepuk bahu Rendi. Tentu saja sentuhan perwira polisi ini langsung mengagetkan Rendi yang sedang melamun. "Eh, ya. Apa?"tanya analis kesehatan ini bingung. "Kita ke agensi urus akomodasi,"balas Bara. "Oke. Pake mobil gua,"ujar Rendi sambil mendekat ke arah Dokter Pamela. "Pamit dulu, Ma." "Hati-hati di jalan,"balas Dokter Pamela sambil mengusap rambut anak angkatnya. Rendi mencium punggung tangannya diikuti oleh Bara. Kedua pria lalu berpamitan ke pasangan calon pengantin. Setelah itu, m
"Oh, ya, Tuhan! Kenapa kamu yang diperlakukan jahat seperti ini?"tanya Bu Ratna sambil memeluk putrinya."Kondisi aku dijadikan alat untuk menekan Bang Anton,"jelas Umaya sambil berurai air mata kembali. "Aku gak tau, kalo bos Bang Anton terobsesi dengan Alena."Tok! Tok! Tok!"Permisi!" Terdengar suara pria di depan pintu."Ibu ke depan dulu. Itu mungkin dokter yang akan beri obat,"ucap Bu Ratna lalu beranjak meninggalkan kamar.Tak berapa lama, Bu Ratna telah datang bersama dengan dokter utusan Abimana. Bu Ratna yang biasanya meninggalkan Umaya saat diperiksa dokter, sekarang tampak lebih waspada. Wanita setengah abad ini duduk di kursi tak jauh dari keduanya.Seperti biasa, dokter menginjeksi Umaya pada urat lengan. Obat berfungsi untuk mengendalikan racun agar tak cepat menyebar. Abimana masih membutuhkan Umaya untuk korek informasi soal Alena dan juga alat penekan bagi Anton. Usai memberi suntikan dokter mengulur sebuah kantung plastik berisi sejumlah obat. Untuk semua pelayanan
"Apa kalian semua bersekongkol? Lebih baik bunuh saja aku,"ucap Umaya dengan suara bergetar. Ada rasa marah dan putus asa dalam raut wajahnya yang pucat. Tiba-tiba tubuh wanita ini lemas akhirnya jatuh tidak sadarkan diri."Umaya!" Semua menjerit panik. Penyakit yang dideritanya Umaya bisa semakin parah, jika wanita ini dalam keadaan ngedrop.Alan gegas membopong tubuh kakaknya dan tidak membiarkan dua pria tersebut mendekatinya. Dylan pun cekatan mengajak kedua pria untuk menyingkir sebentar."Langsung baringkan di sofa saja. Dia masih syok liat penampakan Bang Rendi dan Bang Anton,"jelas Alena kepada Alan."Yang bikin Ibu gak habis pikir itu, ada saja orang yang mau dikorbankan oleh Dokter Abimana. Itu yang mati ledakan bom,"ujar Bu Ratna sambil oleskan aroma terapi di ujung hidung Umaya."Sudah dicuci otaknya, Bu,"sahut Alan sambil memijat kaki kakaknya."Bisa jadi seperti itu karena Dokter Abimana ahli dalam mempengaruhi pikiran orang,"ucap Alena sambil memikirkan kejadian yang pe
"Justru psikopat itu kebanyakan orang-orang cerdas. Gak keliatan gila. Maka dari itu banyak yang terjebak dengan tampilan dan kepintaran mereka. Macam Dokter Abimana ini.""Apa untungnya jadi psikopat?""Ada kepuasan tersendiri saat melakukan itu. Namanya juga kelainan jiwa. Mana mikir untung rugi?" Alan menjelaskan kepada ibunya dengan raut wajah tegang. Pria muda ini rasa-rasanya ingin ikut meringkus Dokter Abimana sekaligus bisa membuatnya babak belur. "Moga saja bisa disuntik mati.""Kita serahkan pada pihak berwajib. Yang penting kakakmu dan Dokter Alena bisa pulih seperti sedia kala,"balas Bu Ratna demi meredam amarah si anak bungsu."Ya, Bu. Maaf, Alan terlalu emosi. Habisnya kesel banget. Nyawa manusia dibuat mainan."Brug!Tiba-tiba dari arah dalam terdengar suara dentuman. Ibu dan anak ini pun langsung menoleh dengan ekspresi terkejut."Umaya!""Kakak!"Keduanya berlari menuju kamar. Mereka pun terkejut melihat tubuh Umaya telah terjerembab di atas lantai. Alan dengan dibant
Abimana dibawa menuju kantor polisi, Rendi datang dengan dokter. Alena pun segera dibawa masuk ke salah satu kamar hotel untuk menerima injeksi. Setelah Alena dapat injeksi, mereka pergi untuk memberikan obat penawar terakhir bagi Umaya.Setelah mendapatkan obat penawar, keadaan Umaya tampak lebih segar. Wanita ini sudah bisa tersenyum lega, meski harus menahan rasa tak mengenakkan selama proses pembersihan racun dalam pembuluh darah.Dylan yang ahli gizi sekaligus super chef sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Ia membuat menu khusus bagi Alena dan Umaya agar kondisi mereka cepat pulih."Mau bikin apa, Honey?"tanya Alena yang menyusul ke dapur."Kresengan dan jus buah naga mix kurma. Tunggu di depan saja. Energi kamu belum pulih betul,"cegah Dylan sambil memeluk pinggang ramping Alena. "Nanti aku pijat dengan tehnik akupunktur.""Sejak kapan bisa pijat akupuntur?"tanya Alena diikuti tawa berderai. Wanita ini merasa heran sekaligus takjub dengan keahlian yang dimiliki oleh cal
Rendi mendekat lalu mengusap kepala adik angkatnya. "Abang gak akan pernah rela kamu mati hanya karena menuruti keinginan pria tak berakhlak macam dia. Kami telah mengatur strategi. Kamu dan Umaya cukup di sini, menunggu kabar kemenangan dari kami. Percayalah! Kami bisa hancurkan Abimana." Usai perkataan si abang angkat, Alena menangis tersedu-sedu. Ia langsung memeluk Rendi. "Terima kasih, Abang." "Selagi Abang masih hidup. Gak akan biarkan kamu tersakiti oleh siapa pun." Terdengar langkah kaki dari beranda. Dokter Pamela dengan wajah cemas menghampiri mereka. "Mommy!"teriak Alena sambil berlari lalu memeluk wanita tersebut. "Masih kerja?" "Iya, ada pasien emergency. Mommy selalu mikirin kamu dan Umaya. Bagus juga obat penawarnya. Kalian berdua tampak semakin sehat,"ucap Dokter Pamela sambil tersenyum ke arah Umaya. "Terima kasih, Dokter. Berkat doa dari Anda, kami semakin membaik,"balas Umaya sedikit canggung. Memang sih, raga mereka sehat, akan tetapi psikis semakin ngedrop ka
Tak lama kemudian, petugas tadi telah datang bersama Abimana ditemani petugas yang lain. Dokter yang sekarang berstatus tersangka tersebut tersenyum lebar ke arah kedua wanita. "Sesimpel ini, aku gak harus korbankan banyak orang. Aku hanya ingin ngobrol berdua dengan Dokter Alena beberapa menit saja,"ucap Abimana sambil tersenyum manis ke arah wanita yang dimaksud. "Silakan, Dokter ingin bicara apa dengan saya!"pinta Alena sehalus mungkin agar pria ini tidak berulah. "Aku ingin menikah dengan kamu. Bersiaplah! Aku sudah minta ke petugas untuk mengundang penghulu kemari," ungkap Abimana. Hal itu tentu saja membuat Alena dan Dokter Pamela kaget. "Maaf, Dokter. Gak bisa, dong, nikah tanpa kesepakatan dari Alena dan saya,"sahut Dokter Pamela jadi tersulut emosi. Alena segera mengatasi masalah. Ia mendekat ke arah mommynya lalu berbisik,"Mom, tenang! Biar Alena atasi." Sementara petugas telah bersiap menjaga segala kemungkinan. Dua orang berambut cepak tersebut masing-masing berdiri