Keesokan harinya Gandi menunaikan janji. Pria itu menjemput Gavin di sekolah. Eza cs cukup kaget melihat Gavin pulang bersama sang ayah. Karena itu merupakan hal yang langka. Selama dalam perjalanan, tidak banyak pembicaraan antara ayah dan anak itu. Gandi hanya menanyakan hal umum saja. Gavin pun enggan mengobrol juga.Namun, pemuda itu langsung tercekat saat tiba di showroom. "Kok ke showroom Mini Cooper sih?" protesnya tidak suka. "Vin." Gandi menepuk pelan bahu Gavin, "Papah sanggup belikan kamu Rubicon, tapi Papah gak sanggup bayar pajaknya. Ingat pajaknya nyampe tiga puluh juta lebih, Vin. Kamu sanggup bayarnya?" Gavin diam dengan ekspresi kesal. "Udah pake dulu Mini Cooper, papah yakin Abrina pasti akan terkesan naik mobil lucu ini. Apalagi kalo kamu pilih warna mobil kesukaan dia," bujuk Gandi meyakinkan. Gavin menatap ayahnya dengan mata memincing. "Dari mana Papah tahu aku beli mobil tujuan emang buat Abrina?" batinnya heran. "Udah ... ayolah turun!" ajak Gandi sambil
Keesokan harinya Gandi menunaikan janji. Pria itu menjemput Gavin di sekolah. Eza cs cukup kaget melihat Gavin pulang bersama sang ayah. Karena itu merupakan hal yang langka.Selama dalam perjalanan, tidak banyak pembicaraan antara ayah dan anak itu. Gandi hanya menanyakan hal umum saja. Gavin pun enggan mengobrol juga.Namun, pemuda itu langsung tercekat saat tiba di showroom."Kok ke showroom Mini Cooper sih?" protesnya tidak suka.54"Vin." Gandi menepuk pelan bahu Gavin, "Papah sanggup belikan kamu Rubicon, tapi Papah gak sanggup bayar pajaknya. Ingat pajaknya nyampe tiga puluh juta lebih, Vin. Kamu sanggup bayarnya?"Gavin diam dengan ekspresi kesal."Udah pake dulu Mini Cooper, papah yakin Abrina pasti akan terkesan naik mobil lucu ini. Apalagi kalo kamu pilih warna mobil kesukaan dia," bujuk Gandi meyakinkan.Gavin menatap ayahnya dengan mata memincing. "Dari mana Papah tahu aku beli mobil tujuan emang buat Abrina?" batinnya heran."Udah ... ayolah turun!" ajak Gandi sambil men
Gavin menatap topi baseball berwarna hitam dengan logo NY tersebut. Tidak ada yang istimewa. Pemuda itu memutarnya lalu melihat bagian dalam. Gavin berharap ada kode atau apa sebagai tanda kepemilikan. Sayang bagian dalam topi juga polos. "Maaf, Kak, itu topinya Mas Dandi ya?" Gavin menoleh. Seorang gadis pelayan kafe mendekatinya. Perempuan sepantaran dengannya itu melemparkan senyuman yang manis untuknya. "Mas Dandi? Gak tau saya nama orang yang punya topi ini. Tapi orangnya emang baru ke luar dari kafe ini sih," jawab Gavin sambil memainkan topi tersebut. "Orangnya yang tadi pakai kaos putih kan? Yang tabrakan dengan Kakak," tebak gadis pelayan itu dengan hangat. "Nah iya bener.""Iya, dia namanya Mas Dandi. Pacar saya," jelas gadis itu dengan polosnya. Pipinya yang bersemu menjadi pertanda kalau dia sedang tersipu malu. Gavin sedikit melongo. Jujur dia cukup terkejut mendengar pengakuan gadis itu. Karena menurutnya beda umur si gadis dengan pria yang ia tabrak tadi cukup jau
Gadis itu bergegas menuju kamarnya. Tadinya Jodi menempatkan dia satu kamar dengan kru cewek dan make up artis. Namun, Gavin menyewakan satu kamar dengan uang pribadinya sendiri. Hal tersebut Gavin lakukan agar lebih leluasa berinteraksi dengan Abrina. Tidak tanggung-tanggung pemuda itu memilih kamar dengan conneting room. Sehingga Gavin bisa leluasa memasuki kamarnya Abrina. Syuting video klip Abrina memang dilakukan sebanyak dua kali. Sore itu dan besok pagi sebelum matahari terbit. Sutradaranya ingin mengambil angle sunrise. Karena itulah mereka terpaksa menginap di hotel. Selepas Maghrib Gavin mengajak Abrina ke Coast Kafe. Begitu juga dengan para kru yang lain. Mereka memesan seafood sebagai menu makan malam. Gavin sendiri tidak mau satu meja dengan model klipnya Abrina yang bernama Jose itu. Sehingga dia mengajak sang gadis duduk di meja lain. Lagi-lagi Gavin memanggil Devi saat memesan makanan. Gavin memesan menu makanan yang sama dengan Jodi dan kawan-kawan. Dia dan Abrin
Waktu terus bergerak. Kian malam pengunjung kafe justru bertambah ramai. Kebanyakan dari mereka sengaja menikmati indahnya langit pantai sembari duduk-duduk manis dengan pasangan atau teman. Beberapa kali Gavin melihat beberapa sepasang muda-mudi yang tampak romantis. Ada yang saling bercanda satu sama lain, bergurau dan menggoda. Bahkan ada yang berani memamerkan kemesraan di kafe tersebut seperti saling menempel seperti perangko. Melihat pemandangan yang ada Gavin ingin merasakan juga. Sayangnya Abrina tidak bisa diajak kerja sama. Bahkan tidak peka. Beberapa kali Gavin berbuat manis padanya gadis itu sibuk sendiri dengan ponselnya. "Bisa gak sih naruh hape lu di meja dulu?" protes Gavin bete melihat Abrina fokus pada layar ponselnya. "Kenapa emang?" sahut Abrina tanpa rasa berdosa. Matanya masih fokus gadget. "Ck!" Gavin berdecak, "Bi, ini tuh malem minggu.""So what?" Mata Abrina membulat dengan lucunya. Ingin rasanya Gavin mencium manik indah tersebut. Sayangnya itu semua s
"Bang, lu ngapain ada di kamar gue?" protes Gavin dengan kekinya. Gibran lekas bangkit dari rebahannya. "Kenapa kamu nggak suka?" "Gak sukalah!" sahut Gavin langsung menyeru. "Ini kamar gue, privasi gue. Bisa-bisanya lu bisa masuk ke kamar gue?" semprotnya sambil menerjang sang kakak. Beruntung Gibran sigap menghindar sehingga Gavin justru jatuh sendiri ke ranjang. Pemuda itu pun buru-buru bangkit dari kasur. "Dengar ya, Vin, pokoknya setiap kamu mau melakukan hal yang aneh-aneh sama Bina, aku akan datang untuk menyelamatkan dia," tutur Gibran santai. "Hal aneh apaan sih?" Gavin tetap memprotes. "Maksud kamu pilih conneting room itu apa? Biar leluasa masuk ke kamarnya Bina?" tuding Gibran datar. "Pasti lu pikirannya jelek deh, Bang." Gavin balas menuding. "Ya, kalo kamu gak pilih kamar ini aku gak akan berpikiran jelek."Gavin mendengkus. "Bang, gue sengaja pilih connecting room tuh biar gampang dibangunin sama Bina. Lu tau sendiri kan gue paling susah bangun pagi.""Ada alarm
Abrina yang paham dengan maksud Gavin hanya mengangguk. "Ya udah kita berangkat ya," pamitnya kemudian. Gavin mengizinkannya dengan anggukan. Pemuda itu menatap kepergian Abrina dan Gibran sampai keduanya hilang di balik pintu. Dirinya lantas melirik jam digital di nakas. Baru pukul lima kurang lima belas menit. Gavin memutuskan untuk meneruskan tidurnya kembali. Sebenarnya dia ingin menemani Abrina syuting, tapi kehadiran Gibran dan model klip itu membuatnya mengurungkan niat. Gavin sudah punya rencana sendiri. Dia akan mengintai pria yang mirip dengan Bondan seorang diri. Jika benar orang itu adalah Bondan, maka dirinya punya kesempatan untuk mengambil hatinya Haris. Karena seperti yang diketahui kalau Gibran sangat dekat dengan ayahnya Abrina itu. Pukul delapan pagi Gavin baru ke luar dari kamarnya. Pemuda itu pergi breakfast sendiri. Setelah puas mengisi perut dirinya menuju tempat syuting video klipnya Abrina. Suasana sedang break. Gavin menyapa sebentar sang gadis. Selepas
"Pergilah ke Anyer, tangkap Bondan sekarang juga," titah Haris pada Geri, "aku yakin setelah Bondan tertangkap maka Lusi dan Arman tidak lama lagi akan segera ketemu.""Siap, Pak," sahut Geri di telepon."Sering kasih info ya!""Ya, Pak.""Ya, sudah cepat laksanakan!"Haris mematikan ponsel lalu menaruh begitu saja di atas meja."Jadi bagaimana kalian bisa bertemu dengan Bondan ini?" tanya pria itu kemudian.Abrina dan Gavin saling berpandangan. Baru lima belas menit yang lalu mereka menceritakan tentang perjalanannya ke Anyer hingga bisa bertemu dengan Bondan. Namun, Haris sudah menanyakan lagi."Pah, kan tadi aku sudah cerita," sahut Abrina menahan bete.Melihat wajah Haris yang pucat, Gavin langsung mencolek Abrina. "Papah kamu lagi sakit, wajar kalo dia lupa."Abrina meniup anak rambutnya yang menutupi dahi. "Ya udah kalo gitu kamu yang cerita.""Okay." Gavin mengangguk semangat. Saatnya memamerkan kemampuannya pada Haris. "Jadi gini, Om ...."Gavin pun mulai bertutur dimulai dari