"Kamu masih pake cincin nikah dari si Haris kan?""Ah iya." Lusi mengangguk semangat."Jual itu dulu," suruh Arman serius. Dia lantas mengarahkan Lusi bagaimana cara kabur di rumah sakit.Lusi mengangguk. Dia telah paham dengan intruksi dari Arman. Perempuan itu melihat jam di layar ponsel. Sudah pukul tiga sore.Dirinya menatap selang infus di pergelangan tangannya. Lusi sudah bertekad. Dia tidak mau di penjara tanpa Arman.Lusi menahan napasnya sesaat. Setelah merasa yakin dia mencabut selang infus tersebut. Bibirnya meringis menahan rasa sakit yang mendera.Selang beberapa menit kemudian, Lusi bangkit dari ranjang. Perempuan itu berjalan pelan menuju pintu kamar. Lewat celah kaca dia mengintip keadaan di luar."Sialan aku sampai harus dijaga polisi segala," umpat Lusi begitu melihat ada seorang petugas yang berjaga di luar bersama anak buahnya Geri.Perempuan itu menghempaskan nafasnya dengan kesal. Dia kembali menuju ranjangnya. Lusi pun mulai melakukan instruksi dari Arman.Dirin
"Akhhh!" Lusi menjerit lara. Dia merasakan sakit yang teramat pada betis kirinya. Dara merah mulai mengaliri kakinya. Lusi menangis. Seumur hidup baru kali ini dia merasakan rasa sakit sehebat ini. Panas, perih, dan ngilu bercampur menjadi satu. Beberapa hari lalu ia berpikir jika keguguran adalah sakit yang teramat. Sekarang Lusi sadar kalau ternyata tertembak justru lebih sakit dari keguguran. Petugas dan anak buah Geri sendiri langsung bergerak mendekati Lusi. Keduanya membiarkan dulu perempuan itu menangis kesakitan. "Coba kalo Ibu mau kerja sama, gak malah kabur dan berusaha melawan kita, pastinya saat ini Ibu dalam keadaan baik," ujar si petugas sedikit iba melihat Lusi yang berderai air mata. Lusi langsung mendongak. "Kalian berdua orang yang jahat!" kecamnya murka, "saya wanita yang baru saja keguguran dan Anda tega menembak saya. Semoga Tuhan membalaskan sakit hati saya. Kalian akan mendapatkan karma yang setimpal," umpatnya menggebu-gebu. "Ibu melawan kami. Tindakan ya
Geri memeriksa ponselnya Lusi. Tidak banyak nomor di daftar kontaknya. Namun, ada satu nomor yang sering dihubungi oleh Lusi. Bahkan nomor tersebut baru menghubungi Lusi satu jam yang lalu. Geri menatap nomor tersebut. Lusi menandai kontak tersebut dengan nama Mando. "Bukannya nama Arman panjangnya Armando?" tebak Geri sambil menipiskan bibir, "fix aku gak perlu susah-susah buat menyelidiki. Ini pasti nomornya Lusi."Laki-laki itu mulai mengecek nomornya Arman. Tanpa banyak berpikir pria itu segera melakukan pelacakan lewat GPS. "Oh rupanya dia sedang ada di Jakarta. Daerah Cilandak rupanya," ujar Geri begitu mendapatkan temuannya. Pria itu menghela napasnya dengan panjang. Sore ini dia bisa bernapas lega. Karena sebentar lagi dirinya yakin akan bisa meringkus Arman. *Keesokan harinya Geri menemui Livia dan Lusi di rumah sakit. Istri Haris itu sudah sedikit tenang berkat kelembutan Livia saat menjaga. Geri dibuat senang karena ternyata Livia mengerjakan tugasnya dengan baik. Gad
Arman terbangun dari tidurnya begitu alarm di ponselnya berdering. Masih dengan mata yang terpejam Arman meraba-raba meja kecil di dekat kasurnya. Dia akan melihat waktu pada telepon pintarnya.Dengan mata yang masih terasa berat Arman menatap layar ponsel. Sudah pukul setengah sepuluh pagi. Pria itu menaruh kembali gadgetnya secara asal di kasur.Nyawa Arman belum sepenuhnya kumpul. Pria itu masih bergeming dulu untuk beberapa saat. Maklum semalam habis bergadang dengan bersenang-senang di club.Enam bulan dalam persembunyian membuat Arman merindukan dunia gemerlapnya. Usai berhasil menjual empat koleksi jam tangannya Haris, dirinya memilih untuk sedikit mencari hiburan.Kesadaran Arman sudah penuh. Sekali sentak pria itu bangun dari tidurnya. Saat ini dirinya sedang berada di sebuah kamar hotel kelas Melati.Arman sengaja memilih tempat tersebut selain menghemat uang juga tidak ribet saat reservasi. Apalagi saat ini dirinya memang sedang dalam masa penyamaran.Arman membuka korden k
"Sekarang ada di mana?"Lagi Livia menatap Geri. "Bilang saja masih di Jogja," bisiknya mengajari Livia."Aku masih di Jogjakarta, Mas. Masih bersembunyi dari kejaran anak buah Mas Haris," tutur Livia begitu mendapatkan alasan."Oh gitu? Ya sudah pokoknya kamu harus segera bisa ke Jakarta. Karena setelah aku bisa jual rumah dan mobil aku, kita akan pergi ke Bangka Belitung.""Ke Babel?" ulang Livia ingin memperjelas. Sedangkan Geri segera mempertajam pendengarannya."Iya, kita akan hidup tenang di sana.""Oh oke." Walaupun tidak ada orangnya tetapi Livia memberikan anggukan, "kamu sendiri sembunyi di mana, Mas?" koreknya serius."Di motel--""Iya, motel mana?" potong Livia tidak sabaran."Apa sih? Kek bukan Lusi ini.""Calm, Vi. Nanti Arman bisa curiga," bisik Geri mengingatkan."Ya, maaf Mas. Habisnya siang ini juga aku mau berangkat ke Jakarta. Jadinya kan langsung ke motelnya kamu," kilah Livia sedikit lembut."Gampang! Yang penting kamu bisa nyampe ke Jakarta dulu, nanti aku jempu
"Ya udah cepat ambil, aku pengen liat," suruh Arman antusias.Teman Arman yang berambut cokelat itu menuju kamar yang tadi ia tunjuk. Selang beberapa menit dia telah kembali. Tayangnya menyodorkan sebuah kantong.Arman dengan rasa antusias menerima kantong tersebut. Pria itu segera membuka isinya. Sebuah senjata api jenis FN."Muat dua puluh peluru tuh," terang temannya Arman.Arman hanya mengangguk. Pria itu mengamati setiap lekuk senjata berwarna hitam tersebut. Dengan penuh kekaguman dia mengelus benda tersebut."Kapan teman kamu yang mau beli mobil datang?" tanya Arman usai menyelipkan pistol tersebut di celananya. Lalu menutupi dengan baju kokonya."Tadi dia bilang lagi OTW," sahut teman Arman sambil menghempaskan tubuhnya di kursi empuk yang ada.Kedua orang itu lantas terlibat percakapan. Arman yang mendominasi cerita. Karena sang kawan memintanya untuk menuturkan pengalaman pria itu selama bersembunyi di Jogyakarta.Tidak terasa sudah lebih dari setengah jam keduanya mengobrol
"Saudara Arman, Anda sudah menjadi DPO selama enam bulan. Jadi sekarang waktunya untuk menyerahkan diri," tutur seorang petugas yang tampak lebih senior dari yang satunya.Tidak hanya Arman yang terkaget dengan keberadaan petugas, kedua kawannya pun mengalami hal yang serupa. Terutama pria yang barusan membeli mobilnya. Karena dia sama sekali tidak tahu jika Arman adalah seorang buronan."Ayo sekarang angkat tangan, Saudara. Dan mendekatlah!" perintah si petugas.Arman memang bergeming. Namun, otak dan tangannya tidak tinggal diam. Pria itu merogoh pistol yang terselip di celananya.Tanpa berpikir panjang menembakkan pelurunya ke arah tangan salah satu petugas. Meski bukan penembak mahir, tapi hasil tembakannya berhasil mengenai tangan petugas. Alhasil senapan di tangan petugas tersebut terjatuh.Arman bergerak cepat. Dia kembali menembakkan pelurunya ke arah lawan. Untung kali ini tembakannya meleset.Petugas dan anak buah Geri secepatnya mencari tempat berlindung. Agar terhindar dar
Pria itu kembali memutar otaknya. Merasa buntu dia mengeluarkan rokok dari tas pinggangnya. Sudah habis satu batang Arman belum juga menemukan cara untuk menghabisi Haris."Kayaknya terlalu sulit kalo aku mendekati Haris. Pastinya dia kelilingi anak buahnya atau polisi," ujar Arman membuat analisa.Arman mengelus jenggot palsunya. "Kalo aku gak bisa langsung menghabisi Haris, maka aku akan mengalihkannya pada orang-orang yang dia cintai."Arman mengangguk yakin. "Kalau aku culik putra kesayangannya, sepertinya susah karena pasti dia menyewa bodyguard untuk menjaganya.""Berarti pilihan lainnya adalah putri pertamanya," ujar Arman sembari mengingat wajahnya Abrina, "tapi Lusi bilang kalo gadis itu digilai anak-anaknya Pak Gandi. Terutama yang nomor kedua karena satu kelas."Arman menatap jam tangannya. "Jam segini juga kayaknya dia masih di sekolah."Arman membuang putung rokoknya. Lalu menginjaknya dengan kuat-kuat."Berarti pilihanku jatuh ke Mbak Ranti lagi," putusnya kemudian.Tanp