Sapaan lembut seperti itu sudah Gavin dengar ratusan kali tiap kali menjemput dan mengantarkan Abrina. Namun, tetap saja ada desir bahagia tiap kali Gavin mendengarnya. Pemuda itu merasa sudah mengantongi lampu hijau dari Miranti."Tante lagi sibuk gak sore ini?" tanya Gavin usai menyalami Miranti."Biasalah Tante lagi prepare buatin kue-kue pesanan. Kenapa memangnya, Gavin?" Miranti balik tanya dengan lembut."Hari ini aku lagi ulang tahun, Tante. Makanya aku mau traktir Tante makan di luar.""Oh ya? Wah selamat, ya," ucap Miranti langsung mengulurkan tangan, "karena kamu yang ulang tahun maka tante yang akan traktir kamu."Abrina sendiri terbengong mendengar penuturan Gavin. Karena dia tahu ulang tahun pemuda itu masih enam bulan lagi."Engak lah, Tante. Aku aja yang nraktir Tante, yuk!" ajak Gavin sambil menarik tangan Miranti."Tapi Tante belum ganti baju, Vin.""Gak papa, Tante tetap keliatan cantik kok meski pake baju rumah.""Vin, kamu sebenarnya lagi kenapa sih? Kok tiba-tiba
"Ranti?" sapa Haris dengan mengulas senyum kaku, "apa kabar?" tanyanya mencoba mengulurkan tangan."Aku baik." Ranti ikut menipiskan bibir. Namun, ia tidak membalas jabatan tangan Haris.Merasa diacuhkan Haris menarik uluran tangannya. "Datang ke sini dengan siapa?" Dia berbahasa basi untuk menutupi rasa malunya."Abrina, siapa lagi?" balas Miranti kalem."Oh iya." Haris tersenyum simpul. Jujur, bisa berbicara lagi dengan Miranti membuat hatinya bungah."Lagi sibuk apa sekarang?" tanya Haris lagi."Jualan kue," jawab Miranti jujur, "kamu sendiri kenapa keliatan sendiri? Mana Lusi?" tanyanya kemudian."Eum ...."Haris bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin pula dia berkata jujur jika istrinya sedang kabur bersama pria lain."Lusi gak ikut, Al lagi agak anget." Akhirnya Haris bisa membuat jawaban palsu."Oh." Miranti menyahut datar, "ya sudah ya Mas saya nemuin Bina dulu," pamitnya kemudian.Sebenarnya itu cuma alasan agar dirinya tidak perlu lama-lama berbincang dengan Haris. Meski
"Apaaah?" Jantung Haris seolah lompat dari tempatnya, "kok bisa Al jatuh dari tangga, Bi?" cecarnya kalut."Aduhh gimana ya? Mending Bapak ke sini saja dulu biar tahu kondisi Dek Al," saran Bi Sarti kemudian."Memang kalian ada di mana?""Suster Eva langsung bawa Dek Al ke Rumah Sakit Ibunda.""Ya sudah saya akan segera menyusul," janji Haris kemudian.Sebenarnya dia ingin langsung pergi. Namun, demi manner Haris terpaksa menemui Gibran sang pemilik acara."Mas Gibran, mohon maaf saya harus permisi pulang dulu karena ada sesuatu hal," pamitnya segera."Oh iya, Pak Haris." Gibran pun mengizinkan dengan anggukan yang sopan."Iya saya habis dapat telepon dari rumah kalau anak saya habis jatuh dari tangga," tutur Haris tanpa ditanya.Pria itu sengaja melirik Miranti demi ingin melihat reaksi perempuan tersebut. Namun baik Miranti ataupun Abrina kompak diam. Mimik Ibu dan anak itu sama-sama datar tanpa reaksi."Kok bisa jatuh dari tangga, Pak Haris?" Justru Gibran yang terkaget mendengar k
Ketika akan membuka pintu mobil, Pak Nono melihat Miranti. Wanita itu baru saja turun dari taksi. Senyum tersungging di bibir Pak Nono. Dia tahu watak mantan majikannya itu lebih lembut daripada Abrina. Menurutnya lebih ada harapan jika menemui perempuan itu. Karena itulah Pak Nono bergegas mendekati Miranti yang sedang menurunkan belajaan dari bagasi mobil bersama sopirnya. "Selamat sore, Bu Ranti," sapa Pak Nono begitu mendekat. Miranti yang sedang sibuk langsung menoleh. "Eh Pak Nono, kapan datang?" balasnya seperti biasa lembut. "Belum lama kok, Bu.""Sengaja atau kebetulan lewat?" "Sengaja, Bu.""Oh iya? Ada kepentingan kah?"Pak Nono mengangguk. Miranti sendiri lekas membayar ongkos taksi. Ketika dia akan membawa plastik-plastik belanjanya, Pak Nono mencegah. "Biar saya yang bawakan, Bu," tawar pria itu tulus. Miranti mengizinkan karena memang dirinya kerepotan. Wanita itu melangkah mendahului dengan membawa satu kantong belanja saja. Sementara Pak Nono mengikuti sambil
Dia mempercayai cerita Pak Nono. Walaupun pernah membuatnya sakit, tapi Haris adalah cinta pertama dalam hidupnya Miranti. Bahkan meski sudah tiga tahun menjanda nama pria itu masih bertahta di hati terdalamnya. "Mamah ingin menjenguk papah?" tebak abina melihat mimik ibunya yang tampak dilema. Miranti langsung mendongak untuk menatap sang putri. "Mamah memang tidak ada kewajiban untuk menjenguk Mas Haris, tapi kamu sebagai anaknya harus menjenguk dia. Dan mama mau menemani kamu.""Gak bisa Mah, hari ini aku sibuk." Abrina menggeleng langsung. "Sibuk apa?" tukas Miranti langsung, "kamu bilang rekaman kamu sudah selesai kan?"Abrina diam tak membalas. "Ingat kamu boleh kesal dengan papah kamu, tapi tidak untuk membenci. Karena tanpa dia kamu nggak akan pernah lahir ke dunia ini," tegas Miranti dengan serius. "Tapi Papa pernah menyakiti Mamah, ingat itu," timpal Abrina mengingatkan. "Itu biar menjadi urusan mamah, kewajiban kamu adalah berbakti kepada orang tua, dan papah adalah
Gavin menatap kepergian mobilnya Gibran sampai tidak terlihat lagi. Dia menghela napasnya. Tekadnya bulat untuk menemui sang ayah."Vin!"Gavin yang sedang mengenakan helm menoleh. Eza dengan kedua temannya mendekat."Kita tanding futsal hari ini," ujar Eza mengingatkan."Sorry, Za, hari ini gue gak bisa ikut tanding," ucap Gavin serius."Ck!" Eza berdecak, "kalo lu gak ikutan bisa kalah kitanya.""Kan lu bisa ngajak si Leon," sahut Gavin sambil menaiki motornya."Apah? Gue nggak salah denger?" sindir Eza dengan menaruh tangannya di telinga, "bukannya lu yang nyuruh kita buat ngejauhin anak itu?"Gavin terdiam karena apa yang dikatakan Eza adalah benar. Setelah pengakuan Leon saat mabuk, Gavin langsung memecat anak itu dari gengnya. Bahkan Gavin menyebarkan rekaman pengakuan Leon ke teman-teman kelasnya.Hal itu ia lakukan untuk memberi sanksi sosial pada pemuda itu. Terbukti teman-teman sekelasnya jadi antipati pada Leon. Mereka tidak mau bergaul dengan anak itu karena takut dijahati
"Papah ada, Ga?" ulang Gavin saat melihat adiknya masih melongo."Iya-iya." Ganika mengangguk cepat.Gadis kecil itu masih tidak percaya melihat kedatangan kakak keduanya itu. Karena memang bisa dihitung kapan Gavin menginjakkan kaki di rumah itu. Hanya jika sedang lebaran saja."Papaaah!" Ganika langsung berlari ke dalam dan berteriak memanggil sang ayah.Gavin sendiri mengikuti langkah Ganika. Saat matanya mendongak tampak Gandi sedang melongok dari pembatas lantai. Sama seperti sang putri, pria itu juga cukup terkesima melihat Gavin berdiri di rumahnya. Laki-laki yang sudah santai dengan baju rumahnya itu lekas menuruni anak tangga."Hei ... Gavin! Papah gak salah lihat nih?" ledek Gandi dengan bahagia. Pria mendekap pelan anak keduanya itu."Memang ada yang salah kalo aku main ke sini?" balas Gavin datar dan buru-buru melepas rangkulan ayahnya."Oh enggak dong." Gandi langsung menepuk pundak anaknya agar tidak mengambek, "tumben aja kamu main ke sini.""Emangnya gak boleh?""Boleh
Keesokan harinya Gandi menunaikan janji. Pria itu menjemput Gavin di sekolah. Eza cs cukup kaget melihat Gavin pulang bersama sang ayah. Karena itu merupakan hal yang langka. Selama dalam perjalanan, tidak banyak pembicaraan antara ayah dan anak itu. Gandi hanya menanyakan hal umum saja. Gavin pun enggan mengobrol juga.Namun, pemuda itu langsung tercekat saat tiba di showroom. "Kok ke showroom Mini Cooper sih?" protesnya tidak suka. "Vin." Gandi menepuk pelan bahu Gavin, "Papah sanggup belikan kamu Rubicon, tapi Papah gak sanggup bayar pajaknya. Ingat pajaknya nyampe tiga puluh juta lebih, Vin. Kamu sanggup bayarnya?" Gavin diam dengan ekspresi kesal. "Udah pake dulu Mini Cooper, papah yakin Abrina pasti akan terkesan naik mobil lucu ini. Apalagi kalo kamu pilih warna mobil kesukaan dia," bujuk Gandi meyakinkan. Gavin menatap ayahnya dengan mata memincing. "Dari mana Papah tahu aku beli mobil tujuan emang buat Abrina?" batinnya heran. "Udah ... ayolah turun!" ajak Gandi sambil
Di lain pihak, jenazah Arman dikebumikan. Livia yang mengurusi administrasinya. Itu semua atas permintaan Lusi. Pada saat pemakaman Lusi diizinkan oleh petugas untuk menghadiri. Dengan menaiki kursi roda perempuan itu menangis di depan makam Arman yang merah. Pada acara pemakaman tersebut Abrina turut hadir bersama Gibran. Meski Arman adalah seorang penjahat, tapi pria itu pernah berjasa saat mengobati Miranti dengan fisioterapinya. Hanya saja Miranti tidak hadir dalam acara tersebut. Meski keadaan perempuan itu dan Gavin sudah membaik, tapi Abrina melarangnya untuk menghadiri acara tersebut. Menurut Abrina, sang ibu lebih cocok untuk menjaga ayahnya saja. Sedangkan Gavin juga masih lemah. Pemuda itu memilih beristirahat di rumah. "Abrina!" Abrina dan Gibran yang akan pergi meninggalkan makam Arman menghentikan langkah saat namanya dipanggil. Dia menoleh ke belakang. Tampak Lusi menatapnya dengan sayu. Dirinya pun bergerak mendekati perempuan yang dulu sangat ia benci itu. "Ada
"Dia siapa, Mbak?" cecar Abrina penasaran. Tentunya dia tidak berharap jika orang yang dimaksud Livia adalah sang ayah. "Bukan papah aku kan yang gak selamat?" kejarnya penasaran. Livia hanya menarik napas dalam-dalam. "Jawab dong, Mbak Livia!" suruh Abrina merasa gregetan. "Vi, kalau cerita tolong jangan setengah-setengah dong," timpal Gibran ikutan gemas. Livia menatap Gibran dengan sendu. "Bukan Mas Haris yang gak selamat," tuturnya pelan. Tangannya mengusap matanya yang tampak mulai basah. "Maksud kamu orang itu Arman?" tebak Gibran langsung. Livia mengangguk pelan. "Syukur lah." Abrina menghela napas dengan lega. "Jadi Arman meninggal?" tanya Gibran meyakinkan. Lagi, Livia hanya mengangguk. "Kenapa kamu keliatan sedih begitu?" tanya Gibran merasa aneh, "dia orang jahat lho, Vi," tambahnya mengingatkan. "Arman gak punya keluarga, Bran," jawab Livia pelan. Di luar jam kerja dia memang selalu memanggil Gibran tanpa embel-embel Bapak. "Siapa yang akan mengurusi jenazahnya?
"Masih ada meski sudah lemah," ujar petugas tersebut pada Geri. Di tempatnya Gavin menghembuskan napas panjang. Pemuda itu benar-benar merasa lega telah lolos dari maut. Kini tiba-tiba dia merasa rasa lelah yang teramat. Maklum saja Gavin harus menghadapi Arman yang juga pintar ilmu bela diri. Pemuda itu merebahkan badannya di lantai berdebu tersebut. Dia ingin istirahat. Namun, terdengar bunyi sirine. Tidak lama datang beberapa orang berpakaian serba putih. Mereka membawa dua buah brankar. Orang yang pertama diangkat ke dalam brankar adalah Haris. "Aku ikut."Miranti bersikeras menemani mantan suaminya di dalam ambulans. Karena terus memaksa, petugas medis pun mengizinkan. Petugas yang lain mengangkat tubuh Arman juga. Pria itu dimasukkan ke dalam mobil ambulans yang kedua. Dan yang menjaga dia adalah petugas polisi. "Gavin, kamu ikut saya," ajak Geri melihat Gavin yang masih terbengong."Terus mobil aku bagaimana?" tanya Gavin lemah. Sungguh dia benar-benar lelah. "Tenang saj
DORRR! Miranti dan Gavin yang sedang berlari sontak berhenti. Keduanya langsung berpaling ke belakang. Tampak Haris tengah meringis sembari memegang dada atas sebelah kirinya. "Mas Haris!" pekik Miranti cukup histeris melihat baju mantan suaminya yang sudah bersimbah darah. Wanita itu bergegas berlari. Dia menyongsong tubuh Haris yang akan roboh. Sehingga badan Haris justru jatuh ke dalam pelukan Miranti. "Mas Haris, bertahanlah," pinta Miranti begitu membaringkan tubuh Haris di tanah. "Kamu harus kuat, Mas," lanjutnya dengan berurai air mata. Di lain pihak Arman terpaku melihat hasil perbuatannya. Meski dia orang jahat, tapi baru kali ini dirinya menyakiti orang. Dan sejujurnya Arman berubah jadi orang jahat setelah dijebloskan Lusi ke penjara. Kebengongan Arman tidak disia-siakan oleh Gavin. Diam-diam pemuda itu bergerak mendekat. Tanpa banyak bicara dia segera menendang Arman dari belakang. Mendapat serangan mendadak Arman tentunya terkejut. Apalagi Gavin menendangnya dengan
"Mas Haris yakin akan menyerahkan semuanya pada Arman?" tanya Livia dengan wajah tidak percaya."Semua ini tidak ada artinya kalo Miranti kenapa-napa," sahut Haris datar. Di tempatnya Abrina dibuat bingung dengan jawaban sang ayah."Tapi kami susah payah membawanya dari Jogja, Mas. Belum lagi anak buah Mas Geri juga berjuang banget buat gak ngambil pundi-pundi Arman yang ada di motel.""Livia, semua uang dan emas ini adalah milik saya. Jadi saya bebas akan melakukan apa saja, yang penting Miranti selamat," tegas Haris serius."Sebenarnya apa yang terjadi dengan Mamah, Pah?" tanya Abrina sudah sangat penasaran.Haris menatap putrinya dengan sendu. "Mamah kamu diculik oleh Arman.""Apahhh?" Abrina tersentak seketika."Tapi kamu gak perlu khawatir, papah akan segera menolong mamah kamu," janji Haris dari hatinya.Ketika akan melanjutkan pembicaraan, ponsel Haris berbunyi. Semua orang tampak tegang terutama Haris. Hal tersebut membuat Abrina bingung.Namun, kebingungannya segera terjawab
"Seminggu yang lalu, Gibran request suruh aku buatin baju buat kamu," ujar Tante Mona sambil melangkah menuju koleksi baju-bajunya. "Karena designnya simple dan yang ngerjain karyawan spesial makanya udah jadi dua," tuturnya seraya menunjuk dua dress yang tengah dipakai oleh manekin.Abrina sendiri cukup terkesima melihatnya. Dua buah dress yang sama-sama lucu dan manis. Satu berwarna salem dengan model one shoulder. Satunya lagi midi dress berwarna hitam ala korea yang sangat manis."Ya ampun cantik banget," puji Abrina pada minidress tersebut.Dia tidak menyangka jika bajunya sudah jadi. Gadis itu bepikir jika nanti akan dibuat bingung saat harus memilih aneka dress. Kendati begitu Abrina benar-benar bersyukur karena tidak perlu pusing memilih. Sehingga kekhawatiran Gavin tidak pernah akan terjadi."Udah sana kamu coba di fitting room," suruh Tante Mona lembut.Abrina mengangguk manut. Dia yang memang sudah jatuh cinta pada minidress hitam tersebut segera mencobanya. Senyumnya begit
Bell pulang berbunyi. Anak-anak berseru gembira termasuk Abrina. Gadis itu segera berkemas dengan memasukkan alat tulisnya ke dalam tas."Gimana, Nggi, jadi ikut aku temani nyari baju gak?" tanya Abrina begitu memakai tas punggungnya."Aduh sorry, Bi," tolak Anggi langsung menggelengkan kepala. "Aku baru inget kalo ternyata hari ini aku ada jadwal kasih les privat," terangnya seraya melihat jam tangannya, "jadi maaf banget ya aku nggak bisa nemenin kamu," ucapnya serius."Ya udah gak papa," jawab Abrina dengan santai, "aku jalan dulu ya," pamitnya disertai senyuman.Anggini mengangguk. Matanya menatap kepergian sang sahabat. Tampak Gavin buru-buru mengikuti langkah Abrina.Anggini menghela nafas. Gadis itu sudah berdamai dengan hati. Tidak ada kecemburuan melihat kedekatan Gavin dan Abrina. Dirinya juga sadar diri kalau memang Gavin dari dulu tidak pernah menaruh hati padanya.Meski masih susah, tapi Anggini mulai belajar untuk mendukung Gavin mendapatkan hati Abrina. Setelah cukup la
Pria itu kembali memutar otaknya. Merasa buntu dia mengeluarkan rokok dari tas pinggangnya. Sudah habis satu batang Arman belum juga menemukan cara untuk menghabisi Haris."Kayaknya terlalu sulit kalo aku mendekati Haris. Pastinya dia kelilingi anak buahnya atau polisi," ujar Arman membuat analisa.Arman mengelus jenggot palsunya. "Kalo aku gak bisa langsung menghabisi Haris, maka aku akan mengalihkannya pada orang-orang yang dia cintai."Arman mengangguk yakin. "Kalau aku culik putra kesayangannya, sepertinya susah karena pasti dia menyewa bodyguard untuk menjaganya.""Berarti pilihan lainnya adalah putri pertamanya," ujar Arman sembari mengingat wajahnya Abrina, "tapi Lusi bilang kalo gadis itu digilai anak-anaknya Pak Gandi. Terutama yang nomor kedua karena satu kelas."Arman menatap jam tangannya. "Jam segini juga kayaknya dia masih di sekolah."Arman membuang putung rokoknya. Lalu menginjaknya dengan kuat-kuat."Berarti pilihanku jatuh ke Mbak Ranti lagi," putusnya kemudian.Tanp
"Saudara Arman, Anda sudah menjadi DPO selama enam bulan. Jadi sekarang waktunya untuk menyerahkan diri," tutur seorang petugas yang tampak lebih senior dari yang satunya.Tidak hanya Arman yang terkaget dengan keberadaan petugas, kedua kawannya pun mengalami hal yang serupa. Terutama pria yang barusan membeli mobilnya. Karena dia sama sekali tidak tahu jika Arman adalah seorang buronan."Ayo sekarang angkat tangan, Saudara. Dan mendekatlah!" perintah si petugas.Arman memang bergeming. Namun, otak dan tangannya tidak tinggal diam. Pria itu merogoh pistol yang terselip di celananya.Tanpa berpikir panjang menembakkan pelurunya ke arah tangan salah satu petugas. Meski bukan penembak mahir, tapi hasil tembakannya berhasil mengenai tangan petugas. Alhasil senapan di tangan petugas tersebut terjatuh.Arman bergerak cepat. Dia kembali menembakkan pelurunya ke arah lawan. Untung kali ini tembakannya meleset.Petugas dan anak buah Geri secepatnya mencari tempat berlindung. Agar terhindar dar