"Pergilah ke Anyer, tangkap Bondan sekarang juga," titah Haris pada Geri, "aku yakin setelah Bondan tertangkap maka Lusi dan Arman tidak lama lagi akan segera ketemu.""Siap, Pak," sahut Geri di telepon."Sering kasih info ya!""Ya, Pak.""Ya, sudah cepat laksanakan!"Haris mematikan ponsel lalu menaruh begitu saja di atas meja."Jadi bagaimana kalian bisa bertemu dengan Bondan ini?" tanya pria itu kemudian.Abrina dan Gavin saling berpandangan. Baru lima belas menit yang lalu mereka menceritakan tentang perjalanannya ke Anyer hingga bisa bertemu dengan Bondan. Namun, Haris sudah menanyakan lagi."Pah, kan tadi aku sudah cerita," sahut Abrina menahan bete.Melihat wajah Haris yang pucat, Gavin langsung mencolek Abrina. "Papah kamu lagi sakit, wajar kalo dia lupa."Abrina meniup anak rambutnya yang menutupi dahi. "Ya udah kalo gitu kamu yang cerita.""Okay." Gavin mengangguk semangat. Saatnya memamerkan kemampuannya pada Haris. "Jadi gini, Om ...."Gavin pun mulai bertutur dimulai dari
Tiba-tiba ada dorongan dihatinya untuk menggendong Alsaki. Tanpa berpikir panjang Abrina mendekati Alsaki. Ajaib ketika dia merentangkan tangan, bagi itu mau digendong olehnya."Bi, kayaknya papah kamu perlu dibawa ke rumah sakit deh," saran Gavin melihat wajah pucat Haris."Iya-iya, ya udah ayo bawa papah ke rumah sakit," sahut Abrina setuju. "Bi, cepat panggil Pak Nono buat bantuin Gavin angkat papah.""Iya, Non."Bi Sarti pun bergegas ke belakang. Wanita itu akan melaksanakan perintah anak majikannya. Pada sang suami yang baru saja selesai mandi perempuan itu memberitahu keadaan bosnya."Cepat sana bantu temannya Non Bina bantu Bapak," suruh Bi Sarti pada sang suami."Iya-iya."Pak Nono lekas bergerak ke depan. Tanpa disuruh pria itu segera membantu Gavin memapah Haris menuju mobil."Pake mobil saya aja, Pak," ujar Gavin sembari merogoh kunci mobilnya di saku celana.Dirinya mulai menyalakan remot kunci. Dari belakang Abrina membuka pintu belakang mobilnya. Gadis itu akan duduk men
Lusi terjaga dari lelapnya. Suara-suara burung dan ayam tetangga menjadi pertanda jika hari sudah siang. Perempuan itu membuka mata.Saat menoleh ke samping sosok Arman masih damai dalam tidurnya. Bahkan kedua tangan pria itu setia mendekap dadanya yang tak berbusana.Lusi mendengkus pelan. Sungguh dia merasa jenuh dengan kehidupannya saat ini. Benar-benar tidak ada kebebasan. Ke mana-mana selalu was-was takut terbuka penyamarannya.Sebetulnya bukan itu saja yang membuat Lusi tidak semangat menjalani kehidupan. Perlakuan Arman yang songong bahkan cenderung kasar lah yang membuatnya nelangsa.Selain menjadikan budak s ex, Arman juga menjadikannya babu. Dirinya yang kemarin-kemarin terbiasa menjadi nyonya tiba-tiba harus mengerjakan semua tugas rumah tangga. Karena tidak mungkin juga Lusi menyewa tenaga seorang asisten rumah tangga.Apalagi dia dan Arman tidak punya pekerjaan. Sehingga keduanya harus benar-benar bisa mengatur keuangan dengan baik. Meski cadangan emas batangan Lusi masih
"Apa ini?" tanya Arman tidak paham."Aku hamil lagi, Man.""Persetan!" Arman langsung melempar begitu saja alat tersebut."Man--""Kamu mau minta aku nikahi?"Lusi hanya melengos."Kita berdua aja hidupnya gak tenang, takut sewaktu-waktu ketangkep," omel Arman lagi, "lagian udah berapa kali aku bilang jangan lupa minum pil KB, bego banget sih jadi orang," kecamnya kesal."Kamu pikir nyari pil KB itu mudah? Di sini jauh dari apotek, Man.""Ya itu urusan kamu," sergah Arman tidak mau mengalah, "pokoknya selesai aku mandi sudah harus ada makanan. Awas kalo gak ada," ancamnya dengan tatapan sengit.Lusi terdiam. Matanya menatap kepergian Arman meninggalkan kamarnya. Perempuan itu lantas mendengkus.Tiba-tiba dia merasa sedih. Air mata luruh membasahi pipinya. Namun, cepat ia hapus. Lusi tidak mau kena omel Arman jika tidak segera mencari makanan.Perempuan itu bergegas meraih gamis dan kerudung panjang yang tergantung di tembok. Agar penyamarannya tidak mudah diketahui Arman menyuruhnya
Lusi membuka ponselnya. Wanita itu melihat-lihat isi galeri. Ada banyak foto Alsaki di dalamnya. Tanpa sadar bibirnya melukis senyum menatap gambar buah hatinya."Ah kayaknya kalo telpon Leon gak masalah deh. Aku yakin dia akan jaga rahasia," pikir Lusi begitu teringat adik keduanya.Penuh keyakinan perempuan itu segera menekan nomornya Leon. Sayangnya sekali nomor sang adik sedang tidak aktif. Lusi sampai mengumpat kesal karenanya."Apa iya aku harus menghubungi Livia? Tapi dia anak yang jujur banget, aku takut dia bakal ngasih tau ke Mas Haris," gumam Lusi bingung sendiri."Akhh ... Aku kan dari kecil yang menghidupi dia. Livia bisa kuliah juga berkat aku, kayaknya dia gak akan tega kalo mau melaporkan aku," tuturnya meyakinkan diri.Lagi penuh dengan keyakinan Lusi menghubungi nomor Livia. Perempuan itu bernapas lega saat mendengar nada aktif dari nomor Livia."Halo dengan siapa ini?" Suara lembut Livia menyapa di seberang sana."Vi, apa kabarnya? Ini Mbak Lusi."Di tempatnya Livia
Sore itu Lusi sedang menghadap televisi. Dengan kaos tanpa lengan dan celana pendek dia akan melakukan senam zumba. Dia berkeyakinan dengan banyak bergerak aktif maka calon janin di perutnya bisa akan luruh. Lusi mulai mengikuti gerakan yang diajarkan oleh instruktur dalam video youtube tontonannya. Dengan semangat dia melakukan pemanasan sampai inti dari senam. Ketika sedang serius meliuk-liukan badan, terdengar bunyi salam di pintu. Lusi menjeda video. Wanita itu buru-buru mengambil baju dan kerudung panjangnya. Tidak lupa cadarnya. Arman selalu berpesan untuk selalu menutup identitas. Kendati saat mereka sudah berada di daerah perdesaan yang jauh dari kota. Setelah merasa benar-benar tertutup, Lusi menuju pintu. Perempuan itu ingin tahu siapa yang datang. Ternyata tukang paket yang datang. Laki-laki dengan seragam ekspedisi itu mengantarkan pesanannya yang berupa obat pelancar haid. "Terima kasih, ya," ucap Lusi lembut. Perempuan itu lekas menutup pintu usai tukang paket menj
"To-tolong," mohon Lusi lemah. "Tunggu sebentar ya, Bu," jawab si tetangga meminta izin. Perempuan berkerudung hitam itu lekas berlari. Di jalan dia berteriak minta tolong saat melihat ada seorang bapak-bapak yang sedang berjalan. Pria yang terlihat kuat itu tengah menggendong sebuah karung berisi rumput. "Ada apa, Bu Lastri?" tanya pria yang memang tetangga si perempuan. "Itu ... tolong Ibu itu." Tangan Ibu Lastri menunjuk Lusi yang masih bersimpuh di halaman rumahnya. "Kenapa memangnya?" tanya pria yang berbadan kurus itu. "Kayaknya istri Pak Arman keguguran," jawab Bu Lastri sambil memperhatikan Lusi, "tolong carikan kendaraan. Kasihan pendarahannya parah, sepertinya harus dibawa ke puskesmas.""Lho bukannya Bu Arman punya mobil sendiri?" ujar si bapak sembari menunjuk sedan BMW milik Lusi. "Itu mobil kecil, susah buat bawa orang sakit.""Ya sudah saya akan ke rumahnya Pak Haji Umar saja," ujar si bapak. Dirinya segera menaruh begitu saja rumputnya di tepi jalan. Dengan sed
"Ge-Geri?"Lusi tergagap karenanya. Wajahnya yang pucat terlihat kian pasi melihat kehadiran Geri. Laki-laki yang sudah bekerja pada Haris lebih dari sepuluh tahun."Lama gak jumpa saya pangling lho sama Ibu," ujar pria seumuran Arman itu dengan tatapan datar. "Sekarang wajahnya Bu Lusi keliatan kusam, gak bisa perawatan ya saat kabur kemarin?"Lusi hanya bisa diam mendengarkan sindiran dari Geri. Dalam hati dia mengiyakan omongan pria tersebut. Karena memang jangankan untuk melakukan perawatan di klinik kecantikan, pergi ke salon saja sudah tidak pernah lagi."Gimana Bu, enam bulan kabur udah pergi ke mana saja?" tanya Geri masih tanpa ekspresi."Bukan urusan kamu," tukas Lusi dengan lirikan tajam."Tentu menjadi urusan saya karena Pak Haris mengutus saya untuk mencari keberadaan Ibu.""Dan sekarang udah ketemu kan?""Belum dengan Arman. Di mana dia sekarang?""Aku gak tau," balas Lusi langsung membuang wajahnya.Geri menatap Lusi dengan malas. "Ayolah jangan mempersulit diri sendir