Ketika akan membuka pintu mobil, Pak Nono melihat Miranti. Wanita itu baru saja turun dari taksi. Senyum tersungging di bibir Pak Nono. Dia tahu watak mantan majikannya itu lebih lembut daripada Abrina. Menurutnya lebih ada harapan jika menemui perempuan itu. Karena itulah Pak Nono bergegas mendekati Miranti yang sedang menurunkan belajaan dari bagasi mobil bersama sopirnya. "Selamat sore, Bu Ranti," sapa Pak Nono begitu mendekat. Miranti yang sedang sibuk langsung menoleh. "Eh Pak Nono, kapan datang?" balasnya seperti biasa lembut. "Belum lama kok, Bu.""Sengaja atau kebetulan lewat?" "Sengaja, Bu.""Oh iya? Ada kepentingan kah?"Pak Nono mengangguk. Miranti sendiri lekas membayar ongkos taksi. Ketika dia akan membawa plastik-plastik belanjanya, Pak Nono mencegah. "Biar saya yang bawakan, Bu," tawar pria itu tulus. Miranti mengizinkan karena memang dirinya kerepotan. Wanita itu melangkah mendahului dengan membawa satu kantong belanja saja. Sementara Pak Nono mengikuti sambil
Dia mempercayai cerita Pak Nono. Walaupun pernah membuatnya sakit, tapi Haris adalah cinta pertama dalam hidupnya Miranti. Bahkan meski sudah tiga tahun menjanda nama pria itu masih bertahta di hati terdalamnya. "Mamah ingin menjenguk papah?" tebak abina melihat mimik ibunya yang tampak dilema. Miranti langsung mendongak untuk menatap sang putri. "Mamah memang tidak ada kewajiban untuk menjenguk Mas Haris, tapi kamu sebagai anaknya harus menjenguk dia. Dan mama mau menemani kamu.""Gak bisa Mah, hari ini aku sibuk." Abrina menggeleng langsung. "Sibuk apa?" tukas Miranti langsung, "kamu bilang rekaman kamu sudah selesai kan?"Abrina diam tak membalas. "Ingat kamu boleh kesal dengan papah kamu, tapi tidak untuk membenci. Karena tanpa dia kamu nggak akan pernah lahir ke dunia ini," tegas Miranti dengan serius. "Tapi Papa pernah menyakiti Mamah, ingat itu," timpal Abrina mengingatkan. "Itu biar menjadi urusan mamah, kewajiban kamu adalah berbakti kepada orang tua, dan papah adalah
Gavin menatap kepergian mobilnya Gibran sampai tidak terlihat lagi. Dia menghela napasnya. Tekadnya bulat untuk menemui sang ayah."Vin!"Gavin yang sedang mengenakan helm menoleh. Eza dengan kedua temannya mendekat."Kita tanding futsal hari ini," ujar Eza mengingatkan."Sorry, Za, hari ini gue gak bisa ikut tanding," ucap Gavin serius."Ck!" Eza berdecak, "kalo lu gak ikutan bisa kalah kitanya.""Kan lu bisa ngajak si Leon," sahut Gavin sambil menaiki motornya."Apah? Gue nggak salah denger?" sindir Eza dengan menaruh tangannya di telinga, "bukannya lu yang nyuruh kita buat ngejauhin anak itu?"Gavin terdiam karena apa yang dikatakan Eza adalah benar. Setelah pengakuan Leon saat mabuk, Gavin langsung memecat anak itu dari gengnya. Bahkan Gavin menyebarkan rekaman pengakuan Leon ke teman-teman kelasnya.Hal itu ia lakukan untuk memberi sanksi sosial pada pemuda itu. Terbukti teman-teman sekelasnya jadi antipati pada Leon. Mereka tidak mau bergaul dengan anak itu karena takut dijahati
"Papah ada, Ga?" ulang Gavin saat melihat adiknya masih melongo."Iya-iya." Ganika mengangguk cepat.Gadis kecil itu masih tidak percaya melihat kedatangan kakak keduanya itu. Karena memang bisa dihitung kapan Gavin menginjakkan kaki di rumah itu. Hanya jika sedang lebaran saja."Papaaah!" Ganika langsung berlari ke dalam dan berteriak memanggil sang ayah.Gavin sendiri mengikuti langkah Ganika. Saat matanya mendongak tampak Gandi sedang melongok dari pembatas lantai. Sama seperti sang putri, pria itu juga cukup terkesima melihat Gavin berdiri di rumahnya. Laki-laki yang sudah santai dengan baju rumahnya itu lekas menuruni anak tangga."Hei ... Gavin! Papah gak salah lihat nih?" ledek Gandi dengan bahagia. Pria mendekap pelan anak keduanya itu."Memang ada yang salah kalo aku main ke sini?" balas Gavin datar dan buru-buru melepas rangkulan ayahnya."Oh enggak dong." Gandi langsung menepuk pundak anaknya agar tidak mengambek, "tumben aja kamu main ke sini.""Emangnya gak boleh?""Boleh
Keesokan harinya Gandi menunaikan janji. Pria itu menjemput Gavin di sekolah. Eza cs cukup kaget melihat Gavin pulang bersama sang ayah. Karena itu merupakan hal yang langka. Selama dalam perjalanan, tidak banyak pembicaraan antara ayah dan anak itu. Gandi hanya menanyakan hal umum saja. Gavin pun enggan mengobrol juga.Namun, pemuda itu langsung tercekat saat tiba di showroom. "Kok ke showroom Mini Cooper sih?" protesnya tidak suka. "Vin." Gandi menepuk pelan bahu Gavin, "Papah sanggup belikan kamu Rubicon, tapi Papah gak sanggup bayar pajaknya. Ingat pajaknya nyampe tiga puluh juta lebih, Vin. Kamu sanggup bayarnya?" Gavin diam dengan ekspresi kesal. "Udah pake dulu Mini Cooper, papah yakin Abrina pasti akan terkesan naik mobil lucu ini. Apalagi kalo kamu pilih warna mobil kesukaan dia," bujuk Gandi meyakinkan. Gavin menatap ayahnya dengan mata memincing. "Dari mana Papah tahu aku beli mobil tujuan emang buat Abrina?" batinnya heran. "Udah ... ayolah turun!" ajak Gandi sambil
Keesokan harinya Gandi menunaikan janji. Pria itu menjemput Gavin di sekolah. Eza cs cukup kaget melihat Gavin pulang bersama sang ayah. Karena itu merupakan hal yang langka.Selama dalam perjalanan, tidak banyak pembicaraan antara ayah dan anak itu. Gandi hanya menanyakan hal umum saja. Gavin pun enggan mengobrol juga.Namun, pemuda itu langsung tercekat saat tiba di showroom."Kok ke showroom Mini Cooper sih?" protesnya tidak suka.54"Vin." Gandi menepuk pelan bahu Gavin, "Papah sanggup belikan kamu Rubicon, tapi Papah gak sanggup bayar pajaknya. Ingat pajaknya nyampe tiga puluh juta lebih, Vin. Kamu sanggup bayarnya?"Gavin diam dengan ekspresi kesal."Udah pake dulu Mini Cooper, papah yakin Abrina pasti akan terkesan naik mobil lucu ini. Apalagi kalo kamu pilih warna mobil kesukaan dia," bujuk Gandi meyakinkan.Gavin menatap ayahnya dengan mata memincing. "Dari mana Papah tahu aku beli mobil tujuan emang buat Abrina?" batinnya heran."Udah ... ayolah turun!" ajak Gandi sambil men
Gavin menatap topi baseball berwarna hitam dengan logo NY tersebut. Tidak ada yang istimewa. Pemuda itu memutarnya lalu melihat bagian dalam. Gavin berharap ada kode atau apa sebagai tanda kepemilikan. Sayang bagian dalam topi juga polos. "Maaf, Kak, itu topinya Mas Dandi ya?" Gavin menoleh. Seorang gadis pelayan kafe mendekatinya. Perempuan sepantaran dengannya itu melemparkan senyuman yang manis untuknya. "Mas Dandi? Gak tau saya nama orang yang punya topi ini. Tapi orangnya emang baru ke luar dari kafe ini sih," jawab Gavin sambil memainkan topi tersebut. "Orangnya yang tadi pakai kaos putih kan? Yang tabrakan dengan Kakak," tebak gadis pelayan itu dengan hangat. "Nah iya bener.""Iya, dia namanya Mas Dandi. Pacar saya," jelas gadis itu dengan polosnya. Pipinya yang bersemu menjadi pertanda kalau dia sedang tersipu malu. Gavin sedikit melongo. Jujur dia cukup terkejut mendengar pengakuan gadis itu. Karena menurutnya beda umur si gadis dengan pria yang ia tabrak tadi cukup jau
Gadis itu bergegas menuju kamarnya. Tadinya Jodi menempatkan dia satu kamar dengan kru cewek dan make up artis. Namun, Gavin menyewakan satu kamar dengan uang pribadinya sendiri. Hal tersebut Gavin lakukan agar lebih leluasa berinteraksi dengan Abrina. Tidak tanggung-tanggung pemuda itu memilih kamar dengan conneting room. Sehingga Gavin bisa leluasa memasuki kamarnya Abrina. Syuting video klip Abrina memang dilakukan sebanyak dua kali. Sore itu dan besok pagi sebelum matahari terbit. Sutradaranya ingin mengambil angle sunrise. Karena itulah mereka terpaksa menginap di hotel. Selepas Maghrib Gavin mengajak Abrina ke Coast Kafe. Begitu juga dengan para kru yang lain. Mereka memesan seafood sebagai menu makan malam. Gavin sendiri tidak mau satu meja dengan model klipnya Abrina yang bernama Jose itu. Sehingga dia mengajak sang gadis duduk di meja lain. Lagi-lagi Gavin memanggil Devi saat memesan makanan. Gavin memesan menu makanan yang sama dengan Jodi dan kawan-kawan. Dia dan Abrin