Gavin menatap kepergian mobilnya Gibran sampai tidak terlihat lagi. Dia menghela napasnya. Tekadnya bulat untuk menemui sang ayah."Vin!"Gavin yang sedang mengenakan helm menoleh. Eza dengan kedua temannya mendekat."Kita tanding futsal hari ini," ujar Eza mengingatkan."Sorry, Za, hari ini gue gak bisa ikut tanding," ucap Gavin serius."Ck!" Eza berdecak, "kalo lu gak ikutan bisa kalah kitanya.""Kan lu bisa ngajak si Leon," sahut Gavin sambil menaiki motornya."Apah? Gue nggak salah denger?" sindir Eza dengan menaruh tangannya di telinga, "bukannya lu yang nyuruh kita buat ngejauhin anak itu?"Gavin terdiam karena apa yang dikatakan Eza adalah benar. Setelah pengakuan Leon saat mabuk, Gavin langsung memecat anak itu dari gengnya. Bahkan Gavin menyebarkan rekaman pengakuan Leon ke teman-teman kelasnya.Hal itu ia lakukan untuk memberi sanksi sosial pada pemuda itu. Terbukti teman-teman sekelasnya jadi antipati pada Leon. Mereka tidak mau bergaul dengan anak itu karena takut dijahati
"Papah ada, Ga?" ulang Gavin saat melihat adiknya masih melongo."Iya-iya." Ganika mengangguk cepat.Gadis kecil itu masih tidak percaya melihat kedatangan kakak keduanya itu. Karena memang bisa dihitung kapan Gavin menginjakkan kaki di rumah itu. Hanya jika sedang lebaran saja."Papaaah!" Ganika langsung berlari ke dalam dan berteriak memanggil sang ayah.Gavin sendiri mengikuti langkah Ganika. Saat matanya mendongak tampak Gandi sedang melongok dari pembatas lantai. Sama seperti sang putri, pria itu juga cukup terkesima melihat Gavin berdiri di rumahnya. Laki-laki yang sudah santai dengan baju rumahnya itu lekas menuruni anak tangga."Hei ... Gavin! Papah gak salah lihat nih?" ledek Gandi dengan bahagia. Pria mendekap pelan anak keduanya itu."Memang ada yang salah kalo aku main ke sini?" balas Gavin datar dan buru-buru melepas rangkulan ayahnya."Oh enggak dong." Gandi langsung menepuk pundak anaknya agar tidak mengambek, "tumben aja kamu main ke sini.""Emangnya gak boleh?""Boleh
Keesokan harinya Gandi menunaikan janji. Pria itu menjemput Gavin di sekolah. Eza cs cukup kaget melihat Gavin pulang bersama sang ayah. Karena itu merupakan hal yang langka. Selama dalam perjalanan, tidak banyak pembicaraan antara ayah dan anak itu. Gandi hanya menanyakan hal umum saja. Gavin pun enggan mengobrol juga.Namun, pemuda itu langsung tercekat saat tiba di showroom. "Kok ke showroom Mini Cooper sih?" protesnya tidak suka. "Vin." Gandi menepuk pelan bahu Gavin, "Papah sanggup belikan kamu Rubicon, tapi Papah gak sanggup bayar pajaknya. Ingat pajaknya nyampe tiga puluh juta lebih, Vin. Kamu sanggup bayarnya?" Gavin diam dengan ekspresi kesal. "Udah pake dulu Mini Cooper, papah yakin Abrina pasti akan terkesan naik mobil lucu ini. Apalagi kalo kamu pilih warna mobil kesukaan dia," bujuk Gandi meyakinkan. Gavin menatap ayahnya dengan mata memincing. "Dari mana Papah tahu aku beli mobil tujuan emang buat Abrina?" batinnya heran. "Udah ... ayolah turun!" ajak Gandi sambil
Keesokan harinya Gandi menunaikan janji. Pria itu menjemput Gavin di sekolah. Eza cs cukup kaget melihat Gavin pulang bersama sang ayah. Karena itu merupakan hal yang langka.Selama dalam perjalanan, tidak banyak pembicaraan antara ayah dan anak itu. Gandi hanya menanyakan hal umum saja. Gavin pun enggan mengobrol juga.Namun, pemuda itu langsung tercekat saat tiba di showroom."Kok ke showroom Mini Cooper sih?" protesnya tidak suka.54"Vin." Gandi menepuk pelan bahu Gavin, "Papah sanggup belikan kamu Rubicon, tapi Papah gak sanggup bayar pajaknya. Ingat pajaknya nyampe tiga puluh juta lebih, Vin. Kamu sanggup bayarnya?"Gavin diam dengan ekspresi kesal."Udah pake dulu Mini Cooper, papah yakin Abrina pasti akan terkesan naik mobil lucu ini. Apalagi kalo kamu pilih warna mobil kesukaan dia," bujuk Gandi meyakinkan.Gavin menatap ayahnya dengan mata memincing. "Dari mana Papah tahu aku beli mobil tujuan emang buat Abrina?" batinnya heran."Udah ... ayolah turun!" ajak Gandi sambil men
Gavin menatap topi baseball berwarna hitam dengan logo NY tersebut. Tidak ada yang istimewa. Pemuda itu memutarnya lalu melihat bagian dalam. Gavin berharap ada kode atau apa sebagai tanda kepemilikan. Sayang bagian dalam topi juga polos. "Maaf, Kak, itu topinya Mas Dandi ya?" Gavin menoleh. Seorang gadis pelayan kafe mendekatinya. Perempuan sepantaran dengannya itu melemparkan senyuman yang manis untuknya. "Mas Dandi? Gak tau saya nama orang yang punya topi ini. Tapi orangnya emang baru ke luar dari kafe ini sih," jawab Gavin sambil memainkan topi tersebut. "Orangnya yang tadi pakai kaos putih kan? Yang tabrakan dengan Kakak," tebak gadis pelayan itu dengan hangat. "Nah iya bener.""Iya, dia namanya Mas Dandi. Pacar saya," jelas gadis itu dengan polosnya. Pipinya yang bersemu menjadi pertanda kalau dia sedang tersipu malu. Gavin sedikit melongo. Jujur dia cukup terkejut mendengar pengakuan gadis itu. Karena menurutnya beda umur si gadis dengan pria yang ia tabrak tadi cukup jau
Gadis itu bergegas menuju kamarnya. Tadinya Jodi menempatkan dia satu kamar dengan kru cewek dan make up artis. Namun, Gavin menyewakan satu kamar dengan uang pribadinya sendiri. Hal tersebut Gavin lakukan agar lebih leluasa berinteraksi dengan Abrina. Tidak tanggung-tanggung pemuda itu memilih kamar dengan conneting room. Sehingga Gavin bisa leluasa memasuki kamarnya Abrina. Syuting video klip Abrina memang dilakukan sebanyak dua kali. Sore itu dan besok pagi sebelum matahari terbit. Sutradaranya ingin mengambil angle sunrise. Karena itulah mereka terpaksa menginap di hotel. Selepas Maghrib Gavin mengajak Abrina ke Coast Kafe. Begitu juga dengan para kru yang lain. Mereka memesan seafood sebagai menu makan malam. Gavin sendiri tidak mau satu meja dengan model klipnya Abrina yang bernama Jose itu. Sehingga dia mengajak sang gadis duduk di meja lain. Lagi-lagi Gavin memanggil Devi saat memesan makanan. Gavin memesan menu makanan yang sama dengan Jodi dan kawan-kawan. Dia dan Abrin
Waktu terus bergerak. Kian malam pengunjung kafe justru bertambah ramai. Kebanyakan dari mereka sengaja menikmati indahnya langit pantai sembari duduk-duduk manis dengan pasangan atau teman. Beberapa kali Gavin melihat beberapa sepasang muda-mudi yang tampak romantis. Ada yang saling bercanda satu sama lain, bergurau dan menggoda. Bahkan ada yang berani memamerkan kemesraan di kafe tersebut seperti saling menempel seperti perangko. Melihat pemandangan yang ada Gavin ingin merasakan juga. Sayangnya Abrina tidak bisa diajak kerja sama. Bahkan tidak peka. Beberapa kali Gavin berbuat manis padanya gadis itu sibuk sendiri dengan ponselnya. "Bisa gak sih naruh hape lu di meja dulu?" protes Gavin bete melihat Abrina fokus pada layar ponselnya. "Kenapa emang?" sahut Abrina tanpa rasa berdosa. Matanya masih fokus gadget. "Ck!" Gavin berdecak, "Bi, ini tuh malem minggu.""So what?" Mata Abrina membulat dengan lucunya. Ingin rasanya Gavin mencium manik indah tersebut. Sayangnya itu semua s
"Bang, lu ngapain ada di kamar gue?" protes Gavin dengan kekinya. Gibran lekas bangkit dari rebahannya. "Kenapa kamu nggak suka?" "Gak sukalah!" sahut Gavin langsung menyeru. "Ini kamar gue, privasi gue. Bisa-bisanya lu bisa masuk ke kamar gue?" semprotnya sambil menerjang sang kakak. Beruntung Gibran sigap menghindar sehingga Gavin justru jatuh sendiri ke ranjang. Pemuda itu pun buru-buru bangkit dari kasur. "Dengar ya, Vin, pokoknya setiap kamu mau melakukan hal yang aneh-aneh sama Bina, aku akan datang untuk menyelamatkan dia," tutur Gibran santai. "Hal aneh apaan sih?" Gavin tetap memprotes. "Maksud kamu pilih conneting room itu apa? Biar leluasa masuk ke kamarnya Bina?" tuding Gibran datar. "Pasti lu pikirannya jelek deh, Bang." Gavin balas menuding. "Ya, kalo kamu gak pilih kamar ini aku gak akan berpikiran jelek."Gavin mendengkus. "Bang, gue sengaja pilih connecting room tuh biar gampang dibangunin sama Bina. Lu tau sendiri kan gue paling susah bangun pagi.""Ada alarm